"Dek, Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Damar gelagapan.
Tentu saja dia tidak mempersiapkan apapun untuk menghadapi kedatangan Tiara yang tiba-tiba. Dia bahkan tidak tahu kalau Tiara bisa mengetahui keberadaannya. Karena selama ini lelaki itu bisa bermain dengan cantik dan Tiara tak pernah curiga apapun tentangnya."Kenapa aku ada di sini? Harusnya aku yang yang bertanya padamu, Mas kenapa bisa ada di sini? Bukankah tadi kamu pamitnya mau keluar kota? Oh, apa ini tugas dari bosmu yang katanya harus lakukan perjalanan bisnis lama beberapa hari itu?" Tiara menatap nyalang suaminya yang terlihat gelisah.Damar berusaha untuk meraih tubuh Tiara namun wanita itu berusaha untuk menghindar. Tidak, sebelum semuanya jelas siapa wanita itu."Dek, dengerin Mas dulu. Ayo kita keluar Mas akan jelaskan semuanya," bujuk Damar pada wanita yang dia nikahi dua tahun yang lalu."Tidak. Katakan saja di sini, Mas! Kenapa harus keluar? Oh ... apa kamu takut kalau wanita itu terbangun dan melihatku ada di sin?" Tiara tersenyum sinis.Dengan gerakan cepat Ibu satu anak itu mendekati ranjang pasien yang di atasnya tergeletak seorang wanita dengan wajah sangat pucat. Tiara menatap wanita itu dengan tatapan tajam. Hatinya bergejolak membayangkan suaminya memiliki wanita lain selain dirinya.Damar melangkah mendekati Tiara lalu memegang kedua pundak istri yang sudah memberinya seorang anak itu dan mencoba untuk membawanya keluar. Namun laki-laki Tiara menolak sentuhan suaminya."Jangan sentuh aku Mas!"Gurat kecewa terlihat jelas di wajah Damar. Istrinya wanita yang selama ini iya sayangi dan ia cintai tiba-tiba menolak sentuhannya. Tentu saja Damar tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kemarahan Tiara yang biasanya lemah lembut."Dek, tenangkan dirimu. Ayo kita bicara!" Damar berucap selimut mungkin agar Tiara tidak merasa diduakan.Sementara Dina hanya bisa bungkam di pojok ruangan menyaksikan drama sahabat tercintanya. Wanita itu juga tidak percaya dengan apa yang terlihat di depan mata. Selama ini Tiara selalu membangga-banggakan suaminya pada Dina dan itu cukup membuat Dina tahu kalau Damar adalah sosok yang lembut dan penyayang.Tiara memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang tiba-tiba sesak. Dalam hati ia terus beristighfar agar kemarahan tidak menguasai dirinya. Ya dia harus mendengar penjelasan suaminya supaya kesalahpahaman ini tidak berlarut-larut. Namun satu sisi dia takut mendengar fakta yang akan membuatnya kecewa dan sakit hati.Perlahan Tiara berjalan menuju sofa yang ada di pojok ruangan. Menjatuhkan bobot tubuhnya lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahu wanita itu terguncang hebat menandakan betapa sesak adanya menanggung semua ini.Damar menyusul. Jangan lembut iya mengelus punggung Tiara dengan menggunakan tangan kanan sedang tangan kirinya menggenggam jemari Tiara yang sudah berada di atas pangkuan."Dek, maaf kalau sudah membuatmu kecewa." Damar menjeda kalimatnya, menunggu respon dari Tiara.Sayangnya Ibu dari anaknya itu memilih untuk tetap bungkam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Meski hal itu menguntungkan baginya karena dia bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tapi diabaikan seperti ini juga membuat hati Damar seperti disayat-sayat."Maaf kalau Mas nggak bisa jujur sama kamu, Dek. Mas nggak bisa melihatmu kecewa jika mendengar kenyataannya," lirih Damar.Spontan Tiara menatap suaminya dengan tatapan tajam. Seolah dari sorot matanya itu mampu mencabik-cabik jantung Damar."Itu artinya kamu menyembunyikan sesuatu yang besar dariku, Mas? Tega kamu, Mas! Kupikir kamu seorang imam yang sempurna. Imam yang senantiasa melindungi dan menjaga hati istrinya. Nyatanya kamu sudah menorehkan luka yang teramat dalam di hatiku."Tiara benar-benar kecewa pada suaminya. Selama ini dia terlalu percaya dengan mulut manis Damar yang selalu membuatnya mabuk kepayang. Laki-laki yang sayangnya suaminya itu sudah membuat dirinya jatuh hati sedalam-dalamnya. Namun di saat yang sama dia juga menorehkan luka yang teramat dalam."Aku punya alasan yang kuat untuk menyembunyikan ini, Dik. Makanya nggak ingin kamu terluka. Kamu pasti tidak akan bisa menerima emas kalau Mas jujur sama kamu!" jelas Damar.Lelaki tu tidak sadar kalau ucapannya sudah membuat Tiara penasaran."Jadi benar selama ini kamu membohongiku, Mas?" lirih Tiara.Air mata Ibu satu anak itu sudah menganak sungai di pipinya. Hidung mancungnya memerah dan sepasang matanya yang jernih berubah menjadi merah saking banyaknya air mata yang tumpah. Entah mimpi apa dia semalam hingga disuguhi oleh kenyataan pahit seperti ini."Maaf," ulang Damar."Sekarang kamu jujur, Mas siapa wanita itu?" teriak Tiara membuat pasien yang menjadi perdebatan pasangan suami istri itu membuka matanya. Pertama kali pemandangan yang ia lihat adalah pertengkaran antara Damar dan Tiara."Dek, pelankan suaramu! Ini di rumah sakit. Jangan sampai security masuk untuk mengusirmu karena sudah mengganggu ketenangan para pasien di rumah sakit ini," ucap Damar gemas dengan Tiara yang sudah dikendalikan.Biasanya Tiara selalu menurut padanya. Perangainya yang lembut dan tutur katanya yang sopan membuat Damar jatuh cinta. Namun kini Tiara seolah menjadi pribadi yang lain yang bertolak belakang dengan sifat aslinya."Kenapa memangnya? Apa Mas takut kalau perempuan itu bangun dan mengetahui keberadaanku di sini? Atau jangan-jangan dia juga tidak tahu kalau Mas sudah punya anak dan istri?" Tiara menatap sinis suaminya.Entah bagaimana lagi cara Damar mengendalikan istrinya yang sedang kalap ini. Dia benar-benar tidak memiliki ide untuk mengendalikannya. Pasalnya selama ini Tiara tidak pernah berbuat seperti ini."Dek, please ... jangan seperti ini. Tiara yang aku kenal orangnya lemah lembut dan tidak mudah emosi. Tolong kendalikan dirimu, Dek," mohon Damar."Ya, itu dulu. Sebelum aku mengetahui kebusukanmu, Mas! Menurutmu apa aku masih bisa seperti dulu sementara kamu sudah membohongiku, Mas? Kamu sudah menodai kepercayaanku. Kamu sudah menorehkan luka dalam hatiku." Tiara tergugu.Wanita itu kembali menangis dengan menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Saat Damar hendak memeluknya lagi wanita itu kembali menepisnya."Jangan sentuh aku, Mas! Tolong, jangan sentuh aku!" pinta Tiara dengan tatapan terluka.Tak hanya Tiara, Damar juga merasakan luka yang sama ketika melihat kondisi Tiara yang seperti ini."Tiara? Kamu datang? Akhirnya kamu datang?" Tiara mendadak merinding mendengar suara itu.Wanita yang berbaring di atas ranjang itu mengenal dirinya? Apa dia saja yang selama ini seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa? Perlahan Tiara menoleh pada sosok yang tersenyum padanya."Kalian jangan bertengkar lagi!" ucap wanita itu. "Bukan Mas Damar yang salah, Ra. Kalau ada yang perlu dipersalahkan di sini adalah aku," lanjut wanita itu dengan suara lemah.Tanpa aba-aba Tiara bangkit dan berjalan menuju ranjang pasien. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah pucat yang memandangnya dengan tatapan teduh itu."Kamu siapa?" tanya Tiara.Fajar menyingsing, memercikkan jingga keemasan di ufuk timur. Tiara memandang deretan pegunungan yang tampak seperti lukisan, siluetnya berpadu dengan kabut tipis yang masih enggan beranjak. Kalimat singkat yang ia kirimkan pada Damar terasa seperti batu yang baru saja dilepaskan dari dadanya, ringan sekaligus membebani. Apakah ia terlalu cepat? Ataukah justru terlambat?Suara gemerisik daun kelapa yang tertiup angin pagi mengisi keheningan. Tiara memutuskan untuk berjalan-jalan kecil di sekitar desa, menghirup udara pegunungan yang segar. Langkah kakinya membawanya menyusuri jalan setapak berbatu, melewati sawah terasering yang hijau membentang bagai permadani. Aroma tanah basah dan embun pagi menenangkan jiwanya yang bergejolak.Saat melewati sebuah warung kopi sederhana, Tiara mendengar sayup-sayup obrolan dari dalam. Sesuatu tentang “wanita kota” dan “pria mencari” menggelitik telinganya. Jantungnya berdesir. Ia mempercepat langkah, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang menusuk.
Malam datang dengan sunyi yang menyesakkan. Di rumah kecil yang hanya diterangi lampu gantung temaram, Tiara masih belum juga bisa memejamkan mata. Putri semata wayangnya sudah tidur sejak dua jam lalu, tapi gelisah dalam dada sang ibu terus bergejolak. Sudah hampir enam purnama ia pergi dari rumah. Meninggalkan semua kenangan buruk yang membuatnya memutuskan untuk menghilang dari kehidupan suaminya. Hingga saat ini tak ada sedikit pun kabar dari rumah. Bahkan Tiara yakin suaminya kini sedang sibuk mengurusi istri satunya. Mengingat wanita yang mengaku bernama Lela itu sedang sakit parah, Tiara meyakini lelaki yang pernah membuatnya seperti dicintai dengan sangat itu mencarinya hanya karena rasa bersalah dan takut kehilangan. Kehilangan cinta dan wanita yang memujanya.Tiara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Tubuhnya bersandar pada dinding, dan pandangannya menerawang ke jendela yang tak tertutup rapat. Di luar sana, suara jangkrik bersahutan, menyelimuti malam dengan irama al
Namun bukan wajah Tiara yang menyambut pandangannya. Damar tercekat. Yang menatapnya dengan mata penuh iba adalah Rani—keponakannya yang sejak tadi membantu Wina beres-beres halaman belakang. "Om... nggak apa-apa?" Rani bertanya pelan, setengah ragu. Ia menggigit bibir bawah, tak tahu harus ikut bicara atau membiarkan sang paman dengan kesedihannya sendiri. Damar buru-buru menyeka air matanya. Wajahnya memerah, bukan hanya karena amarah dan frustasi, tapi juga malu. “Om nggak papa,” ujarnya cepat, lalu berdiri, menepis debu di celananya. Rani menunduk, lalu berkata pelan, “Om cari Tante Tiara, ya?” Damar hanya menatap gadis itu. Pandangan matanya sayu, penuh tanya yang tak terjawab. “Kamu tahu di mana dia?” Rani menggeleng cepat. “Nggak tahu pasti, Om. Tapi waktu terakhir Tante ke sini, dia sempat ngobrol lama sama Mama di gazebo belakang. Setelah itu... Tante pamit pergi, sendiri.” Damar mengerutkan alis. "Sendiri?" Rani mengangguk. “Iya. Kayaknya Tante bawa mobil sendiri, sam
Ucapan Tania terus terngiang-ngiang di kepala Tiara. Wanita itu tak bisa mengabaikan kalimat yang sederhana tapi sangat mengerikan jika dipahami dengan benar. Ya, dia terlalu gegabah dengan pergi tanpa pamit. Ia yakin saat ini suami dan mertuanya pasti sudah sadar kalau dirinya pergi. "Tapi ... kalau memang Mas Damar sudah menyadari kalau aku pergi, kenapa tidak ada usaha untuk mencariku? Apa dia terlalu sibuk dengan istrinya sampai tidak butuh aku? Ah, bukankah aku sendiri yang memilih untuk mundur?" Tiara berperang dengan batinnya sendiri. Satu sisi dia kasihan pada madunya dan bertekad untuk tidak kembali ke rumah, tapi di sisi lain dia takut dosa karena pergi tanpa pamit. Perlahan wanita yang baru memiliki satu buah hati itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan wajah yang segar karena terkena air wudhu. Selanjutnya Tiara menggelar sajadah dan menunaikan qiyamul lail dengan khusyuk. Mohon petunjuk kepada Allah agar
Damar spontan berdiri. Menghadang salah satu perawat yang ikut berlari. "Suster, ada apa?" tanya Damar cemas. Tak bisa dipungkiri, hati Damar disapu badai kecemasan. Di dalam ruang ICU hanya ada 2 pasien dan salah satunya Lela. Meski demikian ia berharap bukan istrinya yang saat ini sedang dalam kondisi bahaya."Pasien atas nama Nyonya Lela mengalami henti nafas," jawab perawat sambil berlalu. Seperti disambar petir mendengar jawaban itu. Mendadak tubuh Damar limbung. Lututnya terasa lemas. Bobot tubuhnya tak mampu ditopang oleh dua kakinya yang gemetar. Pria beristri dua itu ambruk dan bersimpuh di lantai. "Allah, jangan kau panggil Lelaki secepat ini. Aku belum bisa membahagiakannya ya Allah. Aku masih ingin melihatnya akur dengan Tiara."Damar menjambaki rambutnya sendiri. Walau ia tau saat seperti ini pasti akan tiba, tapi tetap saja ia belum siap saat tiba-tiba Lela meninggalkannya. Dalam hati lelaki tampan itu berharap sang istri pertama bisa bertahan."Sayang, bukankah kamu
Tiara menyingkap sedikit korden untuk mengetahui siapa gerangan yang mengetuk pintu. Dahinya mengernyit melihat sosok wanita tak dikenal berada di depan pintu rumah kontrakannya. Dengan sedikit ragu-ragu Tiara membuka pintu. "Ya? Cari siapa ya, Mbak?" tanya Tiara seramah mungkin. Wanita berhijab maroon yang berdiri di depan pintu mengulas senyum. Menatap Tiara teduh lalu mengucap salam. "Maaf, Mbak kalau menganggu. Kenalkan saya Rania, tinggal di seberang jalan. Saya dengar dari Abi ada tetangga baru jadi saya ke sini untuk mengenalkan diri." Wanita itu mengulurkan tangan pada Tiara.Tiara menyambut uluran tangan itu lalu ikut tersenyum. "Mari masuk! Maaf saya belum sempat berkenalan dengan para tetangga di sini. Tapi saya sudah lapor pak RT." Tiara menyilakan tamunya duduk di sofa yang sudah tersedia sebagai fasilitas dari rumah kontrakan ini. Beruntung Tiara mendapatkan rumah kontrakan yang nyaman dan sudah lengkap dengan perabotannya. Meskipun minimalis, tapi Tiara merasa beta