Share

Bab 2 - Bersembunyi

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-15 07:00:41

Mentari berjalan dengan cepat menjauh dari mobil Leon. Mata Mentari mengawasi ke kiri dan kanan, berhati-hati jika dia melihat pria dengan jaket hitam di sekitarnya. Degupan di dada Mentari belum mereda, pun rasa takut belum benar-benar menyingkir.

Mentari melihat ada gang tidak terlalu lebar di depannya. Langkah kaki Mentari berbelok masuk ke gang itu. Gang tampak sepi. Mentari berharap ada di arah yang benar dan dia bisa kabur dari kejaran pria-pria itu. Langkah kaki Mentari mulai melambat. Dia hampir yakin orang-orang itu sudah jauh.

Tak tok tak tok!

Mentari berbalik badan dengan cepat. Suara sepatu itu. Apakah itu mereka?

Tak tok tak tok!

“Tidak! Kenapa mereka ada di mana-mana, sih?” Ketakutan kembali menguasai hati Mentari. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari kemungkinan arah mana yang bisa dia pilih.

Mentari melihat beberapa meter di sebelah kanannya, ada tangga naik. Mentari tidak tahu itu gedung apa, yang pasti dia harus bersembunyi segera, sejauh mungkin dari jangkauan pria-pria itu. Dengan tubuh gemetar dan langkah sedikit oleng, Mentari nekat. Dia mendekati tangga darurat belakang gedung dan mulai naik.

Suara langkah kaki makin terdengar keras. Mentari mempercepat gerakan tangan dan kakinya ke atas. Jangan sampai dia tertangkap, atau dia akan kembali masuk dalam cengkeraman tangan manusia-manusia jahat.

Dua orang pria berhenti tidak jauh dari tangga yang Mentari naiki.

"Sial! Bagaimana bisa dia lolos!? Kita ada berenam, dan gadis kecil itu sendirian! Sial!!" Pria dengan jambang tebal itu menghentakkan kakinya karena kesal.

Mentari berjongkok, meringkuk di belokan tangga di salah satu lantai. Dia tidak berani bergerak. Kalau boleh, dia mau berhenti bernafas sebentar saja, sampai pria-pria itu kembali berlalu. Untung juga gaun yang dia kenakan warnanya gelap, hampir hitam. Tidak akan mudah terlihat oleh mereka di keremangan.

"Lu yakin, tuh cewek tadi ke arah sini?" Yang satu lagi ikut bicara.

"Iye, Bang, gue yakin. Tapi gimana bisa tiba-tiba tuh cewek ngeselin malah lenyap begitu aja?" sahut kawannya. Nada jengkel juga terdengar dari ucapannya.

"Waktu kita ga banyak. Dua jam lagi bos mau terbang. Dia ga boleh sampai ketinggalan pesawat. Kita bisa dia habisi. Benar-benar menyebalkan. Kalau gue dapat itu cewek, gue duluan yang akan makan dia! Biar tau rasa!" ujar pria itu dengan kesal.

Mendengar kata-kata itu, Mentari menutup mulutnya. Butiran bening dengan cepat mengumpul di matanya yang tampak penat. Sementara rasa ketakutan makin berlipat mendera.

Tuttt ... tuttt ... Bunyi dering ponsel.

Pria yang lebih kecil, dengan cepat menerima panggilan. Dia berbicara dengan lebih pelan, dan tidak bisa tertangkap suaranya oleh Mentari. Entah apa yang terjadi, kedua pria itu pun berjalan cepat meninggalkan lorong.

“Ahh … untunglah … Makasih, ya Tuhan,” gumam Mentari.

Begitu keduanya tidak lagi tampak, Mentari kembali naik ke atas. Lebih baik dia mengamankan diri secepatnya. Dengan tubuh terasa makin lemas dan lunglai, Mentari akhirnya berhasil mencapai puncak.

Atap bangunan besar dan tinggi sangat luas. Mentari berasa di atap sebuah mal.

Mentari tidak tahu ini di daerah mana, tidak juga tahu mal apa namanya. Yang pasti dari atap gedung itu, Mentari bisa melihat banyak gedung lain yang juga menjulang di sekitar tempat dia berdiri. Mentari memandang ke sekeliling. Tidak ada siapapun, tidak ada apapun. Kecuali satu bangunan seperti sebuah gudang tidak begitu besar, sedikit di pinggir di satu sisi atap mal itu.

"Aku lapar ... haus ... aku lelah sekali ..." Mentari menyeret kakinya menuju ke bangunan itu.

Ternyata memang bangunan darurat tidak permanen. Dinding dibuat dari triplek saja. Sedang atapnya terbuat dari seng dan kayu-kayu bekas. Mentari mengulurkan tangan dan membuka pintu gudang itu. Bagus, tidak dikunci.

Remang-remang cahaya dari lampu-lampu atas gedung dan lampu sorot sedikit menerangi hingga ke dalam. Mentari menajamkan pandangan matanya agar bisa melihat dalam ruangan dengan lebih jelas.

"Kosong ..." Mentari yakin gudang itu kosong.

Hanya ada beberapa barang di sana. Tali, selang air, kardus, dan plastik-plastik yang sepertinya sudah tidak terpakai.

"Ah ... sakit perutku ..." Mentari terduduk di atas tumpukan plastik.

Tubuh Mentari terasa gemetar. Dia benar-benar lelah, kelaparan, dan kehausan. Ruangan sempit dan berdebu sudah tidak Mentari pedulikan. Kalau bisa, Mentari ingin membaringkan badannya yang terasa sangat penat.

Perut Mentari semakin terasa melilit. Tidak ada air, apalagi makanan. Tubuh kecilnya semakin menggigil dan gemetar. Mentari menjatuhkan tubuh dan meringkuk memegangi perutnya.

"Ibu ... Ayah ... aku mau mati rasanya ... Apa kita akan segera bertemu ...?" lirih Mentari berucap.

Dalam bayangannya, kedua orang tuanya memandanginya dari jauh, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.

“Ibu … Ayah … bawa aku. Aku ga mau sendirian lagi … Aku takut … sangat takut …” lanjut Mentari semakin pelan.

Butiran bening mengalir dari mata Mentari. Dia bahkan tidak sanggup lagi mengusap air mata. Kedua tangannya terus memegangi perut yang makin sakit. Karena lelah, takut, dan kelaparan, Mentari pun tertidur.

*****

Mentari merasa ada tangan yang memegang bahunya. Kaget, Mentari dengan cepat bangun dan mengangkat wajah. Seorang pria setengah baya berkumis berdiri menatapnya dengan galak.

"Tuan, jangan, aku mohon. Aku ga mau ke sana lagi, Tuan. Aku mohon jangan. Jangan ganggu aku." Mentari menyatukan kedua tangannya, seperti sedang berdoa. Mentari memohon dengan ketakutan luar biasa menerjang tiba-tiba.

"Apa kamu bilang?" Suara pria itu berat dan serak. Matanya setengah melotot menatap Mentari.

"Tuan, tolong, Tuan. Ampun, aku ga mau dibawa ke sana lagi. Aku cuma mau cari kerja yang baik. Lepaskan aku, Tuan. Aku mohon." Tangan Mentari yang bersatu makin naik menutupi wajahnya. Tampak gemetar, seperti suaranya.

Lapar dan haus tidak lagi terasa. Penat dan sakit di sekujur tubuh pun tidak. Mentari putus asa. Di tempat yang paling tinggi yang dia yakin aman buat dia bersembunyi, tetap saja dia ketahuan.

"Kamu ga tahu ini tempat apa? Kamu ga seharusnya ada di sini! Ayo, ikut!" Pria itu maju selangkah dengan tangan terulur hendak memegang lengan Mentari.

"Jangan, Tuan! Jangan!" Mentari mundur, makin merapat ke dinding dengan tubuh makin gemetar.

Ketakutan, kelelahan, kelaparan, dan depresi membuat Mentari kalang kabut.

"Kamu harus ikut. Sekarang, ayo ..."

"Aku mohon, Tuan, jangan ... jangan ..." Tidak ada kata lain yang Mentari bisa katakan. Dia hanya bisa memohon dengan air mata sudah berderai di kedua pipinya.

Pria setengah baya itu maju dua langkah dan semakin mendekat. Tangannya terangkat ke arah lengan Mentari!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 125 - Di Atap Mal

    "Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 124 - Satu Lagi Keajaiban

    Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 123 - Leon Junior!

    Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 122 - More Than I Can Wish

    "Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 121 - Kejutan Leon

    Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 120 - Tidak Malam Ini

    Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status