"Bukannya dia dulu pecandu sama kaya lo?" tanya seorang wanita yang mengenakan pantofel di seberang meja. Tangan dengan lengan kemeja tergulung mengaduk jus alpukat dalam gelas.Seorang wanita lain yang berprofesi sebagai bidan tersenyum. Ucapan temannya mendatangkan kelebatan bayangan masa lalu bersama Liana terekam di benak Shinta."Ada apa, Shin?" Liana yang baru pertama ke kliniknya harus disuguhkan pemandangan tak biasa. "Gue pernah liat yang beginian di Malaysia. Lebih ngeri malah. Dikira si Ibu kena baby blues."Seorang pasien yang baru melahirkan berusaha membunuh anaknya, dengan mengikat kuat-kuat gurita bayi yang dililitkan. Untunglah seorang asisten bidan memergoki dan menjauhkan sang ibu dari bayinya."Sepertinya dia kena depresi, Li. Gue udah kasih rujukan, sih." Shinta berbisik, melihat pasiennya yang sudah terlihat tenang istirahat di atas dipan kliniknya."Coba pakai pendekatan agama, Shin," celetuk Liana yang tiba-tiba ingat kejadian saat di Malaysia. Seorang yang di
Raudah duduk menatap jendela yang terus di terpa gerimis di balkon rumahnya. Tangan menggenggam cangkir teh, sementara pandangannya jauh ke luar. Ia sengaja membuka gorden, agar bisa menangkap kesejukan dari sana.Saat menoleh, sebuah buku bersampul bunga-bunga masih bertengger manis di atas meja. Di buku itulah wanita cantik itu menorehkan apa yang hatinya rasa. Lantaran tak ada satu pun makhluk bernyawa yang mengerti keinginannya.Dear Diary,Bukannya tak ada pria yang menginginkanku untuk berdamping dalam biduk rumah tangga. Hanya saja aku tak mau, jika harus membuka aib masa lalu lagi pada pria. Sejak seseorang menjauh ... meremuk semua harapan indah yang pernah kugenggam, aku tak mau luka yang dulu, kudapat lagi dari pria yang sudah terlanjur kuletakkan harapan di pundaknya.Di sepertiga malam, selalu kusebut nama pria yang dulu meninggalkanku itu. Jika saja boleh ... aku ingin bersamanya meski bukan jadi yang pertama. Ah, kejam sekali pikiranku.Biarlah Allah yang membalas kepu
Pintu ruang kerja Fay berderit. Arina sontak menoleh ke asal suara. Lekuk senyum lega tergambar di wajah wanita yang berumur lebih setengah abad tersebut. Meski belum yakin puteranya lepas dari perasaan tertekan, setidaknya Fay mau ke luar dan tidak larut dalam keterpurukan seorang diri dalam ruangannya.Diletakkan pisau yang sedari tadi dipegang untuk mengupas bawang. Arina mendekat setengah berlari, melewati lorong yang jadi pembatas ruangan mereka."Fay." Sang mama mengucap pelan setelah langkahnya berhenti.Fay yang tengah berjalan lurus seketika juga menghentikan langkah. Menatap Arina dengan tatapan sendu."Fay?" Lagi bibir yang telah memiliki kerut karena usia itu menyebut nama Fay. Satu kata yang mewakili banyaknya ungkapan hatinya untuk sang anak.'Kamu tak papa kan Fay?''Mama di sini, Sayang.''Kamu harus kuat!''Katakan apa yang ingin kamu lakukan sekarang!'Fay tersenyum samar. Menghancurkan banyaknya kekhawatiran sang mama yang sempat singgah memenuhi pikiran."Ma, ayo k
Liana berusaha tenang. Tubuhnya menyandar ke pintu memegangi baki berisi minuman dan kue di tangan dengan hati berdebar. Dari sini semua obrolan di dalam terdengar dengan jelas.Ia tak bermaksud diam-diam mendengar pembicaraan orang-orang dalam ruangan milik Kiai Abdullah tersebut.Bukan menguping atau mengintip. Sebab, sebelumnya saat di dapur ... Umi Aisyah akan menyiapkan minuman dan makanan. Namun, Liana bersikeras menggantikan."Tapi ... em, Nduk Li ... maaf ini untuk Raudah, mereka akan membicarakan soal lamaran." Umi tahu Liana pasti tak akan nyaman dengan situasi tersebut.Liana syok sejenak. Namun, dengan cepat berusaha menguasai diri. Dia yakin Allah akan memberikan takdir terbaik menurutNya. Di saat semua orang sudah tertawan hatinya oleh Raudah, apalagi yang bisa diperbuat?Meminta cerai karena suami ingin menikah lagi, bukan lah hal yang termasuk dalam uzur diperbolehkan syariat. Kecuali dengan catatan tertentu, misal saat lamaran Liana mensyaratkan monogami. Namun, saat
"Ap-apa maksud Mbak?" Raudah tercengang mendengar permintaan Liana untuk menerima pinangan Gus Bed. Apa Liana sadar dengan ucapannya? Bahkan wanita itu tak sebanyak dirinya mengenyam ilmu agama di pesantren. Namun, bisa dengan lapang dada memintanya untuk jadi adik madu.Liana menatap Raudah dengan penuh harap. Wanita yang masih syok mendapat lamaran dari keluarga Gus Bed itu semakin syok mendengar secara langsung dari istrinya. Raudah pikir, Gus Bed terlalu dendam pada Liana hingga membutuhkan dirinya untuk menyiksa sang istri. Namun, justru Liana sendiri kini juga datang padanya."Saya mohon." Mata Liana dipenuhi kaca-kaca.Raudah makin tak mengerti. Melihat sikap Liana yang bersikeras memintanya."Apa Mbak sadar dengan yang Mbak Liana ucapkan? Berbagi suami tak semudah yang kita pikirkan, meski dengan alasan sangat mencintainya."Raudah berusaha menekan apa yang sebenarnya hati inginkan. Tak dipungkiri, bahwa nafsunya sangat ingin memiliki Gus Bed meski menjadi yang kedua. Namun,
Walaupun terkadang memaksakan untuk berpura pura bahagia itu jauh lebih menyakitkan dan menyiksa diri ditiap harinya, tapi melihat Alhesa aku hanya bisa meneteskan air mata, karena kebahagiaan seorang anak sesungguhnya adalah dekat dengan kedua orang tua kandungnya.Bayangkan saja jika kuturutkan ego, memilih bercerai saja daripada dimadu?Toh, aku paham betul posisi Gus Bed. Dia ingin memilih menikahi Raudah karena punya alasan sangat kuat. Apa lagi yang bisa dilakukan wanita kotor dan penuh dusta sepertiku? Jika ada rasa sakit yang kurasa dalam pernikahan poligami ini, anggap saja Allah sedang menghapuskan dosa-dosaku. Karena memang dosaku telah menggunung, bukan hanya karena sandiwara tapi juga masa lalu dengan Fay yang tak bisa kuperbaiki, meski aku sangat ingin._Liana_💕💕💕Senyum Liana mengembang mendengar jawaban Raudah. Lega. Akhirnya wanita itu hadir sebagai penolong pernikahannya yang sudah di ujung tanduk."Alhamdulillah." Liana menghambur memeluk calon adik madunya. Tak
Fay berdiri menatap pemandangan dari balkon kamarnya. Halaman luas penuh bunga warna-warni dan rerumputan hijau yang terawat. Arina sengaja memilih rumah yang berjauhan dari pesantren tersebut. Selain tempat yang luas dan tidak terlalu bising karena jauh dari jalan besar, ia berpikir hal tersebut akan membuat Fay tenang. Jauh dari kehidupan Liana dan keluarga kecilnya, meski masih berada dalam satu kota.Diusap layar ponsel dalam genggaman. Pesan yang ia kirim telah masuk dengan centang dua. Namun, sang penerima belum membukanya sejak tadi pagi.Pria bermata kelam dengan kulit putih bersih itu mendesah. Liana tak lagi memblokir nomornya. Harusnya sejak memilih untuk berusaha melupakan semua tentang wanita itu, Fay memblokir lebih dulu. Namun, ia tak mampu. Melupakan Liana dalam waktu seratus tahun pun terlalu cepat baginya. Apalagi masih dalam hitungan bulan. Tentu sangat berat. Ia bahkan tak yakin jika kelak bisa mencintai wanita lain selain Liana. Cinta pertamanya. Yang juga sempat
Ubed meraih tubuh mungil Alhesa yang tertidur dalam gendongan sang istri. Liana menyerahkannya begitu saja tanpa berpikir apa pun. Anak itu juga hak abinya.Ubed tersenyum. Menatap wajah putih kemerahan tanpa dosa. Cantiknya menyerupai keindahan bulan purnama. Mirip dengan ibunya.Ubed mengayun Alhesa begitu merasakan pergerakan dari bayi tersebut. Ia tak akan rela melihat anaknya terbangun apalagi sampai menangis.Setelah agak lama, pria yang masih mengenakan jas koko sibuk dengan Alhesa, akhirnya Liana memberanikan diri bicara."Abang sudah menemui Raudah setelah akad?"Ubed mendongak. Mengalihkan pandangan dari Alhesa kepada Liana. Lelaki yang selalu terlihat tampan di mata Liana itu menggeleng tanpa suara. Lalu kembali menatap Alhesa."Ke-kenapa?" Liana bertanya takut-takut.Ubed kembali menatap sang istri. Tak ada jawaban darinya selain senyuman. Bahkan Liana tak memahami arti senyum tersebut.Liana menautkan jari-jemarinya. Bingung. Ia tak mengerti apa yang mesti diperbuat seka