Share

BAB 4 : Gagal

Wajah marah Rezvan sangat mengerikan. Meskipun begitu Yesha tidak takut dengan tatapan membunuh Rezvan yang diarahkan kepadanya.

“Memang apalagi yang dilakukan istri di kamar suaminya kalau tidak tidur bersama?” kata Yesha dengan santai, mencoba untuk mengabaikan tatapan Rezvan yang semakin tajam.

“Keluar dari kamarku!” usir Rezvan dengan menahan geram setelah mendapatkan jawaban Yesha.

“Aku tidak mau,” tolak Yesha masih dengan santainya. “Kita suami istri, apa salahnya kita tidur bersama?” Yesha menatap wajah Rezvan yang terlihat sangat marah.

“Dengar,” ucap Rezvan di sela-sela giginya karena menahan amarah dengan kelancangan Yesha yang sudah berani memasuki kamarnya. “Kau tidak perlu berlagak seperti seorang istri di hadapanku. Sekarang aku minta kau cepat keluar dari kamarku. Sekarang!”

“Aku tidak mau!” Yesha pun bersikeras tidak ingin meninggalkan kamar Rezvan.

Rezvan sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia menatap nyalang Yesha.

“Apa kau lupa dengan perjanjian yang sudah kau tandatangani? Jadi sekarang cepat keluar dari kamarku sebelum aku menyeretmu secara paksa. Jangan kau pikir aku tidak berani melakukannya meski kau seorang perempuan.”

“Lakukan saja jika kau memang ingin melakukannya,” tantang Yesha.

Dalam ingatan pemilik tubuh, mereka berdua memang telah melakukan perjanjian tertulis di mana mereka berdua tidak boleh saling ikut campur urusan masing-masing. Pun, tidak perlu bersikap layaknya pasangan suami istri ketika di rumah. Dalam perjanjian itu juga dituliskan dengan jelas bahwa mereka tidak boleh tidur di kamar yang sama.

Yesha hanya bisa mencibir dengan apa yang telah dilakukan oleh pemilik tubuh.

Amarah Rezvan semakin menjadi mendengar tantangan dari Yesha. Dengan langkah lebar ia menghampiri tempat tidur dan mencekal lengan bagian atas Yesha. Tanpa belas kasihan ia menarik Yesha, membuat wanita itu bangkit dari tempat tidur.

Yesha tidak mencoba untuk memberontak dan mengikuti langkah lebar Rezvan yang membawanya ke luar kamar. Sebab jika ia memberontak, lengan bagian atasnya akan semakin sakit karena Rezvan yang menggenggam lengan atasnya dengan sangat kuat.

Rezvan melepaskan Yesha dengan kasar hingga Yesha terhuyung dan hampir jatuh.

“Dengar, ini adalah peringatan terakhir kalinya untukmu. Jika kau masih berani masuk ke kamarku lagi, aku tidak akan segan-segan menyeretmu dan membiarkanmu tidur di luar rumah,” ancam Rezvan penuh dengan penekanan.

“Dan satu hal lagi,” lanjut Rezvan. “Berhentilah membuat ulah di rumah ini. Aku tidak peduli kau ingin berpelukan dengan Raefal atau pria mana pun, tetapi jangan lakukan di depan rumahku. Bukankah aku sudah pernah memperingatkanmu sebelumnya? Ini adalah yang terakhir kalinya. Jika aku mendapatimu berpelukan di depan rumah lagi, maka tunggu saja akibatnya.”

Tepat setelah mengatakan itu, Rezvan menutup pintu tepat di hadapan Yesha yang hendak membuka mulut.

Untuk beberapa saat Yesha tertegun karena terkejut. Namun ia segera sadar dan memasang wajah kesal serta mencibir. Mulutnya mengeluarkan beberapa kata kasar untuk memaki Rezvan.

“Nyonya, apa Anda baik-baik saja?” Yesha terkejut dengan suara Hanna yang tiba-tiba bertanya kepadanya.

“Bibi, mengagetkan saja.” Yesha mengelus dadanya yang berdebar kencang akibat terkejut.

“Maaf, Nyonya, saya tidak bermaksud mengagetkan Anda.” Hanna meminta maaf dengan tulus.

Hanna yang baru saja mematikan lampu dapur terkejut saat mendengar suara nyaring Rezvan. Hanna tidak berani mendekat saat mendapati Rezvan memarahi Yesha. Ia baru berani mendekat setelah pintu kamar Rezvan tertutup rapat untuk mengetahui apakah majikan perempuannya itu baik-baik saja.

“Hm!”

“Lebih baik sekarang nyonya istirahat. Sekarang sudah malam, apalagi nyonya baru saja sembuh, jadi nyonya harus banyak-banyak istirahat supaya cepat sehat.”

“Ya!”

Yesha yang tidak memiliki pilihan lain terpaksa kembali ke kamarnya yang kecil. Meski saat ini dirinya gagal tidur di kamar yang sama dengan Rezvan, tetapi Yesha yakin bahwa ia pasti akan bisa tidur di kamar pria itu.

Yesha menatap pintu kamar Rezvan dan tersenyum kecil, lebih tepatnya menyeringai.

Tunggu saja kau, Rezvan!

Sembari menuju ke kamarnya, Yesha masih memikirkan dengan apa yang telah dikatakan Rezvan tadi. Ia benar-benar tidak mengerti dari mana Rezvan tahu bahwa dirinya tadi siang berpelukan dengan Raefal di depan rumah.

Saat bertemu dengan Raefal tadi siang, Yesha sudah merasa heran bagaimana Raefal bisa tahu jika dirinya mencoba untuk bunuh diri dengan menenggak obat tidur. Dan sekarang ditambah suaminya juga mengetahui dirinya berpelukan dengan laki-laki lain di depan rumahnya.

Apakah ada seseorang yang memata-matai setiap gerakanku? batin Yesha.

Entah kenapa Yesha memiliki firasat bahwa ada seseorang yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Jika tidak, mana mungkin Raefal dan Rezvan tahu apa yang telah ia lakukan hari ini. Jika dugaannya benar, mulai sekarang ia harus berhati-hati dan menangkap mata-mata itu. Ia tidak ingin menampung orang yang memata-matai dirinya tinggal bersamanya.

Sesampainya di kamar, Yesha menyingsing lengan bajunya saat merasakan lengan bagian atasnya terasa sakit. Warna merah berbentuk telapak tangan Rezvan tercetak jelas di kulitnya yang berwarna putih.

“Dasar pria kasar,” gerutu Yesha sembari menurunkan kembali lengan bajunya.

Yesha merebahkan diri di atas tempat tidur sembari melanjutkan membaca informasi yang dikirim Zaidan ke alamat emailnya.

Saat membaca informasi mengenai pemilik tubuh, mata Yesha terpaku pada sebuah foto yang disertai nama pada bagian foto tersebut. Tangannya terkepal erat dengan dada bergemuruh. Secara perlahan, sinar kebencian merayap di sorot matanya.

“Vania Septhana.” Yesha membaca nama itu dengan geram melalui celah-celah giginya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status