Share

Bab 2

Bab 2:

Bagaikan tersengat listrik, tubuh ini mengejang kaku. Sama sekali tak menyangka akan mendapat bentakan seperti itu dari Bang Hafiz.

Apanya yang salah? Harusnya ia senang aku menolak langsung pernikahannya itu. Karena aku tahu, ia tak pernah bisa membantah perintah ibunya.

"Jaga sikapmu. Tak bisakah kau menjadi istri shalihah?!"

Kali ini kerongkongan ku benar-benar kering, hingga untuk menelan saliva pun aku tak sanggup. Ku tatap laki-laki yang selama ini memang belum pernah menunjukkan cintanya padaku, dengan netra yang semakin perih.

"Sikap seperti apa yang akan menjadikan aku wanita shalihah? Diam dan menerima nasibku di veto orang lain?"

Bang Hafiz menatapku tak senang.

"Aku adalah imam mu. Kau harus menerima apapun keputusanku!"

Kalimat kejam yang dicetuskan suamiku itu menjadi kalimat terakhir yang kudengar darinya hari itu. Setelahnya, aku langsung berlari. Mengubur diri di dalam kamar. Sementara Nina dijaga oleh Bibi Halimah, asisten rumah tangga keluarga Bang Hafiz yang sangat menyayangiku.

**

Hari pernikahan tiba. Hingga hari itu, tak sekalipun aku keluar dari kamar. Semua tugas sebagai istri ku abaikan. Toh sekarang suamiku telah memilih wanita lain untuk melayaninya.

"Jangan terlalu dipikirkan. Non cuma akan menyiksa diri dengan mengurung diri seperti ini. Sementara Ummi Rahma sama sekali tak rugi." Nasehat Bibi Halimah menyusup ke dalam telingaku.

Aku hanya diam. Menatap keluar jendela kamar dengan tatapan hampa. Rasanya pengorbananku selama ini untuk menjadi istri bagi seorang laki-laki yang tak mencintaiku, sia-sia belaka.

"Kasihan Nina... Saat ini dia yang sangat membutuhkan perhatian. Karena mulai hari ini, kasih sayang ayahnya akan terbagi. Non harus tegar untuk Nina."

Ku tatap buah hati yang sedang tertidur di pangkuan Bibi Halimah. Wajah imutnya begitu polos dalam lelap. Rambut ikalnya yang sedikit pirang, senantiasa dielus lembut oleh tangan keriput wanita tua berkerudung merah hati itu.

Perkataan Bibi Halimah seolah menyentak kesadaran ku. Aku egois. Hanya memikirkan hatiku yang terpuruk. Padahal ada Nina yang lebih dipertaruhkan nasibnya daripada aku.

Nina harus membagi satu-satunya laki-laki yang menjadi pegangan dan cinta pertamanya. Sementara aku hanya akan membagi teman hidup beserta tugasku sebagai istrinya. Sedangkan cintanya, aku sama sekali tak punya, jadi tak ada yang harus ku bagi.

Mata yang telah kering dari airnya ini kembali terasa perih.

Di luar sana, terdengar alunan shalawat yang di iringi ketukan rebana yang menyemarakkan pesta pernikahan sang pewaris Pesantren. Juga suara sendok yang beradu dengan piring dari tetamu yang sedang menikmati hidangan.

Pasti ramai sekali.

Tak hanya kerabat, para wali dari santri pun diundang, itu yang dikatakan Bibi Halimah. Seperti pesta pernikahanku dulu. Meriah dan ramai. Membuat hatiku senang walaupun kami dijodohkan.

Tok tok...

Suara ketukan di kaca jendela yang terbuka mengagetkanku.

Aku menoleh. Tak ada siapapun di sana. Kening ini mengernyit. Siapa yang mengetuk?

Sebuket bunga matahari kuning berukuran sedang menyembul dari rongga jendela. Membuatku semakin bingung.

"Siapa di sana?" tanyaku.

"Kucing..." Suara nyaring yang dihaluskan menjawab.

"Jangan main-main! Siapa di sana?!"

"Ish... Kok galak banget sih?" Seorang laki-laki muncul di balik jendela. Senyuman manisnya mengembang, memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Harusnya pertanyaannya gini, kucing kok ngasih bunga?"

Mata ini seketika memelototi netra hitam pekatnya, yang membalas dengan tatapan hangat. Namun, baru saja hendak memprotes putra semata wayang Bibi Halimah yang telah ku anggap abang sendiri itu, sebuah omelan langsung menyambar.

"Bara! Buat apa ke sini? Kalau lauk sama piring buat tamu habis, kita bisa dimarahi Ummi Rahma, lho! Apalagi Ibu juga menghilang dari dapur, bisa kena pecat kita nanti." Bibi Halimah tampak berdecak panik.

"Ah, Ibu... Cuma sebentar doang, kok... Kan banyak santri yang nolongin," sanggah pria berbadan kekar itu dengan bibir manyun.

"Aih... Membantah terus kerjaan mu. Cepat sana kerja lagi!"

"Iya iya..." Laki-laki itu melengos sesaat. Lalu kembali tersenyum manis padaku. "Ini, ambil bunganya..."

"Kok ngasih bunga matahari?"

"Dari pada ngasih bunga bangkai?" sahutnya memasang tampang polos.

Aku menghela nafas.

"Ya udah, aku terima bunganya. Tapi Abang harus balik kerja, ya... Emang bunganya buat apa?"

"Buat ditaruh di vas, dong... Biar kamu tau, bunga matahari aja masih bisa ngembang, berarti masih ada mentari yang akan mengganti malam. Jangan mengira dunia mu sudah kiamat," jawabnya lembut

Aku kembali menghela nafas. Entahlah... Aku tak tau nasib apa yang menanti ke depannya. Akankah tetap menjadi menantu di rumah ini, atau di usir dan tak dibolehkan membawa Nina serta.

Yang pasti, aku akan berjuang. Mempertahankan hak ku atas Nina. Dan mempertahankan posisiku sebagai istri ... jika memang bisa.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status