Share

Mas Ngganteng

Uzy memberanikan diri melirik pamannya, sebelum bertanya.

“I—iya, Paman. Boleh, kan?” tanya Uzy. Suaranya gemetar.

Tiba-tiba Paman Ali tersenyum, membuat dada Uzy lega seketika.

“Boleh, boleh sekali. Tadi Paman hanya kaget kamu punya inisiatif untuk kerja sambil kuliah. Bagus!” puji Paman.

Kedua jempol Paman teracung ke arah Uzy. Perasaan Uzy bertambah lega. Senyumnya ikut tersungging di bibir.

“Kamu punya kemauan untuk mandiri, itu bagus. Paman salut pada tekadmu. Jangan seperti kebanyakan mahasiswa sekarang yang bermalas-malasan. Setelah lulus, bingung mau kerja apa,” cela Paman.

Hidung Uzy kembang kempis. Ia bangga dipuji oleh pamannya.

“Nah, kamu kerja apa dan di mana?” lanjut Paman.

“Bantu-bantu di warung lesehan milik teman, Paman. Hanya ...” Uzy ragu untuk sesaat. Ia sungkan untuk minta izin pulang larut malam.

“Ya? Hanya apa?” desak Paman.

“Kerjanya dari sore sampai pukul sepuluh. Saya pasti pulang larut terus,” ungkap Uzy.

Ia kembali menunduk, perasaan tak enak memenuhi hati. Tiba-tiba sebuah ide jatuh di kepalanya.

“Atau saya kos dekat kampus saja, Paman?” tanya Uzy.

Keberanian Uzy muncul sekonyong-konyong. Ia mendongak, memandang penuh harap ke arah pamannya.

“Ngekos?” ulang Paman dengan nada kurang puas.

Keberanian Uzy yang tadi sempat berkembang, kembali layu saat mendengar nada suara Paman Ali.

“Ngekos itu bakal tambah biaya, Zy. Sayang uangnya. Sudah, kamu di sini saja. Kamu bawa kunci sendiri saja biar gampang masuk rumah,” tolak Paman.

“Iya, Paman. Tadi siang Bibi sudah memberi anak kunci rumah pada saya,” sahut Uzy.

“Nah, beres kalau begitu. Kamu boleh pakai sepeda ontel buat pergi kuliah dan kerja. Uang gajimu nanti bisa utuh dipakai buat keperluanmu,” pungkas Paman.

“Baik, Paman. Terima kasih,” jawab Uzy senang.

***

Esok harinya, Uzy berangkat kuliah dengan sepeda ontel milik Paman Ali. Untungnya, hari ini jadwal kuliah Uzy agak siang, sehingga pagi-pagi Uzy sempat membawa sepeda itu ke bengkel untuk diservis.

Sepeda ontel Paman Ali memang sudah tua, tapi masih kuat besinya. Setelah diminyaki rantainya dan diisi angin ban, sepeda itu kembali nyaman dipakai.

Milo sudah menunggu Uzy di depan bangunan kampus. Di sana, ada bangku yang dibuat dari semen dan tegel keramik untuk tempat mengaso para mahasiswa. Milo duduk seorang diri di bangku itu. Dari tempat duduknya, pandangan Milo leluasa mengawasi setiap orang dan kendaraan yang memasuki gerbang kampus.

Sejak Uzy masuk gerbang dan memarkirkan sepeda di tempat parkir, mata Milo sudah mengawasi Uzy. Awalnya, ia tak percaya jika itu Uzy. Bukankah Uzy selalu berjalan kaki bila ke kampus?

Setelah Milo menyipitkan mata untuk melihat lebih tajam, ia yakin bahwa memang Uzy yang masuk dengan sepeda ontel kuno itu. Milo tak tahan untuk tertawa. Sampai sakit perutnya, lantaran terlalu lama terbahak.

Hingga Uzy berjalan mendekat, Milo masih belum berhasil menghentikan tawa.

“Hahahahaha ... Hahahahaha!” Milo menunduk-nunduk sambil memegangi perut.

Uzy bingung melihat Milo.

“Kenapa, Mil?” tanya Uzy.

Milo mengusap air mata yang meleleh dari sudut matanya. Barulah ia bisa meredakan tawa.

“Astagfirullahalaziiim ... Kamu memang kocak, Zy!” sembur Milo.

“Maksudmu sepeda ontelku?” senyum Uzy.

“Dapat dari mana benda kuno itu? Museum?” ledek Milo.

“Punya pamanku. Bagus, ya? Antik,” sahut Uzy kalem.

“Iya, bagus. Hanya kamu yang percaya diri memakainya. Aku kagum!”

Milo menepuk keras bahu Uzy. Tubuh Uzy yang kerempeng langsung goyah  mendapat tepukan keras dari Milo.

“Jadi nanti pulang kuliah?” tanya Uzy, penuh harap.

“Iya, dong. Ini juga aku sengaja nungguin kamu. Takutnya kamu tiba-tiba nggak masuk kuliah,” sahut Milo.

“Ke dalam saja, yuk. Panas di sini,” ajak Uzy.

Matahari tepat di atas kepala. Sinarnya menyengat dan terasa menusuk kulit. Milo dan Uzy berjalan beriringan menuju kelas.

Saat berbalik badan, Uzy melihat sebuah kelas yang baru selesai. Pintu terbuka dan para mahasiswa berbondong-bondong untuk keluar. Diantara mereka, ada Candy yang turut berjalan santai.

Uzy menahan napas. Setiap kali melihat Candy, jantungnya selalu berdetak lebih keras. Tanpa sadar, matanya terus mengikuti Candy yang berjalan cuek menuju ke arah tempat parkir. Kepalanya berputar, seiring dengan kepergian Candy.

Belum sampai ke areal parkir, seorang pemuda sudah menghampiri dan menggandeng mesra Candy. Dia bukan pemuda yang kemarin Uzy lihat mengendarai motor ninja. Hati Uzy terasa panas oleh cemburu.

“Heh! Sadar,” sentak Milo.

Uzy gelagapan. Ia menoleh ke arah Milo.

“Lihat-lihat jalan, nanti kamu tersandung,” sambung Milo datar.

Otomatis pandangan Uzy terjatuh pada jalan di depannya. Tepat di hadapannya, ada sebongkah batu yang entah datang dari mana. Dahi Uzy mengernyit heran.

“Lupakan dia, Zy. Ini nasihatku saja,” ujar Milo tenang.

“Kenapa?” Uzy tak mengerti.

Giliran Milo yang menatap heran pada Uzy.

“Memangnya kamu nggak dengar ada gosip bahwa dia ...” Milo menggantung ucapan. Ia celingukan ke kiri dan kanan.

Kemudian, dengan suara rendah menyerupai bisikan, ia mencondongkan wajah ke dekat Uzy.

“ ... ayam kampus?”

Uzy menarik napas. Hal itu bukan hal baru baginya. Ia pernah dengar hal itu dari Yandi, teman semasa orientasi mahasiswa. Lantaran berbeda fakultas, Uzy jarang bertemu Yandi.

“Ya, biarpun statusnya buruk aku tetap suka. Lagipula belum tentu gosip itu betul,” ujar Uzy, keras kepala.

Ya, ia memang tak menganggap Candy buruk atau hina. Ia sudah telanjur suka, sehingga mata hatinya seolah buta oleh kabut cinta.

Milo berdecak.

“Aku sudah memperingatkan lho, ya,” tambah Milo.

“Tuh, Bu Aruni sudah datang,” tunjuk Uzy ke depan.

Ia dan Milo mempercepat langkah untuk menuju kelas. Di depan mereka, Bu Aruni yang mungil dan lincah sudah lebih dulu berjalan cepat memasuki kelas.

***

Selepas kuliah usai, Milo dan Uzy berangkat dengan sepeda motor Milo menuju rumah Mas Destan, kakak Milo. Sepeda ontel Uzy dititipkan di kampus.

“Kamu kelihatannya anak baik. Aku suka kamu,” ucap Mas Destan, kakak Milo.

Uzy tersenyum senang. Hatinya bungah mendapat pujian.

“Jangan salah paham lho, Zy,” seloroh Milo.

Mas Destan dan Milo tertawa bersama. Uzy kembali tersenyum tipis. Tentu saja ia tahu maksud Mas Destan.

“Pekerjaan ini agak berat, perlu tenaga besar. Kamu juga harus mendorong gerobak sampai ke tempat mangkal, siap?” tantang Mas Destan.

“Siap, Mas. Biarpun kurus, jangan ragukan kekuatan saya,” jawab Uzy.

“Bagus. Tenang saja, kamu nggak sendirian. Nanti ada temanmu namanya Dudi, karyawan saya juga, “ tambah Mas Destan.

“Selama bekerja, kamu dapat makan malam. Bebas bisa ambil nasi sesanggup perutmu, aku nggak akan membatasi. Upahmu aku berikan harian, setiap warung tutup,” jelas Mas Destan lagi.

Uzy bersorak di dalam hati. Ia akan dapat makan dan diberi upah harian! Ia bisa menabung atau menggunakan uang itu buat keperluan kuliah di luar uang semester.

“Ada pertanyaan?” tanya Mas Destan.

“Nggak ada, Mas,” jawab Uzy antusias.

“Oke. Sekarang aku jelaskan pekerjaanmu selama di warung,” angguk Mas Destan puas.

Uzy mengikuti langkah kaki Mas Destan yang menuju sebuah meja persegi empat. Permukaan meja penuh dengan aneka sayur mentah buat lalapan dan sebaskom besar sambal.

***

Warung lesehan “Mas Ngganteng” milik Mas Destan baru saja tutup. Uzy dan Dudi membereskan meja-meja, kemudian menggulung tenda. Tubuh Uzy rasanya remuk, karena ini hari pertamanya bekerja. Berat terasa karena belum terbiasa. Ia yakin, besok dan besoknya lagi bebannya akan terasa lebih ringan.

Namun, semua kelelahan itu terasa sepadan ketika ia menerima upah hariannya. Mas Destan memberi uang upah di rumahnya, setelah gerobak warung dititipkan pada tempat bermalamnya di dekat tempat mangkal.

“Ini upahmu, Zy. Terima kasih, ya,” ujar Mas Destan. Ia memberi lembaran uang pada Uzy dan Dudi secara bersamaan.

“Terima kasih, Mas!” balas Uzy tulus.

Binar senang berpijar dari mata Uzy yang lelah dan mengantuk. Ia genggam erat tiga lembar uang puluhan itu, demi merasakan sensasi keberadaannya. Aku punya uang! Pekik hatinya girang.

Ia masukkan uang itu ke dalam tas ransel yang selalu setia menemaninya kemana-mana. Lalu ia berpamitan dan pulang dengan sepeda ontel yang sudah diambilnya tadi sore dari parkiran kampus, sesaat sebelum warung buka.

Uzy mengayuh sepeda penuh semangat. Angin dingin meniup wajah Uzy, namun terasa sejuk olehnya. Ia tersenyum-senyum sendiri dan melamun. Uang itu akan ia tabung, agar cukup untuk membeli buku dan ... buat mengajak kencan Candy. ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status