Sejak kecil, Mama Salwa sangat membenciku. Dia bahkan tak segan membunuh sahabatku yang juga keponakannya sendiri, lalu menjualku ke pernikahan ini demi menyelamatkan perusahaan keluarga yang hampir bangkrut.
Rasanya, aku tak ingin mengangkatnya. Namun tahu kekejaman istri sah papaku itu, kubatalkan niatku itu. "Assallam....." “Dengarkan baik-baik, Renjana. Perusahaan Papamu membutuhkan dana tambahan untuk proyek barunya. Kamu bicaralah dengan Ammar, minta dia membatu Papamu.” Tanpa salam dari seberang sana, Mama Salwa sudah langsung memberi perintah. Kuhela nafas, baru saja bertengkar bagaimana bisa aku meminta tolong pada Mas Ammar? "Maaf Ma, untuk kali ini aku tidak bisa," balasku ketakutan. “Apa?” Suara Mama Salwa meninggi. “Apa kamu lupa alasan kamu menikah dengan Ammar? “Aku ingatkan lagi, kamu di sana hanya untuk membantu perusahaan keluarga kita, apa kamu mengerti?” "Aku mengerti, Ma, tapi–” “Baiklah aku tidak akan memaksa. Tapi jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi pada wanita penyakitan itu.” Mataku sontak terpejam. Menahan geram dan takut yang memenuhi dadaku. Kembali, ibu Arfan yang tak bersalah itu dijadikan ancaman oleh Mama Salwa untuk memaksaku menuruti perintahnya. Terbuat dari apa hati ibu sambungku ini? Bahkan pada kakak sepupunya sendiri dia tega. Kenapa ada wanita yang begitu kejam dan egois seperti Mama Salwa? "Kumohon jangan, Ma," ucapku gemetar. Jangan lagi ada yang jadi korban. Cukup Arfan. Jangan lagi.... “Kalau begitu lakukan! Kuberi kamu waktu tiga hari! Jangan salahkan aku jika wanita itu bernasib sama seperti putranya.” Tut! Sambungan telepon itu pun terputus sepihak. Ya, Tuhan apa yang harus kulakukan? Panik, aku gegas turun ke lantai bawah mencoba menemui Mas Ammar. Akan tetapi, pria itu sudah pergi dari rumah. Entah pergi ke mana, aku pun tak tahu. Kucoba hubungi nomornya, tapi aku baru teringat jika Mas Ammar telah menggantinya sejak sebulan lalu, dan tak mau memberitahukan nomor barunya padaku. Kepalaku terasa pening. Terlebih saat sadar bahwa besok aku pun harus pergi sendiri menemui Oma Rumana dan mama mertuaku…. "Ya Tuhan...." ** Di depan rumah mewah milik keluarga Zafier, aku berdiri mematung. Teringat saat pertama aku datang ke tempat ini untuk menyatakan kesediaanku menerima perjodohan ini, sehari setelah kematian Arfan. "Sedang apa kamu di sana?" Mama Rosa berdiri di depan pintu–menyadarkanku dari lamunan. Seperti biasa, ekspresi wajah mama mertuaku itu selalu ketus. "Oma sudah menunggumu, cepat masuk!" perintahnya. "Iya, Ma." Aku mengikutinya berjalan memasuki rumah mewah kediaman keluarga Zafier. Di meja makan, Oma Rumana memang sudah duduk di menunggu kami. "Siang Oma," sapaku mengulurkan tangan, mencium punggung tangan yang sudah mulai keriput namun tetap hangat saat kusentuh. "Siang, Ana. Mana suamimu?" tanya Oma Rumana mengarahkan tatapannya ke arah ruang tamu. mencari cucu pertamanya. "Maaf Oma, tapi Mas Ammar tidak bisa datang. Ada meeting penting yang tidak bisa ditinggalkan." Oma Rumana menghela nafas. Mungkin kecewa? Ini ketiga kalinya Mas Ammar tidak bisa datang memenuhi undangan makan siang Oma Rumana. Aku semakin tak enak pada satu-satunya orang yang baik padaku di keluarga Zafier ini. "Duduklah, Sayang," perintahnya yang segera kuikuti. "Ammar memang sedang sibuk Ma. Kata Mas Malik, perusahaan sedang mempersiapkan kerja sama dengan perusahaan luar negeri." Mama Rosa mencoba membela putranya. "Aku memintanya datang di jam makan siang. Apa itu mengganggu pekerjaannya?" sahut Oma Rumana tenang, tapi tatapannya mampu membuat orang merasa tertekan. Wanita tua itu memang memiliki aura yang sangat kuat. Bahkan, Oma Rumana dapat mengintimidasi orang tanpa menaikkan suaranya–sama seperti Mas Ammar. Sangat berwibawa. "Bukan begitu maksudku, Ma. Mungkin Ana memberitahunya mendadak jadi dia tidak bisa mengatur jadwalnya." Mendengar ucapan Mama Rosa, aku terkesiap. Bisa-bisanya menyalakanku untuk membela putranya. Namun, aku tahu tak bisa membela diri. Untungnya, Oma Rumana menjawab menantunya itu, "Aku meminta Ana datang untuk makan siang bukan untuk jadi tameng kesalahan putramu." "Maaf." Kali ini, Mama Rosa terdiam. Dia lalu segera mengambilkan nasi untuk ibu mertuanya. "Biar aku sendiri Ma," kataku saat Mama Rosa juga hendak mengambilkan nasi untukku. "Diam saja," bisiknya melirikku kesal. Aku pun mengalah–membiarkannya mengambilkan aku nasi beserta lauknya. Kami pun mulai makan sambil mengobrol ringan. Namun lama-kelamaan obrolan itu menjadi berat untukku. Apalagi jika bukan tentang momongan? "Ana ini sudah hampir dua bulan, apa sudah ada tanda-tanda kehamilan?" tanya Oma Rumana. "Belum, Oma," jawabku sambil memaksa bibirku tersenyum sopan. "Apa bulan ini kamu sudah datang bulan?" "Sudah Oma." Oma Rumana menghela napas panjang. "Kalau bulan depan kamu belum juga hamil, konsultasi ke dokter ikut promil, ya." Aku sontak tertegun—menatap wanita tua itu dengan tatapan tak percaya. "Oma benar, kalau memang ada masalah dengan kesuburanmu bisa diketahui lebih awal. Jadi bisa segera diobati." Mama Rosa ikut menyahut. Rasanya aku ingin menangis sembari tertawa. Belum genap dua bulan menikah sudah disuruh konsultasi ke dokter untuk program hamil? Apa ini tidak terlalu berlebihan? Lalu, soal 'Kesuburanku'.... Rasanya, aku ingin langsung mengatakan bahwa Mas Ammar saja tidak mau menyentuhku, bagaimana aku bisa hamil? Ting! Satu notifikasi terlihat di bagian atas layar ponsel. Menarik perhatianku. Segera saja kuperiksa. Namun begitu membukanya, aku seketika menyesaliya. Mataku melebar melihat isi pesan itu. [Ana, bagaimana menurutmu? Apa aku sudah pantas jadi Nyonya Ammar Alfatih Zafier?] Pesan dari sahabatku Raline masuk disertai foto dirinya dan Ammar yang tersenyum hangat. Seolah menunjukkan jika mereka pasangan yang paling bahagia. Hatiku sontak berdenyut nyeri kala menyadari suamiku itu tak pernah tersenyum lagi padaku semenjak pernikahan kami. Pria itu bahkan bersumpah untuk tidak memberikan hatinya padaku sejak awal dan memperlakukanku dingin. Namun sikapnya jauh berbeda saat bersama Raline. "Kamu kenapa, Ana?" tanya Oma Rumana. "E......""Mana Ayu?" tanya Gio pada Renjana yang duduk duduk di kursi teras samping. Pria itu mengerutkan dahinya. Sudah hampir pukul 9 malam bukannya menemani putrinya tidur tapi adiknya itu malah melamun seorang diri. Renjana menoleh, mengurai senyum tipis sebelum akhirnya menjawab. "Ayu sama Papa. Lagi nonton film kartun favoritnya di kamar Papa," jawabnya. "Oh...." Gio mengangguk, melangkah mendekat lalu mengambil duduk di sebelah Renjana. "Sedang apa kamu sendirian di sini?" "Me time dengan menikmati coklat hangat," jawab Renjana sambil mengangkat gelas berisi coklat hangat. Gio mengangkat tangannya mengelus puncak kepala adiknya yang tertutup hijab. "Oh iya, kamua ingat Galih? Temanku yang dulu sering kesini?"Renjana berusaha mengingat, "Cowok yang selalu pakai topi?" "Iya." Gio mengangguk. "Papanya Galih memiliki sebuah sekolah swasta. Setelah papanya meninggal sekarang sekolah itu Galih yang mengelola. Dia bilang, ingin mengajakmu bergabung. Tapi gajinya tidak besar kare
"Rahimku rusak, aku tidak bisa lagi punya anak." Renjana terkesiap. Matanya membulat dan lidahnya kaku, tak bisa berkata-kata. Fakta yang baru saja ia dengar sangat mengejutkan. "Aku tidak bisa menjadi wanita sempurna, Ana. Tidak akan ada laki-laki yang mau menikah wanita mandul sepertiku. Lalu bagaimana hidupku nanti?" Raline menangis tersedu-sedu. "Ini semua karena kamu dan Mas Ammar," katanya sambil mengusap air mata. Renjana masih bergeming. Otaknya masih berusaha memahami semua pengakuan Raline. "Kamu harus bertanggung jawab Ana. Harus!" Raline memajukan tidak tubuhnya sambil menggebrak meja. Renjana mendesah berat. Melihat tangis Raline, muncul rasa iba di hatinya. Sebagai wanita ia bisa memahami perasaan wanita itu. Namun, lebih dari rasa iba, yang saat ini memenuhi pikirkan Renjana adalah ucapan Raline tentang keinginan Ammar untuk mengambil Dahayu darinya. 'Tidak. Raline pasti berbohong. Dalam surat perjanjian itu jelas ditulis Mas Ammar akan kehilangan seluru
Sesuai perjanjian, Ammar diizinnkan menemui Dahayu kapanpun. Tak ada lagi drama perebutan hak asuh, apalagi penculik seperti sebelumnya. Renjana legowo memberikan kesempatan untuk Ammar dekat dengan putrinya. Tiga sampai empat kali dalam seminggu sudah menjadi jadwal wajib bagi Ammar untuk datang ke kediaman kelaurga Fahrezi. Tak hanya Ammar, kedua orang tuanya juga sering datang mengunjungi Dahayu. Hubungan dua keluarga pun mulai membaik. Seperti sore ini setelah menyelesaikan pekerjaan Ammar segera menuju kediaman keluarga Fahrezi untuk menemui buah hatinya. Setelah dua hari dia tidak datang. "Boleh ketemu Ayu?" tanya Ammar begitu pintu dibuka oleh Renjana. "Boleh. Ayu ada di ruang tengah. Sedang main barbie," beritahu Renjana. Wanita itu mempersilahkan Ammar masuk dan mengantarnya ke ruang tengah. "Hai sayangku," ucapnya pada gadis kecil yang sedang duduk di atas karpet. "Halo, Papa," sapa Dahayu kegirangan. "Papa sudah nggak sibuk?" tanyanya setelah sang papa d
"Tidak boleh." Ucap Renjana tegas. Dahayu langsung menatap Mamanya, gadis kecil itu nampak kaget. Sebulumnya sang Mama tidak pernah berbicara dengan nada keras. "Eh.... maksud Mama, Papap tidak bisa tinggal sama Ayu, Papa kan kerja nanti saipa yang ngurusin Ayu?" jelas Renjana dengan nada yang lebih lembut. "Ya Mama lah, maksudnya Ayu. Papa tingga sama kita Di sini," kekeh Ayu menggemaskan sampai membuat Ammar tak bisa berkata-kata dan hanya senyum-senyum sambil menggelengkan kepala. "Gak bisa," tegas Renjana yang langsung disambut dengan wajah ketus Dahayu. "Papa itu sibuk kerja di luar kota, jauh banget. Gak bisa tiap hari di sini." "Mama pasti bohong," Ayu memicingkan matanya, curiga. Renjana menghela nafas panjang, mengais kesabaran yang mulai menipis. "Mama gak bohong, sayang...." katanya dengan senyum yang dipaksakan. "Coba kami tanya aja Papamu," sambungnya mendelik ke arah Ammar. "Eee... iya." Ammar hanya mengangguk saja. Ini kali pertama dirinya melihat Ren
Pagi-pagi Ammar mendatangi kediaman keluarga Fahrezi. Kabar dari Renjana yang diterimanya pagi ini membuat pria itu sangat bahagia. "Suruh orang untuk membeli beberapa mainan yang paling bagus dan mahal untuk putriku," perintahnya pada Arya sebelum keluar dari mobil. Dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya pria itu melangkah menuju pintu rumah mantan mertuanya itu. Baru menapaki teras pintu sudah terbuka. Nampak Gio dengan setelan rapi khas orang berangkat kerja menatapnya dengan tatapan kaget juga aneh. "Sedang apa kamu di sini?" tanyanya setelah melihat penunjuk waktu di tangannya yang baru menunjukkan pukul 7 kurang lima menit. "Aku ingin bertemu Ayu. Tadi Ana sudah menelponku, memberitahukan kalau kalian sudah setuju." Ammar menjawab dengan ramah. Tak ada sedikitpun rasa dendam pada pria yang telah membuatnya terbaring di meja operasi beberapa pekan yang lalu. "Apa ini tidak terlalu pagi?" Gio melihat Ammar dari atas sampai bawah. "Dilihat dari pakaianmu yang
"........ Bagaimana?" Akmal menatap Ammar dengan seringai, tatapan penuh kebencian. Jika dulu ia membenci pria itu karena perbuatannya yang telah menyakiti Renjana, tapi kini kebencian itu bertambah dengan kesalahan kakek dan kedua orang tuanya. "Papa, tolong jangan sangkut pautkan orang lain dalam masalahku dan Mas Ammar." Renjana tak bisa lagi menahan diri. Dengan tegas wanita itu memberi peringatan pada papanya. Menurutnya permintaan sang papa sudah sangat keterlaluan. Tidak seharusnya Akmal menggunakan masalah Ammar dan Renjana untuk membalas sakit hatinya pada Maliq. Akmal tak menghiraukan ucapan putrinya. Dia tetap kekeh dengan keputusannya. "Mau atau tidak, itu adalah syaratku," katanya tegas. "Saya siap bertanggung jawab atas semua kesalahan saya pada Ana. Bahkan jika saya harus menyerahkam semua yang saya miliki termasuk nyawanya saya. Tapi, tolong jangan libatkan orang tua saya. Mereka tidak ada hubungannya dengan dosa-dosa yang telah saya lakukan," Mendeng