Compartilhar

Bab 2

Autor: Atanim
Aku tidak ingin memikirkannya lagi. Tawa Tania yang ada di belakangku terdengar begitu menyakitkan telinga. Aku tanpa sadar mempercepat langkahku.

Sejak Evan jarang pulang, seluruh rumah terasa kosong. Selain aku dan Bibi Laras, tidak ada orang lain lagi.

Ketika mendengar aku pulang, Bibi Laras keluar menyambut dengan gembira. Dia langsung bertanya dengan khawatir ketika melihat wajahku yang pucat, "Luna, kamu sudah lama nggak pulang. Apa kamu sakit? Kenapa wajahmu pucat sekali?"

Bahkan Bibi Laras pun mengkhawatirkan diriku. Namun, kenapa Evan tidak pernah merasa khawatir padaku sekali pun? Bahkan kata-kata penuh perhatian pun tidak ada.

Aku menarik sudut bibirku dengan lemah, menenangkannya dengan berkata, "Aku nggak apa-apa, Bibi Laras. Ayo kita masak, aku sedikit lapar."

"Baiklah, baiklah. Aku akan membuatkanmu sup kesukaanmu. Sup ini juga bagus untuk pemulihan tubuh." Bibi Laras pun pergi ke dapur untuk mulai memasak.

Aku mengeluarkan toples berisi bintang itu, meletakkannya di atas meja, lalu menatapnya dengan pandangan kosong.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Aku bangkit untuk membuka pintu. Ternyata itu adalah Ibu dari Evan, Sinta.

Sebelum aku sempat berbicara, dia sudah berteriak dengan kaget, "Astaga! Luna, kenapa wajahmu tampak nggak baik?"

Wanita itu segera menarikku masuk untuk duduk. Jika bukan aku yang menghentikan, dia pasti akan langsung membawaku ke rumah sakit.

Sinta berkata, "Kamu sedang hamil, harus menjaga tubuhmu dengan baik."

"Di mana Evan? Apa dia nggak menemanimu?"

"Akhir-akhir ini dia jarang ke kantor. Aku dan ayahnya mengira dia sedang menemanimu."

"Kalau bukan Bibi Laras yang menelponku, kamu pasti akan menyembunyikannya dariku, 'kan?"

Sinta sangat baik padaku, ini membuatku merasa hatiku menghangat.

Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Kebetulan, Bibi Laras keluar dari dapur dengan membawa sup kesukaanku.

"Luna, jangan menyalahkanku yang cerewet ini. Aku hanya khawatir terjadi sesuatu padamu," kata Bibi Laras.

Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Bagaimana mungkin aku menyalahkanmu, Bibi Laras."

Suara pintu terbuka terdengar lagi. Kali ini, yang masuk adalah Evan.

Dia tampak sedikit terkejut ketika melihat kami. "Ibu, kenapa kamu ada di sini?"

"Kamu masih berani bertanya? Kamu pergi ke mana saja? Kenapa nggak menemani Luna?" Kata-kata Sinta dipenuhi dengan nada menyalahkan.

Evan tidak tahu harus berkata apa untuk sementara. Kemudian, dia menjawab dengan tergagap, "Aku ... akhir-akhir ini ada banyak urusan."

"Urusan apa yang lebih penting dari Luna? Dia sekarang sedang hamil. Lagi pula, urusan apa yang nggak bisa kamu serahkan pada mereka? Kenapa harus kamu sendiri yang menangani?" balas Sinta.

Aku menarik tangan Sinta, menghibur sambil menjelaskan untuk Evan, "Nggak apa-apa. Kalau dia ada urusan, biarkan saja dia mengurusnya. Aku baik-baik saja."

Evan menatapku dengan sedikit perasaan bersalah. "Terima kasih, Luna."

Aku tidak tahu apakah Evan berterima kasih karena aku membantunya keluar dari situasi sulit, atau karena aku tidak mengungkapkan yang sebenarnya.

"Nggak peduli bagaimanapun juga, kamu nggak boleh pergi malam ini. Kamu harus tinggal di sini untuk menemani Luna." Sinta memperingatkan.

"Tapi ...." Evan tidak bisa mengatakan apa yang ingin dia katakan. Karena dia sendiri juga mengetahui betapa tidak terhormat perilakunya.

Hanya ada satu lampu di dinding kamar tidur. Cahaya redup menerpa wajahku, membuatku tampak makin lemah.

Evan mendorong pintu untuk melangkah masuk, duduk di tepi tempat tidur, lalu perlahan berkata dengan hati-hati, "Luna, Tania masih menungguku. Dia nggak bisa ditinggal sendirian."

Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya mengeluarkan toples berisi bintang itu.

"Apa ini?" tanya Evan dengan bingung.

"Sembilan puluh sembilan bintang. Aku sudah selesai melipatnya," ujarku.

Dia sedikit terkejut. "Sudah 99 kali, ya?"

"Jadi, apa kamu masih mau pergi?" Nada suaraku terdengar hampir memohonku, tetapi itu tetap tidak berhasil meluluhkan hatinya.

"Luna, Tania kehilangan ingatan, aku nggak bisa membiarkannya begitu saja. Kamu bisa memahaminya, 'kan?" ujar Evan.

"Aku berjanji padamu. Begitu Tania pulih, aku akan menyuruhnya pergi dari sini. Lalu, aku hanya akan menemanimu seorang, oke?" lanjut pria itu.

Bagaimana mungkin aku memaksanya untuk tetap tinggal? Kepergiannya sudah ditakdirkan. Sama seperti kepergianku yang juga sudah ditakdirkan.

Aku mengangguk, lalu mengajukan satu permintaan padanya, "Aku ingin gelang kaki bayi sebagai hadiah untuk anak kita."

Evan mengusap kepalaku dengan lembut. "Baiklah, aku berjanji padamu. Setelah aku kembali nanti, aku akan menemanimu ke toko perlengkapan ibu dan bayi. Kita akan memilih barang-barang untuk anak kita."

Seiring dengan suara pintu tertutup saat Evan pergi, suara isak tangisku di dalam kamar terdengar makin jelas.

Aku menyalakan lampu, mengeluarkan tumpukan surat hasil pemeriksaan dari lemari.

Dulu saat aku menerima surat-surat pemeriksaan ini, yang muncul adalah air mata kegembiraan. Itu adalah wujud kebahagiaan karena memiliki anak untuk pertama kalinya.

Sekarang, saat berpisah dengan surat-surat pemeriksaan ini, air mataku masih tetap muncul. Hanya saja, yang tersisa hanyalah kesedihan.
Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Terkadang Cinta Itu Pilu   Bab 8

    Tania masih berteriak-teriak, menuntut agar Evan menemuinya.Polisi benar-benar tidak punya pilihan selain datang menemui Evan lagi."Dengan kondisinya yang seperti ini, kami nggak bisa menjatuhkan hukuman. Kami juga hanya bisa menahannya selama beberapa hari. Tapi kami nggak akan tahan kalau dia setiap hari membuat keributan seperti ini." Polisi menghela napas, lalu pergi.Aku dan Evan datang ke tempat penahanan Tania bersama-sama.Ketika melihatku, Tania tertegun sejenak, lalu berteriak padaku seperti orang gila."Untuk apa kamu kembali lagi? Kenapa kamu nggak mati saja?""Ini semua gara-gara kamu! Gara-gara kamu Kak Evan nggak menginginkanku lagi!""Aku beri tahu padamu, jangan harap bisa membawa Kak Evan pergi dariku. Aku ingin bersama Kak Evan selamanya!"Tania berteriak sampai lelah, duduk lemas di lantai, lalu suaranya berubah menjadi sedih."Kenapa Kak Evan nggak menginginkanku lagi ….""Padahal aku yang dicintai Kak Evan ….""Kamu sendiri yang berjanji padaku ...."Ketika aku

  • Terkadang Cinta Itu Pilu   Bab 7

    "Pergi kamu dari sini!" Evan dengan marah menunjuk ke arah Tania.Tania menangis dengan menyedihkan sambil menarik tangan Evan. "Kak Evan, maafkan aku. Aku nggak melakukannya dengan sengaja. Maafkan aku sekali ini saja, ya."Sekarang ekspresi lemah Tania sudah tidak bisa membangkitkan simpati Evan lagi. Pria itu hanya menatapnya dengan tatapan dingin, lalu berkata, "Aku ulangi sekali lagi, pergi kamu dari sini!"Tania terdiam sebentar, lalu tiba-tiba tertawa keras. "Aku nggak akan pergi! Nggak akan! Evan, jangan harap kamu bisa menyingkirkanku!"Semua orang tidak bisa bereaksi ketika melihat penampilan Tania yang seperti orang gila.Ardi yang pertama kali berbicara, "Bawa dia ke kantor polisi."Tania memberontak dengan panik. "Lepaskan aku! Kalian lepaskan aku! Evan, Luna sudah pergi! Kenapa kamu masih nggak mau menerimaku? Dia sudah pergi!"Semua orang tidak berbicara lagi. Hanya ada suara teriakan Tania yang terdengar, sampai akhirnya suara itu benar-benar menghilang.Sinta melihat k

  • Terkadang Cinta Itu Pilu   Bab 6

    Tania yang dikurung di kamar, hanya bisa diam-diam menelepon Evan, berharap agar pria itu cepat kembali."Kak Evan, kamu pergi ke mana? Aku takut sekali. Bisakah kamu segera kembali untuk menemaniku?" ujar Tania.Evan mengusap keningnya, merasa sedikit lelah. "Aku akan segera kembali."Ketika Evan kembali ke sana, orang tuanya masih belum pergi. Keduanya hanya duduk di sana dengan wajah muram.Begitu melihat Evan kembali, Sinta segera melangkah maju untuk menanyakan kabarku, "Apa Luna sudah ketemu?"Evan menggelengkan kepala.Wajah Sinta dipenuhi dengan kekhawatiran. "Apa yang harus kita lakukan? Luna sedang hamil, bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya?""Apa mungkin Luna pergi ke rumah sakit?"Evan tidak berani menceritakan tentang keguguranku. Dia khawatir Sinta tidak bisa menerimanya."Aku sudah pergi ke sana, dia nggak ada di rumah sakit. Bu, tenanglah, aku akan menemukan Luna," kata Evan."Di mana Tania?"Mendengar pertanyaan Evan, Sinta merasa makin marah, "Kamu masih sempat me

  • Terkadang Cinta Itu Pilu   Bab 5

    Aku kembali ke rumah dengan pikiran kosong. Aku menatap toples bintang itu, teringat akan anakku. Aku tidak bisa menahan diri lagi, langsung menangis dengan keras.Aku mengeluarkan surat lama yang menguning itu, menuliskan kata demi kata di belakang kertas surat.Tepat saat Evan ragu-ragu, Bibi Laras menelepon, memberi tahu Sinta tentang kabar kepergianku."Apa? Luna pergi?" tanya Sinta.Begitu mendengar kalimat itu, Evan akhirnya panik. Dia tidak peduli lagi dengan teriakan Tania di belakang, hanya ingin segera menemukanku.Ketika Tania melihat ini, dia hendak mengejar Evan, tetapi dihadang oleh orang-orang yang dibawa oleh orang tua Evan. Tania pun mendapatkan beberapa tamparan lagi."Atas dasar apa kalian berani menamparku?" ujar Tania."Karena aku adalah Ibu Evan!" Sinta menunjuk ke arah Tania, lalu berkata, "Kalau sesuatu terjadi pada Luna, jangan harap kamu bisa pergi dari sini hidup-hidup."Tania merasa ketakutan sampai terpaku di tempat. Dia tidak berani berbicara lagi.Evan me

  • Terkadang Cinta Itu Pilu   Bab 4

    Sudah keguguran sejak seminggu yang lalu.Seminggu yang lalu .... Seminggu yang lalu ....Evan mengingat kembali apa yang terjadi seminggu lalu.Seminggu yang lalu, aku datang menemui Evan, tetapi dia sedang menemani Tania. Kemudian, aku berlari keluar, sementara Tania pingsan karena menangis. Pada saat itu, Evan mendengar orang-orang membicarakan ada seseorang yang tertabrak di luar. Hanya saja, saat itu Evan hanya memikirkan Tania, tidak menoleh untuk mencariku.Evan menggelengkan kepala tidak percaya. Jika saat itu dia menoleh sejenak untuk melihatku, mungkin tidak akan terjadi apa-apa.'Pantas saja Luna juga berada di rumah sakit. Pantas saja dia terlihat sangat lemah saat itu,' pikir Evan.'Tapi kenapa dia nggak memberitahuku?'Pada saat ini, Ayah dan Ibu Evan, Ardi dan Sinta, tiba-tiba masuk.Ketika Sinta melihat Tania yang ada di belakang Evan, dia langsung marah besar. Dia berjalan menghampiri Tania secara langsung, lalu menamparnya. Ketika Tania melihat wanita yang tidak diken

  • Terkadang Cinta Itu Pilu   Bab 3

    Di bawah surat pemeriksaan ini ada selembar kertas surat yang sudah menguning.Itu adalah surat yang Evan tulis sendiri saat pertama kali menyatakan cinta padaku.Aku dengan lembut mengusap tulisan indah itu. Evan sudah bukan lagi dirinya yang dulu. Sekarang di matanya hanya ada Tania seorang.Evan tiba-tiba mendorong pintu untuk masuk. Ketika melihat wajahku yang penuh air mata, dia sedikit terkejut. "Kenapa kamu menangis?"Dia mendekat, ingin menghapus air mataku, tetapi aku menghindar."Luna, apa kamu baik-baik saja?" Evan sedikit bingung, tidak tahu harus berbuat apa.Aku menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja. Aku hanya teringat hari ketika mengetahui aku akan memiliki seorang anak."Evan melihat surat di tanganku, tampak sedikit terkejut.Hatiku langsung panik. Aku segera menarik surat itu."Tadi waktu mencari sesuatu, aku nggak sengaja mengeluarkannya," kataku.Evan menatapku dengan ragu, lalu berkata, "Kamu sekarang sedang hamil, nggak boleh sering menangis.""Aku baik-baik

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status