Share

4 - Menemukan Kelemahan Dante

Tiba-tiba Dante kembali menarik kepalaku dan menciumku lagi namun kali ini dengan cara yang lebih rakus. 

Aku memukul-mukul dadanya mencoba melepaskan diri. Aku tak ingin diriku terlihat sedang melakukan hal tak senonoh ini di depan Hans. 

“Dante lepaskan!” ucapku di sela-sela ciuman.

Bukannya melepaskan, Dante justru memperdalam ciumannya dan berbisik ke telingaku.

“Kamu sudah berjanji akan putus hubungan dengannya. Lalu kamu juga berkata akan memutuskannya dengan cara yang kejam. Sekarang aku akan membantumu,” bisiknya lalu kembali menciumku.

Aku terdiam dan membiarkan Dante menciumku tanpa balasan.

Dante benar, aku tidak perlu menjelaskan apapun kepada Hans. Justru cara ini akan membuat Hans bisa melupakanku dengan mudah karena menjadikanku sebagai orang jahat di pikirannya.

Menyadari hal itu, aku membalas ciuman Dante dan dapat dirasakan bahwa Dante tersenyum dibalik ciuman yang dilakukannya.

‘Maafkan aku Hans. Aku harus melakukannya agar kamu tidak perlu pergi ke neraka ini bersamaku.’

Ketika aku sibuk dengan pikiranku, manikku seketika membulat ketika merasakan sentuhan dari telapak tangan Dante di balik bajuku. Apa yang dia lakukan? Apa dia gila?

Dalam hati, ingin sekali aku menghajar wajah tampan Dante saat itu juga. Namun, aku sudah terlanjur memulai sandiwara. Tak peduli seberapa besar aku membencinya, aku tak bisa menghentikan sandiwara ini. 

Terlalu fokus dengan lumatan bibir Dante, aku tak sadar jika Hans melangkah cepat ke arahku.

Dengan wajahnya yang memerah, tiba-tiba Hans menarik kerah Dante dan melayangkan satu pukulan pada wajahnya hingga sudut bibir Dante pecah.

Bug!

Aku bisa melihat manik Hans yang menggelap, membuatku terkejut karena ini adalah pertama kalinya aku melihat Hans benar-benar marah.

Berbanding terbalik dengan Hans yang dipenuhi dengan emosi, Dante justru memamerkan giginya yang kini berwarna merah pekat. Pria itu… tertawa?

Melihat itu, Hans kembali meraih kerah Dante dan mengangkat tinggi kepalan tangannya.

Tidak. Pria itu tak boleh mati sekarang. Jika Dante mati, maka dia harus mati di tanganku!

Dengan cepat aku meraih kepalan tangan Hans, “Tolong hentikan, Hans!”

Hans pun menoleh ke arahku dengan wajah sayu seolah meminta penjelasan kepadaku.

“Jelaskan padaku apa yang terjadi, Alice?” tanya Hans. 

‘Maafkan aku, Hans. Sekarang semuanya sudah berbeda. Aku sudah tidak bisa bersikap egois dan mengharapkan kebahagiaan lalu melupakan kematian Ayahku. Aku harus mencari tahu penyebab kematian Ayah dan membalaskan dendam Ayah agar dia bisa hidup tenang di sana.’ batinku. 

Aku bisa melihat dengan jelas tatapan kebingungan Hans. Dia terlihat marah sekaligus sedih.

“Maaf, Hans. Tapi aku sudah muak berpacaran denganmu. Aku butuh pria kaya raya yang bisa menjamin masa depanku. Dulu aku berpacaran denganmu karena kamu putra dari pemilik perusahaan. Siapa sangka, justru Dante sepupumu yang menjadi CEO di sana. Jadi sekarang aku lebih memilih Dante dibandingkan kamu yang baru saja merintis usaha dan belum tentu berhasil,” ucapku dengan lugas. Padahal sebenarnya perasaanku sangat hancur mengingat orang yang selalu ada untukku saat suka dan duka hanyalah Hans.

Mata Hans berkaca-kaca mendengar ucapanku. Dia pasti sangat kecewa sekarang.

“Kamu pasti sedang berpura-pura kan, Alice? Aku tidak percaya mendengar kata-kata ini darimu, kamu pasti hanya bersandiwara,” ucap Hans meraih lenganku.

Dengan terpaksa aku menghempaskan tangan Hans dan meninggalkan Hans di ruangan itu bersama Dante.

Aku tidak bisa berpura-pura dalam waktu yang lama karena ini benar-benar menyesakkan. Aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku untuk terjatuh.

Aku berlari ke kamar dan menangis sejadi-jadinya hingga aku kelelahan dan tanpa sadar aku tertidur dalam kondisi mata sembab.

***

Paginya aku terbangun dan mataku sepertinya bengkak. Aku memandangi seluruh ruangan kamarku. Ah tidak, maksudku kamar yang disediakan untukku. Ruangan ini kosong dan hanya menyisakan makanan di atas nakas. 

Dengan segera aku menghabiskan makanan yang tersedia dan berjalan keluar dari rumah besar milik Dante ini.

Aku harus membuat strategi yang matang untuk menyusun rencana selanjutnya. Jadi aku harus tahu rute di rumah ini.

Jujur saja perasaanku masih sangat sakit mengingat aku tadi malam harus melukai perasaan orang yang benar-benar sangat aku cintai. Namun walau bagaimana, aku harus terus melangkah maju dan berpikir maju. Aku tidak boleh terjebak oleh perasaanku.

Saat berkeliling aku menemukan sebuah gerbang yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Gerbang itu sangat besar dan banyak penjaga di depannya. Aku juga melihat ada beberapa pelayan yang hendak masuk namun dicegat dan hanya satu pelayan setengah baya yang keluar lalu mengambil barang yang dibawa pelayan lainnya. 

“Mengapa hanya dia seorang yang boleh masuk?”

Aku mengenal jelas pelayan yang baru saja masuk ke gerbang tadi. Pelayan itu adalah pelayan yang kutemui saat pertama kali ke rumah ini.

Dia pasti menyimpan rahasia.

Dengan cepat, aku kembali ke kamarku dan mencari cara untuk melihat ada apa di balik gerbang besar itu. 

Bermodalkan nekat aku naik ke atas atap. Untungnya ada pipa besar tempat saluran air di pinggir atap rumah Dante. Jadi aku bisa bergelantungan sejenak lalu berhasil naik ke atas atap.

Sepertinya sekarang cara panjatku sudah jauh lebih baik dari monyet.

Aku melihat sekeliling dan siapa sangka ada rumah besar lain di seberang rumah ini. Jaraknya juga tidak jauh. Dengan cepat aku melompat ke rumah berikutnya.

“Dante?”

Aku bisa melihat Dante di sana. Tapi, mengapa ada yang aneh dengan suami kontrakku itu?

Dante mengenakan pakaian sweater berwarna baby blue! Sejak kapan dia menyukai warna-warna pastel?

Dia juga tersenyum seraya menyirami bunga-bunga yang tumbuh dengan subur. Berbeda dengan rumah yang aku tempati, tempat rumah yang kutinggali tampak gersang. Hal ini seperti perbedaan yang kontras antara rumah setan dan malaikat, antara gelap dan terang. Suasananya benar-benar sangat berbeda.

Aku mengendap-ngendap lebih dekat lagi saat pelayan paruh baya yang membawa beberapa cemilan keluar dari gerbang.

Namun siapa sangka atap ini ternyata begitu licin dan membuat kakiku salah melangkah.

“Ah!”

Aku memejamkan mataku siap kalau punggungku akan mencium tanah yang keras. Namun aku justru merasakan sebuah tangan kekar yang menangkapku.

Sial.

Aku pasti ketahuan dan Dante akan membunuhku.

Jantungku berdetak kencang dengan sedikit memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan Dante lakukan padaku.

Tempat ini sepertinya sangat rahasia dan pasti hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Pasti ada yang disembunyikan di sini.

Dengan hati-hati aku membuka kelopak mataku.

“Kamu baik-baik saja?” ucap suara dengan nada lembut yang belum pernah aku dengar sebelumnya.

Mengapa … pria ini berbeda 180 derajat dari Dante? Aku yakin, pria ini bukanlah Dante. Meskipun mirip, tak mungkin pria itu berkata lembut kepadaku seperti ini.

Atau jangan-jangan… dia kembaran Dante seperti yang bibi pelayan katakan sebelumnya?

Mungkin saja benar, itu alasannya dia mengurungnya di sini karena keluarga biasanya merupakan kelemahan seseorang.

Orang yang mirip Dante itu menurunkanku dan membantuku berdiri tegak.

“Siapa namamu? Entah kenapa wajahmu sangat tidak asing. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya.

Jika pria itu tidak mengenaliku, maka dugaanku benar. Dia pasti kembaran Dante!

“Namaku Alice, apa kamu pernah mendengarnya? Namamu siapa?” tanyaku.

“Namaku Daren, namamu sama seperti nama gadis yang aku sukai saat masih TK,” jawabnya membuatku terkekeh. 

Anak TK hanya tahu bermain, bagaimana bisa dia menceletukkan kalimat tidak masuk akal seperti itu?

“Bagaimana mungkin? Aku tidak pernah memiliki teman bernama Daren saat masih TK,” jawabku.

“Jadi begitu, berarti kamu bukan orang yang aku sukai itu,” balasnya mengangguk-angguk.

“Ayo duduk, aku akan membantumu,” ajaknya mengambilkan kursi dan meletakkannya di belakangku.

Dia sangat manis, berbeda dengan Dante yang selalu menatapku dingin, dan menyentuhku dengan tidak senonoh. Pria itu justru memperlakukanku dengan hati-hati. 

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Daren.

Seketika aku terdiam mendengar pertanyaannya. Aku bingung harus menjawabnya apa.

“Kalau kamu tidak nyaman menjawabnya, tidak usah dijawab. Aku cukup senang memiliki teman baru disini,” jawabnya duduk di hadapanku.

“Kalau boleh tau, kamu kembaran Dante?” tanyaku terus terang.

Mendengar pertanyaanku, Daren tertawa terbahak-bahak hingga air mata keluar dari sudut matanya.

“Kamu akan menemukan jawabannya nanti. Tenang saja, aku akan memberimu petunjuk,” jawabnya benar-benar terdengar seperti teka teki.

“Pertama, aku memiliki tanda lahir di sini,” ucap Daren membuka kancing kemejanya dan menunjukkan tanda lahir berbentuk bulat di tengah-tengah dadanya.

Melihat itu aku menutup mataku dengan tangan.

“Maafkan aku, aku terlalu bersemangat untuk memberimu petunjuk,” ujar Daren terdengar jelas suara kekehannya.

“Sekarang ayo masuk ke dalam rumah, aku akan memberikan petunjuk lain,” ajaknya.

Aku pun berdiri ketika Daren berjalan mendahuluiku. Namun siapa sangka ternyata kakiku sangat sakit ketika aku mengambil langkah.

“Ah,” pekikku.

Seketika Daren menoleh dan melihatku yang kesakitan.

“Jangan bergerak, sepertinya kamu terkilir ketika terpeleset tadi,” ucap Daren berjalan mendekatiku.

Siapa sangka Daren tiba-tiba meraih tanganku dan menyilangkannya pada lehernya lalu membopong tubuhku.

“Daren, apa yang kamu lakukan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status