Share

Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku
Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku
Author: Lilia

Bab 1

Author: Lilia
Di depan orang lain, aku adalah putri kecil Keluarga Elio yang ceria dan bersemangat, sementara Farel adalah sosok bos di kalangan elit Kota Persy yang disiplin, dingin, dan sangat terkendali.

Namun, setiap malam, Farel selalu menggenggam pinggangku, membuat lututku lemas, sambil berulang kali memanggilku, "Putri Kecil."

Akan tetapi, dia tidak tahu, dua minggu lagi aku akan menikah dengan orang lain.

Seprai masih hangat dan lembap saat aku berbaring mengatur napas, sementara Farel sudah bangkit dan mulai mengenakan pakaian.

Aku menoleh ke samping, melihat jari-jari panjangnya merapikan kancing kemeja.

"Kamu nggak tinggal di sini malam ini?" tanyaku.

"Ada rapat di kantor," jawabnya tanpa menoleh. "Bersikaplah manis."

Kata-kata itu lagi.

Aku duduk, seprai pun tergelincir dari tubuhku.

Gerakan Farel berhenti sesaat, lalu dia melanjutkan mengikat dasinya.

"Farel."

"Hm?"

"Nggak apa-apa."

Dia menoleh, menunduk, dan mencium dahiku. "Aku pergi dulu."

Begitu pintu tertutup, aku mengambil ponsel dan menekan nomor yang sudah tidak asing lagi.

"Ayah, aku setuju untuk menikah. Dua minggu lagi, aku akan menikah dengan pewaris Keluarga Fathir di Kota Appia yang nyaris sekarat, tapi aku punya satu syarat."

Orang di ujung telepon terdengar girang, "Oke! Katakan! Apa pun syaratnya, aku akan langsung setuju!"

"Kita bahas nanti saat bertemu."

Aku menutup telepon dan menatap tablet cadangan milik Farel yang ada di meja samping tempat tidur.

Layar menyala, menampilkan pesan baru.

Pengirimnya adalah Nia.

[Kak Farel, terima kasih sudah menemaniku ke rumah sakit hari ini. Dokter bilang aku sudah pulih dengan baik, semua berkat perhatianmu. Besok aku ingin nonton film bersamamu, seperti dulu.]

Di bawahnya ada emoji cium.

Aku menatap pesan itu, jari-jariku sedikit bergetar.

Farel tidak pernah menemaniku ke rumah sakit, bahkan saat aku patah tulang rusuk saat latihan berkuda dulu.

Aku mengenakan pakaian dan diam-diam mengikuti mobil Farel.

Di depan sebuah restoran Michelin, Farel turun dari mobil.

Dari kejauhan, aku melihatnya mendekati seorang gadis berbaju putih.

Nia.

Dia tampak lebih kurus dari foto dan Farel mengulurkan tangan merapikan rambut Nia yang berantakan ditiup angin, gerakannya lembut seolah menyentuh porselen yang mudah pecah.

Selain di ranjang, aku tak pernah melihatnya menunjukkan ekspresi lembut seperti itu.

Tiga tahun lalu, saat ayah menitipkanku pada Farel, melihat wajahnya yang tampan dan dingin, kakiku gemetaran tak karuan.

"Alisa perlu belajar aturan keluarga," kata ayahku kepada Farel. "Dia terlalu liar, hanya kamu yang bisa mengendalikannya."

Waktu itu aku berusia sembilan belas tahun, baru pulang dari sekolah asrama, penuh pemberontakan, tak mau menurut siapa pun.

Banyak pria ingin menaklukkanku dan aku pikir Farel hanyalah salah satunya.

Namun, aku ingin menaklukkannya lebih dulu.

Pertemuan pertama, aku sengaja mengenakan rok super pendek ke kantornya.

Farel duduk di belakang meja, bahkan tak mengangkat kelopak matanya.

"Rapatkan kakimu, Alisa."

"Kenapa?"

"Karena caramu duduk membuat orang mengira Keluarga Elio nggak berpendidikan."

Aku sengaja mengangkat sedikit rokku. "Kalau sekarang bagaimana?"

Farel menatapku dari balik kacamata emasnya, sorot matanya dingin. "Keluar."

Beberapa bulan berikutnya, aku melakukan segala cara untuk memprovokasinya.

Menaruh catatan kecil di dokumennya, sengaja mengacaukan proyek bisnisnya, bahkan pernah menaruh obat pencahar ke wiski miliknya.

Farel selalu dengan tenang membereskan kekacauan yang kulakukan, lalu berkata dengan nada mengajari anak kecil, "Alisa, kamu memang pintar, tapi kepintaran harus digunakan di tempat yang benar."

Sampai suatu malam.

Aku menaruh obat di minumannya untuk melihat seperti apa Farel ketika kehilangan kontrol.

Tak kusangka, saat obat itu bekerja, aku juga berada di ruangan itu.

Farel menggenggam pergelangan tanganku, napasnya berat. "Apa yang kamu masukkan ke minumanku?"

"Kamu seharusnya sudah bisa menebaknya, 'kan?" Aku menatap matanya. "Mau coba sama-sama?"

Malam itu mengubah segalanya.

Keesokan paginya, Farel sudah berpakaian rapi.

Kupikir dia akan marah besar dan mengembalikanku ke ayahku, jadi aku berkata, "Farel, aku ...."

"Putri Kecil." Dia membelai pipiku dengan lembut. "Ini rahasia kita."

Putri Kecil.

Justru panggilan itu membuatku benar-benar jatuh hati.

Selama dua tahun berikutnya, kami menjalani hubungan yang aneh seperti ini.

Siang hari, dia tetap Farel yang tenang dan rasional, tetapi malam harinya, dia memanggilku Putri Kecil di telingaku, membuatku lemas karena gairahnya.

Aku kira dia mencintaiku.

Hingga suatu tahun, pada hari ulang tahunku.

Aku sudah menyiapkan segalanya dengan sempurna, mengenakan gaun tercantik, dan memesan restoran tempat kami pertama kali bertemu.

Aku sudah memutuskan untuk mengatakan padanya bahwa aku mencintainya dan bahwa aku ingin bersamanya, tidak peduli apa pun konsekuensinya.

Namun, Farel tidak datang.

Aku duduk sendirian di restoran selama tiga jam, sampai para pelayan mulai menatapku dengan rasa kasihan.

Keesokan harinya, foto Farel menjemput wanita lain di bandara beredar luas di internet.

Di foto itu, Nia bersandar di lengan Farel, keduanya tampak begitu intim seperti sepasang kekasih.

Ternyata dia sepenuhnya melupakan ulang tahunku, demi menjemput wanita lain.

Aku tersenyum getir dan minum sampai mabuk. Aku ingin bertanya pada Farel, apa arti diriku di matanya? Hanya teman tidur? Atau sekadar alat?

Namun, aku tak punya keberanian.

Aku terlalu kesepian, terlalu tergantung pada kehangatan yang dia berikan.

Aku takut jika aku menyingkap semuanya, dia justru akan meninggalkanku.

Aku menemukan foto Nia di ruang kerja Farel, malam itu, semua foto itu kuhancurkan.

Namun, ketika Farel pulang dan melihat rumah berantakan, dia bahkan tidak mengerutkan kening. Dia hanya menyuruh pelayan merapikan semuanya dan merawatku, lalu berjalan melewatiku begitu saja.

Saat itu aku akhirnya mengerti. Farel adalah pewaris Keluarga Keano, terlalu tinggi untuk dijangkau, dingin dan penuh wibawa.

Kesabarannya padaku sebenarnya hanyalah karena dia merasa tak perlu mempermasalahkanku.

Sejak saat itu, dia masih memanggilku Putri Kecil di ranjang, seolah tak ada yang berubah.

Hanya saja, hatiku sudah mati.

Di luar restoran, Farel membukakan pintu mobil untuk Nia, mereka berbincang dengan akrab.

Aku mengalihkan pandanganku, kemudian menyetir pulang ke rumah Keluarga Elio.

Di ruang tamu, ayahku dan ibu tiriku, Rara, sedang menonton TV.

Begitu melihatku masuk, ayahku langsung mematikan televisi.

"Katakan. Apa syaratmu agar kamu setuju untuk menikah?"

Aku duduk di sofa. "Aku ingin memutus hubungan ayah-anak denganmu."

Ekspresi ayahku menjadi kaku. "Apa katamu?"

Rara, yang berdiri di dekatnya, matanya berbinar ketika mendengarku mengatakan ini.

"Aku bilang, aku setuju menikah dengan pewaris Keluarga Fathir yang sekarat, tapi sebagai gantinya, kita putus hubungan. Mulai sekarang, aku bukan lagi anak Keluarga Elio. Kamu bisa saja membawa pulang simpananmu dan anak harammu dengan terang-terangan. Sejak kamu merencanakan kecelakaan mobil yang membunuh ibuku, aku nggak ingin menganggapmu sebagai ayah lagi!"

Ekspresi ayahku langsung berubah pucat dan tegang. "Aku sudah bilang, kecelakaan itu murni kebetulan!"

Aku menatap matanya, sambil tersenyum sinis. "Kebetulan atau nggak, dia meninggal saat melihatmu berselingkuh dengan Rara. Ayah, jangan pura-pura peduli padaku lagi. Lima bulan terakhir kamu berusaha menjualku ke Keluarga Fathir, bukan untukku, tapi supaya simpananmu bisa masuk Keluarga Elio dan anak harammu bisa memakai marga Elio, 'kan?"

Abbas tiba-tiba berdiri. "Alisa, kamu ingin memutus hubungan 'kan? Oke! Mulai besok, kamu bukan lagi anakku!"

"Setuju." Aku berbalik dan naik ke lantai atas. "Oh ya, jangan lupa beri tahu mereka, calon pasangan pernikahan mereka bukan lagi putri Keluarga Elio, tapi seorang gadis yatim piatu. Tanyakan apa mereka masih bersedia membayar harga yang sama."

Setibanya di kamar, aku menutup pintu dan akhirnya menanggalkan semua topengku.

Air mata mengalir deras. Aku meringkuk di tempat tidur seperti hewan kecil yang terluka.

Farel, tahukah kamu?

Agar bisa benar-benar meninggalkanmu, aku bahkan melepaskan sandaran terakhirku.

Keesokan paginya, suara barang-barang dipindahkan terdengar dari lantai bawah.

Aku bangun dan turun, berjalan ke sudut tangga.

Sosok yang sangat familier berdiri di sana.

Nia.

Sekejap, darahku seakan membeku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 22

    Alisa belajar tunduk pada takdirnya di hari kedua puluh tujuh dia dikurung.Dia tidak lagi melawan, tidak lagi mogok makan, bahkan terkadang tersenyum pada Farel.Awalnya, Farel masih curiga. Namun, perlahan-lahan dia mulai percaya bahwa Alisa benar-benar sudah menyerah."Pagi ini mau makan apa?" tanya Farel sambil merapikan dasi di tepi ranjang.Alisa bersandar di sandaran kasur, rambut panjangnya terurai. Dia menjawab dengan datar, "Apa pun yang kamu masak."Gerakan tangan Farel sempat terhenti. Dia sedikit terkejut, lalu segera tersenyum dan menjawab, "Baik."Setelah itu, dia pun berbalik menuju dapur. Langkahnya jarang terasa begitu rileks.Alisa menatap sosok Farel lenyap di ambang pintu, lalu cepat-cepat menyingkap selimut. Dari bawah kasur, dia mengeluarkan sebuah komputer mini.Itu adalah hasil curian dari ruang kerja Farel minggu lalu.Dia mengetik cepat di papan ketik, memasukkan kata sandi.Diam-diam dia menembus sistem keamanan pulau dan memancarkan sinyal permohonan pertol

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 21

    Sebab ada urusan bisnis di Grup Keano yang perlu ditangani, Farel terpaksa kembali ke kota selama beberapa hari.Senja hari di pulau pribadi.Hari ketiga sejak kepergian Farel, Alisa berdiri di depan jendela besar, menatap cahaya terakhir matahari yang perlahan ditelan garis khatulistiwa.Seorang pelayan masuk dengan hati-hati, meletakkan segelas susu hangat di meja. "Nyonya, setidaknya minumlah sedikit," ucap pelayan itu.Alisa tidak bergerak, hanya bertanya, "Kapan dia kembali?""Pak Farel bilang akan segera kembali setelah urusan perusahaan selesai," jawab pelayan itu.Prang!Gelas kaca melayang menghantam dinding dan pecah berantakan. Susu tumpah ke lantai."Aku bukan nyonya siapa pun. Keluar dari sini!" tegur Alisa dengan dingin.Pelayan itu ketakutan dan cepat-cepat mundur.Alisa membungkuk, memungut pecahan kaca paling tajam dari lantai.Pada saat yang sama, di kantor pusat Grup Keano.Ruang rapat penuh orang, Farel duduk di kursi utama mendengar para karyawannya melapor. Jari-j

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 20

    Pagi hari di pulau pribadi.Helikopter mendarat di landasan tengah pulau, suara baling-balingnya akhirnya melambat, menyisakan suara ombak yang pecah di karang.Farel menggendong Alisa turun dari helikopter. Begitu kakinya menyentuh tanah, Alisa langsung mendorong Fajar menjauh."Penahanan ilegal, ya?" tanya Alisa. Dia mendengus dingin, gaun pengantinnya berkibar liar ditiup angin laut. "Sejak kapan kamu juga mulai pakai cara licik seperti ini?" tanya Alisa.Alih-alih marah, Farel justru tersenyum tipis. "Memangnya kenapa?" tanya Farel.Jarinya yang dingin menyapu pelan wajah Alisa, tetapi tatapannya membara, "Alisa, kamu milikku."Dia melanjutkan, "Seumur hidupmu, jangan pernah bermimpi jadi milik orang lain."Di vila utama.Farel menuntun Alisa berkeliling pulau."Semua yang ada di sini milikmu," ucap Farel sambil membuka pintu kaca raksasa. Hembusan laut yang asin langsung menyerbu ke dalam. "Mulai dari taman, kolam renang, perpustakaan, bahkan samudera itu."Alisa tidak tergerak sa

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 19

    Sehari sebelum pernikahan, di mansion pribadi Keluarga Fathir.Alisa duduk di depan meja rias di kamar pengantin, jarinya menelusuri taburan berlian di gaun pengantin.Di luar jendela, matahari bersinar hangat. Para pelayan sibuk menata lokasi acara pernikahan besok. Segala sesuatu tampak begitu sempurna.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu."Putri Kecil?" panggil Hendra.Hendra masuk sambil membawa secangkir teh bunga hangat dan sebuah kotak beludru mungil di tangan lainnya.Dia mengenakan setelan hitam rapi, kerah kemejanya terbuka sedikit, tatapannya sangat lembut."Kamu hampir nggak makan sarapan," ucap Hendra sambil memberikan cangkir teh ke tangan Alisa. Dia lalu berkata, "Bibi di dapur bilang kamu cuma minum setengah gelas susu."Alisa mendongak, kemudian tersenyum dan bertanya, "Apa kamu mencoba mendidikku?""Aku mana berani," ucap Hendra sembari menunduk sedikit, lalu menyerahkan kotak itu ke tangan Alisa. "Aku cuma takut kamu kelaparan," lanjut Hendra.Alisa membuka ko

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 18

    "Bukankah Keluarga Fathir di Kota Appia dan Keluarga Keano di Kota Persy nggak pernah berhubungan? Itu Pak Farel, 'kan? Kenapa dia ada di sini?"Bisikan para tamu menyebar di seluruh aula pesta.Semua mata serentak tertuju pada sosok tegap yang berdiri di pintu. Farel mengenakan jas yang rapi dan berdiri tegap di sana, tetapi tatapannya suram menakutkan."Kenapa mata Pak Farel menatap langsung ke Nona Alisa setajam itu. Jangan-jangan, dia datang untuk merebutnya?"Hendra segera memeluk Alisa ke dalam dekapannya. Lengannya terentang di depan tubuhnya, seolah ingin meleburkan gadis itu ke dalam darah dan dagingnya sendiri.Alisa perlahan berubah tenang.Dia menatap Farel, lalu tersenyum. "Untuk apa Pak Farel datang? Membawa hadiah pernikahan untuk kami?" tanya Alisa.Kata-kata itu bagai sebilah pisau yang menancap di dada Farel.Rahangnya menegang, urat di pelipisnya tampak menonjol. Farel berkata dengan suara sangat serak, "Alisa, ikut aku pulang."Senyum Alisa justru makin dalam. "Pula

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 17

    Hendra pun berkata, "Sepuluh tahun lalu, di pesta kapal pesiar itu ….""Kamu lupa siapa yang pernah kamu selamatkan?" tanya Hendra,Alisa tertegun. Ingatannya seperti ditarik kembali ke masa sepuluh tahun silam.Malam pesta itu, Alisa berdiri di tepi dek, membiarkan angin laut menerpa wajah. Tiba-tiba dia mendengar suara tubuh jatuh ke air.Seorang anak laki-laki tercebur.Sebelum orang-orang di sekitar sadar, Alisa sudah melompat ke laut.Air laut dingin sampai menusuk tulang. Alisa berenang sekuat tenaga ke anak itu sampai beberapa kali tersedak air. Akhirnya, dia berhasil menyelamatkan anak itu ke atas kapal."Kamu nggak apa-apa?" tanya Alisa. Tubuhnya basah kuyup, tetapi dia hanya fokus memberi pertolongan darurat.Anak itu akhirnya memuntahkan air asin, lalu membuka mata. Bulu matanya masih basah, menggantung butir air.Alisa melepas jaketnya, membungkus tubuh kecil yang gemetar dan berkata, "Bocah, lain kali hati-hati. Jangan lari ke dek lagi."Anak itu menggenggam ujung jaketnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status