Share

Bab 6

Author: Catatan Riska
last update Huling Na-update: 2025-07-15 16:24:04

Sudah tiga hari sejak Arga membawa Alya masuk ke rumah mereka. Tiga hari yang terasa seperti tiga tahun bagi Kirana. Ia berjalan di antara ruang-ruang yang dulu dia isi dengan cinta, kini menjadi saksi kehadiran orang ketiga yang tak diundangnya bahkan tak pernah ada dalam list hidupnya.

Memiliki madu, menjadi istri tua dan harus melihat kemesraan suaminya bersama istri mudanya. Ini bukan dunia, ini adalah neraka yang telah diciptakan oleh Arga—suami yang dulu sangat dia cintai, kini menjadi orang yang paling menyakitinya.

Namun, Kirana tahu, dirinya sedang diuji. Tapi tak pernah dia bayangkan, bahwa ujiannya akan datang dari rumahnya sendiri—dari suami yang pernah dia percaya, dan perempuan yang kini menggantikan posisinya secara perlahan. Ini benar-benar menyakitkan.

Pagi ini, Kirana berjalan menuju ruang keluarga hendak menyapu dan merapikan beberapa barang yang berserakan.

Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Matanya menangkap pemandangan yang membuat dadanya sesak.

Alya sedang berdiri di atas kursi kecil tengah memindahkan vas bunga dari meja pojok ke rak gantung dekat televisi.

Di meja utama, taplak bordir buatan tangan Kirana sudah tergulung. Bantal sofa yang dulu ia pilih dengan cermat sudah diganti dengan warna-warna pastel kekinian.

“Apa yang sedang kamu lakukan, Alya?” tanya Kirana dengan suara dinginnya.

“Loh, Kak Kirana,” sapa Alya tanpa menoleh.

Suaranya sangat ringan seolah tidak merasa bersalah. “Aku tata-tata dikit ya. Dekorasi rumah ini ... hmm, jadul banget. Nggak matching sama aura ibu hamil yang ceria.”

Ia kemudian tertawa kecil dan melanjutkan pekerjaannya tanpa memedulikan keterkejutan Kirana.

Kirana berdiri diam. Tangannya menggenggam sapu yang kini terasa berat. Bibirnya bergetar, ingin bicara.

Tapi apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia tak setuju? Bahwa itu rumahnya? Rumah yang sudah ia rawat selama bertahun-tahun?

Tapi rumah itu … kini seolah bukan miliknya lagi.

Beberapa menit kemudian, Arga muncul dari arah dapur. Ia melihat Alya dengan senyum di bibirnya lalu menghampirinya.

“Kamu ganti dekorasi lagi?” tanyanya dengan suara lembut.

Alya menyeringai sambil menoleh manja. “Hehe, iya dong. Masa rumah kita kayak rumah tua? Ini tuh harus ada sentuhan yang lebih segar. Lebih … kekinian. Biar semangat semua orang yang tinggal di sini. Gimana menurut kamu? Lebih bagus seperti ini, kan?”

Dan Arga … hanya mengangguk setuju. Tak sepatah kata pun dia ucapkan pada Kirana yang berdiri hanya beberapa langkah dari mereka yang sedang menyaksikan semuanya.

Bahkan sekadar tatapan pun tidak.

Kirana merasakan dadanya menegang. Ada luka yang merambat perlahan, seperti api kecil yang menjilat dari dalam—tak langsung membakar, tapi panasnya begitu menyiksa.

Setiap perubahan kecil yang dilakukan Alya adalah pesan diam: bahwa ini bukan lagi rumah Kirana. Bahwa keberadaannya semakin tergeser, perlahan tapi pasti.

Setelah itu, Alya pergi ke ruang tamu. Dengan tanpa dosanya dia menyingkirkan figura dari dinding. Figura foto pernikahan Kirana dan Arga.

Foto itu penuh kenangan. Hari di mana Kirana mengira dunia bersedia berpihak padanya. Senyumnya dan senyum Arga dalam foto itu terasa begitu hangat. Begitu tulus.

Kini, foto itu tergenggam di tangan Alya. Ia menaruhnya di laci bawah, kemudian menggantinya dengan foto baru: foto maternity Alya dan Arga—dengan latar putih bersih dan senyum bahagia terpampang lebar di wajah keduanya.

Kirana nyaris tak bisa bernapas. Kakinya terasa lemas. Ia melangkah perlahan ke dalam ruang tamu. Alya menoleh cepat, seolah tak menyangka Kirana akan muncul tepat saat itu.

“Aku ganti ya fotonya. Biar lebih update. Tapi tenang, foto Kakak dan Mas Arga masih aku simpen kok. Di laci situ.” Ia menunjuk dengan dagu.

Kirana menatap figura baru itu tanpa kata.

“Aku yakin kamu ngerti kan … ini masa depan keluarga. Bayi ini akan lahir, dan akan tinggal di rumah ini. Wajar dong kalau wajahnya ada di dinding, hehe ….” Alya menambahkan dengan senyum tipis yang menohok.

Kirana menoleh ke arah Arga yang berdiri di sisi Alya. Tampak diam seperti biasa, selalu mengalah apa pun yang sedang Alya lakukan saat ini.

“Mas Arga …,” suara Kirana hampir tak terdengar, “kamu setuju dengan semua ini?”

Arga terlihat kaku, lalu mengangguk dengan pelan. “Alya cuma ingin rumah ini terasa nyaman buat dia. Aku harap kamu juga bisa mengerti, Kirana.”

Kirana tertawa pelan. Tawa getir yang keluar dari bibirnya sendiri membuat dadanya terasa makin sesak.

“Mengerti …,” katanya dengan pelan. “Aku harus mengerti ketika kamu bawa perempuan lain ke rumahku. Aku harus mengerti saat dia mulai mengubah semua hal yang aku susun dengan cinta. Aku harus mengerti saat foto pernikahan kita digantikan dengan foto kehamilanmu dengan wanita lain. Itu, maksud kamu?!” Matanya menatap nyalang wajah Arga.

Alya tersenyum mendengar ocehan Kirana yang sedang memarahi suaminya itu. “Maaf, aku udah buat kalian jadi debat. Aku hanya ingin—”

“Sudah, Alya. Biarkan saja. Kirana masih belum menerima semuanya. Lama-lama juga akan mengerti.” Arga memotong ucapan Alya dan membuat wanita itu semakin melayang atas ucapan Arga tadi.

“Makasih, Mas. Kamu memang suami yang pengertian.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 13

    Arga menahan napasnya. Dada naik-turun dengan cepat, tapi mulutnya tak mampu membentuk kata.Matanya membelalak, namun kehilangan sorot percaya diri. Kata-kata Kirana terlalu tajam—dan terlalu benar. Seakan semua pertahanan yang ia bangun runtuh dalam satu dorongan emosi.Keheningan menggantung sebentar, tegang dan berat, sampai akhirnya suara pelan terdengar dari arah tangga.Langkah ringan namun terdengar disengaja. Lalu muncul sosok Alya, berdiri di ujung tangga dengan daster tipis berwarna pastel.Rambutnya digerai seadanya, matanya tampak merah dan sembab, entah karena benar-benar menangis atau sengaja dibuat seperti itu.Wajahnya memelas, seperti seekor anak kucing yang tak sengaja mengganggu dua induk singa.“Maaf,” ucap Alya dengan suara lirih, nyaris tercekat. Nada bicaranya pelan namun cukup nyaring untuk menarik perhatian.“Aku ... nggak bermaksud bikin kalian ribut terus tiap hari. Kehadiran aku ... mungkin cuma jadi beban.”Kalimat itu seperti anak panah yang melesat ke u

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 12

    Jam menunjukkan pukul 10 malam saat Kirana membuka pintu rumah.Arga duduk di sofa dengan tangan bersilang di dada. Posisi duduknya kaku, seperti seseorang yang menahan emosi sejak lama.Matanya menatap tajam ke arah pintu, seolah sudah mengantisipasi suara kunci yang berputar sedari tadi.Televisi di depannya menyala, menampilkan tayangan berita larut malam, tapi volumenya dikecilkan dan tak ada tanda-tanda kalau tayangan itu benar-benar ditonton.Aura di ruangan itu pekat oleh amarah yang belum sempat diluapkan.Begitu Kirana masuk dan menutup pintu dengan pelan, suara Arga langsung terdengar, tajam, dingin, dan penuh tuntutan.“Kamu dari mana aja?” tanyanya tanpa basa-basi.Langkah Kirana terhenti sejenak. Tangannya masih menggenggam clutch bag warna krem yang serasi dengan gaunnya.Ia menatap Arga sejenak—pandangan yang penuh kejenuhan dan kepedihan yang tertahan.Lalu ia menoleh ke arah jam dinding yang menggantung di dekat televisi, seolah menekankan bahwa ia memang sadar betul

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 11

    Pagi itu matahari baru saja mengintip malu-malu dari balik tirai langit, namun suasana di rumah Kirana terasa dingin dan hampa.Di meja makan, aroma teh hangat dan roti panggang tidak mampu menghangatkan hati Kirana yang sudah membeku semalaman.Alya datang dengan langkah pelan namun pasti, mengenakan gaun tidur longgar yang menonjolkan perutnya yang mulai membesar.Senyumnya manis, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Kirana bersiap.“Kak Kirana,” ucap Alya lembut lalu duduk di seberang meja makan. “Maaf ya... aku tahu ini mendadak, tapi aku rasa... akan lebih baik kalau aku tidur satu kamar dengan Mas Arga. Aku sering mual tengah malam, dan aku butuh dia di dekatku.”Kirana menghentikan sendoknya. Pandangannya jatuh ke wajah Alya, lalu ke perutnya, lalu kembali ke cangkir tehnya yang mulai kehilangan uap.Belum sempat ia menjawab, Arga datang dari arah dapur, menyusul percakapan yang belum selesai.“Kirana, aku pikir... kamu bisa tidur di kamar tamu dulu ya,” katanya ta

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 10

    Arga dan Kirana masih saling berhadapan di dalam kamar yang kini penuh ketegangan.Udaranya serasa panas meski kipas langit-langit berputar pelan di atas mereka.Wajah Arga memerah menahan emosi, sementara Kirana berdiri tegak, menatap suaminya dengan sorot penuh kekecewaan dan kemarahan yang sudah lama membeku di dasar hatinya.“Kamu tuh egois, Kirana!” bentak Arga dengan suara serak yang menahan amarah.“Kamu nggak pernah coba ngerti posisiku. Kamu selalu mikirin perasaanmu sendiri, tanpa pernah peduli gimana rasanya jadi aku!”Kirana mendengus sinis. “Oh ya? Aku egois?” Ia sontak tertawa getir. “Aku cuma membela diriku, Mas. Karena kalau bukan aku, siapa lagi? Kamu? Kamu lebih dulu memutuskan untuk membawa wanita lain ke dalam rumah ini!”Arga mengatupkan rahangnya. “Alya ada di sini karena dia sedang mengandung anakku!”“Anak yang kamu buat dari pengkhianatan!” balas Kirana, matanya mulai memerah menahan air mata yang ingin jatuh.“Aku tahu aku belum bisa kasih kamu keturunan, tap

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 9

    “Eh, Kak Kirana udah pulang,” sapa Alya dari balik pintu dengan suara yang dibuat ceria, lengkap dengan senyum tipis yang tak bisa menyembunyikan nada manipulatifnya.Tubuhnya bersandar santai di kusen pintu, tangan kirinya masih memegang cangkir teh yang belum habis. Tatapannya penuh penilaian saat melihat Kirana membuka sepatu di depan pintu.“Aku pikir Kak Kirana mau nginep di luar. Ternyata balik lagi ke sini,” lanjutnya lagi dengan nada sinis yang dibungkus basa-basi.Kirana menatap sekilas, hanya satu detik, sebelum kembali menunduk dan berjalan masuk tanpa sepatah kata pun.Tidak ada sapaan, tidak ada balasan. Hanya diam, yang jauh lebih tajam daripada kalimat apa pun.Alya menoleh ke arah ruang tengah, memastikan Arga mendengar semua kalimatnya, lalu menggeleng pelan seperti korban yang baru saja menerima perlakuan buruk.Kirana masuk ke kamarnya, membuka pintu dengan pelan lalu menutupnya rapat tanpa membanting, tapi cukup tegas untuk menegaskan batas.Tak lama setelah itu, A

  • Ternyata Selama ini Aku Punya Madu   Bab 8

    Arga berdiri di ambang ruang tamu yang lengang, lampu gantung kristal memantulkan cahaya senja yang temaram ke seluruh sudut ruangan.Napasnya tertahan, bola matanya menelusuri setiap pintu dan lorong seakan‑akan Kirana bisa muncul dari balik bayangan mana saja.Dua hari belakangan ruang ini terasa lebih dingin, sepi, dan asing tanpa tawa ceroboh wanita itu.Alya, yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi teh melati hangat langsung menangkap kegelisahan suaminya.Gaun rumah berwarna pastel yang dia kenakan berkibar pelan tertiup hembusan AC.“Cari siapa, Mas?” tanyanya lembut, walau sorot matanya meneliti.Ia tahu persis jawaban Arga sebelum pria itu sempat membuka mulut.“Kirana. Di mana dia? Sudah dua hari ini aku tidak melihatnya,” Arga berbisik, tapi nada cemasnya jelas terdengar.Sekilas, rahang Alya mengeras. Bibirnya menipis menahan rasa tak sudi yang mendidih.“Nggak tahu. Mungkin lagi semedi di kamarnya,” jawabnya ketus sambil meletakkan nampan di atas mej

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status