Share

Bab 2 (Leader Yang Terjatuh Dari Tebing)

_________________

_________________

Minggu. Jalur Selatan Rinjani.

Waktu menunjukkan pukul 07.00 WITA. Asap api unggun yang menyala dari semalam masih membumbung, memayungi

pagi.

Padang edelweiss memenuhi setiap sudut mata memandang. Kilau sinar matahari pagi tertampung pada bulir embun yang menggantung, terlihat indah pada jaring laba-laba yang terajut memikat. Kupu-kupu beterbangan, ia tak berkata, tetapi mampu memikat hati dan mata. Benar-benar pagi yang sempurna.

Setelah semua anggota tim terbangun dan sarapan, mereka fokus mengatur rencana agar sampai di Pelawangan Jalur Selatan sebelum gelap. Tak lupa, mereka mengisi jeriken-jeriken kosong dengan air untuk persediaan selama dalam perjalanan.

Pukul 09.00 WITA, mereka berangkat menuju pelawangan. Sesekali, mereka mengayunkan tajamnya pisau tramontina untuk memotong semak yang menghalangi jalan. Sebelum tiba di Pelawangan Jalur Selatan, ada dua pos yang akan mereka lewati yaitu Pos 2 dan Pos 3 Cemara Rompes.

Jalur menuju Pos 3 merupakan jalur ekstrem, batu-batu pijakan tampak lembap dan terlapisi lumut sehingga menjadi cukup licin saat ditapaki. Dengan kemiringan 45 derajat, pendakian itu sangat menguras tenaga.

"Lembap sekali jalurnya, Bang ... licin," kata Unyil sambil berpegangan pada dahan pohon yang menjorok ke tengah jalur. Dadanya kembang kempis memburu oksigen.

"Di sini memang lebih tinggi curah hujannya, Nyil, lebih berkabut juga dibanding jalur Sembalun atau Senaru. Jadi, naik gunung hati-hati, perhatikan medan dan kemampuan diri. Nggak usah asal cepat sampai." Bang Ochi menimpali juniornya itu.

Sesekali, Bang Ochi yang dipercaya sebagai leader itu juga berhenti untuk mengambil napas. Mendaki gunung bukanlah tentang seberapa cepat sampai, tetapi tentang seberapa sabar untuk bisa sampai tujuan dengan selamat.

Setiap pijakan, mereka perhatikan dengan baik. Bebatuan yang licin dapat mengancam keselamatan karena di kanan kiri mereka ada jurang menanti sedalam puluhan meter.

Semak-semak tumbuh subur dan agak menghalangi jalan serta jarak pandang tim. Namun, dengan sabar mereka menebas semak belukar yang menghalangi.

Setelah beberapa jam mendaki, akhirnya, mereka tiba di Pos 3 Cemara Rompes lebih awal dari perkiraan, sekitar pukul 03.15 WITA. Mereka segera merebahkan badan dan istirahat sejenak menikmati luasnya padang edelweiss yang tumbuh setinggi dada orang dewasa.

Sambil memandangi langit sore yang bersih, mereka merenung betapa pentingnya menjaga alam dan melestarikannya, daripada hanya terbelenggu oleh ruang dan waktu di mana semua hanyalah kefanaan yang sia tanpa dinikmati dan syukuri.

Jalur ini sungguh sepi, asri, dan lestari. Selain mereka berlima, tak ada lagi yang mereka jumpai selain angin, savana, edelweiss, serta kulit kayu yang melapuk dan berlumut. Namun, mereka sungguh menikmati keterasingan pada jalur selatan.

Setelah cukup melepas penat, mereka kembali melanjutkan perjalanan agar dapat menghindari kabut yang biasa menyelimuti savana di sore hari. Medan savana jalur selatan tidak begitu menanjak. Ada banyak lintasan landai di tempat ini. Namun, di sinilah kesulitan medan savana ini. Jalan setapak tak begitu jelas terlihat, edelweiss tumbuh semaunya, padang rumput terhampar luas seluas mata memandang.

Benar saja, baru sepuluh menit berjalan, kabut tebal turun menyelimuti tim itu. Akhirnya, mereka membuat stringline pada jalur yang mereka lewati untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu tersesat.

"Kok tumbuhan edelweiss-nya diikat begitu, Bang? " tanya Dini penasaran.

"Oh, ini namanya stringline," jawab Bang Ochi singkat.

"Untuk apa, Bang?" tanya Rendy menyambung pembicaraan.

"Jadi, stringline itu sebagai penanda bahwa jalur ini pernah kita lewati. Ini untuk berjaga-jaga. Stringline itu hanya istilah, nggak harus pake tali. Kita bisa patahkan dahan, mengikat batang pohon atau ranting yang gampang kita lihat, sehingga dapat membantu kita mengingat jalur, terutama jalur yang baru pertama kali kita lewati," jelas Bang Ochi memberikan pemahaman karena stringline sangat penting untuk membantu mengingat arah.

"Wah, dapat ilmu kita, nih, Bang," kata Luris.

"Ini pengetahuan dasar yang perlu kita kuasai saat melakukan kegiatan di alam bebas. Rencanakanlah yang terbaik tapi persiapkan dirimu untuk kemungkinan terburuk," pesan sang leader. "Oh, ya, satu lagi, jika kita dihadapkan pada suatu keadaan darurat saat berkegiatan di alam bebas, ingat, jangan panik! Kita harus bisa menguasai kepanikan dalam diri karena kepanikan bisa membuat para pendaki hilang arah," lanjutnya kemudian.

Bang Ochi berjalan agak lambat karena harus menandai jalur. Timnya mengekor di belakang, kecuali Unyil.

Unyil berjalan sendiri mendahului tim, entah karena maksud apa. Kabut kian menghalangi dan jarak pandang mereka sangat terbatas.

"Nyil, jangan jauh-jauh," pesan Bang Ochi.

"Selow, Bang. Kencing bentar," sahut Unyil.

Bang Ochi pun berhenti, bermaksud menunggu Unyil. Namun, beberapa menit kemudian, Unyil belum kembali.

"Nyil," panggil Rendy dengan nada agak keras, tetapi tak terdengar jawaban.

Bang Ochi mencoba menyusul, tetapi tetap tak ada tanda-tanda. Unyil hilang.

Mereka pun berkumpul untuk mencegah tim terpisah, berusaha untuk tetap bersikap tenang, dan memikirkan rencana darurat untuk menemukan Unyil.

"Tak ada satu pun orang yg boleh keluar dari lingkaran!" tegas Bang Ochi.

Mereka mencoba memanggil Unyil sesekali sambil berusaha mengurangi suara teriakan. Di alam bebas, suara-suara teriakan lebih baik dikurangi karena tak ada yang tahu makhluk apa yang mengintai.

Kabut yang tebal benar-benar menjadi rintangan tersendiri di gunung bertipe savana luas seperti Jalur Selatan Rinjani.

Hari sudah menunjukkan pukul 17.00 WITA, Luris dan Dini menunggu di titik kumpul, sedangkan Bang Ochi dan Rendy berpencar untuk mencari Unyil dengan kesepakatan bahwa jika seratus meter tidak bertemu maka mereka harus kembali ke titik kumpul. Cara ini penting untuk mencegah anggota lainnya tidak tersesat.

Lima belas menit mencari, Bang Ochi tak juga menemukan Unyil. Ia berharap Rendy mencari ke arah yang tepat. Mereka hampir putus harapan.

Matahari sudah mulai terlihat kembali ke peraduan. Ufuk barat tampak samar-samar memerah dan kabut perlahan menghilang dari pandangan.

Betapa terkejutnya mereka, ternyata Unyil berada tak jauh dari titik kumpul. Ia ditemukan bersembunyi di bawah batu besar dalam kondisi pucat dan ketakutan. Ketika dihampiri, ia masih meringkuk dan tubuhnya bergetar.

"Hei, Nyil. Ngapain kamu di sini?" tanya Rendy.

Unyil menoleh dengan ragu. Setelah yakin bahwa yang datang adalah timnya, ia langsung menghampiri. Kemudian, ia bercerita bahwa dirinya tersesat karena mengira tim sudah di depan mendahuluinya, sehingga ia merasa harus mengejar.

Unyil mendengar suara panggilan seseorang yang suaranya mirip dengan Rendy. Setelah ia ikuti suara itu, ternyata suara itu berasal dari seorang bocah gundul yang tak berbusana sedang duduk membelakangi di tepi jurang. Saat didekati, bocah itu berlari ke dalam tebalnya kabut, laku tertawa cekikikan seolah sedang bermain. Kemudian, tiba-tiba, bocah itu melompat ke dalam jurang yang persis berada di dekat batu besar.

Unyil mengaku sangat terkejut karena setelah bocah itu melompat, tiba-tiba, ia naik lagi dengan cara merayap pada tebing, tertawa, melompat lagi, kemudian naik lagi berulang-ulang dengan kepala berlumuran darah. Anehnya, bocah itu tetap tertawa. Oleh karena itu, Unyil diam meringkuk memeluk kaki dan tak mampu memanggil timnya.

Setelah kejadian itu, mereka bergegas menuju pelawangan untuk menghindari bertemu magrib dalam perjalanan. Pukul 18.11 WITA, mereka tiba dan langsung membangun tenda agar dapat segera beristirahat.

Baru saja hendak memasak air untuk membuat minuman hangat, tiba-tiba ada pemandangan luar biasa yang membuat mereka terperangah. Sekelompok pendaki dengan carrier besar di punggungnya, berjalan menyamping berpegangan pada tebing dengan pijakan tak lebih dari dua jengkal. Mereka bergerak dari arah Danau Segara Anak menuju Pelawangan Jalur Selatan. Sepertinya, mereka hendak pulang melalui jalur ekstrem itu.

Trek ekstrem itu tidak direkomendasikan untuk dilewati sehingga tidak pernah diresmikan sebagai jalur pendakian karena kemiringan medan mencapai 70 derajat, sangat curam, dan berbahaya. Namun, kini, sekelompok orang mencoba menjajal jalur berbahaya itu di hari yang sudah mulai remang dan kabur menuju sandikala.

Pada trek tebing curam itu, tampak seorang pria yang memimpin paling depan dari rombongan, melipir zig-zag dengan menempelkan badan pada permukaan tebing vertikal berketinggian 500 meter dari dasar kawah atau sekitar 2500 MDPL.

Tebing yang mereka lalui berada persis di sebelah selatan Gunung Baru Jari. Karena ekstremnya jalur itu, Bang Ochi dan timnya tak mampu mengucap sepatah kata pun atas pemandangan magrib itu. Bahkan, napasnya tertahan tanpa sadar karena menyaksikan sekelompok orang berjalan menyamping dan menempel pada permukaan tebing di bawah sana.

Saat malam, sangat tidak direkomendasikan untuk para pendaki berjalan pada medan asing terlebih trek tebing curam. Suhu dingin dan berkabut serta fisik yang terkuras dapat menjadi sumber bahaya yang mengintai. Dari atas pelawangan, Bang Ochi dan kawan-kawan membantu memberikan penerangan dengan lampu sorot agar mereka tidak hilang pijakan.

Saat sedikit lagi sampai ke tebing terakhir, pria yang berada pada posisi paling depan dari rombongan itu tampak kehilangan arah. Ia memanjat tebing terlampau jauh ke arah kanan, padahal ia seharusnya melipir zig-zag ke arah kiri sesuai jalur.

Saat menyadari jalur yang dipijak salah, sang leader bermaksud kembali. Namun, nahas, tampaknya kondisi pria itu sudah sangat lelah. Ia benar-benar hilang arah dan tak tahu harus berpijak pada rekahan tebing yang mana. Ia menempelkan tubuh depannya seperti pajangan dinding yang tak bergerak. Ia ragu untuk bergerak kembali ke jalur yang seharusnya karena medan yang sangat sulit. Ia hanya dapat bergantungan mempertahankan posisi dengan berpegangan pada rekahan tebing seujung jari.

Tak kuat menahan beban carrier disertai telapak tangan yang mulai berkeringat, pegangan sang leader pun mulai menjadi agak licin. Pelan, inci demi inci, ujung jari itu mulai bergeser menjauhi permukaan tebing. Licin, pegangannya hampir lepas. Sang leader pun tak mampu bertahan. Ia terjatuh dari tebing ke dasar kawah Rinjani yang dalam dan tertutup kabut tebal.

Bang Ochi dan tim di atas pelawangan, tak mampu berbuat apa pun melihat kejadian itu. Suasana panik dan mencekam.

Sang leader hilang tertelan jurang Pelawangan Jalur Selatan Rinjani.

*****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dirin Ajj
mantap nih cerita
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status