Share

Bab 8

Author: Ricey
Saat Julia kembali membuka mata, ia mendapati dirinya terkunci di dalam mobil.

Lehernya masih terasa nyeri. Dia meraba kotak penyimpanan di kursi penumpang dan menemukan palu keselamatan. Baru saja dia menggenggamnya, pintu mobil terbuka.

Victor berdiri di luar mobil, raut wajahnya suram. "Kamu mau ke mana?"

Julia tidak menjawab. Begitu hendak turun, lengannya ditarik kuat oleh Victor dan dilempar kembali ke kursi.

Victor menunduk di sisi pintu, rahangnya mengeras, matanya merah karena amarah. "Sudah kubilang, kamu nggak boleh ke mana-mana. Kamu harus tetap di sampingku."

Julia mendongak menatapnya tajam, tetapi tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Victor menatapnya, lalu tiba-tiba merobek pakaian Julia.

Udara dingin langsung menerpa, membuat Julia menggigil. "Victor! Apa yang kamu lakukan?"

Tanpa sepatah kata pun, Victor dengan kasar menanggalkan pakaiannya, lalu menciumnya.

Tangan Victor terus bergerak turun dengan kekuatan yang tak bisa dilawan.

Julia akhirnya menyadari apa yang akan dilakukan Victor. Julia berusaha melawan dengan sekuat tenaga, tetapi tubuhnya ditahan dengan erat.

"Lepaskan aku! Kalau kamu seperti ini, aku akan membencimu seumur hidup!"

Namun, Victor seolah tidak mendengar. Apa pun yang Julia lakukan, entah menendang, menangis, bahkan menggigit bahunya, itu tidak membuat Victor menghentikan aksinya.

Akhirnya, Julia kehabisan tenaga. Dia hanya bisa memohon dengan suara serak.

"Victor … Jangan di mobil ini. Ini mobil balapku …."

Kata-katanya terpotong oleh teriakan kesakitan.

Gerakan Victor tiba-tiba menjadi lebih kasar, napas panasnya menyapu telinga Julia. Suaranya tetap lembut, tetapi aneh saat Victor berujar, "Julia, ini adalah hukuman untukmu. Masih ingin pergi?"

Julia menggigit bibirnya keras-keras, rasa darah terasa di lidahnya.

Air mata menetes di kursi kulit hitam, meninggalkan noda gelap.

Mandy telah menghancurkan kakinya, tetapi Victor seolah ingin menghancurkan seluruh dirinya.

Beberapa hari setelah itu, Victor seperti orang gila, membawanya ke sirkuit, dan melakukan hal yang sama di setiap mobil balapnya.

Sementara Julia, dari tangisan penuh permohonan, hingga makian tak terkendali, hingga akhirnya hanya tersisa rasa hampa.

Dia menatap kosong ke arah atap mobil, membiarkan Victor mempermainkannya seperti boneka tak berjiwa, bahkan air matanya pun mengering.

Setelah melampiaskan semuanya di mobil terakhir, Victor memeluknya dan bertanya, "Apa kamu masih ingin meninggalkanku, Julia?"

Julia menggeleng otomatis.

Julia tak ingin pergi lagi. Dia hanya ingin mati.

Baru kemudian, Victor membawanya pulang.

Begitu masuk rumah, Julia melihat kue yang belum dibuka di meja ruang tamu, hanya melihatnya saja sudah merasa mual. Dia diam-diam masuk ke kamar dan hendak mengunci pintu, tetapi Victor menghentikannya.

"Julia, kamu bandel, ya."

Victor mengeluarkan borgol, menguncinya di kepala tempat tidur, lalu merebut silet dari tangannya dengan paksa.

"Dengar baik-baik, jangan buat aku marah. Kalau nggak, kamu sendiri yang akan menderita."

Julia sedang melotot marah padanya ketika pintu terbuka.

Mandy melangkah masuk sambil menggoyang-goyangkan sesuatu di tangannya. "Kak Victor, mana yang lebih cocok dipakai untuk pernikahan?"

Tatapan Julia menegang seketika.

Itu medali juara nasional miliknya, juga liontin batu alam warisan ibunya.

"Victor!" teriak Julia. Suaranya serak seperti bel rusak. "Itu milikku!"

Victor justru tersenyum puas, berlutut di tepi ranjang dan mengetuk liontin batu alam itu. "Aku tahu, itu memang milikmu."

Victor menatapnya dengan dingin, "Kalau kamu berani coba bunuh diri lagi, aku nggak jamin barang-barang ini tetap aman."

Julia menggertakkan giginya, sorot matanya memancarkan kebencian yang membara.

"Membenciku?" Victor mengangkat alisnya. "Kalau begitu, berhenti berpikir untuk pergi. Kalau nggak, akan ada hal lain yang lebih menyakitkan menunggumu."

Awalnya, Julia mengira dia hanya menakut-nakuti. Sampai malam itu, Victor menyeretnya dari ranjang, memaksanya berlutut di tepi tempat tidur, lalu memegang paksa wajahnya agar menatap ke tengah kamar.

Di sana, Mandy bersandar di pelukan Victor dengan setengah tak berpakaian.

"Marah? Jijik?" Suara Victor menusuk seperti racun. "Lihat baik-baik! Jangan pejamkan matamu!"

Victor bilang semua ini adalah hukuman karena tidak mau menurut.

Namun, Julia hanya menatap kosong, bahkan tak sempat berkedip.

Hatinya sudah mati sejak lama, apa lagi yang perlu dia pedulikan?

Untuk mencegahnya bunuh diri lagi, Victor mulai mengontrol makanannya. Setiap hari hanya memberinya sedikit air dan roti, sampai Julia bahkan tak punya tenaga untuk menggigit pergelangan tangannya sendiri.

Akhirnya, Victor tetap memasangkan liontin itu di leher Mandy. Sambil mengelus rambut Mandy, Victor berkata, "Kalau kamu masih ingin pergi, liontin ini akan selamanya jadi milik Mandy."

Sehari sebelum pernikahan, Victor tidak menyentuhnya.

Victor berbaring di tempat tidur, memeluk Julia dari belakang. Dagu Victor menempel di bahunya, sambil berbisik dengan lembut, "Jangan salahkan aku ya, Julia? Aku cuma terlalu mencintaimu."

"Setelah aku menikah dengan Mandy dan setelah urusan Keluarga Frans beres, aku akan membawamu ke Kantor Catatan Sipil. Kita akan menikah sungguhan, bagaimana?"

Julia memejamkan mata rapat-rapat dan tidak menjawab.

Keesokan paginya, di hari pernikahan, Mandy melangkah masuk dengan gaun putih bersih, lalu dengan sengaja mendekatkan liontin di lehernya ke wajah Julia.

"Kasihan sekali kamu, Kak Julia." Mandy tersenyum penuh kemenangan. "Aku sudah memperingatkanmu sejak lama, seharusnya kamu segera pergi. Liontin ini jelek sekali, tapi Kak Victor bersikeras memberikannya kepadaku sebagai maskawin."

Tanpa sepengetahuannya, Julia sudah kehilangan hasrat untuk hidup.

Bukan hanya sebuah liontin, bahkan kalau Victor mengancam dengan abu ibunya sekali pun, dia takkan goyah.

Jadi, saat Victor dan Mandy keluar sambil bergandengan tangan, Julia menoleh dan menyentuh pergelangan tangannya dengan tangan kanannya yang masih bergerak.

Saat menggigit, tidak terasa sakit sama sekali, hanya darah hangat yang perlahan menetes.

Baru setitik darah mengalir, tiba-tiba terdengar suara keras kaca pecah dari jendela kamar.

Sebuah mayat palsu dilempar masuk, lalu disusul pria berwajah tampan.

Devon berdiri di antara pecahan kaca, mengulurkan tangannya padanya.

"Ayo, aku datang buat menjemputmu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 26

    Tania tidak menyangka bahwa Victor benar-benar berdiri di salju sepanjang malam.Saat malam makin larut, salju turun makin lebat. Tania sering melihat ke luar jendela, begitu pula Julia.Saat melihat wajah yang familier itu melihat ke luar jendela, Victor tetap memaksakan senyum meskipun bibirnya pecah-pecah karena kedinginan."Bu Julia, ini bisa bikin orang mati nggak?"Julia menutupi dirinya dengan selimut dan memejamkan mata tanpa peduli apa pun sambil berkata dengan santai, "Nggak. Kalaupun iya, itu nggak ada hubungannya dengan kita. Ayo tidur."Tania benar-benar takjub dengan betapa tenangnya Julia. Namun, saat teringat penderitaan Julia dulu, Tania langsung menutup tirai dengan marah.Malam itu di tengah salju, Victor terus mengingat masa lalu.Bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama dengan senang, mendekor rumah bersama dan membayangkan masa depan bersama.Sayangnya, semua itu hancur karena Mandy.Saat teringat akan Mandy, amarah Victor mulai tersulut.Saking marahnya, Victo

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 25

    Victor melihat ke arah suara itu dan refleks menganga saking kagetnya."Devon? Kok kamu di sini?"Devon merangkul bahu Julia. Saat tidak merasakan perlawanan dari Julia, Devon mengeratkan rangkulannya."Aku tunangannya, jadi kenapa aku nggak boleh ada di sini?"Victor sontak merasa seperti disambar petir. Kepalanya tiba-tiba berdengung dan dia tak bisa mendengar apa pun lagi. "Tunangan? Kok bisa? Julia …. Kok bisa-bisanya dia jadi tunanganmu!"Mata Victor tampak memerah, bibirnya terlihat gemetar.Julia menarik tangan Devon dan menautkan jari mereka, lalu menunjukkannya ke depan Victor."Kenapa juga nggak boleh? Aku belum menikah dan belum punya anak. Apa susahnya menerima pinangan orang lain?"Victor mengatupkan bibirnya, sorot tatapannya terlihat sangat tidak percaya.Perkataan Julia bagaikan sebilah belati yang menusuk jantungnya dan menyayat hatinya."Nggak, aku nggak izinin!" kata Victor. "Aku mencintaimu dan kamu hanya bisa menjadi milikku!"Julia refleks tertawa sinis, dia tidak

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 24

    Tidak peduli seberapa keras Victor berteriak di belakang, mobil itu tidak berhenti sama sekali. Mobil itu malah melaju makin cepat dan segera menjadi titik hitam di kejauhan.Baru setelah sosok di kaca spion benar-benar menghilang, Devon perlahan memperlambat laju mobilnya.Julia melirik Devon dengan curiga. "Kenapa kamu ngebut sekali? Nggak sabar mau bereinkarnasi?"Devon tidak menanggapi dan tiba-tiba bertanya, "Kalau Victor datang menemuimu sambil menangis, mengaku salah dan memohon untuk balikan, apa kamu akan setuju?"Julia pun mengernyit seolah-olah habis mendengar sesuatu yang kotor, tetapi dia tetap menjawab dengan serius, "Nggak, sampai mati pun aku nggak mau."Setiap kali teringat perbuatan Victor kepadanya, Julia akan merasa kedinginan dan sering terbangun di tengah malam. Dia berharap seandainya saja benar-benar mati dalam kobaran api waktu itu karena itu lebih baik daripada terus-menerus disiksa oleh kenangan ini.Devon bisa melihat sorot tatapan Julia yang penuh tekad, bi

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 23

    Victor tidak tahu bahwa dia telah menjadi fokus pembicaraan semua orang bahkan sebelum dia mencapai tempat latihan.Hanya ada satu hal dalam benaknya.Dia akan mewarisi legasi Julia, bertanding di setiap lintasan yang ada dan memenangkan semua kejuaraan demi Julia.Dengan begini, rasa bersalah Victor mungkin akan berkurang saat menemui Julia di alam baka.Sebelum datang ke sini, Victor telah mendengar bahwa ada seorang pelatih legendaris yang muncul di negara asing dalam dua tahun terakhir. Para pembalap wanita yang dilatih telah memenangkan kejuaraan di semua kompetisi bergengsi.Pelatih itu hanya mau melatih perempuan, tetapi Victor tetap ingin mencobanya.Begitu memasuki ruang latihan, dia menghentikan seorang anggota staf dan berkata, "Halo, di mana pelatih Tim Zero?""Maksudmu si pelatih wanita?" Orang itu menunjuk ke suatu tempat yang tidak jauh dari situ. "Dia tadi duduk di sana. Anggota timnya masih di sana. Coba tanya dia."Victor berterima kasih padanya dan bergegas menghampi

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 22

    Devon selalu merasa bahwa Julia memperlakukannya berbeda.Julia selalu menjadi pemantau yang tenang dan percaya diri di hadapan orang lain, tetapi justru menjadi garang dan tersipu di hadapan Devon.Devon pikir itu adalah bukti perasaan Julia kepadanya.Jadi pada hari ujian masuk universitas berakhir, Devon mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaannya.Namun, Julia malah menatap Devon dengan bingung."Kenapa? Kamu nggak menyukaiku?" tanya Devon dengan gelisah, suaranya terdengar gemetar.Julia yang berusia 17 tahun itu mengernyit seolah sedang melihat makhluk asing. "Nggak. Kamu, bunga ini dan teman-temanmu yang selalu membuat onar itu. Aku nggak suka semuanya."Pengakuan pertama Devon gagal, tetapi dia enggan menerimanya. "Apa yang kamu benci dariku? Karena aku menyerahkan modelmu? Atau karena kamu menganggapku jelek?"Julia berbalik untuk pergi, tetapi berhenti saat melihat mata Devon yang berkaca-kaca.Julia menatap Devon dan mengucapkan setiap kata dengan serius, "Nggak jug

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 21

    Tiga tahun kemudian, Negara Fitalina.Di tempat istirahat di luar pangkalan latihan pacu, beberapa pembalap berambut pirang dan bermata biru tengah mengobrol sambil menghadap ke arah lintasan."Sudah dengar? Kali ini ada pembalap jagoan dari Negara Chimeas yang dijuluki si kuda hitam. Dia baru belajar balap selama tiga tahun, tapi sudah memenangkan semua kejuaraan domestik. Ini pertama kalinya dia berkompetisi di luar negeri dan banyak orang bertaruh dia akan menang, tapi menurutku itu bukan masalah besar.""Pembalap dari Negara Chimeas? Jangan remehkan mereka."Seorang pembalap lain bertubuh jangkung mendecakkan bibirnya. "Sudah lupa sama pelatih perempuan dari Negara Chimeas itu? Hanya dalam tiga tahun, dia sudah melahirkan lima juara F1 perempuan. Pelatih perempuan itu membuat para pembalap pria seperti kita-kita ini terlihat bermasalah selama beberapa tahun terakhir."Tania Nelsa hanya tersenyum mendengar hal itu dan menggelengkan kepalanya, lalu kembali ke area istirahat timnya.D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status