"Mas Sakti," panggil Dewi mengejar langkah si kulkas dingin tersebut.Sakti menghentikan langkahnya. Menatap sang rekan kerja dengan pandangan datar. Jangan lupakan berkas di tangannya. "Roti buat ganjel perut," sodor Dewi dengan senyum malu-malu."Berapa?" tanya pria itu.Dewi tercengang. Berapa apanya? Ia memberikan roti itu secara cuma-cuma."Gue bayar. Lo beli di cafeteria depan, 'kan?" Dewi menggeleng kuat. "Aku kasih gratis. Nggak perlu bayar, Mas."Mendengar hal itu membuat Sakti mengurungkan niat mengambil pemberian Dewi. "Gue nggak mau berutang budi," ucapnya dengan datar.Dewi kembali mencegah pria itu yang hendak pergi. "Tapi, Mas—aku beli ini—""Gue nggak suka roti, Dewi."Bohong. Dewi tahu sekali pria itu suka roti, bahkan hampir setiap pagi ia membeli makanan tersebut di cafeteria bawah. Dirinya sering memperhatikan Sakti."Cowok kulkas kaya Sakti itu malah kesenangan dikejar, Wi," sahut Tasya dari belakang seraya merangkul pundak sang sahabat. Dewi menoleh sebentar
Satu bulan pun berlalu ....Terhitung sudah satu bulan hubungan itu terjalin. Banyak hal yang sudah pasangan itu lakukan. Seakan cinta membersamainya tumbuh di tengah perjalanan yang penuh kepalsuan tersebut. Tidak ada yang pasti. Justru ikatan itu terasa menakutkan. Perasaan-perasaan aneh mulai bermunculan. Rasanya waktu tiga bulan terasa begitu cepat berjalan. Tersisa dua bulan lagi. Mungkinkah semesta sudah menentukan perpisahan itu?"Jenna!" panggil Tasya. "Kenapa ngelamun?""Hah? Oh, nggak, kok. Kamu udah beli minumnya?" tanya Jenna."Udah. Nih, punya kamu," sodor perempuan itu langsung diterima oleh Jenna. "Makasih," balasnya.Kedua perempuan itu menghabiskan waktu libur dengan berjalan-jalan dan nonton bioskop di dalam sebuah pusat perbelanjaan mewah."Btw, Jen, gimana hubungan kamu sama Pak Ken?" tanya Tasya spik-spik.Jenna menoleh sebentar, lalu menyeruput sebuah minuman yang mengandung susu tersebut. "Baik," balas Jenna seadanya. "Kayanya Pak Ken bucin banget, ya. Kamu
"Pagi, Pak." Jenna menyapa setelah sampai di ruangan Ken dan berhadapan langsung dengan pria itu.Pria itu memberikan sebuah paper bag kepada Jenna. Lantas, perempuan itu menatap bingung. Seingetnya ia sedang tidak ulang tahun, tapi kenapa pria itu ...."Setelah pulang kerja ikut saya ketemu orang tua saya," ucap Ken tiba-tiba. Jenna menunjuk dirinya sendiri. "Saya?""Menurut kamu saya ngajak siapa?" tanyanya sedikit judes."Tapi, saya belum siap ketemu orang tua, Bapak." Ken berdiri dari tempat duduknya dan langsung menghampiri sang kekasih. Mengikis jarak di sana membuat jantung Jenna berdebar kencang."Saya nggak nerima penolakan," ucapnya dengan mata yang saling betubrukan. Tanpa aba-aba pria itu mengecup bibir Jenna. Mata Jenna langsung membulat. Saat hendak menolak, Ken justru makin memperdalam lumatan itu membuat Jenna ikut mengalungkan kedua tangannya di atas leher sang kekasih. Ceklek!Mendengar pintu terbuka, buru-buru keduanya memisahkan diri. Jenna tentu yang paling pa
Setelah kejadian di kolam renang tadi, kini Jenna sudah berganti pakaian dengan kaos putih kebesaran milik Ken.Rasanya canggung sekali, sebab tiba-tiba saja Ken mendiami perempuan itu. Mungkin Jenna tidak salah melarang Ken bertindak jauh karena hubungan mereka terikat kontrak. Hanya saja, mengapa pria itu mendadak dingin padanya?"Pak ...." Jenna menghampiri pria itu yang tengah fokus menatap televisi. "Saya mau pulang."Apakah Ken tipe orang yang ngambekan? Bahkan pria itu menoleh saja tidak. Hanya berdeham dengan mata yang tidak teralihkan ke depan.Jenna memainkan ujung bajunya. Berjalan pelan dengan pikiran penuh di setiap pijakannya.Ia bingung karena selain pacaran, pria itu adalah atasannya di kantor. Jika terus seperti ini, bisa-bisa ia terkena semprot karena mood yang tidak baik. Besok Senin. Pasti amat melelahkan. "Pak," lirih Jenna membalikkan badan dan berdiri di hadapan pria itu.Jenna menatap Ken sungguh-sungguh. "Saya minta maaf soal yang tadi, Pak."Satu detik.Hing
"Kamu cemburu?" tanya Ken tiba-tiba. Jenna ngelag terlebih dahulu, kemudian menggeleng kuat. Cemburu? Mana mungkin."Besok-besok jangan kaya gitu lagi," peringat Ken seraya membenarkan posisi duduknya seperti semula."Kenapa?" tanya Jenna kebingungan. Ken melirik sebentar. "Bohong."Mendapat jawaban seperti itu Jenna menatap Ken penuh, lalu pandangannya ia alihkan ke depan. Kepalanya langsung menunduk. Astaga, ia bahkan tidak bisa bertanya lebih lanjut perihal Karin.Mobil pun kembali melanju. Beberapa menit kemudian panggilan telepon datang dari ponsel milik Ken. Jenna melirik sekilas. Berusaha menyimak kala pria itu menerima panggilan di sana."Saya di jalan," ucap Ken. Mungkin si penelepon bertanya ia sedang di mana.Saat pria itu melirik sekilas kepada Jenna, perempuan tersebut sontak kembali fokus ke depan. Ketahuan sudah ia menguping pembicaraannya. "Kamu pulang aja. Kita bicarakan lagi besok di kantor," putus Ken.Mendengar itu Jenna dapat menebak bahwa si penelepon adalah
"Tapi Jen, kamu beneran ada hubungan sama Pak Ken?" tanya Tasya penasaran. "Ceritanya panjang. Rumit. Aku nggak bisa jelasin, Sya," ucap Jenna sambil menyeruput minumnya menggunakan sedotan."Tapi beneran pacaran, 'kan?"Jenna terdiam sejenak. "Ya ... gitulah. Seperti yang kamu liat.""Jadi berita kamu sama Pak Ken kena paparazi waktu bertamu ke rumah Presdir kita—itu beneran bukan bohong, dong?" Perempuan itu mengangguk lirih. Mau bagaimana lagi? Tasya sudah tahu. Ia tidak mungkin berbohong. "Bisa heboh kantor kita kalau berita ini tersebar, Jen. Apalagi kamu sama Pak Ken beneran ada hubungan. Wah, pasti bantahan di media waktu itu juga bohong, dong?" Tasya langsung geleng-geleng kepala sendiri."Nggak sepenuhnya bohong. Waktu itu emang belum ada hubungan. Pokoknya masalah ini nggak se-sederhana yang kamu bayangkan," ujar Jenna memberitahu. "Ya—intinya kamu keren, Jen. Bisa pacaran sama atasan sendiri." Tasya menyipitkan matanya, "nggak kamu pelet, 'kan?""Nggak lah! Yang bener a