Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sepi merambat di antara dinding ruang keluarga, menelusup ke dalam hati Kirana yang sedang duduk di ujung sofa.
Sudah lebih dari dua jam sejak mereka menyantap makan malam bersama—tanpa obrolan, tanpa tawa, bahkan tanpa tatap mata yang biasanya selalu mereka tukar.
Makan malam itu terasa lebih seperti ritual wajib, bukan momen kehangatan dua insan yang dulu saling memuja.
Arga duduk tak jauh darinya, di sofa seberang, tubuhnya sedikit membungkuk, tatapannya terpaku pada layar ponsel yang tak lepas dari tangannya sejak beberapa menit terakhir.
Jemarinya bergerak cepat, seperti sedang mengetik sesuatu dengan penuh perhatian.
Sesekali, senyum kecil muncul di sudut bibirnya—senyum yang tak pernah lagi ia berikan pada Kirana selama beberapa minggu terakhir.
Namun setiap kali Arga sadar Kirana tengah menatapnya, ia buru-buru menyembunyikan ekspresi itu, kembali mengeraskan wajahnya menjadi datar, dingin, tak terbaca.
Kirana menelan ludah. Hatinya perih, tapi ia berusaha menahannya. Sudah beberapa hari ini sikap Arga tak lagi sama.
Ia menjadi jauh, acuh, seolah hidup di dimensi berbeda. Sentuhan-sentuhan kecil yang dulu begitu hangat kini menghilang.
Dan malam ini, semuanya terasa makin nyata dan menyakitkan.
Tatapan mata Arga padanya kini kosong. Tidak ada cinta. Tidak ada rasa. Hanya ada jarak yang makin lebar meski mereka duduk di ruangan yang sama.
“Mas?” panggil Kirana akhirnya, mencoba memecah hening yang begitu menyesakkan.
Arga menoleh singkat, tanpa benar-benar menatap. “Hm?”
Kirana menggigit bibir bawahnya, mencoba menyusun kata-kata sehalus mungkin. Ia tak ingin terdengar menuduh, hanya ingin tahu, ingin dimengerti, meski hatinya sudah remuk sejak lama.
“Malam ini ... kamu nggak mau aku temani?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. “Sudah beberapa minggu ini kamu nggak pernah minta aku layani lagi, Mas. Ada apa?”
Kalimat itu menggantung di udara. Hening kembali menyelimuti ruangan, namun kali ini terasa lebih menusuk.
Biasanya, setelah makan malam, Arga akan menggenggam tangan Kirana, menariknya masuk ke kamar, membelai rambutnya, mencium bibirnya dengan penuh hasrat, lalu mereka akan tenggelam dalam keintiman yang membungkus malam dengan kehangatan.
Di momen-momen seperti itu, Kirana selalu merasa bahwa rumah ini adalah rumah—dan Arga adalah pusat semestanya.
Namun beberapa minggu terakhir, segalanya menghilang seperti kabut yang tersapu angin. Arga lebih sering tidur lebih awal, memunggungi Kirana, bahkan beberapa malam memilih tidur di ruang kerja tanpa penjelasan.
Arga terdiam cukup lama hingga Kirana mulai berpikir bahwa ia tak akan menjawab.
Tapi kemudian, pria itu menarik napas dan berkata, “Nggak, Ra. Aku capek banget hari ini. Kerjaan di kantor lagi gila-gilaan. Yang aku butuhkan cuma istirahat, bukan malah nambah capek.”
Jawaban itu membuat Kirana menunduk, menahan luka yang menusuk tepat di dadanya.
Ia memaksakan senyum kecil, meski wajahnya mulai terasa hangat karena air mata yang mendesak di pelupuk.
“Oh, begitu ...,” gumamnya. “Maaf, Mas. Aku cuma menawarkan diri. Siapa tahu kamu maunya aku yang ajak, bukan nunggu diajak.”
Arga mendesah pelan. “Nggak kok. Kalau aku mau, aku pasti yang akan ajak kamu,” ucapnya dingin, tanpa melihat ke arahnya. “Aku harap kamu mengerti.”
Kirana tidak menjawab. Matanya perlahan menunduk menatap kedua tangannya yang bertaut di atas pangkuan. Ia tahu, sesuatu telah berubah. Tapi dia belum tahu apa. Yang dia tahu hanyalah … perasaannya kini tengah terluka.
Arga benar-benar berubah atau hanya perasaan Kirana saja.
Beberapa menit berlalu dalam hening. Hanya suara hujan yang terdengar samar dari luar.
Kirana memberanikan diri kembali bertanya, mencoba mencari celah agar tak terus tenggelam dalam prasangka. “Kalau boleh tahu, kerjaan kamu kenapa, Mas? Ada masalah besar?”
Arga mengangkat alis, seolah terkejut dengan pertanyaan itu.
Tapi ia cepat-cepat menutup reaksinya. “Cuma tekanan biasa. Laporan-laporan belum selesai, tim baru nggak kompeten, deadline mepet. Jadi, aku merasa lagi kerja sendirian.”
“Oh ….” Kirana mengangguk pelan. “Kalau ada yang bisa aku bantu atau sekadar jadi tempat cerita, kamu tahu aku selalu ada, kan?”
Arga hanya mengangguk tanpa menatap. “Iya, makasih.”
Kirana menarik napas panjang, menahan desakan di dadanya yang seolah ingin meledak. Ia ingin bertanya lebih jauh, ingin menuntut penjelasan, tapi ia tahu belum saatnya. Ia masih percaya. Dan tetap ingin percaya pada suaminya itu.
Tak lama kemudian, pria itu pergi ke kamar mandi dan menaruh ponselnya di atas nakas dekat tempat tidur mereka.
Sementara Kirana tengah merapikan meja riasnya yang sedikit berantakan dan belum sempat dia sentuh karena sibuk membersihkan halaman rumah dan juga taman belakang.
Alya: “Mas, kapan kamu akan bawa aku ke rumahmu? Katanya dalam minggu ini, kok belum kamu bawa juga?
Kirana membeku. Darahnya seperti berhenti mengalir.
Tangannya gemetar dan napasnya tercekat. Suasana sekelilingnya seakan memudar, hanya suara pesan itu yang terngiang-ngiang dalam kepalanya.
“Alya? Siapa dia?”
Arga menahan napasnya. Dada naik-turun dengan cepat, tapi mulutnya tak mampu membentuk kata.Matanya membelalak, namun kehilangan sorot percaya diri. Kata-kata Kirana terlalu tajam—dan terlalu benar. Seakan semua pertahanan yang ia bangun runtuh dalam satu dorongan emosi.Keheningan menggantung sebentar, tegang dan berat, sampai akhirnya suara pelan terdengar dari arah tangga.Langkah ringan namun terdengar disengaja. Lalu muncul sosok Alya, berdiri di ujung tangga dengan daster tipis berwarna pastel.Rambutnya digerai seadanya, matanya tampak merah dan sembab, entah karena benar-benar menangis atau sengaja dibuat seperti itu.Wajahnya memelas, seperti seekor anak kucing yang tak sengaja mengganggu dua induk singa.“Maaf,” ucap Alya dengan suara lirih, nyaris tercekat. Nada bicaranya pelan namun cukup nyaring untuk menarik perhatian.“Aku ... nggak bermaksud bikin kalian ribut terus tiap hari. Kehadiran aku ... mungkin cuma jadi beban.”Kalimat itu seperti anak panah yang melesat ke u
Jam menunjukkan pukul 10 malam saat Kirana membuka pintu rumah.Arga duduk di sofa dengan tangan bersilang di dada. Posisi duduknya kaku, seperti seseorang yang menahan emosi sejak lama.Matanya menatap tajam ke arah pintu, seolah sudah mengantisipasi suara kunci yang berputar sedari tadi.Televisi di depannya menyala, menampilkan tayangan berita larut malam, tapi volumenya dikecilkan dan tak ada tanda-tanda kalau tayangan itu benar-benar ditonton.Aura di ruangan itu pekat oleh amarah yang belum sempat diluapkan.Begitu Kirana masuk dan menutup pintu dengan pelan, suara Arga langsung terdengar, tajam, dingin, dan penuh tuntutan.“Kamu dari mana aja?” tanyanya tanpa basa-basi.Langkah Kirana terhenti sejenak. Tangannya masih menggenggam clutch bag warna krem yang serasi dengan gaunnya.Ia menatap Arga sejenak—pandangan yang penuh kejenuhan dan kepedihan yang tertahan.Lalu ia menoleh ke arah jam dinding yang menggantung di dekat televisi, seolah menekankan bahwa ia memang sadar betul
Pagi itu matahari baru saja mengintip malu-malu dari balik tirai langit, namun suasana di rumah Kirana terasa dingin dan hampa.Di meja makan, aroma teh hangat dan roti panggang tidak mampu menghangatkan hati Kirana yang sudah membeku semalaman.Alya datang dengan langkah pelan namun pasti, mengenakan gaun tidur longgar yang menonjolkan perutnya yang mulai membesar.Senyumnya manis, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Kirana bersiap.“Kak Kirana,” ucap Alya lembut lalu duduk di seberang meja makan. “Maaf ya... aku tahu ini mendadak, tapi aku rasa... akan lebih baik kalau aku tidur satu kamar dengan Mas Arga. Aku sering mual tengah malam, dan aku butuh dia di dekatku.”Kirana menghentikan sendoknya. Pandangannya jatuh ke wajah Alya, lalu ke perutnya, lalu kembali ke cangkir tehnya yang mulai kehilangan uap.Belum sempat ia menjawab, Arga datang dari arah dapur, menyusul percakapan yang belum selesai.“Kirana, aku pikir... kamu bisa tidur di kamar tamu dulu ya,” katanya ta
Arga dan Kirana masih saling berhadapan di dalam kamar yang kini penuh ketegangan.Udaranya serasa panas meski kipas langit-langit berputar pelan di atas mereka.Wajah Arga memerah menahan emosi, sementara Kirana berdiri tegak, menatap suaminya dengan sorot penuh kekecewaan dan kemarahan yang sudah lama membeku di dasar hatinya.“Kamu tuh egois, Kirana!” bentak Arga dengan suara serak yang menahan amarah.“Kamu nggak pernah coba ngerti posisiku. Kamu selalu mikirin perasaanmu sendiri, tanpa pernah peduli gimana rasanya jadi aku!”Kirana mendengus sinis. “Oh ya? Aku egois?” Ia sontak tertawa getir. “Aku cuma membela diriku, Mas. Karena kalau bukan aku, siapa lagi? Kamu? Kamu lebih dulu memutuskan untuk membawa wanita lain ke dalam rumah ini!”Arga mengatupkan rahangnya. “Alya ada di sini karena dia sedang mengandung anakku!”“Anak yang kamu buat dari pengkhianatan!” balas Kirana, matanya mulai memerah menahan air mata yang ingin jatuh.“Aku tahu aku belum bisa kasih kamu keturunan, tap
“Eh, Kak Kirana udah pulang,” sapa Alya dari balik pintu dengan suara yang dibuat ceria, lengkap dengan senyum tipis yang tak bisa menyembunyikan nada manipulatifnya.Tubuhnya bersandar santai di kusen pintu, tangan kirinya masih memegang cangkir teh yang belum habis. Tatapannya penuh penilaian saat melihat Kirana membuka sepatu di depan pintu.“Aku pikir Kak Kirana mau nginep di luar. Ternyata balik lagi ke sini,” lanjutnya lagi dengan nada sinis yang dibungkus basa-basi.Kirana menatap sekilas, hanya satu detik, sebelum kembali menunduk dan berjalan masuk tanpa sepatah kata pun.Tidak ada sapaan, tidak ada balasan. Hanya diam, yang jauh lebih tajam daripada kalimat apa pun.Alya menoleh ke arah ruang tengah, memastikan Arga mendengar semua kalimatnya, lalu menggeleng pelan seperti korban yang baru saja menerima perlakuan buruk.Kirana masuk ke kamarnya, membuka pintu dengan pelan lalu menutupnya rapat tanpa membanting, tapi cukup tegas untuk menegaskan batas.Tak lama setelah itu, A
Arga berdiri di ambang ruang tamu yang lengang, lampu gantung kristal memantulkan cahaya senja yang temaram ke seluruh sudut ruangan.Napasnya tertahan, bola matanya menelusuri setiap pintu dan lorong seakan‑akan Kirana bisa muncul dari balik bayangan mana saja.Dua hari belakangan ruang ini terasa lebih dingin, sepi, dan asing tanpa tawa ceroboh wanita itu.Alya, yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi teh melati hangat langsung menangkap kegelisahan suaminya.Gaun rumah berwarna pastel yang dia kenakan berkibar pelan tertiup hembusan AC.“Cari siapa, Mas?” tanyanya lembut, walau sorot matanya meneliti.Ia tahu persis jawaban Arga sebelum pria itu sempat membuka mulut.“Kirana. Di mana dia? Sudah dua hari ini aku tidak melihatnya,” Arga berbisik, tapi nada cemasnya jelas terdengar.Sekilas, rahang Alya mengeras. Bibirnya menipis menahan rasa tak sudi yang mendidih.“Nggak tahu. Mungkin lagi semedi di kamarnya,” jawabnya ketus sambil meletakkan nampan di atas mej