Share

Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal
Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal
Author: Ayunina Sharlyn

Bab 1 - Pelarian

last update Last Updated: 2022-09-13 16:59:10

"Di mana tuh cewek?! Cepat kejar! Jangan sampai dia lolos!!"

Teriakan keras seorang pria berjaket hitam menggelegar di seluruh lorong belakang gedung-gedung tinggi itu.

Langit di atas gelap, meskipun tidak sangat gelap. Hari memang sudah semakin malam.

"Kita menyebar saja! Lu ke kanan, gue ke kiri. Lu, ame lu, lurus terus! Kalau sampai kita ga bisa bawa tuh cewek, kita yang mati. Paham lu pade?!" Suara keras itu makin tajam dan sangar terdengar.

"Oke, Bang! Segera!" Salah satu dari lima pria itu menyahut.

Sekejap, suara derap langkah berlari keras memenuhi lorong. Makin lama, makin menjauh. Beberapa detik berikut tidak terdengar lagi suara sepatu pria-pria berpakaian serba hitam itu.

Perlahan, Mentari mengintip jalan di lorong itu, keluar dari persembunyian di belakang tempat sampah besar tepat di tengah lorong. Tidak ada siapapun. Tangan Mentari gemetar. Wajahnya pucat pasi, giginya pun gemeletuk saling beradu. Nafasnya juga masih tersengal.

Mentari memastikan tidak ada yang masih mengejarnya. Dia menengok ke kiri dan kanan. Sepertinya aman. Dia harus bergegas sebelum para pria itu kembali dan menemukannya. Mentari berjalan di lorong sepi itu, sambil berpikir akan ke mana. Dia tidak punya tujuan. Jakarta, sangat asing buat gadis dari kota kecil sepertinya.

"Aku harus ke mana? Aku harus ke mana?" Mentari kebingungan.

Tubuhnya yang tidak begitu tinggi dan sedikit kurus tampak lesu. Kakinya sebenarnya sudah berat melangkah. Sepatu yang dia kenakan sudah terlepas dari kedua kakinya. Mentari tidak ingat di mana dia tinggalkan.

Sejak pagi baru sepotong roti yang sempat masuk ke dalam perutnya. Kerongkongan sudah benar-benar keringrasanya. Tapi Mentari tidak boleh berhenti. Keadaannya belum benar-benar aman. Bahaya masih belum jauh.

Tak tok tak tok!

Mentari menghentikan langkah. Sayup-sayup derapan langkah kaki kembali terdengar. Jantung Mentari yang belum berdetak normal lagi-lagi melaju cepat. Para pria itu sepertinya kembali mendekat.

"Tidak ... tidak ... Aku harus ke mana?" Mentari panik. Dia menoleh ke kiri dan kanan, memutar tubuhnya dengan ketakutan.

Terseok-seok Mentari memaksa kakinya yang sudah terasa panas, pegal, dan lecet, terus berlari. Tanpa alas kaki, benar-benar sakit dan ngilu di ujung kakinya. Mentari melihat ada gang di depan. Mentari memilih berbelok di gang itu dan berharap jalan itu dapat mengecoh para pria yang mengejarnya.

Tak tok tak tok!

Suara derap Langkah mulai terdengar lagi.

“Ya Tuhan! Tolong, selamatkan aku dari orang-orang ini!!” Hati Mentari menjerit.

Sementara sambil berlari dengan ketakutan, Mentari menoleh ke belakang. Masih belum terlihat siapa-siapa. Segera Mentari mempercepat langkah. Dia kembali pandangan kembali ke jalan di depan gang itu. Sebuah mobil tiba-tiba datang dengan cepat dari arah depan. Lampunya menyorot kuat ke wajah Mentari. Mentari memiringkan tubuhnya, sedikit memicing karena silau.

“Itu dia! Di sana!” Terdengar suara salah satu pria itu. Benar, mereka bisa menyusul!

“Tidak! Jangan!” Hati Mentari membalas teriakan itu.

Nafas Mentari memburu. Hatinya makin kacau dan panik. Menteri melangkah dan mendekat ke pintu mobil. Dia mulai menggedor jendela mobil itu.

“Tolong! Pak, tolong!” Mentari terus menggedor jendela.

Mobil hitam itu berhenti mendadak karena Mentari memaksa ingin masuk. Pria di dalamnya sangat kaget dengan gadis yang sedang menggedor jendela sambil berteriak. Dari arah depan mobil tampak dua pria sedang berlari mendekat.

Bingung, tidak tahu dengan yang sedang terjadi, pria itu membuka kunci pintu mobilnya. Cepat Mentari masuk di belakang. Dia meringkuk sambil nafasnya masih tersengal-sengal. Pria itu membunyikan klakson meminta dua pria itu untuk minggir.

“Hei! Sopan dikit, Bang! Dasar!” Salah satu pria itu berteriak kesal. Tidak punya pilihan dia minggir, begitu juga temannya.

Mobil terus melaju menjauh. Kedua pria itu kembali berlari. Beberapa meter mereka berhenti dan terlihat bingung, karena gadis yang mereka cari tidak tampak batang hidungnya.

Mentari perlahan mengintip ke luar jendela mobil. Remang-remang, tidak terlihat jelas. Mentari menengok ke belakang mobil, dua pria yang mengejarnya sudah jauh.

“Hei! Lu siapa? Lu dicari orang-orang itu?” Pemilik mobil itu bicara sambil melihat sekilas ke arah Mentari yang kembali meringkuk di sebelah jok mobil.

Dia tidak bisa melihat jelas wajah Mentari, karena gelap di dalam mobil. Dia hanya bisa melihat rambut gadis itu panjang sampai di pungungnya, dan sedikit berantakan.

“Pak, aku mau turun di seberang jalan sana. Maaf, aku udah merepotkan.” Dengan suara gemetar dan masih terengah-engah, Mentari bicara, tidak menjawab pertanyaan pria itu.

Mentari tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Tapi dari suaranya Mentari yakin dia masih muda. Nada bicaranya khas cara orang Jakarta ngomong, dan suaranya enak didengar.

“Lu mau ke mana?” tanya pria itu lagi. “Gue Leon, nama lu siapa?”

Mentari tidak memperhatikan pertanyaan pria itu. Dia sibuk berpikir, setelah ini dia akan ke mana. Dia harus mencari tempat bersembunyi. Dia belum yakin sudah aman dari kejaran para pria itu.

Mata Mentari memperhatikan jalanan yang mulai ramai. Mobil menuju ke jalan besar. Sudah saatnya Mentari turun dan mencari tempat untuk bermalam, setidaknya untuk malam itu.

“Pak, di depan situ saja, aku mau turun,” kata Mentari.

Mobil minggir dan berhenti di pinggir jalan.

“Hei … lu kenapa kayak orang bingung gitu?” Leon masih penasaran dengan Mentari.

Mentari membuka pintu. “Terima kasih, Pak.”

Segera Mentari keluar dan menutup mobil. Dia berjalan cepat-cepat ke arah yang berlawanan dengan arah mobil melaju.

“Nih cewek aneh banget. Ditanya apa, jawabnya apa? Heran.” Leon menggeleng-geleng. Pria blasteran Spanyol itu tak habis pikir dengan tingkah gadis tak dikenal yang muncul dan pergi tiba-tiba.

Mobil kembali Leon lajukan. Jalanan masih lumayan padat.

“Hari ini benar-benar aneh. Belum hilang kagetku gara-gara Papa, nongol cewek ga jelas,” gerutu Leon.

Masih kuat terngiang di ingatan Leon apa yang papanya bicarakan saat Leon datang menemuinya di kantor. Sangat tidak masuk akal apa yang papanya minta.

“Kamu tidak akan begitu saja bergabung dan menjadi pimpinan. Kamu belum ada pengalaman. Itu pegawai yang bekerja di mal, kamu tidak kenal. Jadi, kamu akan bekerja sebagai orang magang. Mulai minggu depan.”

Saat mendengar kalimat itu membuat Leon mau melompat dari tempat dia duduk, tepat di depan ayahnya. .

“Papa ga jelas!!!” Leon berteriak dengan keras karena geram. Sementara matanya memandang keluar mobil, pada jalanan yang ramai.

“Orang itu ya, harusnya bangga punya anak bisa ikut kerja sama dia. Terus dikenalkan sebagai calon pengganti sama semua pegawai. Tapi Papa? Ahh! Mama kasih dia obat apa, sih?!” Kekesalan Leon berlanjut.

Leon masih belum bisa percaya dengan keputusan papanya yang tidak bisa diganggu gugat.

“Kesal!! Papa aku marah!” Leon kembali berteriak. “Apa memang seperti itu cara orang Spanyol mendidik anaknya? Ahh … ga mungkin!!”

Tin!! Tinnn!!!

Leon terkejut. Karena sibuk memikirkan papanya, dia tidak fokus pada setir. Hampir saja dia menabrak kendaraan di depannya yang tiba-tiba mengerem mendadak.

“No way!! Hari ini benar-benar sial!!” umpat Leon. “Papa nyebelin! Cewek aneh itu juga nyebelin!”

Cewek nyebelin itu, Mentari, ke mana dia pergi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 125 - Di Atap Mal

    "Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 124 - Satu Lagi Keajaiban

    Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 123 - Leon Junior!

    Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 122 - More Than I Can Wish

    "Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 121 - Kejutan Leon

    Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 120 - Tidak Malam Ini

    Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 119 - Di Kamar Pengantin

    Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 118 - Gaun Putih

    Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 117 - So? How?

    Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status