Wajah marah Rezvan sangat mengerikan. Meskipun begitu Yesha tidak takut dengan tatapan membunuh Rezvan yang diarahkan kepadanya.
“Memang apalagi yang dilakukan istri di kamar suaminya kalau tidak tidur bersama?” kata Yesha dengan santai, mencoba untuk mengabaikan tatapan Rezvan yang semakin tajam.
“Keluar dari kamarku!” usir Rezvan dengan menahan geram setelah mendapatkan jawaban Yesha.
“Aku tidak mau,” tolak Yesha masih dengan santainya. “Kita suami istri, apa salahnya kita tidur bersama?” Yesha menatap wajah Rezvan yang terlihat sangat marah.
“Dengar,” ucap Rezvan di sela-sela giginya karena menahan amarah dengan kelancangan Yesha yang sudah berani memasuki kamarnya. “Kau tidak perlu berlagak seperti seorang istri di hadapanku. Sekarang aku minta kau cepat keluar dari kamarku. Sekarang!”
“Aku tidak mau!” Yesha pun bersikeras tidak ingin meninggalkan kamar Rezvan.
Rezvan sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia menatap nyalang Yesha.
“Apa kau lupa dengan perjanjian yang sudah kau tandatangani? Jadi sekarang cepat keluar dari kamarku sebelum aku menyeretmu secara paksa. Jangan kau pikir aku tidak berani melakukannya meski kau seorang perempuan.”
“Lakukan saja jika kau memang ingin melakukannya,” tantang Yesha.
Dalam ingatan pemilik tubuh, mereka berdua memang telah melakukan perjanjian tertulis di mana mereka berdua tidak boleh saling ikut campur urusan masing-masing. Pun, tidak perlu bersikap layaknya pasangan suami istri ketika di rumah. Dalam perjanjian itu juga dituliskan dengan jelas bahwa mereka tidak boleh tidur di kamar yang sama.
Yesha hanya bisa mencibir dengan apa yang telah dilakukan oleh pemilik tubuh.
Amarah Rezvan semakin menjadi mendengar tantangan dari Yesha. Dengan langkah lebar ia menghampiri tempat tidur dan mencekal lengan bagian atas Yesha. Tanpa belas kasihan ia menarik Yesha, membuat wanita itu bangkit dari tempat tidur.
Yesha tidak mencoba untuk memberontak dan mengikuti langkah lebar Rezvan yang membawanya ke luar kamar. Sebab jika ia memberontak, lengan bagian atasnya akan semakin sakit karena Rezvan yang menggenggam lengan atasnya dengan sangat kuat.
Rezvan melepaskan Yesha dengan kasar hingga Yesha terhuyung dan hampir jatuh.
“Dengar, ini adalah peringatan terakhir kalinya untukmu. Jika kau masih berani masuk ke kamarku lagi, aku tidak akan segan-segan menyeretmu dan membiarkanmu tidur di luar rumah,” ancam Rezvan penuh dengan penekanan.
“Dan satu hal lagi,” lanjut Rezvan. “Berhentilah membuat ulah di rumah ini. Aku tidak peduli kau ingin berpelukan dengan Raefal atau pria mana pun, tetapi jangan lakukan di depan rumahku. Bukankah aku sudah pernah memperingatkanmu sebelumnya? Ini adalah yang terakhir kalinya. Jika aku mendapatimu berpelukan di depan rumah lagi, maka tunggu saja akibatnya.”
Tepat setelah mengatakan itu, Rezvan menutup pintu tepat di hadapan Yesha yang hendak membuka mulut.
Untuk beberapa saat Yesha tertegun karena terkejut. Namun ia segera sadar dan memasang wajah kesal serta mencibir. Mulutnya mengeluarkan beberapa kata kasar untuk memaki Rezvan.
“Nyonya, apa Anda baik-baik saja?” Yesha terkejut dengan suara Hanna yang tiba-tiba bertanya kepadanya.
“Bibi, mengagetkan saja.” Yesha mengelus dadanya yang berdebar kencang akibat terkejut.
“Maaf, Nyonya, saya tidak bermaksud mengagetkan Anda.” Hanna meminta maaf dengan tulus.
Hanna yang baru saja mematikan lampu dapur terkejut saat mendengar suara nyaring Rezvan. Hanna tidak berani mendekat saat mendapati Rezvan memarahi Yesha. Ia baru berani mendekat setelah pintu kamar Rezvan tertutup rapat untuk mengetahui apakah majikan perempuannya itu baik-baik saja.
“Hm!”
“Lebih baik sekarang nyonya istirahat. Sekarang sudah malam, apalagi nyonya baru saja sembuh, jadi nyonya harus banyak-banyak istirahat supaya cepat sehat.”
“Ya!”
Yesha yang tidak memiliki pilihan lain terpaksa kembali ke kamarnya yang kecil. Meski saat ini dirinya gagal tidur di kamar yang sama dengan Rezvan, tetapi Yesha yakin bahwa ia pasti akan bisa tidur di kamar pria itu.
Yesha menatap pintu kamar Rezvan dan tersenyum kecil, lebih tepatnya menyeringai.
Tunggu saja kau, Rezvan!
Sembari menuju ke kamarnya, Yesha masih memikirkan dengan apa yang telah dikatakan Rezvan tadi. Ia benar-benar tidak mengerti dari mana Rezvan tahu bahwa dirinya tadi siang berpelukan dengan Raefal di depan rumah.
Saat bertemu dengan Raefal tadi siang, Yesha sudah merasa heran bagaimana Raefal bisa tahu jika dirinya mencoba untuk bunuh diri dengan menenggak obat tidur. Dan sekarang ditambah suaminya juga mengetahui dirinya berpelukan dengan laki-laki lain di depan rumahnya.
Apakah ada seseorang yang memata-matai setiap gerakanku? batin Yesha.
Entah kenapa Yesha memiliki firasat bahwa ada seseorang yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Jika tidak, mana mungkin Raefal dan Rezvan tahu apa yang telah ia lakukan hari ini. Jika dugaannya benar, mulai sekarang ia harus berhati-hati dan menangkap mata-mata itu. Ia tidak ingin menampung orang yang memata-matai dirinya tinggal bersamanya.
Sesampainya di kamar, Yesha menyingsing lengan bajunya saat merasakan lengan bagian atasnya terasa sakit. Warna merah berbentuk telapak tangan Rezvan tercetak jelas di kulitnya yang berwarna putih.
“Dasar pria kasar,” gerutu Yesha sembari menurunkan kembali lengan bajunya.
Yesha merebahkan diri di atas tempat tidur sembari melanjutkan membaca informasi yang dikirim Zaidan ke alamat emailnya.
Saat membaca informasi mengenai pemilik tubuh, mata Yesha terpaku pada sebuah foto yang disertai nama pada bagian foto tersebut. Tangannya terkepal erat dengan dada bergemuruh. Secara perlahan, sinar kebencian merayap di sorot matanya.
“Vania Septhana.” Yesha membaca nama itu dengan geram melalui celah-celah giginya.
***
Yesha membuka mata secara perlahan ketika indra pendengarannya menangkap banyak suara di ruang rawat inapnya. Untuk sesaat pandangannya pudar sebelum berubah menjadi jelas. Betapa terkejutnya ia ketika netranya menatap sosok keluarga Altezza tengah mengelilingi boks di mana putrinya berada. “Papa! Mama!” pekik Yesha dengan suara parau. Dengan sedikit kesulitan Yesha mencoba untuk mengubah posisinya menjadi duduk. Mereka semua mengalihkan perhatian dari boks ke arah Yesha. Trisa dengan tanggap menghampiri Yesha dan membantunya untuk duduk. “Pelan-pelan.” “Mama.” Yesha menggenggam lengan Trisa dengan kuat, takut bahwa apa yang dilihatnya saat ini hanyalah halusinasinya saja karena dirinya yang sangat merindukan mereka. Trisa tersenyum lebar. Dibawanya Yesha ke dalam pelukan. “Iya, ini mama, Sayang.” Trisa mengelus lembut kepala putrinya yang hampir tiga bulan tidak bertemu. Yesha memeluk erat. Air mata mengalir membasahi wajahnya. “Jangan tinggalkan aku lagi, Ma.” “Kami tidak akan
Rivania dan Gevarel tidak terbiasa menjalani kehidupan sederhana yang jauh dari kemewahan. Karena itulah mereka menyewa rumah yang lumayan bagus dengan biaya sewa lima belas juta pertahun. Untuk biaya hidup, Gevarel mencoba untuk melamar pekerjaan, tetapi karena pemberitaan mengenai keluarganya, membuat namanya pun ikut terseret. Beberapa artikel menulis tentang keburukannya selama ini. Hal itu benar-benar berdampak besar pada citranya, membuat Gevarel kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Pada akhirnya ia hanya bisa bekerja sebagai kasir di sebuah mini market kecil. Sementara Rivania sendiri mencoba menemui beberapa kenalan lamanya dulu, berharap mereka mau membantunya. Bagaimanapun dirinya sudah tidak memungkinkan untuk bekerja di perusahaan. Dan untuk pekerjaan kasar, dirinya belum pernah melakukannya. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Elivia. Wanita itu menyewa seseorang untuk membuntuti Rivania dan memotretnya, dan mengirimkannya kepada Dhimani. Tentu saja pria itu sangat marah
Keesokan harinya, pukul delapan pagi di sebuah restoran, Yesha memesan ruang pribadi untuk mereka. Ia tidak ingin pembicaraan mereka dicuri dengar oleh orang lain. Pasalnya berita mengenai Tuan Rahandika yang menjual perusahaannya pun sudah berada di televisi dan juga media cetak. Mengalahkan pemberitaan mengenai Dhimani yang diketahui memalsukan surat-surat kepemilikan perusahaan. Bagaimanapun para wartawan itu masih sedikit meragukan alasan Tuan Rahandika menjual perusahaan. Mereka meyakini bahwa pasti ada alasan lain yang membuat Tuan Rahandika sampai harus menjual perusahaan. “Ya, aku yang melakukannya.” Alfan mengakui. “Anggap saja ini hadiah untuk ayah dan bunda.” “Jangan bilang kalau sejak awal kamu memang sudah menargetkan mereka.” “Untuk membeli perusahaan, aku tidak merencanakannya. Itu muncul ketika Tuan Rahandika mengumumkan akan menjual perusahannya. Tapi sebelumnya aku memang sudah menargetkan mereka, lebih tepatnya aku menargetkan Arian.” Alfan pun menceritakan semu
Elivia benar-benar tidak menyangka bahwa polisi akan menindak laporannya dengan cepat. Bahkan kasusnya langsung masuk ke pengadilan setelah satu minggu dilakukan penyelidikan. Karena pihak terdakwa tidak memiliki pengacara untuk membela, sidang itu berjalan dengan lancar dan hukuman untuk Dhimani diputuskan pada sidang kedua yang dilakukan tiga hari berikutnya. Walaupun ia ingin Dhimani dihukum lebih, tetapi melihat kondisi Dhimani yang lumpuh, dirinya cukup puas dengan putusan hakim. “Ini adalah saham yang sudah kita sepakati.” Elivia meletakkan map di hadapan Yesha. “Totalnya tiga puluh persen seperti yang kamu minta.” Dua minggu lalu, setelah sidang putusan kasus pemalsuan Dhimani dijatuhkan, Elivia segera pergi ke perusahaan dengan asisten pribadi yang sengaja Rezvan berikan kepada wanita itu untuk membantunya belajar mengelola bisnis. Para pemegang saham memang sempat dibuat terkejut dengan kedatangan Elivia. Namun karena perusahaan yang berada dalam masalah finansial yang ser
Arian menatap Yesha dengan sedikit kebencian di matanya. “Kakak tahu kalau perusahaan ini adalah satu-satunya untuk kami bertahan hidup. Jika kakak tidak ingin menghancurkan keluargaku, seharusnya kakak memilih ayahku untuk tetap menjadi presdir. Jika posisi ayahku digantikan orang lain, kami tidak bisa bekerja di tempat lain karena orang sudah menilai buruk reputasi keluarga kami. Apalagi setelah berita di internet mengenai kehamilan Vania di luar nikah. Tidak ada perusahaan yang mau menerimanya bekerja.” Di luar, keluarga Rahandika terlihat baik-baik saja. Namun pada kenyataannya, keluarga mereka saat ini sangat kacau. Mereka tidak memiliki apa-apa lagi selain perusahaan itu. Karena itulah Tuan Rahandika berusaha keras membujuk beberapa pemegang saham untuk tetap mempertahankan dirinya sebagai pemimpin perusahaan. “Dengar, Arian. Ini adalah dunia bisnis, seharusnya kamu tahu apa yang diinginkan oleh seorang pebisnis. Tidak ada orang yang ingin membuat perusahaannya semakin terpuru
“Ketika aku menemanimu check up dan kita bertemu dengan Rivania. Aku tidak sengaja melihatmu tersenyum kecil ketika melihat Dhimani terbaring di rumah sakit. Karena merasa sedikit aneh, jadi aku meminta Damar untuk menyelidikinya.” Awalnya ia tidak curiga ketika Rivania mengatakan bahwa Dhimani mengalami kecelakaan tunggal ketika pulang dari perjalanan bisnis ke luar kota. Namun ketika ia melihat ekspresi dan senyum Yesha yang penuh kepuasan, ia yakin istrinya pasti telah melakukan sesuatu di belakangnya. Karena itulah ia meminta Damar untuk menyelidikinya. Dan dugaannya terbukti benar, bahwa semua itu adalah ulah istrinya. Walau begitu Rezvan tidak mengatakan apa-apa. Apalagi Yesha sendiri pun tidak mengatakan apa-apa. Meski sedikit marah karena Yesha tidak memberitahunya, tetapi ia mencoba untuk menghargai privasi istrinya. Yesha menghela napas pelan. “Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikannya darimu.” Tampaknya memang sulit untuk menyembunyikan apa pun dari Rezvan. Padahal Yes