Share

3 - Sandiwara

“Mengapa kamu berubah drastis dan memilih melayaniku?” tanya Dante saat aku mengantarkan makan malam untuknya. Dia menatapku dengan penuh selidik seolah mencari jawaban melalui gerak gerikku.

Memang benar, sejak aku menyaksikan sendiri dengan mataku bagaimana jasad ayahku diambil, dan dibawa entah kemana, duniaku seakan runtuh. Detik itu juga, aku mulai memiliki keinginan untuk menghabisi Dante dan juga orang-orang yang telah membuat hidup keluargaku sengsara dengan tanganku sendiri. 

Aku memutuskan untuk mengikuti semua perintah Dante, tak peduli tentang betapa arogan dan buruk emosi pria itu. Aku tetap berlutut di hadapannya demi mendapatkan kepercayaan dari Dante. 

“Sekarang aku tidak memiliki sandaran lagi. Aku juga tidak memiliki pekerjaan dan semua keluargaku sudah meninggal. Jadi aku akan melakukan yang terbaik agar kamu tidak mengusirku saat kamu bosan dengan keberadaanku, aku melakukan ini hanya untuk bertahan hidup,” jawabku menunduk.

“Benarkah? Bukannya karena kamu menyimpan dendam padaku?” tanya Dante menyipitkan mata dan menatapku.

Entah mengapa, tatapan Dante seolah sedang membaca gerak gerikku. Aku pun reflek menelan air ludahku, mencoba menghilangkan rasa panik yang mulai muncul. 

Dengan perlahan, aku melangkahkan kakiku menuju Dante. Dengan keberanian yang entah dari mana muncul, aku menyentuh tangan Dante dengan perlahan, dan menatapnya nanar. “Aku tak punya nyali untuk melawanmu, Dante. Tak peduli apa yang kamu katakan, mulai sekarang aku akan mengabdikan diri kepadamu.”

Saat itu juga, ujung bibir Dante terangkat, membentuk seringai yang sarat makna. Pria itu bahkan menyentuh jari jemarik dengan lembut. 

“Jika Hans mendengar ucapanmu, dia pasti akan sangat kecewa,” ujar Dante mengambil gelas berisikan teh yang sudah aku tuangkan sebelumnya.

“Sekarang aku sudah tidak peduli dengan keberadaan Hans lagi karena kamulah yang menjadi suamiku,” jawabku sambil mengepalkan tangan mencoba menekan semua gejolak emosi dibalik diriku. 

Sekarang dia mungkin memang mencurigaiku tapi jika aku mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama, aku yakin dia akan mempercayaiku.

Dante menyeringai mendengar penuturan dariku.

“Kemarilah!” pinta Dante menepuk sofa di sampingnya.

Dengan patuh aku duduk di sampingnya.

Dante merangkul bahuku dan berbisik, “Rupanya kamu mencoba menipuku.”

Aku berdiri dari duduk ku, “Aku bersungguh-sungguh, dia bukan pacarku lagi sejak aku menikah denganmu.”

Dante mengangguk-angguk, “Baiklah, kalau begitu bagaimana kamu bisa membuktikan padaku kalau kamu benar-benar menganggapku Tuanmu?” tanya Dante.

Aku sudah menunggu pertanyaan ini sejak tadi.

“Bawa aku ke kota dan aku akan memutuskan hubunganku dengan Hans tepat di hadapanmu,” jawabku cepat.

Dante mengangguk-angguk lalu menyentuh dagunya. Aku hanya bisa menunggu jawaban pasti dari Dante. Semoga dia setuju. Jika dia setuju, aku bisa menyiapkan banyak hal untuk menyempurnakan rencanaku.

“Jadi bagaimana?” tanyaku mencoba memastikan.

“Baiklah, tapi sebelum itu kamu harus membuktikan sesuatu padaku,” jawab Dante.

“Bukti apa?” tanyaku.

Apapun syaratnya akan aku lakukan asalkan dia setuju membawaku ke kota.

“Cium aku! aku harus melihatnya sendiri melalui ciumanmu,” jawabnya.

Astaga, kenapa dia begitu terobsesi dengan ciuman.

Walau begitu, apapun yang terjadi aku tidak boleh membiarkannya sampai mengambil keperawananku karena jika dia sudah mengambilnya. Aku yakin dia akan membuangku. 

Begitulah pria. Ini satu-satunya senjataku.

“Apa yang kamu tunggu? Ayo cium aku!” pinta Dante.

Alice ini hanyalah ciuman, tidak lebih. Aku hanya menyentuh kulit. HANYA KULIT!

Aku menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Aku mendekatkan wajahku perlahan sedangkan Dante hanya menungguku melakukan tugasku tanpa bereaksi apapun.

Siapa sangka jantungku berdetak kencang saat wajah Dante sudah berjarak sangat dekat dengan wajahku.

Aku bisa melihat dengan jelas bulu mata panjangnya dengan mata yang menatapku tanpa gentar walau aku terus mendekatkan wajahku ke arahnya. Aku juga bisa melihat dengan jelas ujung bibirnya yang terangkat dengan bibir merah ranumnya. Aku baru saja menyadari bahwa ternyata Dante cukup tampan dilihat dari dekat.

Dante tiba-tiba menarik pinggangku dan memiringkan kepalanya agar aku hanya perlu memajukan sedikit wajahku untuk menciumnya.

“Jantungmu berdetak kencang,” ucap Dante setengah berbisik.

Tanpa sadar tubuhku menempel pada dada bidang Dante dan mendengar ucapannya itu refleks aku menjauhkan diri. 

“Sudah terlambat untuk melarikan diri,” ujar Dante lalu menarik tubuhku lebih dekat dan meraih kepalaku.

Dengan cepat Dante menciumku dan melumat bibirku dengan lembut.

Jantungku semakin berdetak kencang. 

Astaga.

Ini hanya kulit Alice!

Ciuman Dante kali ini benar-benar sangat lembut hingga tanpa sadar aku memejamkan mata dan menikmatinya.

Oh tidak!

Siapapun tolong buat aku sadar!

“Apa yang kamu lakukan Alice?”

Suara itu membuat jantungku terasa akan melompat dari tempatnya. Refleks aku melompat menjauh dari dekat Dante dan melihat ke arah sumber suara.

Mataku terbelalak saat melihat orang yang menegurku. Jantungku berdetak semakin kencang dan kalau boleh aku ingin pingsan saja sekarang. 

“Hans, kenapa kamu di sini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status