Share

Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal
Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal
Penulis: Ayunina Sharlyn

Bab 1 - Pelarian

"Di mana tuh cewek?! Cepat kejar! Jangan sampai dia lolos!!"

Teriakan keras seorang pria berjaket hitam menggelegar di seluruh lorong belakang gedung-gedung tinggi itu.

Langit di atas gelap, meskipun tidak sangat gelap. Hari memang sudah semakin malam.

"Kita menyebar saja! Lu ke kanan, gue ke kiri. Lu, ame lu, lurus terus! Kalau sampai kita ga bisa bawa tuh cewek, kita yang mati. Paham lu pade?!" Suara keras itu makin tajam dan sangar terdengar.

"Oke, Bang! Segera!" Salah satu dari lima pria itu menyahut.

Sekejap, suara derap langkah berlari keras memenuhi lorong. Makin lama, makin menjauh. Beberapa detik berikut tidak terdengar lagi suara sepatu pria-pria berpakaian serba hitam itu.

Perlahan, Mentari mengintip jalan di lorong itu, keluar dari persembunyian di belakang tempat sampah besar tepat di tengah lorong. Tidak ada siapapun. Tangan Mentari gemetar. Wajahnya pucat pasi, giginya pun gemeletuk saling beradu. Nafasnya juga masih tersengal.

Mentari memastikan tidak ada yang masih mengejarnya. Dia menengok ke kiri dan kanan. Sepertinya aman. Dia harus bergegas sebelum para pria itu kembali dan menemukannya. Mentari berjalan di lorong sepi itu, sambil berpikir akan ke mana. Dia tidak punya tujuan. Jakarta, sangat asing buat gadis dari kota kecil sepertinya.

"Aku harus ke mana? Aku harus ke mana?" Mentari kebingungan.

Tubuhnya yang tidak begitu tinggi dan sedikit kurus tampak lesu. Kakinya sebenarnya sudah berat melangkah. Sepatu yang dia kenakan sudah terlepas dari kedua kakinya. Mentari tidak ingat di mana dia tinggalkan.

Sejak pagi baru sepotong roti yang sempat masuk ke dalam perutnya. Kerongkongan sudah benar-benar keringrasanya. Tapi Mentari tidak boleh berhenti. Keadaannya belum benar-benar aman. Bahaya masih belum jauh.

Tak tok tak tok!

Mentari menghentikan langkah. Sayup-sayup derapan langkah kaki kembali terdengar. Jantung Mentari yang belum berdetak normal lagi-lagi melaju cepat. Para pria itu sepertinya kembali mendekat.

"Tidak ... tidak ... Aku harus ke mana?" Mentari panik. Dia menoleh ke kiri dan kanan, memutar tubuhnya dengan ketakutan.

Terseok-seok Mentari memaksa kakinya yang sudah terasa panas, pegal, dan lecet, terus berlari. Tanpa alas kaki, benar-benar sakit dan ngilu di ujung kakinya. Mentari melihat ada gang di depan. Mentari memilih berbelok di gang itu dan berharap jalan itu dapat mengecoh para pria yang mengejarnya.

Tak tok tak tok!

Suara derap Langkah mulai terdengar lagi.

“Ya Tuhan! Tolong, selamatkan aku dari orang-orang ini!!” Hati Mentari menjerit.

Sementara sambil berlari dengan ketakutan, Mentari menoleh ke belakang. Masih belum terlihat siapa-siapa. Segera Mentari mempercepat langkah. Dia kembali pandangan kembali ke jalan di depan gang itu. Sebuah mobil tiba-tiba datang dengan cepat dari arah depan. Lampunya menyorot kuat ke wajah Mentari. Mentari memiringkan tubuhnya, sedikit memicing karena silau.

“Itu dia! Di sana!” Terdengar suara salah satu pria itu. Benar, mereka bisa menyusul!

“Tidak! Jangan!” Hati Mentari membalas teriakan itu.

Nafas Mentari memburu. Hatinya makin kacau dan panik. Menteri melangkah dan mendekat ke pintu mobil. Dia mulai menggedor jendela mobil itu.

“Tolong! Pak, tolong!” Mentari terus menggedor jendela.

Mobil hitam itu berhenti mendadak karena Mentari memaksa ingin masuk. Pria di dalamnya sangat kaget dengan gadis yang sedang menggedor jendela sambil berteriak. Dari arah depan mobil tampak dua pria sedang berlari mendekat.

Bingung, tidak tahu dengan yang sedang terjadi, pria itu membuka kunci pintu mobilnya. Cepat Mentari masuk di belakang. Dia meringkuk sambil nafasnya masih tersengal-sengal. Pria itu membunyikan klakson meminta dua pria itu untuk minggir.

“Hei! Sopan dikit, Bang! Dasar!” Salah satu pria itu berteriak kesal. Tidak punya pilihan dia minggir, begitu juga temannya.

Mobil terus melaju menjauh. Kedua pria itu kembali berlari. Beberapa meter mereka berhenti dan terlihat bingung, karena gadis yang mereka cari tidak tampak batang hidungnya.

Mentari perlahan mengintip ke luar jendela mobil. Remang-remang, tidak terlihat jelas. Mentari menengok ke belakang mobil, dua pria yang mengejarnya sudah jauh.

“Hei! Lu siapa? Lu dicari orang-orang itu?” Pemilik mobil itu bicara sambil melihat sekilas ke arah Mentari yang kembali meringkuk di sebelah jok mobil.

Dia tidak bisa melihat jelas wajah Mentari, karena gelap di dalam mobil. Dia hanya bisa melihat rambut gadis itu panjang sampai di pungungnya, dan sedikit berantakan.

“Pak, aku mau turun di seberang jalan sana. Maaf, aku udah merepotkan.” Dengan suara gemetar dan masih terengah-engah, Mentari bicara, tidak menjawab pertanyaan pria itu.

Mentari tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Tapi dari suaranya Mentari yakin dia masih muda. Nada bicaranya khas cara orang Jakarta ngomong, dan suaranya enak didengar.

“Lu mau ke mana?” tanya pria itu lagi. “Gue Leon, nama lu siapa?”

Mentari tidak memperhatikan pertanyaan pria itu. Dia sibuk berpikir, setelah ini dia akan ke mana. Dia harus mencari tempat bersembunyi. Dia belum yakin sudah aman dari kejaran para pria itu.

Mata Mentari memperhatikan jalanan yang mulai ramai. Mobil menuju ke jalan besar. Sudah saatnya Mentari turun dan mencari tempat untuk bermalam, setidaknya untuk malam itu.

“Pak, di depan situ saja, aku mau turun,” kata Mentari.

Mobil minggir dan berhenti di pinggir jalan.

“Hei … lu kenapa kayak orang bingung gitu?” Leon masih penasaran dengan Mentari.

Mentari membuka pintu. “Terima kasih, Pak.”

Segera Mentari keluar dan menutup mobil. Dia berjalan cepat-cepat ke arah yang berlawanan dengan arah mobil melaju.

“Nih cewek aneh banget. Ditanya apa, jawabnya apa? Heran.” Leon menggeleng-geleng. Pria blasteran Spanyol itu tak habis pikir dengan tingkah gadis tak dikenal yang muncul dan pergi tiba-tiba.

Mobil kembali Leon lajukan. Jalanan masih lumayan padat.

“Hari ini benar-benar aneh. Belum hilang kagetku gara-gara Papa, nongol cewek ga jelas,” gerutu Leon.

Masih kuat terngiang di ingatan Leon apa yang papanya bicarakan saat Leon datang menemuinya di kantor. Sangat tidak masuk akal apa yang papanya minta.

“Kamu tidak akan begitu saja bergabung dan menjadi pimpinan. Kamu belum ada pengalaman. Itu pegawai yang bekerja di mal, kamu tidak kenal. Jadi, kamu akan bekerja sebagai orang magang. Mulai minggu depan.”

Saat mendengar kalimat itu membuat Leon mau melompat dari tempat dia duduk, tepat di depan ayahnya. .

“Papa ga jelas!!!” Leon berteriak dengan keras karena geram. Sementara matanya memandang keluar mobil, pada jalanan yang ramai.

“Orang itu ya, harusnya bangga punya anak bisa ikut kerja sama dia. Terus dikenalkan sebagai calon pengganti sama semua pegawai. Tapi Papa? Ahh! Mama kasih dia obat apa, sih?!” Kekesalan Leon berlanjut.

Leon masih belum bisa percaya dengan keputusan papanya yang tidak bisa diganggu gugat.

“Kesal!! Papa aku marah!” Leon kembali berteriak. “Apa memang seperti itu cara orang Spanyol mendidik anaknya? Ahh … ga mungkin!!”

Tin!! Tinnn!!!

Leon terkejut. Karena sibuk memikirkan papanya, dia tidak fokus pada setir. Hampir saja dia menabrak kendaraan di depannya yang tiba-tiba mengerem mendadak.

“No way!! Hari ini benar-benar sial!!” umpat Leon. “Papa nyebelin! Cewek aneh itu juga nyebelin!”

Cewek nyebelin itu, Mentari, ke mana dia pergi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status