Share

Episode 04

Laura terus memikirkan ucapan Devan tadi berjam-jam di kamarnya. Dia baru bisa bercerai jika sudah melahirkan keturunan Devan. Tapi, jika tidak mau menuruti hal itu, Laura harus membayar 2 miliar.

Laura kelelahan memikirkan hal tersebut sampai akhirnya tertidur. Ia baru bangun pukul 10 malam, ketika perutnya keroncongan..

"Lapar sekali." ucap Laura ingin keluar dari dalam kamarnya. Tapi ia berhenti sejenak takut orang itu masih di rumah ini.

"Biarkan saja aku tak perduli." tekad Laura, ia lebih mementingkan perutnya di bandingkan orang-orang itu terus mendesaknya.

"Sedang apa kamu?" tanya Devan mengangetkan Laura hendak ingin membuat mie instan.

"Apa Tuan tidak lihat saya sedang memasak mie." jawab Laura menunjukkan mie instan yang akan ia masak.

"Emang tak ada makanan?" tanya Devan, ia tak suka ada orang memakan makanan instan.

"Ada, aku maunya ini." jawab Laura melawan, ia tak ingin terus di tekan di anggap lemah.

"Jangan sering-sering itu tak baik untuk kesehatan."

Laura lagi tak memperdulikan suaminya itu melarang keinginannya. Ia tetap saja memasak. Dan setelah jadi, ia membawanya ke meja makan. Namun yang terjadi, suaminya itu malah mengambil mie buatannya dengan cara paksa.

"Saya tak mengizinkan mu untuk makan seperti ini." ucap Devan melemparkan mie tersebut sampai berserakan di lantai dengan mie masih panas.

Prangg.....

Laura tersentak dengan perlakuan suaminya itu, ia tak menyangka akan melakukan hal itu di depan matanya hingga perut keroncongan nya tiba-tiba ilang.

"Apa kamu tak mendengarnya," sentak Devan dengan tatapan tajam. "Cepat bereskan. Aku tak mau bantahan!"

Laura mendongakkan kepalanya menatap ke arah suaminya itu. Ia tak suka terus saja diperlakukan tak seperti istrinya melainkan lawannya.

"Aku bukan pembantu mu, aku ini istri mu!" teriak Laura tak mau kalah.

"Jadi, kamu sudah mengakui kalau kamu istriku?" Devan balik bertanya.

Laura tidak menjawab, hanya mengalihkan pandangannya.

"Cepat bereskan," kata Devan lagi sambil beranjak dari dapur.

"Ceraikan aku sekarang juga!" ulang Laura untuk kesekian kalinya. "Kenapa harus menunggu aku memberikan anak! Anda salah menilai ku aku tak akan memberikan apa yang kalian inginkan."

Devan berbalik, lalu menarik tangan Laura hingga ke dalam kamar. Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang miliknya dengan tatapan tajam. Satu persatu pakaian yang di pakai Devan di lepaskan dengan begitu hingga membuat Laura mengidik ngeri.

"Mau apa kamu?!" tanya Laura dengan suara bergetar.

Ia takut melihat suaminya itu melepaskan satu persatu pakaian di depan matanya hingga memperlihatkan tubuh sempurna milik suaminya itu. Bukan hanya itu yang Laura pikirkan, ia takut suaminya itu melakukan kekerasan dan hal yang lebih.

Laura pun turun dari ranjangnya ingin pergi dari kamar ini untuk pergi dari sini. Namun, niatnya terbaca oleh Devan hingga menarik tubuhnya ke atas ranjang lagi. Devan mengungkung tubuh Laura terus memberontak tak ingin lagi seperti ini.

"Lepas, aku akan teriak jika kamu melakukan hal ini pada ku." ancam Laura agar Devan menghentikan niatnya.

"Teriak saja tak akan ada yang menolongmu. Kamar ini kedap suara." bisik Devan meresap tengkuk Laura serasa harum. Devan merasakan hal berbeda yang dirasakan sekarang dengan istri kecilnya.

"Lepas, ku mohon...." lirih Laura memohon. ia tak mau memberikan hak suaminya dengan cara seperti ini.

Ia belum siap untuk melakukan hal itu. Air matanya meleleh semakin banyak. Ia pun menggigit bibirnya kuat-kuat, karena takut Devan akan memukulnya jika dia menangis.

"Kenapa?" tanya Devan sambil menatap tajam Laura. Dia terdengar sangat geram.

Laura menggelengkan kepalanya, ia benar-benar belum siap walaupun halal baginya untuk melayani suaminya dengan baik.

Devan menggeram, lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi. Dia juga memakai kembali bajunya, sebelum keluar dari kamar Laura sambil  membanting pintu kamar.

.

.

.

"Mas... buka pintunya...."

Devan mendengar suara Nesya dari balik pintu kamar. Begitu dibuka, Nesya langsung terhuyung ke arahnya. Tercium bau alkohol dari mulut istri pertamanya itu.

"Kamu mabuk lagi?" tanya Devan sambil membawa Nesya duduk di pinggir ranjang.

"Enggak, Mas. Aku baru nginap di rumah temanku," jawab Nesya sambil terkekeh.

Devan tidak begitu percaya. Sudah pasti Nesya habis mabuk-mabukan dengan teman-temannya.

Devan pun melepaskan sepatu heels, dan pakaian Nesya, lalu membantunya untuk tidur. Ia juga merebahkan tubuhnya di samping Nesya. Ia menatap wajah istrinya itu dengan tatapan berbeda. Devan mendekat lalu mencium kening istrinya dengan penuh lembut.

"Kamu kenapa sih, Sya. Jadi seperti ini." gumam Devan.

Devan pun memejamkan matanya, dan memeluk istrinya penuh kehangatan.

Devan membuang napasnya, ia tak menyangka jika sang istri mulai berubah ketika kejadian di mana istrinya harus kehilangan bayinya untuk selamanya akibat benturan keras di perut oleh keteledoran sang Mama .

"Maafkan aku, Sya. Kamu jadi begini gara-gara aku." lirih Devan mengusap wajah istrinya, ia pun pergi keluar untuk menenangkan hatinya.

Memutuskan untuk menikah lagi karena satu alasan yaitu untuk mengembalikan senyum dan keceriaan Nasya. Ia pun bergegas mencari seorang gadis untuk di sewa rahimnya agar bisa melahirkan keturunannya dan mengembalikan senyum di wajah istrinya.

"Aku kangen Nasya dulu selalu ceria dan manja," gumam Devan, ia pun masuk kembali menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

Namun, ketika bercermin entah kenapa bayang-bayang wajah Laura ada di depannya.

"Kenapa dengan ku?" gumam Devan menggelengkan kepalanya, ia pun keluar lalu menghampiri istrinya sudah terlelap tidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status