Share

Bab 4: Batas Harga Diri

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-02-04 10:10:51

Udara malam di Jakarta memang lebih sejuk, namun bukan semilir angin yang menjadi penyebabnya. Kedinginan yang Amara rasakan justru bersumber dari keabsurdan yang baru saja ia dengarkan dari Laksha.

Mereka berdiri berhadapan, dengan Amara yang masih mencoba mencari tanda-tanda canda di wajah Laksha. Ia berharap bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah salah satu lelucon Laksha, hanya sekedar permainan kata untuk mengusik suasana.

Namun, tidak ada tawa renyah atau senyuman geli yang biasa menghiasi wajah Laksha kali ini.

Dia serius.

Dengan tawa kering, Amara berkata, "Lucu sekali."

Laksha hanya mengangkat alisnya, teguh. "Gue serius, bukan bercanda."

"Tentu saja kau bercanda," Amara mendesah, hampir tidak percaya. "Baru beberapa jam kita berkenalan, di klub tempat aku bekerja, dan sekarang kau tiba-tiba melamar aku?"

Laksha mengangkat bahu, seolah-olah apa yang ia katakan adalah hal yang paling wajar di dunia. "Untuk membuat kesepakatan, kita tidak perlu tahu terlalu banyak satu sama lain."

Kata 'kesepakatan' itu seakan membunyikan alarm dalam benak Amara, meningkatkan rasa curiganya.

Ia menatap Laksha dengan tatapan skeptis. "Baiklah, jelaskan maksudmu."

Laksha melirik jam tangannya sebentar, memastikan mereka memiliki cukup waktu untuk menjelaskan ini semua. Kemudian, dengan tatapan yang lebih serius, ia kembali menatap Amara.

"Aku membutuhkan seorang istri, hanya di atas kertas saja," ujarnya dengan santai. "Dan kamu… kamu adalah kandidat yang sempurna."

Amara melemparkan tawa sinis. "Oh? Dan mengapa aku?"

"Karena kamu tidak tertarik padaku," jawab Laksha.

Amara terdiam sejenak. Itu bukan jawaban yang ia harapkan.

Laksha tersenyum tipis, menangkap kebingungan di wajah Amara. "Aku dikelilingi oleh wanita yang selalu punya agenda tersembunyi. Mereka ingin sesuatu dariku—uang, status, atau hubungan yang sebenarnya tidak aku inginkan."

Ia menghela napas sebelum melanjutkan. "Tapi kamu? Kamu bahkan tidak ingin berbicara denganku, apalagi menikah."

Amara mengerutkan kening. "Jadi kamu melamarku... karena aku tidak tertarik?"

"Precisely," jawab Laksha, suaranya rendah dan tenang. "Jika kita tidak memiliki perasaan satu sama lain, segalanya menjadi lebih mudah."

Amara tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Kau pikir pernikahan itu semacam transaksi bisnis? Kau kira aku akan setuju begitu saja?"

Laksha memasukkan tangan kembali ke dalam saku jaketnya. "Aku tidak menawarkan ini tanpa imbalan."

Amara menatapnya dengan tajam. "Apa maksudmu?"

"Aku akan membayarmu," ucap Laksha, suaranya penuh keyakinan. "Sejumlah yang cukup untuk membuat hidupmu lebih mudah."

Sejenak, Amara tidak menjawab.

Laksha menyadari perubahan sikapnya. Dia tahu bahwa ia telah menyentuh titik yang tepat.

"Aku tahu kamu bekerja di dua tempat untuk membayar sewa. Aku tahu kamu berjuang sendirian," kata Laksha, suaranya semakin dalam. "Aku bisa memberikan sesuatu yang belum pernah kamu miliki sebelumnya. Stabilitas."

Kata-kata itu menghantam Amara lebih keras daripada yang ia kira. Dia ingin marah, ingin mengatakan bahwa dia tidak butuh bantuan dari seorang pria kaya yang tidak pernah merasakan realita kehidupan seperti dirinya. Tapi tawaran itu...

Pernikahan kontrak, hanya untuk sementara. Dan dia akan mendapatkan uang yang cukup untuk mengubah hidupnya.

Namun, suara kecil dalam dirinya berbisik bahwa ini adalah ide paling gila yang pernah ia dengar.

Amara menghela napas, memandang pria di depannya dengan ketidakpercayaan penuh. "Kau gila," ujarnya.

Laksha mengangkat bahu, tidak membantah.

"Aku akan memberimu waktu untuk berpikir," ujarnya akhirnya. "Tapi jika kamu tertarik..."

Dia merogoh sesuatu dari saku jasnya dan menaruhnya di tangan Amara—sebuah kartu nama hitam dengan tulisan perak.

"Hubungi aku."

Amara memandangi kartu tersebut, lalu kembali menatap Laksha.

"Aku tidak akan menelepon," ucapnya.

Laksha tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti."

Kemudian dia berbalik, masuk ke dalam mobilnya, dan pergi, meninggalkan Amara berdiri di bawah lampu jalan yang temaram, dengan kepala yang tiba-tiba terasa penuh oleh sesuatu yang seharusnya tidak dia pikirkan.

Malam semakin larut dan udara Jakarta yang biasanya hangat, malam itu terasa menusuk tulang. Angin malam yang tipis membawa aroma jalanan yang baru saja dibasahi oleh hujan sore tadi, memberikan kesan segar namun dingin.

Lampu jalan yang berpendar samar memberikan sedikit kehangatan pada trotoar yang mulai sepi, tempat Amara masih berdiri, merenungi kejadian yang baru saja berlalu.

Kartu nama hitam itu masih tergenggam di tangannya, ujung-ujungnya mulai kusut karena digenggam terlalu kuat.

"Laksha Wijanarko," namanya terpahat dengan tinta perak di atas permukaan yang halus dan dingin—mewah, elegan, dan memancarkan sedikit kesombongan, sangat mencerminkan pribadi pemiliknya.

Tawaran yang tiba-tiba itu masih bergema di kepalanya, berulang-ulang. "Aku butuh istri, sementara, hanya di atas kertas. Dan kamu… kamu adalah kandidat yang sempurna."

Amara mengerutkan kening, rahangnya mengeras. Seharusnya ia langsung membuang kartu itu ke selokan begitu tangan Laksha terulur memberikannya.

Namun, ia masih berdiri di sana, mempertimbangkan kemungkinan dari omong kosong yang ditawarkan Laksha. Dengan gerakan kasar, ia menyelipkan kartu nama itu ke dalam saku jaketnya dan mulai melangkah ke halte bus.

Langkahnya cepat dan tegas, seakan ingin segera meninggalkan segala hal yang berkaitan dengan pertemuan itu.

Namun, bayang-bayang Laksha masih menghantui pikirannya. Tatapan matanya yang tajam, suaranya yang penuh percaya diri, seolah seluruh dunia akan tunduk pada kemauannya.

Dan yang paling menyebalkan dari semua itu? Ia benar. Amara menghela napas panjang ketika bus hampir kosong tiba, dan ia naik ke dalamnya. Ia memilih duduk di dekat jendela, kepalanya bersandar pada kaca dingin, matanya menatap keluar.

Jakarta masih terjaga, meskipun waktu telah menunjukkan larut malam. Lampu kendaraan masih berlalu lalang di jalan, orang-orang masih sibuk dengan urusan mereka. Seharusnya ia juga begitu, seharusnya ia sudah melupakan pertemuan itu dan fokus pada kehidupan pribadinya.

Tetapi tawaran Laksha...

Jari-jarinya yang berada di saku jaket meremas kartu nama itu lagi. Uang yang ditawarkan cukup untuk mengubah banyak hal. Dengan uang tersebut, ia bisa membayar sewa apartemen selama bertahun-tahun, melanjutkan pendidikan yang sudah lama ia kubur.

Pernikahan kontrak, hanya sebuah kata yang terdengar seperti lelucon atau plot drama televisi, bukan bagian dari kehidupannya yang keras dan nyata.

Amara menutup mata, berusaha keras untuk menepis semua pikiran yang berkaitan dengan tawaran Laksha. Bodoh. Uang memang bisa membeli banyak hal, tapi tidak dengan harga diri dan kebebasannya.

Malam itu, bus yang hampir kosong terus melaju, membawanya menjauh dari pusat kota, tetapi tidak cukup jauh untuk menghilangkan bayang-bayang yang telah menancap dalam benaknya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 168: Mengulang Pernikahan, Memilih Selamanya

    Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 167: Tanpa Kontrak, Tanpa Keraguan

    Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 166: Rumah yang Tak Pernah Ditinggalkan

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 165: Sekolah Kecil, Harapan yang Menyala

    Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 164: Melarikan Diri Tanpa Harus Berlari

    Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 163: Restoran Kecil, Bahagia yang Besar

    Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status