Share

Bab 5

Author: Catatan Riska
last update Last Updated: 2025-07-15 16:11:59

“Kamu gila, hah?” pekik Kirana sembari mengepalkan tangannya mendengar ucapan Arga tadi. “Nggak. Aku nggak mau. Aku menolaknya, Mas. Kamu carikan saja rumah untuk dia, jangan pernah kamu bawa wanita itu kemari!”

Arga menggeleng dengan pelan. “Tidak bisa. Aku sudah mengiyakan permintaan dia untuk tinggal di sini dengan kita. Tolong, Kirana. Aku tahu aku salah. Tapi, aku harap kamu mengerti kalau aku tidak punya pilihan lain selain bertanggungjawab padanya.”

Kirana tertawa getir mendengarnya. “Tanggung jawab? Apa aku nggak salah dengar?” ucapnya kemudian menghela napasnya dengan panjang.

“Apa pun keputusanmu, aku tetap akan membawanya ke rumah ini. Bersikap baik padanya, dia sedang hamil muda,” ucapnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Kirana yang masih berdiri di meja makan dengan hati yang penuh luka.

Kirana menundukan kepalanya sambil menangis. Tangannya mengepal erat, tidak menyangka selama ini ternyata dia punya madu.

“Tega sekali kamu menghamili wanita lain dan sekarang kamu menikahinya dengan dalih tanggung jawab?” lirihnya sembari tersenyum getir. “Lalu, kamu akan lepas tanggung jawabmu padaku, hanya karena dia sedang mengandung anakmu?”

**

Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Arga sudah pergi sejak dua jam yang lalu dan kini Kirana tengah mencoba menyibukkan diri, menenangkan pikirannya yang kacau setelah malam penuh air mata dan kenyataan pahit yang belum bisa dia cerna sepenuhnya.

Kepalanya masih berat. Ia tak tidur semalaman. Di antara rasa hancur, marah, dan bingung, Kirana terus bertanya pada dirinya sendiri—apa yang harus ia lakukan setelah tahu suaminya telah mengkhianatinya? Telah menikah diam-diam dan menghamili wanita lain?

Tangannya masih sibuk melipat selimut di sofa ketika suara mobil terdengar dari depan rumah. Kirana menoleh ke arah jendela. Hatinya mencelos saat melihat Arga turun dari mobil.

Tapi bukan itu yang membuatnya terdiam.

Di sisi Arga, berdiri seorang wanita muda. Cantik. Anggun. Dengan perut yang mulai tampak menonjol.

Wanita itu mengenakan dress pastel yang lembut, rambut panjang tergerai rapi, dan senyum tipis di bibirnya—senyum yang membuat Kirana merasa seperti ditusuk dari kejauhan.

Langkah kaki mereka mendekat. Kirana masih terpaku di tempat, jantungnya berdetak tak karuan. Ketika pintu terbuka, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.

Arga masuk lebih dulu kemudian menarik napas panjang. Ia menatap Kirana sebentar sebelum berkata dengan suara datar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Ran … aku bawa Alya. Mulai sekarang, dia akan tinggal bersama kita.”

Kirana hanya membeku di tempat.

Kata-kata itu seperti palu besar yang menghantam dadanya. Membuatnya sesak. Membuatnya ingin berteriak. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya tatapan kosong yang terpaku pada wanita yang berdiri di sebelah suaminya.

Alya melangkah masuk, menatap Kirana dari ujung kaki hingga kepala. Ia tersenyum kecil, tetapi senyum itu mengandung kesombongan yang dibalut kepura-puraan.

“Selamat pagi, Kak Kirana,” sapanya manis, namun tajam. “Semoga kita bisa rukun, ya ….”

Rukun?

Kirana nyaris tertawa mendengar kata itu. Tapi tak ada tawa yang keluar. Hanya luka yang semakin menganga di hatinya.

Perlahan, Kirana menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Ia tak ingin menangis di hadapan mereka.

Ia tak ingin terlihat lemah di depan perempuan yang telah merebut suaminya—dan kini, dengan angkuhnya, berdiri di dalam rumahnya.

Rumah yang dulu hanya miliknya dan Arga. Tempat ia menata mimpi, membangun cinta, membesarkan anak yang dia kira akan datang lebih cepat. Namun, nyatanya bukan anak yang datang lebih dulu, melainkan madu.

Kini, rumah itu seolah bukan miliknya lagi.

Masih dengan tangan gemetar, Kirana menatap Arga. “Kamu serius?” ucapnya dengan lirih. “Aku pikir kamu bercanda akan bawa dia kemari, Mas.”

Arga mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangan. Ia tak punya keberanian untuk menatap mata istrinya sendiri. “Aku … aku sudah berjanji akan bertanggung jawab. Alya sedang hamil, dan dia butuh tempat yang aman. Dan tempat ini adalah tempat teraman untuknya.”

“Lalu bagaimana denganku?” suara Kirana mulai bergetar. “Bagaimana dengan pernikahan kita, Arga?”

Arga hanya bisa diam.

Alya, yang sejak tadi berdiri anggun di sisi Arga, membuka suara. “Tenang saja, Kak. Aku nggak akan ganggu hubungan kalian. Aku cuma butuh tempat yang nyaman sampai bayi ini lahir.” Ia menepuk perutnya pelan dengan penuh kemenangan.

Kirana mengepalkan tangannya dengan erat. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia tetap berdiri tegak. Enggan menjatuhkan air matanya di hadapan Alya.

“Tempat yang nyaman? Di rumahku?” Kirana akhirnya bersuara dengan suara yang cukup tajam. “Setelah kalian menghancurkan hidupku, sekarang kalian ingin tinggal di bawah atap yang sama denganku?”

Arga melangkah maju, mencoba meredakan ketegangan di sana. “Ra, aku tahu ini berat. Tapi aku mohon, beri kesempatan. Ini hanya sementara. Aku akan tetap jadi suamimu. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku mohon.”

Kirana menatap suaminya, tak percaya. “Kamu pikir ini adil? Kamu pikir aku bisa hidup satu rumah dengan wanita yang merebut kamu dariku? Yang kamu nikahi diam-diam? Yang kamu hamili … sementara aku bahkan tidak tahu kamu sudah berubah sedalam itu?”

Alya hanya mengangkat alis, seolah menikmati setiap kata yang keluar dari mulut Kirana. Seolah merasa menang.

“Tolong, Ran … ini semua demi kebaikan dia dan calon anak kami.” Arga mencoba membela diri, tapi suaranya terdengar lemah. Bahkan dia sendiri tidak yakin dengan alasannya.

Kirana menoleh pelan ke arah Alya. Tatapan mereka bertemu. Tatapan penuh luka dan rasa kalah di mata Kirana bertemu dengan tatapan sinis yang tersamar di balik senyum manis Alya.

Kirana tahu, perempuan itu tidak datang untuk sekadar berlindung. Ia datang untuk merebut. Dan kini, dia berhasil.

Tapi Kirana tidak akan menyerah begitu saja.

Dengan suara pelan namun tegas, Kirana berkata, “Kalau kalian pikir aku akan diam saja menerima ini semua … kalian salah besar.”

Ia memutar tubuh dan berjalan menuju kamar. Di belakangnya, Arga dan Alya berdiri kaku. Hening. Seolah baru sadar bahwa badai yang mereka ciptakan belum benar-benar dimulai.

Sampai di ambang pintu, Kirana berhenti sejenak. Suaranya terdengar lirih, namun penuh luka yang membara.

“Semoga kalian nyaman di rumah ini …,” ia menoleh sekilas dan menatap Alya dalam-dalam.

“Karena setiap sudut rumah ini akan mengingatkan kalian … bahwa kalian membangunnya di atas air mata orang lain.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 13

    Arga menahan napasnya. Dada naik-turun dengan cepat, tapi mulutnya tak mampu membentuk kata.Matanya membelalak, namun kehilangan sorot percaya diri. Kata-kata Kirana terlalu tajam—dan terlalu benar. Seakan semua pertahanan yang ia bangun runtuh dalam satu dorongan emosi.Keheningan menggantung sebentar, tegang dan berat, sampai akhirnya suara pelan terdengar dari arah tangga.Langkah ringan namun terdengar disengaja. Lalu muncul sosok Alya, berdiri di ujung tangga dengan daster tipis berwarna pastel.Rambutnya digerai seadanya, matanya tampak merah dan sembab, entah karena benar-benar menangis atau sengaja dibuat seperti itu.Wajahnya memelas, seperti seekor anak kucing yang tak sengaja mengganggu dua induk singa.“Maaf,” ucap Alya dengan suara lirih, nyaris tercekat. Nada bicaranya pelan namun cukup nyaring untuk menarik perhatian.“Aku ... nggak bermaksud bikin kalian ribut terus tiap hari. Kehadiran aku ... mungkin cuma jadi beban.”Kalimat itu seperti anak panah yang melesat ke u

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 12

    Jam menunjukkan pukul 10 malam saat Kirana membuka pintu rumah.Arga duduk di sofa dengan tangan bersilang di dada. Posisi duduknya kaku, seperti seseorang yang menahan emosi sejak lama.Matanya menatap tajam ke arah pintu, seolah sudah mengantisipasi suara kunci yang berputar sedari tadi.Televisi di depannya menyala, menampilkan tayangan berita larut malam, tapi volumenya dikecilkan dan tak ada tanda-tanda kalau tayangan itu benar-benar ditonton.Aura di ruangan itu pekat oleh amarah yang belum sempat diluapkan.Begitu Kirana masuk dan menutup pintu dengan pelan, suara Arga langsung terdengar, tajam, dingin, dan penuh tuntutan.“Kamu dari mana aja?” tanyanya tanpa basa-basi.Langkah Kirana terhenti sejenak. Tangannya masih menggenggam clutch bag warna krem yang serasi dengan gaunnya.Ia menatap Arga sejenak—pandangan yang penuh kejenuhan dan kepedihan yang tertahan.Lalu ia menoleh ke arah jam dinding yang menggantung di dekat televisi, seolah menekankan bahwa ia memang sadar betul

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 11

    Pagi itu matahari baru saja mengintip malu-malu dari balik tirai langit, namun suasana di rumah Kirana terasa dingin dan hampa.Di meja makan, aroma teh hangat dan roti panggang tidak mampu menghangatkan hati Kirana yang sudah membeku semalaman.Alya datang dengan langkah pelan namun pasti, mengenakan gaun tidur longgar yang menonjolkan perutnya yang mulai membesar.Senyumnya manis, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Kirana bersiap.“Kak Kirana,” ucap Alya lembut lalu duduk di seberang meja makan. “Maaf ya... aku tahu ini mendadak, tapi aku rasa... akan lebih baik kalau aku tidur satu kamar dengan Mas Arga. Aku sering mual tengah malam, dan aku butuh dia di dekatku.”Kirana menghentikan sendoknya. Pandangannya jatuh ke wajah Alya, lalu ke perutnya, lalu kembali ke cangkir tehnya yang mulai kehilangan uap.Belum sempat ia menjawab, Arga datang dari arah dapur, menyusul percakapan yang belum selesai.“Kirana, aku pikir... kamu bisa tidur di kamar tamu dulu ya,” katanya ta

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 10

    Arga dan Kirana masih saling berhadapan di dalam kamar yang kini penuh ketegangan.Udaranya serasa panas meski kipas langit-langit berputar pelan di atas mereka.Wajah Arga memerah menahan emosi, sementara Kirana berdiri tegak, menatap suaminya dengan sorot penuh kekecewaan dan kemarahan yang sudah lama membeku di dasar hatinya.“Kamu tuh egois, Kirana!” bentak Arga dengan suara serak yang menahan amarah.“Kamu nggak pernah coba ngerti posisiku. Kamu selalu mikirin perasaanmu sendiri, tanpa pernah peduli gimana rasanya jadi aku!”Kirana mendengus sinis. “Oh ya? Aku egois?” Ia sontak tertawa getir. “Aku cuma membela diriku, Mas. Karena kalau bukan aku, siapa lagi? Kamu? Kamu lebih dulu memutuskan untuk membawa wanita lain ke dalam rumah ini!”Arga mengatupkan rahangnya. “Alya ada di sini karena dia sedang mengandung anakku!”“Anak yang kamu buat dari pengkhianatan!” balas Kirana, matanya mulai memerah menahan air mata yang ingin jatuh.“Aku tahu aku belum bisa kasih kamu keturunan, tap

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 9

    “Eh, Kak Kirana udah pulang,” sapa Alya dari balik pintu dengan suara yang dibuat ceria, lengkap dengan senyum tipis yang tak bisa menyembunyikan nada manipulatifnya.Tubuhnya bersandar santai di kusen pintu, tangan kirinya masih memegang cangkir teh yang belum habis. Tatapannya penuh penilaian saat melihat Kirana membuka sepatu di depan pintu.“Aku pikir Kak Kirana mau nginep di luar. Ternyata balik lagi ke sini,” lanjutnya lagi dengan nada sinis yang dibungkus basa-basi.Kirana menatap sekilas, hanya satu detik, sebelum kembali menunduk dan berjalan masuk tanpa sepatah kata pun.Tidak ada sapaan, tidak ada balasan. Hanya diam, yang jauh lebih tajam daripada kalimat apa pun.Alya menoleh ke arah ruang tengah, memastikan Arga mendengar semua kalimatnya, lalu menggeleng pelan seperti korban yang baru saja menerima perlakuan buruk.Kirana masuk ke kamarnya, membuka pintu dengan pelan lalu menutupnya rapat tanpa membanting, tapi cukup tegas untuk menegaskan batas.Tak lama setelah itu, A

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 8

    Arga berdiri di ambang ruang tamu yang lengang, lampu gantung kristal memantulkan cahaya senja yang temaram ke seluruh sudut ruangan.Napasnya tertahan, bola matanya menelusuri setiap pintu dan lorong seakan‑akan Kirana bisa muncul dari balik bayangan mana saja.Dua hari belakangan ruang ini terasa lebih dingin, sepi, dan asing tanpa tawa ceroboh wanita itu.Alya, yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi teh melati hangat langsung menangkap kegelisahan suaminya.Gaun rumah berwarna pastel yang dia kenakan berkibar pelan tertiup hembusan AC.“Cari siapa, Mas?” tanyanya lembut, walau sorot matanya meneliti.Ia tahu persis jawaban Arga sebelum pria itu sempat membuka mulut.“Kirana. Di mana dia? Sudah dua hari ini aku tidak melihatnya,” Arga berbisik, tapi nada cemasnya jelas terdengar.Sekilas, rahang Alya mengeras. Bibirnya menipis menahan rasa tak sudi yang mendidih.“Nggak tahu. Mungkin lagi semedi di kamarnya,” jawabnya ketus sambil meletakkan nampan di atas mej

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status