Share

Buka!

Di bengkel mobil Fiterus Asikin, terlihat banyak montir tengah bersiap menyambut pagi. Demikian pula dengan Ari yang telah duduk pada alas tidur montir.

Sesekali, ia tersenyum sendiri. Kemudian mengibas udara kosong bak tengah menghalau serangga yang datang mendekat.

Supri yang baru saja tiba, merasa ada yang aneh pada diri kawannya itu. Terlebih ia ingat betul, bagaimana kemarin emosi pemuda berambut cepak meninggi gara-gara ulahnya sendiri.

"Cengar-cengir ae, Su! Nggak inget kemaren? Apa udah geger otak?"

"Info geger geden, Pri! Tak tebasse kabeh! (Info pertengkaran besar, Pri! Tak habisi semua!" jawab Ari peringisan.

Supri yang telah mendekat pun meletakkan telapak tangannya pada dahi Ari, menduga-duga suhu tubuh. Lantas, kembali meletakkan tangannya ke arah bokongnya sendiri. Sesaat ia menggeleng smabil berkata, "Gendeng bocah Iki."

Alih-alih marah karena dikatai gila, Ari malah tertawa girang. Ia lantas duduk dan memukul sisi kosong di sampingnya. Mengisyaratkan Supri untuk duduk di sana.

"Aku wong sugih saiki! Awak'e ate njaok opo, Pri? Kemaren kan aku belum sempet bilang makasih. Lah, hari ini kebetulan aku punya rejeki banyak. Jadi mau tak traktir nanti sekalian."

Kedua alis Supri masih saling menukik. Wajahnya penuh tanda tanya, sedangkan Ari ia tak henti tertawa.

"Su, koe sehat tenanan ta gak iki? Bentar lagi peresmian bengkel, lo, ada empat bos cantik ntar!"

"Halah, Pri, aku tau. Nggak usah diingetin teros. Wis paham aku."

Supri yang geregetan lantas beranjak dan mulai menyiapkan diri. Sesekali matanya masih melirik ke arah Ari. Ia takut, sesuatu yang buruk kembali terjadi pada kawan seperjuangan.

"Sing sabar, yo, Su," gumam Supri.

Prok! Prok!

Suara tepukan tangan dari Pak Daus membuyarkan tiap aktivitas dari para montir yang hadir. Lantas, mereka segera berdiri dan berbaris rapi.

"Saya salut sama Ari. Masalah kemaren dihadapinya dengan loyalitas yang tinggi. Pagi-pagi sekali, dia sudah datang dan rela membersihkan seluruh bengkel meski tak digaji. Katanya, sebagai konsekuensi."

Supri manggut-manggut, lantas ia melirik pada Ari. "Pantes baut kepalamu sedikit longgar, habis kerja rodi rupanya."

Ari hanya melirik sembari tersenyum.

"Dalam lima menit, bengkel akan resmi dibuka. Bagaimanapun juga, ada atau tidaknya para Bos Besar, kita akan melanjutkan peresmian. Ngefitin mobil?"

"Asikin, aja!"

Saat yel-yel menggema lantang itulah, keempat gadis dengan mode pakaian yang serba mini, tapi tetap stylish masuk ke bengkel. Mereka telah menggunakan topi montir, serta sarung tangan.

Keempatnya berlenggak-lenggok, bersamaan dengan nada klakson mobil yang berbunyi secara bergantian, serempak dan berirama. Seolah-olah tengah menjadi lagu pendukung di balik terjadinya aksi unjuk diri itu.

Hampir semua montir memandang takjub. Terlebih, saat keempatnya berbalik badan, banyak pejabat dengan plat kendaraan berwarna merah mulai masuk bengkel.

Jika diperhatikan secara seksama, memang tak terlihat ada wartawan atau reporter yang mengabadikan momen. Namun, ternyata mereka berada langsung di dalam kendaraan para tamu undangan.

Lara dengan rok mini dan kemejanya tengah menyiagakan gunting pada pita yang membentang panjang. Sementara yang lain, masih sibuk berpose tiap ada mobil yang masuk dan menyapa.

"Ayo, ayo, kita hitung mundur!"

"Tiga, dua, satu ...."

Seperti peresmian pada umumnya, saat pita merah terpotong akan ada banyak letusan yang memeriahkan. Belum lagi kertas warna-warni yang dipotong kecil demi menyemarakkan suasana. Semua terlihat gembira, kecuali Lara.

Kedua manik sekelam malam itu menatap tajam pada Ari yang berada di barisan terdepan. Bak elang yang membidik mangsanya. Meski sekejap, tapi ada aura lain yang ditangkap oleh beberapa karyawan.

Jarum jam terus berputar melewati poros-poros angka dengan detak seirama. Kedua puluh sembilan montir itu masih sibuk dengan pelbagai mesin dari kendaraan roda empat milik para bangsawan berdarah biru.

Ketiga bos cantik mereka pun turut andil untuk menemani pemilik mobil. Setidaknya, dengan sedikit rayu, bengkel milik mereka akan menuai banyak pelanggan baru dari relasi para tamu.

Sementara itu, Lara dan Ari berada di ruangan yang sama pada lantai dua bangunan. Alih-alih mencuri waktu demi bermesraan, mereka malah saling caci dan hina.

"Kamu sengaja, 'kan?" tanya Ari. Kedua matanya memerah, sedangkan mulutnya pun tak henti mendesah.

"Yang jelas, gue udah nurutin perintah elu, 'kan?"

Lara yang duduk di kursi putar milik Daus, tampak sibuk memperhatikan detil warna pada kukunya. Ia tak peduli.

"Giatel, kok! Awakmu iki ra ceto po kepiye? Aku njaok sarapan, duduk sego sambelan!"

(Dasar! Kamu ini nggak ngerti atau gimana? Aku minta sarapan, bukan nasi penuh sambel!)

Ari masih sibuk mengipasi lidahnya yang terasa terbakar. Bukan tanpa sebab, nasi yang dibawakan Lara ternyata bagian tengahnya diisi sambal ekstra pedas. Belum lagi, pada lauk ayam juga dibaluri tepung penuh cabai yang telah dirajang halus.

Dalam sekali suapan, Ari yang memang tak suka makan pedas langsung kepedasan. Pintu ruangan yang dikunci oleh Lara, membuat pemuda berhidung mancung itu tak berkutik di dalam. Apalagi, galon air berada dalam kendali sang bos besar.

"Aku mau minum, Ra," pinta Ari. Tenggorokannya kering kerontang.

"Ambil sendiri. Diinget, ya, caranya tadi."

Kini Lara tersenyum penuh arti. Kedua matanya tersirat akan kemenangan besar. Berbanding terbalik dengan sosok Ari yang sedari pagi terlalu banyak bermimpi.

"Ayo, sini," goda Lara. Lantas dengan ekspresi yang tak bisa dikatakan, gadis arogan itu mulai menenggak air rendaman buah yang dibawa.

Sontak saja, Ari langsung menjatuhkan diri. Ia tak lagi bertumpu pada tumit, melainkan pada lutut dan telapak tangannya. Susah payah ia menjaga kehormatan sebagai pria selama hidup, kini untuk kali kedua harus tunduk pada sosok yang sama.

Perlahan, Ari mulai merangkak. Dikuburnya ego dalam-dalam demi mendapat air demi memuaskan dahaganya. Ia sudah hampir sampai saat Lara mulai mencebik dan mendecih.

"Jangan pernah main-main sama gue. Elu emang punya tameng bagus, tapi nggak cukup buat bikin gue takluk."

Kedua tangan Ari mengepal kuat, lantas saat galon sudah berada di depan mata, dengan gerakan cepat ia meraih pompa air elektrik dan mengangkat galon yang isinya tinggal sedikit. Hanya dalam hitungan detik, Lara telah basah kuyu.

Gadis berambut panjang itu mendelik, lantas mengeratkan rahang. Napasnya memburu lantaran tersadar, banyak barang di meja yang menghilang. Ia menggeram, lantas beranjak.

Ari yang telah menjauh setelah menumpahkan air pada Lara telah bersandar pada pintu keluar. Ia menyeringai, lantas mengarahkan ponsel spesifikasi tinggi ke arah sang empunya.

"Kamu emang nggak gampang ditaklukin, Ra, tapi aku tahu, gengsimu bakal jadi bumerang. Sombongmu bakal jadi simalakama."

Setelah puas merekam, Ari meletakkan ponsel Lara di sofa. Kemudian segera beranjak pergi sembari membawa beberapa kartu yang diambil dari tas jinjing berwarna putih milik si empunya.

"Brengsek, lu!"

Ira Yusran

Jan ditiru ya kelakuan si Lara. Keterlaluan emang, nih!

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ivan Haws
hihihi.....ini dia.....hmmm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status