“Ca?”
Aurelia memanggil pelan, tubuhnya masih setengah keluar dari mobil. Suaranya nyaris bergetar, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia menoleh lebih dekat ke kursi belakang, matanya berusaha menembus kegelapan samar di balik cahaya lampu jalan.
Jantungnya berdentum kencang, seperti dipukul dari dalam.
Di sana, Caca tetap terlelap, wajah mungilnya damai. Namun bibir kecil itu baru saja bergumam sebuah kata yang menusuk relung hati Aurelia, kata yang tak pernah ia duga akan keluar dari mulut bocah itu—“Mama.” Bahkan kini, dalam tidurnya, Caca kembali bergumam samar. Ocehan tak jelas yang lebih mirip percakapan setengah sadar, seakan ia sedang melanjutkan mimpi indah yang hanya ia sendiri yang tahu.
Aurelia terdiam. Dadanya sesak, napasnya berat. Baru setelah beberapa detik ia berusaha menarik napas panjang, menenangkan dirinya yang terguncang. Ia sadar Caca sedang mengigau, tapi tetap saja, kata itu be
“Diamlah, Jer! Itu bukan urusanmu.”Nada tajam keluar dari bibir Baskara. Matanya menyipit, penuh ketegasan yang tak bisa ditawar. Tatapannya menusuk Jeremy yang berdiri congkak di hadapannya. Namun, begitu pandangan itu sempat beralih ke arah Aurelia dan Caca, sorotnya berubah seketika. Ada kelembutan yang muncul begitu saja, seolah dua sosok di hadapannya itu terlalu rapuh untuk disentuh oleh komentar sinis yang baru saja dilemparkan.Jeremy justru tertawa kecil, terbahak pelan dengan nada mengejek. Suara tawanya bergema samar di ruang keberangkatan bandara yang penuh dengan hiruk-pikuk orang berlalu-lalang. “Ayolah, Bas! Kau itu bisa melakukan apa saja. Kalau kau mau, rebut saja dia dari penerus Mahesa Group yang masih ingusan itu.”Baskara terdiam, menahan emosi yang nyaris meluap. Rahangnya mengeras, gigi terkatup rapat. Ia tahu Jeremy memang senang menguji kesabaran, suka menyinggung hal-hal pribadi hanya demi melihat reaksinya. Tap
Baskara berdiri di depan jendela apartemennya, menatap cahaya pagi Melbourne yang lembut menembus tirai tipis. Udara sejuk menguar, membawa aroma roti panggang dari dapur. Senyum merekah di bibirnya ketika langkah kecil terdengar mendekat.“Papa…” suara itu lirih, manja, khas seorang anak baru bangun tidur.Baskara menoleh. Caca, dengan rambut sedikit berantakan dan mata setengah terpejam, berjalan sambil menyeret boneka kelincinya. Pemandangan itu membuat hatinya menghangat.“Good morning, Princess-nya Papa,” ucap Baskara lembut. Ia mendekat, mengangkat tubuh mungil itu, lalu menempelkannya ke dadanya. “Apa tidurmu nyenyak, hmm?”Caca mengangguk kecil, masih malas-malasan. “Tapi …aku lapar.”“Baiklah. Ayo kita sarapan, Sayang.”Mereka pun menuju meja makan. Di atas meja sudah tersaji sandwich sederhana yang Baskara buat sebelum Caca terbangun—isi telur, selada,
“Ca?”Aurelia memanggil pelan, tubuhnya masih setengah keluar dari mobil. Suaranya nyaris bergetar, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia menoleh lebih dekat ke kursi belakang, matanya berusaha menembus kegelapan samar di balik cahaya lampu jalan.Jantungnya berdentum kencang, seperti dipukul dari dalam.Di sana, Caca tetap terlelap, wajah mungilnya damai. Namun bibir kecil itu baru saja bergumam sebuah kata yang menusuk relung hati Aurelia, kata yang tak pernah ia duga akan keluar dari mulut bocah itu—“Mama.” Bahkan kini, dalam tidurnya, Caca kembali bergumam samar. Ocehan tak jelas yang lebih mirip percakapan setengah sadar, seakan ia sedang melanjutkan mimpi indah yang hanya ia sendiri yang tahu.Aurelia terdiam. Dadanya sesak, napasnya berat. Baru setelah beberapa detik ia berusaha menarik napas panjang, menenangkan dirinya yang terguncang. Ia sadar Caca sedang mengigau, tapi tetap saja, kata itu be
“Padahal aku masih kangen sama Kak Lia,” rengek Caca manja, wajahnya mengerucut seperti kue mochi yang dipencet. Matanya bulat bersinar terkena pantulan lampu jalanan, sementara tangannya tak henti-hentinya meraih lengan Aurelia yang duduk di sampingnya di kursi penumpang belakang.Aurelia tersenyum lembut, menepuk pelan rambut halus gadis kecil itu. “Besok kan kita ketemuan lagi, Sayang. Sekarang sudah malam loh, Caca butuh istirahat biar besok segar kembali.”Namun, alih-alih mereda, Caca justru makin mengerucutkan bibirnya, matanya berkedip cepat seakan menahan air yang ingin menggenang.“Kalau mau, kamu boleh menginap dengan Kak Aurelia-mu. Kita bisa ke hotel,” celetuk Baskara dari kursi kemudi. Nada suaranya terdengar ringan, seolah hanya memberi pilihan sederhana, tapi sorot matanya sempat menajam lewat pantulan kaca spion, mengamati reaksi Aurelia.Seketika Aurelia membelalak. “Eh?” suara kecil itu lo
Kata-kata itu meluncur begitu saja, ringan dari mulut seorang murid kelas 1 SD. Namun bagi Aurelia, kalimat itu bagai petir yang menyambar di ruang rapat yang tenang. Nafasnya tercekat, senyum di bibirnya mendadak kaku.Sementara itu, Baskara yang masih fokus pada file di meja, belum menyadari betapa pertanyaan putrinya baru saja mengguncang batin Aurelia.Hingga kemudian suara notifikasi ponsel kembali mengusik Aurelia saat ia masih bersama Caca. Layar menyala, memperlihatkan nama yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Gian.Bukan sekadar pesan biasa, melainkan pap yang dikirimnya. Foto Gian tengah duduk di ruang rapat, setelan jasnya rapi dengan wajah serius namun tetap menyempatkan diri tersenyum kecil ke arah kamera. Di sebelahnya, tampak jelas sosok Rafi yang sibuk membolak-balik dokumen. Tepat di bawah foto itu, Gian menuliskan caption singkat namun sarat rindu:[I miss you so much. Lagi apa, Say
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar Aurelia. Aroma roti panggang yang baru keluar dari toaster memenuhi ruangan mungilnya. Ia duduk di meja kecil dekat jendela, menatap piring sederhana berisi telur orak-arik, selai, dan secangkir teh hangat. Sejenak ia membiarkan keheningan menemani sarapannya, berusaha mengatur pikiran yang sejak semalam terasa penuh.Namun, ketenangan itu buyar ketika ponselnya berdering. Nada dering khas panggilan dari rumah. Jemarinya sempat terhenti di atas sendok. Ada keraguan yang begitu nyata—sebuah perasaan enggan yang sudah lama ia kenal setiap kali layar ponselnya menampilkan nama orangtuanya.Aurelia menarik napas pelan. Jawab atau abaikan? Hatinya berbisik untuk membiarkan saja, tetapi pikirannya berkata lain. Pada akhirnya, ia menyerah. Dengan gerakan hati-hati, ia menggulir ikon hijau dan menempelkan ponsel ke