Share

Bab 6: Pendapat Dokter Farah

Bab 6: Pendapat Dokter Farah

Wajah Farah berubah saat mendengar ucapanku yang ragu. Cukup sulit menjelaskan kondisi yang kami alami saat ini hingga aku sendiri hanya bisa menekuk wajah.

Antara malu, bingung sekaligus rasa bersalah karena harus mengungkit kekurangan Ismi. Tapi, jika tidak begini kapan aku mampu membuka tirai yang membatasi kami?

“Jadi ... maksudmu istrimu itu?” Farah mengernyit.

Kuiyakan terkaannya meski belum selesai kalimatnya. Wajar saja jika Farah masih tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sedikit di luar nalar mengingat Ismi sangat sehat sebagai seorang gadis, dan dirinya berasal dari keluarga baik-baik.

“Iya, begitulah!” ucapku penuh rasa malu.

Jauh di dalam hati, aku merutuki diri karena menyebarkan kekurangan Ismi. Tapi, semoga dia paham jika hal ini hanya untuk memperbaiki hubungan kami.

Pernikahan ini tidak akan berlangsung hanya satu atau dua bulan, tapi untuk selamanya. Sebab itulah, aku ingin yang terbaik, ditambah lagi aku ini laki-laki sehat secara fisik dan batin. Tentu saja aku ingin menunaikan ibadah lengkap dalam pernikahan, termasuk melahirkan anak dan merawatnya bersama Ismi.

“Kasihan sekali kamu, Za!” Farah meledek. Dia memutar bola matanya di depanku, kemudian menyembunyikan senyum dengan jemari lentiknya.

Kesal! Tapi aku tidak bisa mengelak dari itu semua. Nyatanya memang sepahit ini.

“Kamu senang melihatku frustrasi?” balasku tidak tahan.

Pertemanan kami selama ini memang sudah sampai ditahap saling meledek begini. Namun, aku selalu membangun dinding dengan Farah agar tidak ada yang akan terluka. Bagaimanapun, di antara dua manusia berbeda jenis kelamin, tidak ada pertemanan utuh tanpa rasa.

“Oke, maaf. Hanya saja lucu sekali melihatmu begini. Kamu yang dari dulu paling anti dengan perempuan, menjaga jarak dan selalu salat itu tiba-tiba saja terusik karena hal begini!” 

“Tidak ada yang mulus di dunia ini, Farah. Kita itu hanya ....”

“Oke, stop sampai di situ dan jangan ceramah. Aku baru saja memesan makan siang untuk dinikmati, rasanya akan hambar kalau mendengarmu mengomel!” sahut Farah.

Aku menghela napas mendengarnya bicara begitu. Ya, ini salah satu alasan kenapa Farah tidak pernah masuk ke dalam daftar wanita idamanku, bahkan mempertimbangkannya saja tidak.

Sejak KKN ke pelosok daerah dulu pun, Farah begini. Dia tidak agamis, suka dengan dunia malam dan sering bersenang-senang.

Berteman dengannya menyenangkan, tapi hanya sebatas itu. Aku tidak akan siap jika lebih dari ini, ada perbedaan sudut pandang yang tajam sebagai seorang muslim dan sebagainya yang tidak ingin aku jabarkan apa lagi Farah perempuan mandiri yang keras kepala. Meski demikian, aku sering diancam beberapa pria agar tidak lagi berteman dengan Farah, tujuan mereka hanya satu, agar Farah berhenti melihatku.

“Jadi, apa pendapatmu?”

Farah terdiam sejenak. Dia mengerutkan bibir, seolah sedang berpikir keras. Entah apa yang ada di dalam kepala gadis pintar ini, tapi aku yakin tidak akan jauh-jauh dari permasalahan yang sedang menimpaku.

“Sejak kapan kalian saling mengenal?” selidiknya.

Aku menghela napas di depan Farah untuk kesekian kalinya. Bukankah ini pertanyaan yang paling umum ditanyakan oleh orang-orang saat pasangan menikah? Lalu, kenapa rasanya seakan Farah menyinggung perkenalan singkat kami sebelum pernikahan?

“Lima tahun? Enam tahun? Atau dua tahun?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala. Kadang kala, hemat bicara bisa menjadi solusinya.

“Oh, hitungan bulan. Sepuluh, sembilan?”

“Satu bulan!” tangkasku secepatnya.

Lama juga Farah menyelidiki. Waktu istirahatku akan segera berakhir, jika solusinya tidak kudapatkan setelah menemui Farah maka semuanya akan sia-sia.

What the hell, Za!” Dia berseru dan langsung menutup mulutnya. 

Untuk saat ini, ingin rasanya aku menghilang saja. Respons Farah bukanlah sesuatu yang bisa kuterima dengan lapang dada, apa lagi saat kami di tempat umum begini.

“Kalau begitu, permasalahannya itu ada di kamu. Lakukan pendekatan dulu dengan istrimu, Za ... tidak bisa asal coblos seperti inginmu. Mau pilih presiden saja kita juga harus tahu detailnya, siapa dia, latar belakang, jejak karier dan ....”

“Dalam Islam, pernikahan itu dianjurkan disegerakan kalau sudah cocok, Farah. Aku menikahi perempuan yang lahir dari keluarga baik-baik. Mereka adalah teman baik dari orang tuaku, mereka sudah berteman sejak sebelum menikah, lalu apa lagi yang harus aku ragukan?” jelasku pada Farah.

“Oke, aku paham dengan konsep ini. Tapi, apa kamu sudah cukup mengenalnya dan dia sudah cukup mengenalmu? Bagaimana kalau ternyata dia terpaksa menerima pinanganmu karena orang tuanya? Saranku, jangan terburu-buru lagi, Za. Satu minggu ini, berikan dia waktu untuk mengenal siapa dirimu!” ucapnya lagi.

Kuanggukkan kepala. Mungkin Farah benar, aku terlalu terburu-buru dan belum melakukan pendekatan dengan Ismi.

“Bayangkan saja, apa kamu bersedia telanjang di depan orang yang baru kamu kenal walaupun itu suamimu sendiri?” ucapnya lagi dengan intonasi yang lumayan tinggi.

Aku segera membelalak, Farah benar-benar tidak sadar jika sedang bicara. Harusnya, aku datang ke kantornya saja untuk konsultasi secara resmi dan bukannya di luar begini.

“Pikirkan saja coba, Za. Kacau sekali kamu ini!”

“Oke, sudah. Jadi ... aku harus mendekat dan ....” Aku menatap Farah sembari menjelaskan hal yang harus aku lakukan dengan kedua tangan.

“Ya, begitulah. Pulang dari sini, mampirlah ke toko kue, belikan dia kue-kue cantik dan hadiahkan dia perhiasan selain mahar yang kamu berikan. Perempuan itu senang diperhatikan, Za!” tambahnya.

Wajahku jadi semringah usai mendengar ucapan dari Farah. Ternyata, perempuan itu hanya bisa dipahami oleh sesama perempuan saja. Pria sepertiku atau siapa pun di luar sana akan kesulitan menerjemahkan isi hati perempuan.

Sepertinya, keputusanku untuk berbicara dengan Farah adalah hal yang tepat meski sempat ragu di awal. Sekarang, aku jadi lega. Mungkin Ismi memang belum percaya denganku sepenuhnya hingga sering ketakutan saat kami bersentuhan.

“Oke, aku yang traktir. Biaya konsulnya aku transfer ke rekeningmu. Nomornya masih sama, kan?” sahutku pada Farah.

Gadis itu malah menyunggingkan bibir. Dia berdecak kesal. “Sombong sekali kamu, Za! Sebentar lagi gajiku juga akan lebih tinggi dari kamu.”

“Loh? Bukannya aku sedang konsul?”

“Kalau untuk kamu, selalu ada diskonnya.”

Aku tersenyum mendengar Farah. Gadis itu bangkit lebih dulu dan menuju kasir. Kami berdua batal makan, Farah memilih membungkus pesanannya dan aku akan jajan di luar sembari balik ke kantor.  

Saat tiba di parkiran, aku menawarkannya tumpangan, namun Farah mengaku lebih senang jalan kaki ke rumah sakit. Seharian duduk di kursi putarnya membuat kedua kakinya lemas hingga butuh banyak gerak.

Kuiyakan saja maunya, lagi pula aku tidak ingin berbagi mobil yang sama lagi dengan gadis lain setelah menikahi Ismi. Hanya untuk basa-basi, syukurlah Farah menolak.

Begitu kami akan berpisah, sempat aku berhenti dan melirik ke arah Farah. Sepertinya, ada sesuatu yang belum diungkapkan oleh gadis itu padaku.

“Yakin tidak ada lagi yang ingin kamu katakan?”

“Yap, apa kamu masih punya pertanyaan?” balasnya.

Sebenarnya, iya. Aku punya banyak hal yang masih mengganggu, tapi cukup satu saja sekarang. “Hm, selain belum kenal, lebih spesifik saja, kira-kira apa penyebab lain yang membuat seorang gadis aneh di kamar namun normal saat beraktifitas?”

“Apa?” Farah cukup terkejut.

“Ya, begitulah!” Aku menunggu dengan sabar, meski sebenarnya dadaku mulai bergemuruh gelisah.

“Aku tidak yakin karena tidak memeriksa istrimu secara langsung. Tapi, ada hal lain yang sering kudengar dari teman-temanku di bidang forensik, kekerasan seksual salah satu penyebab perempuan ketakutan berhadapan dengan laki-laki, apa lagi di ruangan yang tertutup. Hal itu akan membuat mereka mengingat kejahatan yang mereka alami. Soal istrimu, aku yakin hanya karena perkenalan kalian yang terlalu singkat, jadi tidak perlu khawatir!” bujuknya meski sekarang aku kesulitan mengontrol degub jantungku sendiri.   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status