Share

Bab 2 - Bersembunyi

Mentari berjalan dengan cepat menjauh dari mobil Leon. Mata Mentari mengawasi ke kiri dan kanan, berhati-hati jika dia melihat pria dengan jaket hitam di sekitarnya. Degupan di dada Mentari belum mereda, pun rasa takut belum benar-benar menyingkir.

Mentari melihat ada gang tidak terlalu lebar di depannya. Langkah kaki Mentari berbelok masuk ke gang itu. Gang tampak sepi. Mentari berharap ada di arah yang benar dan dia bisa kabur dari kejaran pria-pria itu. Langkah kaki Mentari mulai melambat. Dia hampir yakin orang-orang itu sudah jauh.

Tak tok tak tok!

Mentari berbalik badan dengan cepat. Suara sepatu itu. Apakah itu mereka?

Tak tok tak tok!

“Tidak! Kenapa mereka ada di mana-mana, sih?” Ketakutan kembali menguasai hati Mentari. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari kemungkinan arah mana yang bisa dia pilih.

Mentari melihat beberapa meter di sebelah kanannya, ada tangga naik. Mentari tidak tahu itu gedung apa, yang pasti dia harus bersembunyi segera, sejauh mungkin dari jangkauan pria-pria itu. Dengan tubuh gemetar dan langkah sedikit oleng, Mentari nekat. Dia mendekati tangga darurat belakang gedung dan mulai naik.

Suara langkah kaki makin terdengar keras. Mentari mempercepat gerakan tangan dan kakinya ke atas. Jangan sampai dia tertangkap, atau dia akan kembali masuk dalam cengkeraman tangan manusia-manusia jahat.

Dua orang pria berhenti tidak jauh dari tangga yang Mentari naiki.

"Sial! Bagaimana bisa dia lolos!? Kita ada berenam, dan gadis kecil itu sendirian! Sial!!" Pria dengan jambang tebal itu menghentakkan kakinya karena kesal.

Mentari berjongkok, meringkuk di belokan tangga di salah satu lantai. Dia tidak berani bergerak. Kalau boleh, dia mau berhenti bernafas sebentar saja, sampai pria-pria itu kembali berlalu. Untung juga gaun yang dia kenakan warnanya gelap, hampir hitam. Tidak akan mudah terlihat oleh mereka di keremangan.

"Lu yakin, tuh cewek tadi ke arah sini?" Yang satu lagi ikut bicara.

"Iye, Bang, gue yakin. Tapi gimana bisa tiba-tiba tuh cewek ngeselin malah lenyap begitu aja?" sahut kawannya. Nada jengkel juga terdengar dari ucapannya.

"Waktu kita ga banyak. Dua jam lagi bos mau terbang. Dia ga boleh sampai ketinggalan pesawat. Kita bisa dia habisi. Benar-benar menyebalkan. Kalau gue dapat itu cewek, gue duluan yang akan makan dia! Biar tau rasa!" ujar pria itu dengan kesal.

Mendengar kata-kata itu, Mentari menutup mulutnya. Butiran bening dengan cepat mengumpul di matanya yang tampak penat. Sementara rasa ketakutan makin berlipat mendera.

Tuttt ... tuttt ... Bunyi dering ponsel.

Pria yang lebih kecil, dengan cepat menerima panggilan. Dia berbicara dengan lebih pelan, dan tidak bisa tertangkap suaranya oleh Mentari. Entah apa yang terjadi, kedua pria itu pun berjalan cepat meninggalkan lorong.

“Ahh … untunglah … Makasih, ya Tuhan,” gumam Mentari.

Begitu keduanya tidak lagi tampak, Mentari kembali naik ke atas. Lebih baik dia mengamankan diri secepatnya. Dengan tubuh terasa makin lemas dan lunglai, Mentari akhirnya berhasil mencapai puncak.

Atap bangunan besar dan tinggi sangat luas. Mentari berasa di atap sebuah mal.

Mentari tidak tahu ini di daerah mana, tidak juga tahu mal apa namanya. Yang pasti dari atap gedung itu, Mentari bisa melihat banyak gedung lain yang juga menjulang di sekitar tempat dia berdiri. Mentari memandang ke sekeliling. Tidak ada siapapun, tidak ada apapun. Kecuali satu bangunan seperti sebuah gudang tidak begitu besar, sedikit di pinggir di satu sisi atap mal itu.

"Aku lapar ... haus ... aku lelah sekali ..." Mentari menyeret kakinya menuju ke bangunan itu.

Ternyata memang bangunan darurat tidak permanen. Dinding dibuat dari triplek saja. Sedang atapnya terbuat dari seng dan kayu-kayu bekas. Mentari mengulurkan tangan dan membuka pintu gudang itu. Bagus, tidak dikunci.

Remang-remang cahaya dari lampu-lampu atas gedung dan lampu sorot sedikit menerangi hingga ke dalam. Mentari menajamkan pandangan matanya agar bisa melihat dalam ruangan dengan lebih jelas.

"Kosong ..." Mentari yakin gudang itu kosong.

Hanya ada beberapa barang di sana. Tali, selang air, kardus, dan plastik-plastik yang sepertinya sudah tidak terpakai.

"Ah ... sakit perutku ..." Mentari terduduk di atas tumpukan plastik.

Tubuh Mentari terasa gemetar. Dia benar-benar lelah, kelaparan, dan kehausan. Ruangan sempit dan berdebu sudah tidak Mentari pedulikan. Kalau bisa, Mentari ingin membaringkan badannya yang terasa sangat penat.

Perut Mentari semakin terasa melilit. Tidak ada air, apalagi makanan. Tubuh kecilnya semakin menggigil dan gemetar. Mentari menjatuhkan tubuh dan meringkuk memegangi perutnya.

"Ibu ... Ayah ... aku mau mati rasanya ... Apa kita akan segera bertemu ...?" lirih Mentari berucap.

Dalam bayangannya, kedua orang tuanya memandanginya dari jauh, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.

“Ibu … Ayah … bawa aku. Aku ga mau sendirian lagi … Aku takut … sangat takut …” lanjut Mentari semakin pelan.

Butiran bening mengalir dari mata Mentari. Dia bahkan tidak sanggup lagi mengusap air mata. Kedua tangannya terus memegangi perut yang makin sakit. Karena lelah, takut, dan kelaparan, Mentari pun tertidur.

*****

Mentari merasa ada tangan yang memegang bahunya. Kaget, Mentari dengan cepat bangun dan mengangkat wajah. Seorang pria setengah baya berkumis berdiri menatapnya dengan galak.

"Tuan, jangan, aku mohon. Aku ga mau ke sana lagi, Tuan. Aku mohon jangan. Jangan ganggu aku." Mentari menyatukan kedua tangannya, seperti sedang berdoa. Mentari memohon dengan ketakutan luar biasa menerjang tiba-tiba.

"Apa kamu bilang?" Suara pria itu berat dan serak. Matanya setengah melotot menatap Mentari.

"Tuan, tolong, Tuan. Ampun, aku ga mau dibawa ke sana lagi. Aku cuma mau cari kerja yang baik. Lepaskan aku, Tuan. Aku mohon." Tangan Mentari yang bersatu makin naik menutupi wajahnya. Tampak gemetar, seperti suaranya.

Lapar dan haus tidak lagi terasa. Penat dan sakit di sekujur tubuh pun tidak. Mentari putus asa. Di tempat yang paling tinggi yang dia yakin aman buat dia bersembunyi, tetap saja dia ketahuan.

"Kamu ga tahu ini tempat apa? Kamu ga seharusnya ada di sini! Ayo, ikut!" Pria itu maju selangkah dengan tangan terulur hendak memegang lengan Mentari.

"Jangan, Tuan! Jangan!" Mentari mundur, makin merapat ke dinding dengan tubuh makin gemetar.

Ketakutan, kelelahan, kelaparan, dan depresi membuat Mentari kalang kabut.

"Kamu harus ikut. Sekarang, ayo ..."

"Aku mohon, Tuan, jangan ... jangan ..." Tidak ada kata lain yang Mentari bisa katakan. Dia hanya bisa memohon dengan air mata sudah berderai di kedua pipinya.

Pria setengah baya itu maju dua langkah dan semakin mendekat. Tangannya terangkat ke arah lengan Mentari!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status