Para pelayan yang ada di dapur menatap kedatangan Yesha dengan terkejut. Pasalnya selama menjadi nyonya rumah, Yesha tidak pernah sekali pun melangkahkan kaki ke dapur.
Yesha mengabaikan tatapan tidak percaya para pelayannya. Karena tujuan utamanya ke dapur adalah memasak makan malam untuk suami dan ketiga anak tirinya.
“Kalian lakukan saja apa yang menjadi tugas kalian. Mulai saat ini, aku yang akan memasak makan malam untuk suami dan ketiga anakku,” ucap Yesha tegas dan tidak dapat dibantah ketika Hanna mencegah dirinya untuk memasak.
“Baik, Nyonya,” jawab para pelayan secara bersamaan.
Para pelayan yang berada di dapur segera mengerjakan tugas mereka masing-masing.
“Hanna, apakah kamu tahu makanan kesukaan Rezvan dan anak-anak?” tanya Yesha.
“Ya. Tuan suka sekali makan masakan kari, tuan muda Raka dan Revan suka rendang dan berbagai macam olahan ayam goreng. Kalau untuk tuan muda Ravindra sendiri, dia tidak pemilih dan memakan apa yang dimasak.”
Yesha mengangguk pelan. “Kalau begitu bantu aku menyiapkan bahan-bahannya.”
Hanna segera menyiapkan semua bahan-bahan yang diminta oleh Yesha.
Ada pepatah yang mengatakan jika hal utama dalam hidup seseorang itu adalah perutnya, jika perut kenyang, maka apapun akan menjadi mudah. Jadi hal pertama yang harus ia lakukan adalah mengisi perut suami dan ketiga anaknya terlebih dahulu. Dengan begitu, maka ia akan dengan mudah untuk meluluhkan hati mereka berempat.
Lagi pula memasak bukanlah hal yang sulit bagi dirinya. Di kehidupan sebelumnya, ia suka sekali memasak. Tidak jarang ia pun membantu ibunya memasak.
“Hanna, tolong panggil tuan dan anak-anak,” perintah Yesha saat melihat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
“Baik, Nyonya.” Hanna bergegas meninggalkan dapur untuk memanggil Rezvan dan ketiga tuan mudanya.
Yesha tersenyum lebar menatap masakan yang sudah selesai ia buat. Dengan bantuan Nanda, Yesha membawa masakannya ke meja makan. Senyum lebar menghiasi wajahnya untuk menyambut Rezvan dan ketiga anaknya. Dengan cekatan Yesha menyiapkan makanan di piring mereka masing-masing sebelum mengambil duduk di samping Ravindra.
Terkejut?
Tentu saja. Tidak hanya Rezvan, ketiga anaknya pun terkejut dengan tindakan Yesha. Pasalnya selama ini wanita itu tidak pernah melayani mereka, karena surat perjanjian yang sudah mereka tandatangani bersama. Meski begitu, tidak ada perubahan ekspresi di wajah Rezvan. Masih seperti biasanya, selalu memasang wajah datar.
Berbeda dengan Raka dan Revan. Ekspresi terkejut sekaligus heran jelas tergambar di wajah mereka yang menatap Yesha. Sementara Ravindra, meski anak itu terkejut, tetapi ia tetap memasang wajah datar, sama seperti ayahnya.
“Ayo kita makan!” ajak Yesha.
Raka dan Revan memasang senyum mencibir. Bagi mereka berdua, Yesha adalah sosok wanita munafik.
“Sungguh wanita yang munafik,” ucap Raka pelan, tetapi masih dapat didengar oleh mereka semua.
Pada awalnya Yesha memang baik kepada mereka bertiga, dan ketiganya pun menyambut Yesha dengan suka cita saat ayahnya menikahi Yesha yang begitu baik. Namun, semua kebaikan Yesha di mata ketiga anak-anak itu, terutama Raka dan Revan, hancur ketika mereka tidak sengaja melihat Yesha berpelukan dengan paman mereka saat mereka pulang sekolah.
Sejak saat itu mereka membenci Yesha dan selalu mengeluh kepada Rezvan. Meminta ayahnya untuk berpisah dengan Yesha. Mereka berdua tidak suka memiliki ibu tiri yang suka berselingkuh seperti istri kedua ayahnya, ibu Ravindra.
Tentu saja Rezvan tidak menuruti keinginan anaknya begitu saja. Banyak hal yang harus ia pertimbangkan sebelum menceraikan Yesha. Apalagi mereka baru menikah, jika ia sampai bercerai dengan Yesha, Rezvan takut berita itu bisa mempengaruhi perusahaannya dan membuat orang-orang yang bekerja sama dengan perusahaannya akan memutus kontrak kerja sama mereka.
Yesha tidak memasukkan ke hati dengan tanggapan suami dan ketiga anak tirinya. Ia tahu mereka tidak menyukai dirinya, jadi wajar saja mereka tidak memberikan respon apapun atas tindakannya. Namun, Yesha yakin, lambat laun suami dan ketiga anaknya akan luluh dengan apa yang ia lakukan.
“Ravindra, bagaimana masakan bunda? Enak?” Yesha mengabaikan ucapan si kembar dan bertanya kepada Ravindra yang baru saja menelan suapan pertamanya.
Di balik wajah datarnya, Rezvan tertegun mendengar makan malam yang mereka makan adalah masakan Yesha. Sementara Raka dan Revan kembali menatap Yesha dengan terkejut. Dan seketika itu juga, si kembar memuntahkan makanan di mulut mereka.
“Raka, Revan, ada apa?” Yesha terkejut dan panik secara bersamaan dengan apa yang terjadi kepada Raka dan Revan.
Si kembar menatap Yesha dengan tatapan sengit. Mereka berpikir sikap baik Yesha hanyalah kepura-puraan. Dan itu membuat mereka sangat membenci Yesha.
“Kami tidak sudi memakan masakan yang kau buat,” ucap Raka setelah meminum segelas air putih.
“Papa, ayo kita makan di luar,” pinta Revan yang sudah tidak memiliki nafsu makan lagi.
Meski kedua anak kembarnya terkesan tidak sopan karena membuat kegaduhan di meja makan, tetapi Rezvan tidak sanggup untuk memarahi mereka berdua. Ia terlalu sangat mencintai kedua anaknya itu.
“Kalian mau kemana?” tanya Yesha cepat ketika Rezvan dan si kembar bangkit dari duduknya.
“Bukan urusanmu,” jawab Rezvan datar dan dingin.
Pria itu menggenggam masing-masing tangan Raka dan Revan, meninggalkan ruang makan untuk makan di luar.
Yesha menghela napas pelan. Ia menatap Ravindra yang menyantap makanannya dengan tenang.
“Ravindra, bagaimana? Apa kamu menyukai masakan yang bunda buat?” tanya Yesha kembali sembari menatap Ravindra, mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi.
Ravindra menganggukkan kepala sebagai jawaban. Bagi Ravindra, makanan apapun enak. Ia tidak pilih-pilih dalam makanan, karena bagi Ravindra, bisa makan saja dirinya bersyukur.
Yesha tersenyum lebar mendapati jawaban Ravindra, meski hanya sebuah anggukan. “Jika begitu makanlah yang banyak. Besok bunda akan memasakkan makanan lainnya yang enak untukmu.”
Walau Ravindra jauh lebih pendiam daripada si kembar, tetapi Ravindra adalah anak yang mudah mengekspresikan perasaannya. Sama seperti kedua kakak kembarnya.
“Terima kasih,” ucap Ravindra lirih, tetapi masih bisa didengar oleh Yesha.
Yesha memeluk Ravindra dan tersenyum lebar. “Sama-sama, Sayang.”
Mereka berdua menyantap makan malam dalam diam.
Usai makan malam, Ravindra segera meninggalkan meja makan dan memasuki kamarnya. Sementara Yesha memilih untuk ke kamar Rezvan. Membiarkan pelayan yang membersihkan meja makan serta kekacauan yang dilakukan oleh Raka dan Revan.
Malam ini Yesha memutuskan akan tidur bersama Rezvan. Mereka adalah pasangan suami istri, tidak ada salahnya tidur di tempat tidur yang sama. Sambil menunggu kepulangan Rezvan dan si kembar, Yesha membaca informasi yang sudah dikirimkan oleh Zaidan pada pukul enam sore tadi. Namun, sebelum ia selesai membaca informasi tentang Rezvan, ia dikejutkan dengan suara menggelegar milik pria itu.
“Apa yang kau lakukan di kamarku?!”
***
Wajah marah Rezvan sangat mengerikan. Meskipun begitu Yesha tidak takut dengan tatapan membunuh Rezvan yang diarahkan kepadanya. “Memang apalagi yang dilakukan istri di kamar suaminya kalau tidak tidur bersama?” kata Yesha dengan santai, mencoba untuk mengabaikan tatapan Rezvan yang semakin tajam. “Keluar dari kamarku!” usir Rezvan dengan menahan geram setelah mendapatkan jawaban Yesha. “Aku tidak mau,” tolak Yesha masih dengan santainya. “Kita suami istri, apa salahnya kita tidur bersama?” Yesha menatap wajah Rezvan yang terlihat sangat marah. “Dengar,” ucap Rezvan di sela-sela giginya karena menahan amarah dengan kelancangan Yesha yang sudah berani memasuki kamarnya. “Kau tidak perlu berlagak seperti seorang istri di hadapanku. Sekarang aku minta kau cepat keluar dari kamarku. Sekarang!” “Aku tidak mau!” Yesha pun bersikeras tidak ingin meninggalkan kamar Rezvan. Rezvan sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia menatap nyalang Yesha. “Apa kau lupa dengan perjanjian yang sudah
Keesokan paginya, Yesha bangun dengan wajah yang sangat kuyu dan sedikit memiliki mata panda di bawah matanya. Yesha mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja ketika Hanna bertanya dengan nada khawatir. Malam tadi dirinya membaca informasi yang diberikan Zaidan hingga larut malam. Belum lagi foto dan nama Vania Septhana terus menghantui pikirannya, membuatnya sulit untuk tidur. Yesha benar-benar tidak menyangka jika wanita yang sudah berselingkuh dengan kekasihnya di kehidupan sebelumnya adalah adik tiri dari pemilik tubuh. Ia memang pernah melihat wajah wanita itu, tetapi hanya sekilas. Saat itu ia sedang emosi dan langsung pergi ketika memergoki kekasihnya berpelukan dan berciuman dengan wanita lain. Selain itu, ingatan pemilik tubuh sangat kuat terhadap suami, ketiga anak tirinya, Raefal, Febrina dan Hanna. Sehingga ingatan mengenai Vania tidak terlalu kuat dalam ingatan pemilik tubuh. Tidak ada orang di dapur selain dirinya dan Hanna. Pasalnya malam tadi Yesha sudah berpesan kepad
Tanpa rasa takut, Yesha menatap Rezvan tepat di mata pria itu. “Aku istrimu. Itu berarti aku adalah nyonya rumah di rumah ini. Jadi aku punya hak untuk melarang mereka. Bahkan aku juga punya hak untuk melakukan apa saja kepada mereka.” Kening Rezvan berkerut dalam dengan alis sedikit terangkat. Ia tidak menyangka Yesha akan menjawab ucapannya dengan begitu lantang. Namun jika ia mengingat kembali, wanita itu memang berubah sejak selamat dari percobaan bunuh dirinya. Akan tetapi ia masih tidak percaya wanita itu akan berubah begitu drastis. Yesha menatap Rezvan dengan senyum lebar. “Lebih baik sekarang kalian makan. Nanti kalian bisa terlambat pergi ke sekolah.” “Papa, Raka tidak mau makan.” Raka bersikeras tidak mau memakan masakan yang dibuat oleh Yesha. “Revan juga.” Revan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Yesha tidak memedulikan protesan mereka. Ia memperhatikan Ravindra yang makan dengan tenang. Ia tersenyum dan berkata. “Ravindra Sayang, bagaimana masakan bunda? Ena
Yesha menyandarkan diri pada sandaran sofa. “Mama tidak bisa menyalahkanku. Jika ingin disalahkan, maka mama harus menyalahkan anak kesayangan mama. Karena dialah yang selalu menemuiku lebih dulu.” Masih jelas dalam ingatan pemilik tubuh, Febrina berulang kali memintanya untuk menjauhi Raefal. Bahkan wanita itu mengancam tidak akan segan-segan mencelakai pemilik tubuh supaya ia meninggalkan putranya. Sayangnya pemilik tubuh mengabaikan ancaman Febrina dan masih sering menemui Raefal. Hingga akhirnya pemilik tubuh dengan perlahan mulai menghindari Raefal setelah Febrina benar-benar mewujudkan ancamannya. Sudah sering kali pemilik tubuh hampir kehilangan nyawanya. Bukannya mengjauhi pemilik tubuh, Raefal justru semakin sering menemui pemilik tubuh setelah mengetahui semua perbuatan ibunya kepada pemilik tubuh. Untuk sesaat ekspresi Febrina berubah mendengar ucapan Yesha. Tidak menyangka kini Yesha berani menyahuti ucapannya. Namun dengan cepat Febrina memasang ekspresi normal kembali.
Hanna menatap Yesha, ada keraguan di matanya untuk memberitahu wanita itu apa yang telah terjadi. Namun ketika melihat sorot mata penuh khawatir milik Yesha, akhirnya Hanna memberitahu bahwa yang baru saja menelepon adalah pihak sekolah Revan. Kening Yesha berkerut dalam. “Untuk apa pihak sekolah menelepon?” “Pihak sekolah meminta wali Tuan Muda Revan untuk datang ke sekolah.” Masih sedikit ragu untuk memberitahu apa yang telah terjadi. Namun Hanna kembali melanjutkan ucapannya kala Yesha terus menatapnya. “Sesuatu terjadi dengan Tuan Muda Revan. Pihak seko—” “Cepat siapkan mobil!” perintah Yesha memotong ucapan Hanna. Ia hilang akal hanya karena mendengar bahwa sesuatu telah terjadi kepada Revan. Untuk sesaat Hanna terkejut sebelum bergegas pergi meminta Andi untuk menyiapkan mobil. Selama di perjalanan, Yesha duduk dengan gelisah. Jantungnya berrdetak kencang. Rasa khawatir dan takut menjadi satu menghantui dirinya. Pikirannya penuh dengan sosok Revan. Tidak henti-hentinya ia ra
Revan hanya diam dan tidak mengatakan apapun, walau hanya sekedar bergumam. Ia merasa tidak nyaman dengan sikap Yesha yang tiba-tiba perhatian kepadanya. Selama ini, jangankan para pelayan, ayahnya sendiri tidak pernah menanyakan apapun yang telah ia dan Raka lakukan. Meski begitu ia dan Raka tidak pernah menuntut lebih. Yang ia tahu adalah bahwa ayahnya sangat menyayangi mereka. Itu saja sudah lebih dari cukup. “Bunda tahu Revan tidak akan memulai perkelahian lebih dulu.” Yesha melanjutkan ucapannya karena Revan yang tidak kunjung membuka suara. Ia kembali memeluk, tangannya tidak pernah berhenti mengelus kepala Revan. “Bunda yakin Revan bukanlah anak nakal seperti yang ibu guru katakan. Revan adalah anak bunda yang paling baik.” “Tentu saja!” sahut Revan dengan suara serak. “Danu yang lebih dulu menyebutku anak pembawa sial dan tidak memiliki ibu. Dia memukulku lebih dulu karena aku mengabaikan dia saat dia menyebutku anak sial dan tidak memiliki ibu, jadi aku balas memukul dan men
Dadanya sakit, tetapi sebisa mungkin Yesha tidak menunjukkan emosi apapun pada raut wajahnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tubuhnya bergetar karena menahan emosi. Walau ia tidak sudi untuk berbicara dan mendengar suara laki-laki itu, tetapi saat ini ia tidak memiliki pilihan lain selain meladeni pria di hadapannya. Bagaimanapun saat ini ia bukan berada di tubuhnya sendiri, melainkan di tubuh orang lain. “Ya, kebetulan sekali,” ucapnya dengan senyum kecil menghiasi wajahnya, tetapi di dalam hati merutuki kesialannya hari ini karena bertemu dengan Arian. Ya, pria di hadapannya ini adalah Arian Rahandika, kekasihnya di kehidupan sebelumnya. Pria berengsek yang telah mengkhianatinya. “Kak Yesha, bisakah kita mengobrol sebentar?” ajak Arian penuh harap. “Maaf, Arian, aku tidak bisa.” Yesha menolak cepat. “Hanya sebentar saja, Kak.” “Maaf, Arian, tetapi sebentar lagi Raka pulang sekolah dan aku harus menjemput Raka.” “Kak, tolong bantu aku berbaikan dengan Vania. Sudah empat har
Yesha duduk di sofa tunggal yang ada di hadapan Rezvan. “Ini tentang Revan,” ucapnya langsung ke inti pembicaraan. “Ada apa dengan Revan?” tanya Rezvan cepat, ia akan selalu hilang kendali setiap kali menyangkut tentang anak kembarnya. “Tidak ada hal buruk yang terjadi dengan Revan.” Mendengar itu, Rezvan menghela napas lega di dalam hati. Ia menyandarkan tubuhnya kembali ke sandaran sofa. “Lalu apa masalahnya?” Yesha menatap Rezvan tepat di mata pria itu. “Tadi pagi pihak sekolah menelepon dan meminta wali dari Revan untuk datang ke sekolahan. Hanna memberitahuku jika selama ini kepala pelayan yang selalu datang sebagai wali dari anak-anak.” “Apa masalahnya kalau Dival yang datang ke sekolah sebagai wali dari Raka dan Revan? Aku sangat sibuk dan tidak ada waktu untuk berurusan dengan hal sepele seperti itu.” Rezvan berkata acuh tak acuh. Rezvan pikir Yesha akan mengatakan hal penting apa tentang anak-anaknya, tidak menyangka bahwa ia hanya mempertanyakan wali dari anak-anaknya.