“Apa maksudmu, Ash? Aku nggak mau dia. Aku mau kamu malam ini!” Arya kesal, menatap istrinya dengan geram.
Ashley mengerutkan keningnya, “Aku lelah Arya! Setiap minggu mereka meneleponku, menanyakan kapan aku akan memberikan mereka cucu. Kamu tahu kan aku tidak mau mengandung, aku tidak mau bentuk tubuhku berubah. Dan sekarang solusinya ada di depan mata, jadi jangan menolaknya!” Arya menggeleng, satu malam bersama Rayana sudah cukup menjijikan baginya. Ashley menatap tajam, suaranya kembali meninggi. "Aku tidak peduli bagaimana caranya, yang penting besok kita sudah punya alasan untuk mengatakan kepada semua orang… kalau kita akan segera punya anak.” Arya mengerang kesal, tangannya menghantam meja makan hingga gelas bergetar. Rayana tersentak kaget. Dalam benaknya ia ingin kabur sejauh mungkin dari pasangan gila ini. “Sudah kubilang, Ash! Lebih baik kita mengadopsi bayi daripada kamu terus menyiksa aku seperti ini!” pekik Arya, wajahnya tampak sangat tertekan. Melihat suaminya marah, Ashley malah ikut meledak. “Adopsi?! Aku gak sudi! Kau pikir aku mau menanggung malu karena dianggap tak bisa memberikanmu keturunan? Tidak, Arya! Aku ingin bayi dari benihmu, dan aku harus mendapatkannya—dengan cara apa pun!” Arya menatapnya tajam, rahangnya mengeras. “Apa salahnya juga jika aku menginginkan bayi yang berasal dari rahimmu? Bukan dari saudara tirimu yang bahkan tidak jelas asal-usulnya.” Tatapan jijik Arya beralih pada Rayana. Sontak, Rayana memeluk dirinya sendiri, berusaha menutupi bagian dadanya yang terbuka karena lingerie tipis yang dipaksakan Ashley. Ashley menghela nafas panjang, mendekati suaminya dengan langkah anggun. Ujung jarinya menyusuri perlahan jemari Arya yang tampak mengepal, sentuhan itu seperti jebakan yang dibalut kelembutan. Tapi berhasil meluluhkan kemarahan suaminya. “Sayang…” suaranya lirih, terdengar manis tapi beracun. “Kamu tahu kan, karier modelingku sedang berada di puncaknya. Ini cita-citaku sejak kecil Mas. It’s my dream. Jadi… tolong terima Rayana. Gunakan dia sesukamu. Perlakukan dia layaknya seorang budak…” Nada manisnya terdengar seperti bisikan di telinga Arya, tapi bagi Rayana, itu seperti pisau yang dengan sengaja mengiris sisa harga dirinya. Rayana menunduk, menahan napas. Kata ‘budak’ itu menggema di kepalanya, membuatnya ingin lari. Tapi kakinya berat, seakan rantai tak kasatmata menahannya di tempat. Arya memandang Rayana dengan sorot mata tajam, rahangnya mengeras. Tatapan itu penuh kebencian, seolah semua masalah ini adalah ulah Rayana. Ia benci merasa terjepit di antara dua wanita, benci dipermainkan seperti ini, namun tatapan Ashley yang penuh permohonan itu perlahan meruntuhkan amarahnya. “Tolong, Sayang…” suara Ashley lembut. “Demi aku… dan demi masa depan keluarga kita.” Dengan helaan nafas berat, Arya akhirnya setuju—lebih tepatnya menyerah demi kebahagiaan istri. Ia bangkit dari kursinya, melangkah melewati Ashley yang tersenyum puas, lalu menuju Rayana. Tanpa sepatah kata pun, Arya meraih pergelangan tangan Rayana dan menyeretnya masuk kedalam kamar. Pintu dibanting keras. Blam! Sekejap kemudian, tubuh Rayana didorong hingga jatuh ke ranjang ukuran king size. Arya menatapnya sinis, “Perempuan murahan penuh muslihat, kau pikir aku nggak tahu? Semua ini rencanamu untuk menjebakku!” Rayana ketakutan, hanya bisa diam—kalaupun ia membalas, pasti tak akan mengubah nasibnya malam ini. Arya meraih pergelangan tangan Rayana dengan kasar, jemarinya mencengkeram seperti ingin menembus kulit. Satu tarikan keras membuat tubuh Rayana terhuyung, jarak mereka kini hanya sejengkal. “Jangan pura-pura suci,” desisnya, napasnya panas membakar wajah Rayana. “Kau tidak pernah—tidak akan pernah—sebanding dengan Ashley.” Tatapan Arya menusuk, bola matanya yang gelap memantulkan ketakutan diwajah Rayana. Rayana memalingkan wajah, tapi genggaman Arya memaksa dagunya kembali menghadapnya. Tatapan pria itu—penuh jijik. Rayana menggeleng cepat, “Aku nggak—” Kalimatnya terputus, matanya membelalak, melihat Arya mulai melepas pakaiannya satu per satu. Dia langsung menindih tubuh Rayana tanpa memberi ruang sedikit pun, berat badannya menekan tubuh Rayana hingga hampir tak bergerak. Jemari Arya meraba dengan kasar, mencengkeram bahu dan lengan Rayana seolah ingin menandai dan menguasainya sepenuhnya. Tak lama, deruan napas mereka memenuhi ruangan, bersahutan dengan desahan kasar yang keluar dari tenggorokan Arya. Gerakannya kasar seperti dimalam pertama, tapi kali ini penuh gairah. Tubuh mereka saling beradu, antara nafsu dan amarah bercampur menjadi satu. Beberapa saat kemudian. Arya terbaring di sisi ranjang, napasnya masih memburu, dadanya naik-turun cepat. Ia menatap langit-langit, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Tak percaya… ia kelepasan dua kali. Bahkan dengan Ashley, istri yang sudah dinikahinya selama setahun, Arya jarang sekali merasakan kepuasan seperti ini. Biasanya, satu kali saja sudah cukup—atau lebih tepatnya, sudah dianggap cukup oleh Ashley. Begitulah Ashley jika sudah merasa puas, permainan langsung ia hentikan, tak peduli apakah Arya masih menginginkannya atau tidak. Kadang, ketika ia belum puas, Ashley malah memaksanya walau tau Arya sedang kelelahan. Di lain waktu, saat Ashley tidak mau, Arya terpaksa harus mengurus hasratnya sendiri di kamar mandi. Tapi Rayana… Berbeda, ia tidak egois seperti Ashley.Rayana tersenyum miris, menunduk lagi. Jemarinya memainkan permukaan air, seakan mencoba mengusir rasa perih yang muncul.“Mereka... tidak seburuk Ashley, tapi juga tidak pernah benar-benar menganggapku bagian dari keluarga. Aku ada di rumah itu, tapi seperti orang asing. Mereka jarang menegurku, jarang mengajakku bicara.”Sambil bercerita, bayangan masa lalu membawa Rayana jauh mundur ke masa dua belas tahun lalu, hari ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah keluarga Jansen.Pintu besar rumah itu terbuka dengan lebar, di ambang pintu berdiri Ruby Jansen, wanita elegan dengan senyum ramah yang memancar dari wajahnya yang cantik.Di sampingnya berdiri seorang pria yang tampaknya seumuran dengan ayahnya, Richard Jansen. Dia memiliki tinggi badan yang tak terlalu tinggi, dan perutnya agak buncit, namun garis wajahnya tegas dan cukup tampan.“Mulai sekarang, kamu tinggal bersama kami,” kata Ruby, nada suaranya hangat menenangkan.Rayana yang kala itu masih usia remaja, menunduk
“Rayana, tunggu dulu.” Arya memanggil sambil mengejarnya.Rayana melangkah lebih cepat, menjauh dari Arya. Napasnya tersengal, bukan karena lelah, tapi karena emosi. Sungguh, Arya itu selalu membuatnya naik darah.“Mau apa lagi? Aku sudah muak denganmu!" pekik Rayana sambil berjalan cepat, menyusuri koridor hotel, matanya berkilat penuh amarah.“Ayolah, kamu tahu kan aku ini memang suka bercanda....”Rayana mendengus. “Aku muak bicaramu yang selalu menjurus ke arah itu.”“Hei... Kalau aku tak bisa bercanda denganmu, dengan siapa lagi aku harus jadi diri sendiri?” ucap Arya lirih.Kata-kata itu membuat Rayana kehilangan daya untuk membalas. Ia berhenti berjalan maju, jantungnya berdegup kacau.Tanpa memberi kesempatan Rayana menghindar, Arya melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Rayana, memeluknya erat dari belakang.“Lepaskan aku!” suara Rayana bergetar, tubuhnya meronta-ronta minta dilepaskan.Namun Arya mempererat pelukannya, Arya menunduk, bibirnya hampir menyentuh helai rambut Ray
"Ini bulan madu kita. Simpan saja cerita sedihmu itu, dan jangan pasang wajah suram di hadapanku lagi!" bentak Arya, lalu bergegas masuk ke dalam villa.Rayana hanya bisa diam, menelan ludah pahit. Rasa kecewa menyelinap di hatinya—ternyata suaminya sama sekali tak peduli pada luka kelam yang masih membekas dalam hidupnya.“Hmmp… di kepalanya hanya soal buat keturunan. Benar-benar lelaki yang tak punya hati,” gumam Rayana lirih, sambil menyeret koper masuk ke villa.Beberapa saat, setelah Rayana baru saja selesai menata pakaian di lemari. Ia keluar kamar, lalu mendapati Arya sedang duduk di ruang santai, sibuk menatap layar laptopnya. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, seakan dunia di sekeliling tak lagi penting.“Tu–tuan…” suara Rayana pelan, nyaris ragu. "Hmmm," Arya berdehem. Tanpa melihat ke arah Rayana.“Ka–kalau boleh tahu… berapa lama kita akan menetap di Bali?” tanyanya terbata-bata.“Yah... Mungkin seminggu, atau dua minggu,” sahut Arya tanpa menoleh, matanya tetap ter
"Hmm..."Rayana coba membuka kedua mata perlahan, terasa berat karena habis menangis. Sinar mentari pagi menyelinap dari celah jendela membuatnya mengerjap pelan. Begitu sadar, ia sontak bangun kaget—menoleh ke kiri dan kanan. Kosong.“Eh, kemana dia?” gumamnya pelan. Ia bahkan sempat menepuk-nepuk kasur, memastikan tidak ada seseorang yang bersembunyi di balik selimut.Dengan hati yang masih berdegup kencang, Rayana memeriksa sekeliling kamar, memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Setelah puas dengan penemuan bahwa dirinya benar-benar sendirian, ia menurunkan tatapan ke pakaiannya."Syukurlah, aku masih pakai baju." Ia bernapas lega. Mengingat kejadian yang memalukan di hotel dulu tak ingin terulang lagi.Rayana membuka pintu kamar perlahan, mengintip ke luar. Koridor tampak lengang, tak seorang pun terlihat. Dengan hati-hati ia melangkah keluar, telapak kakinya yang telanjang tak menimbulkan suara di lantai dingin itu.Hening.Hanya kicau burung dan gemericik air mancur da
“Maaf aku tidak bisa, Anda… masih sakit. Jadi lebih baik aku di kamar sebelah saja, toh aku tetap bisa mendengarmu kalau butuh sesuatu.”Arya menghela napas panjang, sambil memegangi keningnya. “Kamu lupa, kata dokter tadi… kalau aku sampai demam lagi, sakitku bisa tambah parah.”Rayana mendengus, berusaha menutupi rasa cemas yang muncul. “Jangan sok dramatis. Barusan kamu masih bisa bercanda dan habiskan sepiring buah. Lebih baik anda istirahat saja, biar besok cepat pulih dan kembali bekerja.”Arya menutup mata rapat-rapat, suaranya dibuat serak dan lemah, seolah kehilangan tenaga. “Aku tidak bercanda, Rayana… tubuhku benar-benar berat. Tolong, jangan biarkan aku sendirian malam ini.”Rayana terdiam. Batinnya berperang hebat—akalnya ingin menolak, tapi tatapan Arya yang lemah meluluhkan niatnya untuk melarikan diri.“Baiklah… tapi jangan berbuat macam-macam,” ucapnya dengan berat hati.Arya tersenyum puas, mengangkat tangan seolah bersumpah. “Aku janji. Hanya tidur, tidak lebih.”Ma
"Tuan Arya mengalami demam tinggi akibat radang. Saya sudah memberikan obat penurun panas, tetapi Anda harus terus memantau kondisinya. Pastikan ia cukup istirahat dan diberi cairan yang cukup. Kalau demamnya tinggi lagi, segera hubungi saya lagi," ucap sang Dokter."Terima kasih banyak, Dokter. Saya akan merawatnya dengan baik." seru Rayana, kedua tangannya terus mengepal kaos yang ia pakai.Lagi-lagi tak bisa kabur, tak ada pilihan bagi Rayana, seharian penuh akhirnya ia merawat Arya sesuai instruksi dari sang Dokter. Setiap beberapa jam, ia memberikan obat yang diberikan dokter dan mengompres tubuh Arya dengan air hangat.Kesal teramat kesal, tentu saja hal itu yang sedang Rayana rasakan sekarang. Dirinya harus terpaksa merawat suaminya lebih dari 24 jam, lantaran tak ingin nama kedua mendiang orangtuanya buruk, kalau Arya sampai meninggal karena ia abaikan."Bangunlah Tuan, Anda harus makan bubur, walaupun hanya sedikit, tapi bisa menambah tenaga."Perlahan Arya membuka matanya, i