Pesan itu terus terngiang di benaknya. Kalimat pertanyaan ingin dibawa ke rumah ini dari seorang perempuan yang sama sekali tidak dia kenal cukup menguras hati dan jiwanya.
Hatinya sakit dan dadanya terasa sesak. Tapi Kirana terus mencoba menyangkalnya. Mencoba percaya bahwa dia hanya salah paham.
Mungkin itu nama kontak lama. Mungkin cuma kolega. Mungkin sekadar bercanda. Mungkin … mungkin ….
Kirana ingin menepis semua kemungkinan buruk. Tapi semakin ia mencoba berpikir positif, semakin pikirannya memberontak.
"Kalau memang hanya teman kantor, kenapa dia minta datang ke rumah? Apa yang disembunyikan Mas Arga sebenarnya?” gumamnya kemudian menghela napasnya dengan panjang.
Pertanyaan-pertanyaan itu mengiris pelan-pelan. Ia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Arga. Dan rasa percaya yang selama ini dia pertahankan mulai retak.
“Apa aku harus menanyakannya langsung? Tapi kalau aku salah, dia akan tersinggung. Tapi … kalau aku benar?”
Pertanyaan itu menggema di kepalanya, semakin keras, semakin memekakkan hati.
Kirana menelan salivanya dengan pelan. Dia kemudian menoleh ke arah Arga yang baru saja keluar dari kamar mandi dan langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
“Mas. Ada yang ingin aku tanya—”
“Besok pagi saja, Kirana. Aku ngantuk!” Arga memotong ucapan Kirana dan akhirnya membuat wanita itu hanya diam saja.
Harus sabar menunggu sampai pagi tiba.
**
Pagi itu, Arga bersikap seperti biasa saja seolah tidak ada hal yang patut dijelaskan atau apa pun itu.
“Aku berangkat,” ucap Arga singkat dan melangkah keluar dari rumah tersebut.
Setelah Arga pergi, Kirana berdiri lama di depan pintu. Pandangannya kosong, tapi pikirannya penuh. Ia meremas jemari sendiri, gelisah, bimbang, tak tahu harus bagaimana.
Setelah sarapan seadanya, Kirana menatap jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Ia tahu biasanya Arga tak akan makan siang sampai lewat tengah hari, tapi hari ini Kirana tak ingin hanya menunggu.
“Sebaiknya aku cari tahu semuanya tanpa harus bertanya padanya.”
Dengan langkah ragu, dia masuk ke dapur dan mulai menyiapkan makan siang. Nasi, ayam kesukaan Arga, sayur bening, dan sambal yang selalu membuat Arga tersenyum puas.
Semua dia siapkan dengan tangan gemetar, tapi hati yang mantap. Bukan untuk menyenangkan Arga—melainkan untuk menyenangkan rasa penasarannya sendiri.
“Kalau memang dia sibuk di kantor … maka dia pasti akan senang aku datang. Tapi kalau ….”
Kirana tak sanggup menyelesaikan pikirannya.
Setelah semua siap, dia mengganti bajunya terlebih dahulu, berdandan ringan, dan membawa kotak makan siang dalam tas kecil.
Sepanjang jalan, Kirana mencoba menenangkan diri. Ia berkata dalam hati bahwa ini bukan aksi diam-diam. Ini bukan mengintai.
Ini hanya bentuk perhatian seorang istri. Tapi detak jantungnya yang tak beraturan dan keringat dingin yang merembes di telapak tangannya, berkata sebaliknya.
Sesampainya di gedung tempat Arga bekerja, Kirana menarik napas dalam-dalam. Ia menatap pantulan dirinya di kaca lobi. Rapi. Tenang. Tapi hatinya berantakan.
Dia masuk ke dalam dan wanita cantik nan muda langsung menyambutnya dengan antusias.
“Bu Kirana? Wah, kejutan! Mau ketemu Pak Arga?” tanyanya dengan suara lembutnya.
Kirana tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. “Iya, aku bawain makan siang untuknya. Apa dia ada di ruangannya?”
“Wah, sayang banget, Bu. Pak Arga baru aja keluar sekitar lima belas menit yang lalu,” kata Vera—nama sekretaris suaminya itu memberitahu bahwa Arga baru saja keluar.
Kirana mengerutkan kening. “Keluar? Ke mana?” tanyanya ingin tahu.
“Oh, saya kurang tahu pasti ke mananya, Bu. Tapi katanya mau ketemu klien di luar. Bareng Bu Alya juga, sepertinya.”
Waktu seolah berhenti.
Seketika itu juga, udara seakan menghilang dari paru-paru Kirana. Jantungnya mencelos dan pandangannya berkunang sesaat. Tapi dia berusaha keras menjaga wajahnya tetap tenang.
“Bu Alya?” tanyanya dan tetap berusaha menyamarkan getaran suaranya.
“Iya, Bu. Bu Alya yang dari bagian legal, yang baru join dua bulan lalu itu lho. Beliau sering bantu Pak Arga akhir-akhir ini.” Vera tersenyum sopan, tak tahu bahwa senyumnya barusan menusuk hati Kirana lebih dalam dari yang ia kira.
“Oh, baik ….” Kirana mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku titip makanannya saja, ya. Tolong sampaikan ke Mas Arga.”
“Siap, Bu. Nanti saya taruh di mejanya langsung.”
Kirana menyerahkan tas kecil berisi makan siang tersebut lalu berpamitan. Senyumnya masih terukir, tapi air matanya sudah nyaris tumpah.
Langkahnya terasa berat. Setiap langkah menuju parkiran seolah membawa beban lebih di pundaknya. Begitu masuk ke dalam mobil, Kirana duduk lama tanpa menghidupkan mesin.
Ia menatap lurus ke depan. Matanya mulai basah. Ia tak menangis, tapi diamnya jauh lebih menyakitkan dari ribuan air mata.
"Alya. Lagi-lagi nama itu. Lagi-lagi perempuan itu.”
Dan kali ini bukan hanya pesan di ponsel. Tapi kehadirannya nyata. Wanita itu tengah menemani Arga, bahkan dalam urusan kantor.
Kirana merasa asing. Dengan suaminya. Dengan rumahnya. Dengan hidupnya sendiri.
Ia mulai mempertanyakan: sejak kapan semua ini berubah? Sejak kapan Arga mulai menjauh? Dan … apakah selama ini Arga hanya pandai bersandiwara?
Mobil akhirnya melaju pelan menyusuri jalanan kota yang basah sisa hujan semalam. Tapi pikiran Kirana tetap tertinggal di lobi kantor Arga.
Setibanya di rumah, Kirana langsung masuk kamar. Ia tak sanggup berbicara dengan siapa pun dalam keadaan seperti ini.
Dia kemudian duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya, dan membiarkan pikirannya liar entah ke mana.
“Jika Arga benar-benar mencintai perempuan lain … lalu aku ini siapa?”
Kirana mencoba menenangkan hatinya dengan cara memasak. Ia tahu rumah ini tak lagi seperti dulu. Namun, Kirana merasa harus kuat untuk hidupnya yang masih harus berjalan, meski tertatih.Ia memutuskan untuk membuat ayam kecap kesukaan Arga, lengkap dengan sayur bayam bening dan sambal terasi buatan sendiri. Masakan yang selama ini selalu membuat Arga tersenyum puas di meja makan.Ia ingin percaya, bahwa dengan menyajikan cinta dalam bentuk masakan, mungkin—hanya mungkin—Arga akan teringat tentang Kirana yang dulu. Tentang rumah ini yang dulu jadi tempat mereka berbagi tawa.Suara langkah pelan mendekat dari belakang membuat Kirana menoleh.Alya muncul di ambang pintu dapur, mengenakan daster mewah, rambut terikat setengah dengan pita putih.“Oh, Kak Kirana lagi masak ya?” tanyanya sambil tersenyum lebar.Kirana mengangguk pelan. “Ya,” jawabnya dengan singkat.Alya berjalan masuk sambil menepuk-nepuk perutnya yang sedikit buncit itu. “Aduh, aku juga jadi pengin bantu-bantu, nih. Katany
Sudah tiga hari sejak Arga membawa Alya masuk ke rumah mereka. Tiga hari yang terasa seperti tiga tahun bagi Kirana. Ia berjalan di antara ruang-ruang yang dulu dia isi dengan cinta, kini menjadi saksi kehadiran orang ketiga yang tak diundangnya bahkan tak pernah ada dalam list hidupnya.Memiliki madu, menjadi istri tua dan harus melihat kemesraan suaminya bersama istri mudanya. Ini bukan dunia, ini adalah neraka yang telah diciptakan oleh Arga—suami yang dulu sangat dia cintai, kini menjadi orang yang paling menyakitinya.Namun, Kirana tahu, dirinya sedang diuji. Tapi tak pernah dia bayangkan, bahwa ujiannya akan datang dari rumahnya sendiri—dari suami yang pernah dia percaya, dan perempuan yang kini menggantikan posisinya secara perlahan. Ini benar-benar menyakitkan.Pagi ini, Kirana berjalan menuju ruang keluarga hendak menyapu dan merapikan beberapa barang yang berserakan.Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Matanya menangkap pemandangan yang membuat dadanya sesak.Alya seda
“Kamu gila, hah?” pekik Kirana sembari mengepalkan tangannya mendengar ucapan Arga tadi. “Nggak. Aku nggak mau. Aku menolaknya, Mas. Kamu carikan saja rumah untuk dia, jangan pernah kamu bawa wanita itu kemari!”Arga menggeleng dengan pelan. “Tidak bisa. Aku sudah mengiyakan permintaan dia untuk tinggal di sini dengan kita. Tolong, Kirana. Aku tahu aku salah. Tapi, aku harap kamu mengerti kalau aku tidak punya pilihan lain selain bertanggungjawab padanya.”Kirana tertawa getir mendengarnya. “Tanggung jawab? Apa aku nggak salah dengar?” ucapnya kemudian menghela napasnya dengan panjang.“Apa pun keputusanmu, aku tetap akan membawanya ke rumah ini. Bersikap baik padanya, dia sedang hamil muda,” ucapnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Kirana yang masih berdiri di meja makan dengan hati yang penuh luka.Kirana menundukan kepalanya sambil menangis. Tangannya mengepal erat, tidak menyangka selama ini ternyata dia punya madu.“Tega sekali kamu menghamili wanita lain dan sekarang kamu men
Kirana duduk di meja makan di antara hidangan yang tak tersentuh. Nasi hangat, sup bening, ayam goreng favorit Arga.Semua ia tata rapi, tapi bukan karena ingin merayakan apa pun—melainkan karena ingin melihat seberapa jauh suaminya bisa berpura-pura.Jam menunjukkan pukul 21.10 saat suara mobil terdengar di halaman depan. Kirana segera berdiri. Detak jantungnya menggema di telinga. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi malam ini, ia butuh kebenaran—seburuk apa pun bentuknya.Pintu terbuka. Arga masuk dengan langkah pelan, membenarkan dasinya sambil menghela napas.“Hai, Ran,” sapanya dengan pelan, seperti biasa. Tapi malam ini, tidak ada balasan dari Kirana. Hanya tatapan tajam yang menembus dada.Arga menghentikan langkah, menyadari ada yang berbeda. Ia menatap wajah istrinya yang pucat, namun matanya menyala seperti bara.“Ada apa?” tanyanya gugup.Kirana tak menjawab langsung. Ia memutar badan, mengambil segelas air dari atas meja, dan berkata tanpa menoleh, “Siapa Alya?”Suar
Pesan itu terus terngiang di benaknya. Kalimat pertanyaan ingin dibawa ke rumah ini dari seorang perempuan yang sama sekali tidak dia kenal cukup menguras hati dan jiwanya.Hatinya sakit dan dadanya terasa sesak. Tapi Kirana terus mencoba menyangkalnya. Mencoba percaya bahwa dia hanya salah paham.Mungkin itu nama kontak lama. Mungkin cuma kolega. Mungkin sekadar bercanda. Mungkin … mungkin ….Kirana ingin menepis semua kemungkinan buruk. Tapi semakin ia mencoba berpikir positif, semakin pikirannya memberontak."Kalau memang hanya teman kantor, kenapa dia minta datang ke rumah? Apa yang disembunyikan Mas Arga sebenarnya?” gumamnya kemudian menghela napasnya dengan panjang.Pertanyaan-pertanyaan itu mengiris pelan-pelan. Ia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Arga. Dan rasa percaya yang selama ini dia pertahankan mulai retak.“Apa aku harus menanyakannya langsung? Tapi kalau aku salah, dia akan tersinggung. Tapi … kalau aku benar?”Pertanyaan itu menggema di kepalanya, semakin keras,
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sepi merambat di antara dinding ruang keluarga, menelusup ke dalam hati Kirana yang sedang duduk di ujung sofa.Sudah lebih dari dua jam sejak mereka menyantap makan malam bersama—tanpa obrolan, tanpa tawa, bahkan tanpa tatap mata yang biasanya selalu mereka tukar.Makan malam itu terasa lebih seperti ritual wajib, bukan momen kehangatan dua insan yang dulu saling memuja.Arga duduk tak jauh darinya, di sofa seberang, tubuhnya sedikit membungkuk, tatapannya terpaku pada layar ponsel yang tak lepas dari tangannya sejak beberapa menit terakhir.Jemarinya bergerak cepat, seperti sedang mengetik sesuatu dengan penuh perhatian.Sesekali, senyum kecil muncul di sudut bibirnya—senyum yang tak pernah lagi ia berikan pada Kirana selama beberapa minggu terakhir.Namun setiap kali Arga sadar Kirana tengah menatapnya, ia buru-buru menyembunyikan ekspresi itu, kembali mengeraskan wajahnya menjadi datar, dingin, tak terbaca.Kirana menelan ludah. Hatinya pe