Share

Terkuaknya Rahasia Suamiku
Terkuaknya Rahasia Suamiku
Penulis: Tetiimulyati

1. Dihina Karena Miskin

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-14 10:37:24

"Sok atuh, Teh Tami tolongin kita. Ini kurang satu orang lagi supaya pinjamannya cepat cair," ucap Siska sambil menggeser duduknya. Sejak dua hari yang lalu, entah untuk yang  ke berapa kalinya Siska kembali mendatangi rumahku. Maksudnya adalah mengajakku bergabung dalam kelompok mereka untuk mengajukan pinjaman bank emok.

"Aduh maaf, Neng Siska. Saya tetap tidak bisa, soalnya takut tidak kebayar setorannya. Apalagi sekarang suami saya sedang libur dagang." Jawaban seperti itu pun sudah berkali-kali aku ucapkan.

"Please atuh, Teh, tolongin. Pasti Teteh mah setorannya lancar. Nanti kalau cair, uangnya bisa Teteh belikan mesin cuci. Di lingkungan ini, 'kan cuma Teteh yang belum punya mesin cuci." Siska kembali merajuk, tapi aku tetap menggelengkan kepala. Ucapan siska ada benarnya juga, lantaran di lingkungan itu hanya aku sendiri yang belum memiliki mesin cuci. Tapi aku tidak ambil pusing, yang penting baju kami tetap bersih meski mencuci menggunakan tangan.

"Maaf ya, Neng Siska. Teteh nggak bisa."

"Jadi Teteh tetap tidak mau? Ya sudah kalau begitu, padahal saya juga mau nolongin Teteh. Jadi kerja sama ini juga bisa dikatakan simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. Selain Teteh nolongin saya dan teman-teman, Teteh juga dapat uang buat beli mesin cuci. Jadi Teh Tami nggak bakalan ketinggalan-ketinggalan amat dari para tetangga."

"Sekali lagi maaf ya, Neng Siska. Tapi Teteh bener-bener tidak pengen punya utang."

"Bilang aja kalau Teh Tami nggak mau nolongin kita. Zaman sekarang ini, kalau nggak berhutang itu kita nggak bakalan punya apa-apa. Jadi jangan sok-sokan mau beli segalanya secara kontan, padahal nggak ada duit. Hidup susah aja, sombongnya minta ampun."

Setelah itu Siska bangkit, wanita itu pergi tanpa permisi. Padahal pas datang tadi, sikapnya sangat manis. Orang macam Siska memang hanya baik saat ada maunya. Semoga saja dia tidak kembali lagi.

Aku hanya menggeleng kecil menatap kepergian Siska sambil terus mengomel. Aku dan Mas Akbar punya prinsip, kalau kami tidak mau berhutang atau menyicil barang apapun. Tak peduli orang-orang sekitar memandang kami tidak mampu. Salah satunya Siska, yang gaya hidupnya wah tapi utangnya di mana-mana. Perabotan rumah lengkap dari hasil kredit semua. Mending kalau setorannya lancar. Tak jarang ia harus main kucing-kucingan dengan para tukang kredit.

"Mau apa Si Siska?"

Aku menoleh seketika ke arah sumber suara, sebab tahu persis siapa pemilik suara itu. Itu suara Ibu, wanita yang telah melahirkan aku tapi tidak pernah kurasakan kasih sayangnya.

"Eum ... itu ... anu, tidak apa-apa, cuma berkunjung saja," jawabku gugup. Aku tidak mau berterus terang tentang kedatangan Siska barusan. Bisa ribet urusannya kalau Ibu tahu.

"Nggak usah bohong, Ibu juga mendengar apa yang dikatakan Siska padamu. Ibu sudah dari tadi ada di depan cuma karena lagi ada tamu, jadi Ibu tidak langsung masuk." Tanpa diminta, ibu duduk di kursi yang tak jauh dariku.

Aku menghela panjang, berarti ibu dari tadi menguping pembicaraan kami.

"Kenapa tidak terima saja tawaran Siska? Benar yang dikatakan olehnya, uang itu bisa kamu gunakan untuk membeli mesin cuci. Ibu juga malu, anak Ibu menjadi satu-satunya orang yang tidak punya mesin cuci di lingkungan ini." Benar dugaanku, Ibu yang selalu menuntut kami untuk punya ini dan itu malah satu pemikiran dengan Siska.

"Kami juga bukannya tidak mau membeli mesin cuci, Bu. Ini juga lagi nabung."

"Nabung, nabung terus. Kalau nabung dulu, kapan belinya. Makin ketinggalan lah kalian. Ambil kredit aja!"

"Sudah Tami bilang, Mas Akbar itu nggak mau ambil kredit. Katanya lebih baik nabung, jadi kita nggak punya utang."

"Halah. Orang miskin aja sok-sokan nggak mau punya utang, sok nabung juga. Seharusnya kamu itu pilih suami yang kaya, yang bertanggung jawab. Si Akbar itu sudah miskin, tidak mau kredit. Bikin malu saja!"

Ucapan Ibu yang mengatakan Mas Akbar miskin itu bukan sekali dua kali kudengar. Dari awal kami menikah hingga sekarang sudah memiliki tiga anak, Ibu tidak pernah menghargai pilihanku. Bukannya membantu memberikan modal, Ibu juga kerap menghina dan meremehkan menantunya.

"Ibu mau minum apa? Biar Tami buatkan." Untuk mengalihkan pembicaraan, aku menawarkan minum pada Ibu.

"Nggak usah, paling juga adanya air putih," jawab Ibu ketus.

"Ada yang lain, kok. Ibu mau kopi atau teh manis?"

"Nggak usah, Ibu nggak lama di sini. Cuma mau ngasih tahu aja, dua hari lagi di rumah Ibu ada syukuran. Kamu datang ya, bantuin si Bibi masak dan beres-beres."

"Syukuran apa, Bu?"

"Minggu depan Bapak dan Ibu mau pergi umroh. Jadi besok syukurannya. Kalau tidak mengadakan acara syukuran di rumah, Ibu takut ada warga yang tidak tahu kalau kami berangkat umroh."

Astaga. Ibu masih saja melakukan sesuatu demi terlihat oleh orang lain.

"Oh, Bapak dan Ibu jadi berangkat umroh." Aku bertanya seperti itu karena beberapa bulan yang lalu sempat mendengar kalau niat Ibu pergi umroh tertahan lantaran uangnya masih di luar. Lagi -lagi aku tidak diberi kabar sejak awal tentang keberangkatan mereka. Aku memang kerap tidak dilibatkan dalam musyawarah keluarga. Biasanya Bapak dan Ibu hanya bertukar pikiran dengan Tari, adik kandungku yang sudah lebih sukses dariku.

"Iya jadi, pinjaman Bapak cair di bank. Jadi uangnya kami pakai untuk umroh saja. Di daerah sini 'kan baru Pak Dulah dan Pak Jasiman yang pergi umroh. Ibu dan Bapak tidak boleh keduluan yang lain lagi. Kamu juga pasti akan bangga karena orang tuamu jadi orang nomor tiga yang pergi umroh tahun ini."

Ya ampun, bangga dari mananya, Bu. Pergi umroh hasil pinjam bank saja, Ibu begitu percaya diri. Buatku pribadi, hal ini justru memalukan.

"Oh, insha Allah nanti aku sempetin datang."

"Jangan disempetin, pokoknya kamu harus datang!"

Aku mengangguk, sudah menjadi kebiasaan jika ada pesta atau acara apapun di rumah Ibu, aku yang paling capek di dapur. Sementara Lestari, adikku, hanya ongkang-ongkang kaki sambil banyak permintaan.

"Jangan lupa, Si Akbar juga suruh libur jualan supaya bisa hadir. Anak-anakmu juga ajak semuanya supaya bisa makan enak. Kasihan mereka makan lalap terus kayak kelinci."

Aku mengalihkan pandangan. Ingin menjawab meskipun kami hidup pas-pasan tapi untuk makan anak-anak, aku dan Mas Akbar selalu memperhatikan. Sekali-kali mereka juga makan ikan dan ayam. Dan satu lagi, kamu tidak dipusingkan dengan cicilan apa pun.

"Ibu pulang dulu, jangan lupa yang dikatakan Ibu tadi." Ibu bangkit dan segera pergi. Beliau tidak pernah lebih dari dua jam tinggal di sini, alasannya karena rumah kami kecil jadi Ibu tidak betah.

Aku pun mengikuti langkahnya, bermaksud mengantar ibu sampai ke luar.

"Loh, Akbar tidak jualan? Ini, kenapa gerobaknya rusak?" tanyanya ketika melihat gerobak Mas Akbar di samping rumah yang memang rusak.

"I-iya, Bu. Mas Akbar sedang libur jualan. Beberapa hari yang lalu dia mendapat musibah."

"Lalu kalian makan apa kalau libur terus?" tanya Ibu sinis ketika tahu Mas Akbar tidak jualan. Bahkan ia tidak ingin bertanya lebih lanjut perihal musibah yang kukatakan barusan.

Aku hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaannya, sambil memikirkan jawaban untuknya. Tempo hari Mas Akbar berpesan, untuk sementara aku harus merahasiakan dulu pekerjaan barunya.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    42. Pov Lestari

    Kepergian Bapak membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya Bapak terkena serangan jantung setelah ada dua orang polisi mencari Mas Firman ke rumahnya. Mas firman memang akhir-akhir ini tengah dicari oleh banyak pihak. Kesalahannya semakin bertambah. Terakhir ia dilaporkan oleh salah satu temannya karena terlibat utang ratusan juta. Usut punya usut, ternyata uang itu ia gunakan untuk bermain judi online, selain bersenang-senang dengan jalang itu.Hidupku kini benar-benar kembali ke nol. Menumpang hidup di rumah Teh Tami dan mau tak mau harus bekerja untuk mencukupi hidupku bersama dua orang anak dan juga Ibu. Orang tuaku juga ikut-ikutan bangkrut karena ulah Mas firman. Untuk biaya tahlilan Bapak, Teh Tami yang menanggung. Saat ini aku mengandalkan uang kiriman Teh Tami untuk makan sehari-hari. "Tari, kita tidak mungkin terus menerus mengandalkan kakakmu. Kedepannya harus bisa mandiri. Kamu harus cari kerjaan. Anak-anak biar Ibu yang urus," ucap Ibu sore ini selepas acara tahlilan

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    41. Ambisi

    Tangisku pecah setelah gundukan tanah basah dihadapanku ditaburi bunga-bunga beraneka rupa. Di dalamnya, jasad Bapak terbujur. Sore kemarin aku mendapat kabar dari Ibu kalau bapak berpulang secara mendadak. Padahal paginya kami masih berbincang di telepon. Lebih dari dua bulan aku tinggal di Jakarta, belum sempat pulang menengok beliau. Kami cukup direpotkan dengan urusan pindah sekolah anak-anak. Saat melakukan panggilan video, Bapak terlihat segar. Aku juga setengah tidak percaya kalau Bapak akan pergi secepat ini. "Sudah, Ma, ikhlaskan. Tidak baik meratapi kepergian seseorang yang kita sayang sebabkan itu akan menjadi beban baginya." Mas Akbar merangkulku kemudian tangan kekarnya terasa mengusap punggungku. Aku bukannya tidak ikhlas, tapi keinginanku untuk membawa Bapak berkunjung ke rumahku di Jakarta belum sempat terkabul. Beliau sempat memintaku untuk menunjukkan keadaan rumah kami di Jakarta saat kami melakukan panggilan video. Saat itu Bapak tak hentinya mengucap syukur

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    40 Saras

    Niat menanyakan tentang Saras pada Mas Akbar masih harus aku tunda sampai anak-anak tidur. Biasanya mereka tidur cepat, tapi karena tadi di mobil sempat terlelap, jadi Farah sampai di rumah sangat susah disuruh masuk kamar. Begitupun dengan Suci. Setelah aku bujuk dengan alasan besok harus sekolah, akhirnya kedua anak perempuanku mau masuk kamar. Aku pun berganti pakaian dan membersihkan wajah. Lepas itu berjalan ke ruang tengah untuk menemui Mas Akbar. Meskipun dalam hati masih bingung, kalimat apa yang harus kusampaikan pada beliau untuk menanyakan perihal Saras. "Ponselmu tadi menyala dua kali." Belum juga aku duduk di sampingnya, Mas Akbar sudah menunjuk benda pipih yang tergeletak di atas meja. Aku baru ingat, ponsel itu tadi berada di tas. Mungkin karena berbunyi, Mas Akbar mengeluarkannya untuk melihat siapa yang menghubungiku. "Siapa yang telepon?" tanyaku seraya duduk di sampingnya. Lalu meraih benda tersebut. "Bi Ica." Mataku menyipit. Ada apa Bi Ica malam-malam telep

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    39. Nama Wanita Lain

    Minggu ketiga kami berada di Jakarta. Hari ini menjadi hari yang paling mendebarkan. Bagaimana tidak, kemarin sore pada saat Mas Akbar baru pulang dari kantor, beliau mengabarkan bahwa Papa dan Mama mertuaku ingin bertemu dengan kami. Kabar itu pun diperkuat oleh telepon dari Tante Devi, katanya papanya Mas Akbar, orang yang dulu paling menentang hubungan kami, sangat gembira ketika mendengar kabar menantu dan cucunya ini sudah ada di Jakarta. "Ini berkat kesabaranmu, Tami. Selama ini sudah mendampingi Akbar meskipun hidup kalian pas-pasan. Tante yakin kamu punya doa yang baik-baik untuk suami dan keluarganya." Itu yang diucapkan Tante Devi di akhir percakapan kami melalui telepon. Anak-anak pun begitu bahagia ketika mendengar akan bertemu dengan omah dan opahnya. Mereka juga bersemangat bangun pagi. Meski demikian, aku tidak lupa lupa memberi nasihat pada tiga anakku. Supaya mereka bisa menjaga sikap di rumah omah dan opahnya nanti. Terutama Farah yang sudah besar. Keluarga Mas

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    38. Pulang

    Seminggu kemudian, anak-anak sudah selesai ulangan. Aku pun sudah menemui kepala sekolah mereka untuk meminta izin dan mengurus surat-surat pindah. Tentu saja beliau tidak mengizinkan dengan alasan tunggu sampai kenaikan kelas. Tetapi, kalau mau izin pergi ke Jakarta diperbolehkan. Akan tetapi, surat pindah baru bisa dikeluarkan setelah anak-anak naik kelas nanti. Aku pun setuju, yang penting kami bisa berangkat ke Jakarta untuk menemui orang tuanya Mas Akbar. Mertuaku, sekaligus kakek dan neneknya anak-anakku. Sore nanti rencananya, Pak Amir akan datang menjemput kami. Tadi pagi aku sempat berpamitan pada Bapak dan Ibu, mengabarkan bahwa kami akan tinggal bersama Mas Akbar. Meskipun belum selesai mengurus surat di kantor kelurahan. Bapak sangat sedih ketika aku mengatakan akan tinggal di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak mau meninggalkan Bapak dalam keadaan sakit-sakitan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai seorang istri aku harus manut pada suamiku. "Sebenarnya Bapak

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    37. Identitas Palsu

    Selesai menemani Bapak ke dokter, aku langsung berpamitan. Selain karena sudah tidak begitu khawatir, aku juga penasaran pada Bi Ica. Dari nada bicaranya aku tahu kalau wanita itu serius. Rasa ingin tahuku cukup besar, apalagi yang dilakukan oleh Siska lantaran Bi Ica terdengar sangat emosi. Tiba di kampungku, di warung Ceu Entin terlihat banyak orang. Awalnya kukira karena banyak yang belanja. Aka tetapi, ketika aku melintas, Bi Ica memanggilku. Otomatis aku pun mengerem mendadak. "Sini Teh Tami, mampir dulu!" "Ada apa, sih, Bi?" Aku memperhatikan beberapa orang yang tengah asik mengobrol di emper warung. "Eh, kan saya mau curhat." "Di sini? Kan banyak orang. Di rumah say aja, yuk!" Jujur saja aku risih kalau harus ngobrol di emper warung. "Di sini aja. Mereka sudah pada tahu, kok." Bi Ica melirik beberapa tetangga yang masih asyik dengan gosip mereka. Aku menggeleng perlahan. Selain karena tidak pernah bergosip di emper warung Ceu Entin, aku juga risih karena banyak orang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status