Bab 7: Sebuah Pagi Bersama Ismi
Sejak pertemuan dengan Farah itu, gelisahku merambat lebih jauh dan dalam. Aku tidak bisa tenang dan terus memandangi Ismi setiap kali punya kesempatan.
Ada terlalu banyak tanya yang tenggelam di dalam mulut dan tidak bisa kuutarakan. Alhasil, semuanya menumpuk menjadi beban berat yang mengusik tenang.
Tidak ada yang bisa aku lakukan, tidak ada yang mampu kutanyakan. Ismi dan aku berubah menjadi dua orang yang hidup di ruangan yang sama sejak malam itu. Bedanya, Ismi memperlakukanku dengan sangat baik layaknya seorang suami sesungguhnya.
Setiap pagi, sarapan disediakan meski aku tidak meminta. Pakaian kerjaku telah diletakkannya di atas ranjang, termasuk charger laptop dan gawai. Tidak lupa, dia memilihkan sepatu yang cocok dengan pakaian yang telah diaturnya. Kuakui, Ismi sangat lihai melakukan itu semua, dan penampilanku jadi lebih rapi dibanding sebelumnya.
Sebenarnya, aku cukup bersyukur dengan semua yang terjadi. Ismi baik, apa lagi dia cantik secara fisik. Suaranya tidak pernah tinggi di depanku, dan Ismi rajin beribadah tanpa perlu diingatkan.
Sekilas, Ismi sempurna. Dia tidak punya cela. Tapi ... sampai kapan aku dan Ismi harus begini? Ada jarak lebar di antar kami berdua, dan aku merasa belum sepenuhnya memiliki Ismi.
“Mas, kenapa tidak dimakan rotinya? Apa margarinnya terlalu banyak?” Pertanyaan Ismi menggugurkan bayanganku.
Sontak aku menoleh ke arah Ismi dan tatapan kami saling bertaut. Rupanya, Ismi cukup terkejut menemukan diriku yang langsung terpana akan keindahannya.
Buru-buru Ismi berdehem lalu menutup wajahnya dengan dua tangan. Dia berpaling ke sisi kiri dan jelas sedang menghindariku yang terus menatapnya tanpa kedip.
Sejujurnya, aku tidak hanya kagum dengan paras indah Ismi, melainkan sedang dipenuhi oleh pikiran tentang apa yang dikatakan oleh Farah. Hal apa yang membuat Ismi ketakutan saat kami berada di kamar? Benarkah dia sebenarnya mengalami trauma atau memang semuanya hanya rasa takut semata sebab ini pertama kalinya?
“Ismi?” panggilku pada gadis dengan gamis hijau lumut itu.
Kulit putihnya sangat kontras dengan warna pakaian Ismi. Motif daun keladi yang menjulur ke bawah juga cocok dengan penampilannya hari ini. Apa lagi, jilbab lebarnya yang senada itu, aku sampai bingung bagaimana harus menceritakannya.
“Ismi, apa ada yang kamu inginkan?” tawarku berbasa-basi. Saat Ismi menoleh, aku melanjutkan kalimat, “Mungkin gamis baru, tas dan make up, peralatan makan yang baru, perabotan di rumah atau ....”
“Sejauh ini masih cukup, Mas.”
Selesai sampai di situ. Ismi tidak berbicara lagi meski aku masih menunggu. Suatu hal yang memberiku rasa kecewa besar di dalam hati. Tidak peduli berapa lama aku menanti, tetap saja itu adalah kalimat terakhir dari bibir Ismi.
Aku menghela napas, kurasakan sebenarnya pernikahan kami ini hambar, tidak ada romansa, canda tawa atau berbagi cerita layaknya pengantin yang sedang kasmaran. Semuanya hanya berjalan di atas garis kenyataan jika kami berdua adalah pasangan suami -istri.
Ismi dan dunianya yang sunyi, aku dengan kehidupanku yang super sibuk. Kami hanya bertemu pagi saat sarapan dan malam saat tidur di kamar. Obrolan juga tidak jauh-jauh dari orang tua atau menu apa untuk besok, setelahnya kami akan terlelap dalam buaian mimpi masing-masing.
Sungguh, hal ini di luar dugaanku sebelum menikahi Ismi. Rumah tangga yang manis, romantis dan penuh cinta itu tidak ada pada kami berdua.
“Bagaimana dengan kegiatan di rumah? Kalau bosan, Ismi boleh mencari pekerjaan, tentunya yang tidak terlalu melelahkan. Kalau bisa, yang dikerjakan dari rumah,” saranku mencoba terus mencairkan suasana.
Saat itulah, Ismi menoleh ke arahku. Manik matanya berbinar, pertanda dia bahagia dengan penawaranku barusan.
Meski aku bukan pria yang peka dengan keadaan, tapi aku paham jika duduk sendirian di rumah sepi ini bisa sangat membosankan. Sebab itulah, aku mencoba pengertian dengan memberi Ismi semua kelonggaran.
“Terima kasih, Mas. Nanti aku pikirkan lagi,” balasnya yang ternyata bertolak belakang dengan dugaanku.
Ismi malah diam kembali, dia buru-buru beranjak dari kursi dan langsung menuju dapur. Di sana, rupanya dia sedang memasak sesuatu menggunakan wajan berukuran sedang. Setelahnya, Ismi sibuk membuka rice cooker, mengisi kotak bekal dan mengaduk makanan di atas kompor.
Aku melirik jam di tangan, sudah jam tujuh pagi. Tapi, hari ini aku berencana masuk lebih telat karena ingin memastikan sesuatu terlebih dahulu dengan Ismi. Belum kuceritakan hal itu dengannya, karena aku juga baru mengambil keputusan sesaat lalu.
Tidak ingin sendirian di meja, aku menyusul Ismi ke dapur. Dari arah belakang, kupandangi tubuh Ismi yang berbalut gamis longgar dan jilbab panjang. Sungguh, kekagumanku tidak akan pernah luntur sedetik pun.
“Sa-yang?” panggilku pelan.
Bukankah sudah waktunya kami mengganti panggilan? Ismi dan aku adalah suami istri, aneh rasanya jika kami kalah dengan para remaja yang terikat cinta monyet itu. Lagi pula, mungkin ini adalah salah satu cara untuk menebas habis jarak yang masih tersisa.
“Ismi ... boleh kalau sekarang panggilannya, Sayang?” tanyaku saat berada di belakang Ismi.
Tidak lupa, aku melingkarkan kedua tangan di pinggangnya. Rupanya, pinggang Ismi sangat ramping, langsing dan juga rata. Tidak terasa ada gelambir di tubuhnya yang selama ini tertutup rapat.
Lalu, aku menekuk dagu di atas pundaknya hingga aroma parfum Ismi tercium. Harum sekali, wangi manis yang berasal dari parfum mahal. Sepertinya botol kecil yang berkilauan di atas meja riasnya itu adalah parfum yang sama sebab Ismi sering memakainya.
Aku memilih untuk memejamkan mata, mencoba membangun suasana dengan Ismi meski ini masih pagi. “Apa Ismi keberatan?” lirihku kemudian.
Pelukanku pada Ismi mengerat, hingga tubuh kami jadi sangat dekat. Hangat Ismi terasa olehku, dan aku meyakini jika hal yang sama juga terjadi pada Ismi.
Meski demikian, Ismi diam. Dia berhenti mengisi kotak bekal dan mematikan kompor yang rupanya berisi ayam goreng.
“Ismi, apa kita cari asisten saja supaya Ismi bisa fokus dengan kehidupan kita dan Ismi sendiri?” ucapku lagi dengan terus membangun romantisme bersamanya. “Aku menikahi Ismi untuk menjadi teman hidup, bukan menyusahkan Ismi setiap hari begini. Ismi tidak perlu memasak setiap waktu, aku bisa sarapan di kantor atau pesan antar, Sayang.”
Tapi tetap saja Ismi tidak membalasnya. Dia larut dalam keheningan yang dalam meski perlahan kutemukan napasnya mulai memberat.
Mungkin pelukanku terlalu erat. “Maaf, Ismi ... bisakah kita bicara sebentar?”
“Apa Mas Reza tidak bekerja? Bukankah sudah waktunya berangkat?” Ismi mengelak. Dia membalik tubuhnya hingga kami saling berpandangan.
Saat itu, embusan napas kami beradu dalam jarak waktu yang sangat cepat. Aroma tubuh kami juga berputar mengelilingi kami berdua hingga membentuk nuansa yang lebih intim.
Aku terpesona sekali lagi dengan apa yang dimiliki oleh Ismi. Parasnya itu adalah bagian terindah dari seluruh tubuhnya, hingga aku tidak mampu mengedipkan mata meski hanya satu kali karena khawatir akan melewatkan keindahan dari Ismi.
Dalam jarak ini, aku bisa mendengar semuanya, entah itu embusan napas atau debaran jantung kami berdua.
Rasanya seperti dinding pertahananku didobrak hingga roboh. Aku gagal mengontrol diri untuk tetap menjaga jarak dari Ismi dengan mulai menyentuh kedua tangan istriku.
Wajah Ismi langsung bereaksi, bola matanya yang berseri itu membesar, lalu pupilnya bergetar. Bibirnya yang dilapisi lipstik ringan mengerut, pun dua keningnya hampir bertaut.
Aku tersenyum melihat bagaimana imutnya wajah Ismi saat panik begini. Mungkin, Ismi mengerti akan arti dari apa yang sedang aku lakukan sekarang. “Aku berangkat setelah siang, Ismi. Aku masih ingin bersama Ismi sebentar lagi,” lirihku, kemudian mulai menarik Ismi ke dalam pelukan.
--
Jangan menjauh, lalu mendekat.
Jangan pergi, kemudian pulang.
Sebab hatiku akan selalu menerima, meski berulang kali terluka.
-@bemine_3897
Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu
“Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum
Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w
Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska
Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r
Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.