LOGIN“Janu! Ranjanu, apa yang terjadi?!”
Suara Bhumi memecah keheningan malam itu. Tubuh pria di hadapannya melenguh beberapa kali, ''Tolong, ah.. sakit.'' ucap pria bernama Ranjanu itu dengan mencoba mengangkat tangannya. Bhumi segera membantu sahabatnya itu untuk berdiri dengan menopangnya dari sisi kanan. Terlihat darah mengalir dari sudut bibirnya, mengenai baju yang sudah lusuh dan robek di beberapa bagian. “Untung saja aku bertemu denganmu, kalau tidak... mungkin aku sudah mati di sini,” gumam Janu pelan sambil meludah, darah segar kembali keluar dari mulutnya. Bhumi menahan napas, lalu tanpa pikir panjang memapah sahabatnya itu. “Diam, jangan bicara macam-macam!” teriaknya dengan nada marah, namun tak bisa menutupi rasa cemas dan juga khawatir. Tubuh Janu terasa berat di pundaknya. Mereka berjalan terseok, melewati gang sempit yang remang diterangi lampu jalan. Suara anjing menggonggong di kejauhan bercampur dengan derit sandal Bhumi yang basah. Udara malam lembab menusuk hidung, bau tanah bercampur dengan darah membuat perutnya sedikit mual. Sesampainya di kontrakan, Bhumi segera menurunkan tubuh Janu ke atas kasur tipis yang hanya dialasi tikar usang. Napas sahabatnya itu memburu, wajahnya lebam di pelipis dan bawah mata. Dengan cepat, Bhumi mengambil ember kecil, menuangkan air panas dari termos, lalu mencelupkan kain bersih. "Tahan sebentar, lukamu harus di bersihkan,” ucap Bhumi lirih. Ia mulai menepuk lembut luka di wajah Janu. Pria itu sesekali meringis, rahangnya menegang menahan perih. Beberapa menit berlalu dalam diam, hanya terdengar bunyi kain yang diperas dan helaan napas berat. “Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Bhumi setelah selesai memberi luka itu. Janu terdiam. Tatapannya kosong dengan menunduk menatap lantai, seperti sedang mencari jawaban. “Orangnya Bang Gani…,” ucapnya takut. Bhumi berdecak kasar. “Ck! Bang Gani? Rentenir itu?” Pria di depannya mengangguk pelan. “Ya… aku berhutang padanya dan tidak bisa bayar tepat waktu. Jadi mereka datang.” Mendengar itu Bhumi kembali tertegun. “Untuk apa kau berhutang pada orang seperti itu, Nu?!” cecarnya lagi dengan ekspresi penasaran. Tampak Janu terdiam lama, bibirnya gemetar menahan malu. “Untuk… Yunita,” katanya lirih. “Yunita?” alis Bhumi naik. “Iya… bulan lalu dia ulang tahun. Dan memintaku untuk membelikannya tas mahal. Mau tidak mau aku harus berhutang, Bhumi. Dari mana aku dapatkan uang itu?" Bhumi menatapnya tak percaya. “Dasar bucin bodoh!" geram pria itu dengan menggelengkan kepala. Janu menunduk. “Aku terpaksa! Jika tidak ku turuti, ia meminta putus," jelasnya membela diri. Bhumi berdiri, menarik napas panjang. Dadanya naik turun menahan amarah. “Cinta bukan berarti kau harus nyiksa diri begitu, Nu! Yunita itu egois! Kalau dia benar sayang padamu, dia nggak akan minta hal semacam itu!” Suara Bhumi menggema di ruang sempit itu. Janu tak berani menatapnya, hanya menatap ujung jarinya yang kotor. Beberapa detik hening. Hanya suara kipas angin tua yang berderit. Bhumi akhirnya menarik kursi dan duduk di tepi kasur. “Udah. Malam ini kau tidur di sini aja,” ucapnya pelan, nada suaranya kini lebih lembut. Janu mengangguk tanpa kata. Bagaiman pun matanya sudah berat, tubuhnya lunglai, dan dalam hitungan menit, ia sudah terlelap. Bhumi memilih tidur di kursi untuk malam ini. Ia menghela napas panjang, menatap tembok kamar yang mulai retak. Lampu redup menggantung di atas mereka, memantulkan bayangan samar di dinding kusam. "Aku harus cepat mencari uang banyak, dan membeli otak untuknya," gumam pria itu sebelum terlelap dengan menatap ke arah Janu. --- Pagi harinya.. Udara masih lembap, sinar matahari sudah menembus sela atap seng kontrakan Bhumi yang mulai berkarat. Ia menatap sahabatnya yang masih terlelap di kasur tipis dengan wajah penuh lebam. Napas Ranjanu teratur, sesekali mengerang pelan dalam tidurnya. Bhumi menghela napas pelan, lalu menaruh sebungkus nasi uduk di meja kecil di samping pintu. Di sampingnya selembar kertas kecil bertuliskan singkat: “Makan ya. Aku keluar sebentar.” Ia menutup pintu perlahan agar tak menimbulkan suara, lalu melangkah keluar menuju jalan utama. Suasana masih sepi, hanya beberapa pedagang sayur yang tengah menata dagangan. Udara pagi yang dingin bercampur aroma tanah basah dan sisa hujan semalam. Tujuan Bhumi pagi ini jelas, pasar kuno yang ada di tengah pasar tradisional, tempat para kolektor dan pedagang barang antik mencari peruntungan. Tempat itu selalu ramai dengan barang-barang aneh, dari batu akik, patung dewa kecil, hingga benda-benda tua yang harganya bisa menembus langit. Langkah Bhumi mantap, kedua tangannya digandengkan di belakang punggung. Matanya tajam menelusuri setiap meja kayu yang berjejer di kanan-kiri lorong sempit itu. Debu dan bau kemenyan samar bercampur, menciptakan suasana yang khas. Bhumi menutup mata erat, lalu mengerjap. Mengaktifkan kemampuan mata rubah yang ia miliki. Pandangannya menyapu benda antik itu satu persatu. [Replika cerutu Raja Yu Cin — Rp 400.000] [Replika lukisan Dinasti Agung — Rp 2.000.000] [Vas bunga Dinasti Yuan tahun 1150 — Rp 200.000.000] [Mangkuk Kekaisaran Lin tahun 1123 — Rp 360.000.000] "Ah... Itu dia!" gumamnya dengan menjentikkan jari. Bhumi memperlambat langkahnya. Tatapannya berhenti pada sebuah mangkuk kecil di pojok meja. Benda itu tampak biasa saja. Barang yang kusam, retak halus di pinggirannya, bahkan sudah digunakan sebagai asbak oleh penjualnya! Di dalamnya, beberapa putung rokok masih mengepulkan asap tipis. Pria itu mencoba bersikap tenang saat ia mendekat, pura-pura santai dengan wajah datar. “Pak,” panggil Bhumi menunjuk mangkuk di ujung meja. “Yang itu dijual?” Pra gempal dengan wajah berminyak, dan tompel di pipi kiri tertawa kecil. “Itu? Hahaha, itu cuma tempat abu rokok, Bang. Ngapain?” “Aku mau beli,” jawab Bhumi tenang. Beberapa orang yang tengah menawar barang di dekatnya ikut menoleh. Salah seorang kolektor paruh baya menatap Bhumi dari ujung kepala hingga kaki, lalu mencibir. “Anak muda, di bisnis seperti gini nggak bisa asal tunjuk barang. Harus tahu nilai sejarah dan bahan dasarnya dulu,” ujarnya sinis. Hinaan dan cacian mulai terdengar. Namun Bhumi tetap tenang, hanya tersenyum tipis. "Benar-benar yang kalian semua katakan, lagi pula aku hanya iseng ingin membelinya,” ucapnya ringan sambil menatap barang istimewa itu lekat-lekat. Penjual menggesek puntung rokok di atasnya, abu jatuh lagi ke dalam mangkuk. “Kalau suka, ambil aja. Sepuluh ribu!” katanya sembari melempar mangkuk itu ke arah Bhumi. Bhumi menadahkan tangannya dan menangkapnya dengan cepat. Ia tersenyum puas, lalu menyelipkan uang sepuluh ribu ke tangan si penjual. “Deal,” katanya singkat. “Sepuluh ribu untuk membeli sebuah asbak rusak? Hahaha!” salah satu pembeli tertawa keras, membuat beberapa orang ikut tergelak. Tapi Bhumi tak peduli. Ia hanya meniup lembut permukaan mangkuk itu, lalu membersihkan sisa abu dengan ujung kaosnya. Pola biru tua muncul perlahan, dan tatapan Bhumi berubah tajam. “Orang-orang bodoh…” gumamnya pelan, suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri. “Barang berharga seperti ini saja, kalian tak bisa melihat nilainya.” Ia berbalik, hendak melangkah menuju toko antik yang paling terkenal di ujung gang. Namun belum sempat kakinya bergerak jauh, tiba-tiba terdengar suara lantang dari belakang. “Hei... Aku beli mangkuk itu, seratus juta!” Suara itu bergema di seluruh pasar, membuat semua orang terdiam. Para pedagang berhenti menawar, bahkan si penjual gempal yang tadi menertawakan Bhumi terpaku dengan mata membulat. Begitu juga dengan Bhumi yang menghentikan langkahnya, ia memutar badan dan menatap orang itu dengan datar, "Dia...???" ****"Ke-kenapa punyanya besar sekali?" Beberapa kali Dahayu mengerjapkan mata. Ia melihat dengan jelas "Pasar Darat" ( pajang besar dan berurat) yang sedang di pijat dengan cukup kasar oleh pria itu sendiri. Dahayu duduk di sisi ranjang, kedua lututnya dirapatkan, tangan menggenggam ujung seprai yang berkerut. Matanya menatap kosong ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Apa yang baru saja terjadi? Ada pria asing di kamarnya. Dan kini... pria itu sedang menggunakan kamar mandinya seolah ia pemilik tempat ini. Wanita itu kembali menelan ludah. Dan berpikir, kenapa dia bisa datang kesini? Dan... siapa yang sudah memberinya obat? "Apa mungkin ini semua sudah di atur oleh...???" ia lalu menggeleng cepat. "Tidak mungkin," ucapnya lagi mengusir apa yang di dalam pikirannya. Dahayu lalu meraih ponsel di meja nakas, jarinya gemetar saat ingin menekan angka darurat. Namun seketika jarinya berhenti di udara. 'Kalau dia memang pria jahat, bukankah dari tadi dia sudah menyerangku
Bhumi menoleh, kaget. Seorang wanita cantik berdiri di sana, dengan rambutnya yang basah menempel di bahu. Sehelai handuk putih melilit tubuhnya erat-erat.[Nama: Dahayu NishaUmur: 35 TahunStatus: Desainer, JandaUkuran: 38 D]'Ya Tuhan .... Kenapa harus bertemu yang besar-besar di saat seperti ini?' pria itu menggerutu dalam hati.Wanita itu masih berdiri di sana dengan menyipitkan mata melihat Bhumi yang tampak salah tingkah. Dengan tangan yang putih mulus mencengkeram erat ujung handuk di dada."Ma-maaf aku, aku salah kamar," Bhumi berkata dengan tubuh yang sempoyongan hampir roboh."Pria mesum! Keluar sekarang juga!"Bhumi mendekat selangkah, tangannya terangkat setengah seperti hendak menenangkannya. Jangan sampai komplotan Reno tahu jika ia sedang bersembunyi di kamar itu, "Tunggu, aku bisa jelaskan—""Jangan mendekat!" teriak wanita itu lagi, suaranya melengking tinggi sedikit gemetar. Kedua tangannya yang mendadak terjulur ke depan, "Berhenti di sana, atau aku akan telepon p
Ke dua matanya, yang tadi masih menyisir kerumunan, kini terpaku pada seseorang yang sudah berdiri di hadapan mereka berdua, "Kak? Kau ada di sini?" sapa pria itu, tatapannya hangat ketika menatap Selina.'Dunia memang sempit sekali ya? Ternyata Reno, adik sepupu Selina... Haah!' gerutu Bhumi dalam hati, ia mencoba tetap tenang ketika melihat Reno, dan Alya. Mantan kekasih dan selingkuhannya itu.Alya, dengan mata yang tajam, menyenggol lengan Reno dan menunjuk Bhumi dengan lirikan mata, sinis. Reno yang menyadari keberadaan Bhumi segera melepaskan tangan Alya dan mendekat satu langkah lagi, wajahnya menyeringai sinis. "Ck...ck...ck... Berani juga kau datang ke acara reuni ini ya?" ujarnya, mengusap dagu dengan pelan."Kalian saling kenal?" tanya Selina, melihat adik keponakannya itu menyapa Bhumi. Ia lalu menatap Reno dan Bhumi bergantian, bingung. "Yah... kami satu angkatan," jawab Bhumi singkat. Tangannya masuk ke dalam saku celana, ekspresi cukup santai."Kak, kau tak tahu? Dia i
Malam itu, dengan jantung berdebar, Bhumi sudah tiba di alamat yang tertera di grup teman sekolah.Pria itu masuk dengan menunduk merapikan kemeja yang baru saja ia beli setengah jam yang lalu. Membuatnya tak sangaja menabrak seseorang yang baru saja keluar dari lift.“Eh, maaf—”Ia segera mendongak dan matanya membulat sempurna. “Selina?” bisik Bhumi tak percaya.Wanita itu, anggun dalam balutan gaun krem yang elegan, menatapnya dengan ekspresi kaget yang sama sebelum bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang manis.“Bhumi? Astaga, kau ngapain di sini?” “Reuni kampus,” jawab Bhumi santai, “Kau sendiri?”Selina terkekeh pelan, lalu menganggukan kepalanya. “Aku ada janji pertemuan. Seseorang ingin menjual barang koleksi antik dan aku tertarik untuk menjadikannya sebagai hadiah ulang tahun kakekku.”Ucapan itu baru saja meluncur dari bibirnya yang merah saat Bhumi merasakan sensasi aneh yang familiar di dada. Getaran halus dari kalung giok naga di lehernya membuat pria itu seketi
Bhumi terpaku. Matanya menatap pria berkacamata bulat besar yang berdiri di hadapannya. Informasi yang diberikan oleh mata rubahnya membuat Bhumi menelan ludah dengan susah payah.[Nama: Widodo.Pekerjaan: Kolektor.Umur: 55 Tahun.Status: Penipu, mantan narapidana.]'Oh... tukang kibul ternyata,' batin pria itu sambil menggeleng pelan. Widodo, pria berperut buncit dengan cincin batu akik berwarna merah tua melingkar di jempolnya, perlahan melangkah semakin dekat. Ia tersenyum dan sesekali membenarkan kacamatanya yang melorot."Bagaimana, anak muda?" ucapnya pelan namun masih terdengar jelas di tengah hiruk pikuk pasar. "Kau lepaskan barang itu padaku. Seratus juta… sekarang juga."Suasana pasar seketika pecah oleh bisik-bisik terkejut dan tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Widodo tersenyum bangga meskipun Bhumi sama sekali tak memberikan reaksi apa pun. Beberapa pedagang yang tadi mencibir Bhumi kini mulai berbisik-bisik, mata mereka menyorot penuh minat ke arah mangkuk kecil
“Janu! Ranjanu, apa yang terjadi?!”Suara Bhumi memecah keheningan malam itu. Tubuh pria di hadapannya melenguh beberapa kali, ''Tolong, ah.. sakit.'' ucap pria bernama Ranjanu itu dengan mencoba mengangkat tangannya.Bhumi segera membantu sahabatnya itu untuk berdiri dengan menopangnya dari sisi kanan. Terlihat darah mengalir dari sudut bibirnya, mengenai baju yang sudah lusuh dan robek di beberapa bagian.“Untung saja aku bertemu denganmu, kalau tidak... mungkin aku sudah mati di sini,” gumam Janu pelan sambil meludah, darah segar kembali keluar dari mulutnya.Bhumi menahan napas, lalu tanpa pikir panjang memapah sahabatnya itu. “Diam, jangan bicara macam-macam!” teriaknya dengan nada marah, namun tak bisa menutupi rasa cemas dan juga khawatir.Tubuh Janu terasa berat di pundaknya. Mereka berjalan terseok, melewati gang sempit yang remang diterangi lampu jalan. Suara anjing menggonggong di kejauhan bercampur dengan derit sandal Bhumi yang basah. Udara malam lembab menusuk hidung, b







