Rahma gelisah, sebentar-sebentar melihat jam dinding. Sudah jam 4 sore waktunya Alif putra semata wayangnya pulang dari sekolah full day. Dia benar-benar tidak fokus lagi bekerja, alat masak masih berantakan di tempat cuci piring, rumah belum disapu dan dipel, baju di jemuran belum diangkat dan digosok.
'Ah ... bodo amat dengan kerjaan ini, mending jemput alif dulu,' pikirnya.
Dia segera meraih kunci motor di atas meja makan.
Baru mau pergi tiba-tiba pintu dibuka. Muncul dari luar sesosok pria mengenakan pakaian kantor, dasinya masih terpasang rapi. Rahma segera menghentikan langkahnya. Lelaki itu menatapnya tajam.
"Mau ke mana?" tanya lelaki itu.
"Walaikumsalam, Pak Bos," jawab Rahma.
Dia terus melangkah dengan santai ke arah pintu.
"Ditanya mau ke mana kok gak jawab!" hardik pria itu dengan nada kesal.
"Pak Bos, kalau baru masuk rumah itu, ucapkan Assalamualaikum dulu," kata Rahma acuh tak acuh.
"Ya suka-suka saya, rumah juga rumah saya!" dengusnya kesal.
"Dibilangin baik-baik kok malah marah," ujar Rahma sambil berlalu.
"Hei, tadi saya tanya mau ke mana? Main pergi saja, lihat ini rumah masih berantakan, beresin dulu!" teriak lelaki itu memerintah.
"Sebentar saya ke luar dulu, mau jemput anak saya di sekolah. Nanti balik lagi ke sini. Oh ya Bos, itu saya sudah masak, Pak Bos makan dulu sepulang jemput Alif, saya lanjutin lagi kerjanya," ucap Rahma.
"Beresin dulu, risih aku. Setelah beres baru jemput anakmu!" Pria itu menatap nanar ke setiap sudut rumah.
"Cuma sebentar, kok. Gak nyampai lima belas menit. Kalau Bos gak suka aku pergi, ya gampang tinggal pecat aja!" dengus Rahma sewot.
Rahma segera berjalan ke arah motornya yang diparkir di halaman, distarter dan tancap gas meninggalkan rumah tipe 90 itu.
Pria itu, Bastian Wibisono mendengus kesal. Tas kerjanya dilemparkan ke atas sofa, dengan kasar dilepaskan dasi yang melilit lehernya dan dibuka semua baju yang melekat di tubuhnya, gerah. Dia segera mengganti bajunya dengan kaos oblong yang bahannya lebih adem.
Baru tiga hari perempuan itu bekerja di rumahnya jadi ART, rumah ini bukannya semakin rapih, malah setiap dia pulang kerja rumah selalu berantakan. Kalau ditegur ancamannya selalu saja minta dipecat.
Bastian merasa menyesal, kenapa kemarin membuat surat perjanjiannya tidak terlalu mengikat. Sejak insiden seminggu yang lalu saat itu dia tengah meninjau lokasi pembangunan mall, mobilnya diparkir di tepi jalan. Tiba-tiba dari arah belakang mendadak mobilnya ditabrak sebuah sepeda motor hingga mobil itu penyok, lampu belakang dan lampu sennya pecah. Pengendara sepeda motor itu adalah Rahma, alasan wanita itu menabrak mobilnya karena sedang terburu-buru menjemput putranya yang sakit di sekolahan. Dia berjanji mau membayar ganti rugi dengan meninggalkan nomor telepon dan KTP.
Selesai memperbaiki mobilnya di bengkel Bastian meminta kwitansi kosong kepada pemilik bengkel dan menyerahkan kuitansi pembayaran itu pada Rahma.
"Masyaallah … benar sebanyak ini?" Wanita itu memekik melihat nominal yang ada di kwitansi.
"Masak cuma penyot sedikit saja ngabisin dana 30 juta?" tanya Rahma tak percaya dengan yang dilihatnya
"Hei, dengar ya mobilku itu mobil mahal, biaya servisnya juga mahal, biar sedikit yang penyok, mobilku harus diketok, dicat ulang, mobil gak sama dengan rumah kalau bagian yang sedikit itu dicat seluruh tubuh mobil juga harus dicat." Bastian menahan emosi melihat tanggapan wanita itu
"Yah sudah, beri saya tempo sebulan ya, buat cari dananya." Rahma lemas tak bersemangat mendengar penuturan lelaki itu.
"Nggak bisa sebulan, saya kasih waktu sampai besok siang." Bastian mengibaskan tangannya bersikap tidak peduli.
"Ya Allah ... masak besok? Mau cari uang di mana saya sebanyak itu kalau besok?" keluh Rahma.
Dia heran melihat tingkah pria di depannya, tidak menyangka pria itu tidak memiliki empati sama sekali.
"Ya itu bukan urusan saya, besok bayar kalau nggak saya laporin polisi."
"Kejam banget sih! Saya minta tempo sebulan, saya mau ngajukan kredit di bank dulu. Lagian, mobil anda itukan bagus, kenapa tidak dicover asuransi?" tanya Rahma mendelik sebal.
Bastian mengernyitkan dahi, sebenarnya memang biaya servis mobilnya dicover sama asuransi, tapi ya....
"Aku tidak punya asuransi, kalau gak kamu tabrak ya gak mungkin aku ngeluarin duit yang gak sedikit seperti ini. Saya tunggu besok ya?"
Bastian bangkit dari duduknya segera berlalu, namun Rahma menahannya, rasanya kok ya gak adil aja menurutnya. Kalau besok ya ... dia gak mungkin bisa mendapatkan uang itu.
"Tolonglah, Pak ... jangan besok, sebulan lagi ya?" Rahma memohon, wajahnya dibuat sememelas mungkin.
"Sebenarnya ada cara kamu tidak perlu membayar dengan uang, cukup bayar pakai tenaga kamu.” Bastian menyunggingkan senyum tipis penuh kemenangan.
"Caranya?" tanya Rahma cepat.
Wajahnya yang memelas berubah menjadi ceria dan berseri mendengar perkataan lelaki itu.
"Jadi pembantuku selama dua tahun."
*****
Bukan tanpa alasan Bastian menjebak Rahma untuk jadi pembantunya, dia sudah dua minggu mencari pembantu yang part time, namun tidak juga ada. Dia sudah memesan ke biro penyalur pembantu, ada pembantu yang bersedia bekerja di rumahnya. Namun dari luar daerah sehingga harus menginap, dia risih jika ada orang yang menginap di rumahnya apalagi perempuan.
Dua minggu di kota ini membuatnya tersiksa, penyakit pencernaannya sering kambuh karena seringnya makan di restoran, padahal dokter sudah menyuruhnya memakan masakan rumahan tanpa MSG dan bahan kimia lainnya. Namun siapa yang memasak? Dia bisa sih memasak masakan sederhana, tapi kesibukannya membuatnya tidak sempat berkutat di dapur. Ingin dia membawa serta Bik Inah pembantunya sejak dia remaja. Namun Bik Ina sudah mengajukan pensiun dan ingin tinggal di panti jompo, yah ... dia juga harus mengerti, Bik Ina sudah sepuh, usianya sudah 65 tahun.
Lima tahun lalu Bastian baik-baik saja, hidupnya bahagia, badannya sehat tanpa kekurangan apapun. Namun semenjak perusahaan yang diwarisi Ayahnya terkena pailit dan bangkrut, hidupnya mulai goyah apalagi semenjak wanita yang dicintai meninggalkannya dalam kondisi terpuruk, hidupnya berantakan berbagai penyakit hinggap di tubuhnya, yang paling akut penyakit pencernaannya, dokter bilang itu akibat stress dan depresi.
Yah ... sakit hati dan luka di jiwanya lebih dalam dibandingkan sekedar penyakit pencernaannya. Jika mengingat wanita itu perutnya mendadak mules, dia pun terkena diare. Ah, ternyata wanita itu hanya mencintai hartanya saja padahal apapun dilakukannya untuk wanita itu, mungkin perusahaannya bangkrut juga karena ulahnya yang menuruti gaya hidup hedon istrinya itu. Ah, sudahlah ... kini Bastian sudah bangkit. Dia mulai merintis lagi usaha konstruksinya dari nol, sekarang proyeknya membangun mall di kota ini.
****
Rahma memacu motornya dengan kecepatan tinggi, dia tidak mau Alif putranya menunggu terlalu lama. Sesampainya di Sekolah Islam Terpadu tempat anaknya belajar, situasi sudah agak sepi, tinggal beberapa orang tua yang menjemput anak mereka. Dilihatnya Alif sedang menunggunya di pos satpam. Melihat Bundanya datang, anak itu segera menyongsongnya dan duduk di boncengan motor.
"Maafin Bunda, ya. Alif lama nunggunya?" tanya Rahma.
"Iya, Bunda. Sekarang Bunda sering terlambat jemput Alif," kata bocah laki-laki yang baru berumur sembilan tahun itu.
"Iya, Bunda sekarang kerja sore di rumah orang,” kata Rahma menjelaskan.
"Memangnya gaji jadi guru kurang ya, Bunda? Kok Bunda kerja sore lagi? Nanti kecapekan."
Ah, anaknya ini selalu perhatian. Itu yang membuat Rahma selalu bersemangat mencari uang tanpa menghiraukan masa mudanya yang tersia-sia. Yah ... kalau dipikir dia memang capek tiga hari ini. Pagi-pagi setelah mengantar Alif ke sekolah dia harus mampir dulu ke rumah lelaki itu mengantar sarapan dan bekal makan siang bos barunya itu. Setelah itu dia pergi mengajar ke sekolah menengah kejuruan yang jaraknya 15 KM, pulang sekolah dia berbenah di rumah lelaki itu lagi, menjemput Alif sekolah dan mengurus rumahnya sendiri, sebuah rumah kredit BTN tipe 36 yang baru dicicilnya tiga kali.
"Ikut yuk, ke rumah majikan Bunda," ajak Rahma pada putranya itu.
Alif anak yang penurut, dia tidak pernah menolak permintaannya. Ah, kalau mengingat Alif dulu, Rahma tak kuasa menahan tangis, anak itu tidak dilahirkan dari rahimnya. Namun dengan adanya anak itu dia merasa memiliki keluarga, memiliki orang yang dia cintai. Alif alasannya hidup dan menghidupi kini.
Entah sampai kapan Rahma akan merahasiakan semua ini dari putranya itu, jika dia bukanlah wanita yang melahirkannya. Kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu, namun seperti baru terjadi kemarin. Persahabatan yang dijalinnya dari rumah yang sama akan berakhir seperti ini.
Malam itu menjadi malam paling membahagikan bagi Rahma sejak kehamilan pertamanya. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan berjalan-jalan berdua dengan Bastian. Bastian sengaja mematikan ponselnya agar qualty time dengan istrinya tidak terganggu.Hingga sampai pulang seorang perawat dari rumah sakit menunggunya di rumahnya."Maaf, Pak. Saya jadinya ke mari, karena Bapak tidak bisa dihubungi, saya akan mengabarkan satu jam yang lalu, Bu Virda menghembuskan napas terakhir.""Apa?" Bastian kaget sekali mendengar kabar itu.Dia hanya berjalan-jalan dengan istrinya selama tiga jam dari kepulangannya dari rumah sakit, jika dia tahu Mamanya akan meninggal tentu dia akan bersikeras tidak meninggalkan Mamanya, walau Mama Virda memaksanya untuk pulang. Bastian terduduk lesu di sofa ruang tamu. Dia juga menyesali kenapa dia musti mematikan ponselnya"Ya, Allah ... Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun ...," u
"Bunda pergi dulu, ya ... Jagalah Mama kalian dengan baik," kata Bunda Asti ketika berada di Bandara.Bastian, Rahma, Fitri dan Alif turut mengantar kepergian mereka ke tanah suci."Bunda ... Tolong do'akan agar Mama lekas sembuh," kata Bastian."Iya, tentu saja Bunda akan mendo'akan Mama Virda. Jaga baik-baik istrimu dan anakmu, ya?""Iya, itu pasti," Bastian mencium punggung tangan Bunda Asti."Bunda, do'akan kehamilan Rahma lancar dan sehat ya ... Do'akan juga Alif cepat sembuh dan cepat berjalan dan tolong do'akan juga suamiku agar ingatannya kembali lagi," Rahma memeluk Bunda Asti."Iya, sayang ... Semua keluarga Bunda nanti Bunda do'akan satu persatu.""Aku berangkat dulu, Bro. Nanti akan aku do'akan agar ingatanmu cepat kembali. Agar kau bisa mengingat kembali momen di mana kau bucin banget sama istrimu itu, agar kau bisa mengingat malam pertama kalian," kata Romi sambil terkekeh.Bastian memeluk saudaranya itu dan
"Bunda ... Bunda dari mana?" suara Alif menyambut kedatangan Rahma dan Baatian dari rumah sakit."Alif? Kenapa belum tidur, Nak? Ini sudah malam loh," kata Bastian membelai rambut Alif.Alif terpukau dengan perkataan Bastian, lelaki itu biasanya selalu bersikap masa bodoh, cuek bahkan menampakkan wajah tak ramah padanya. Namun, sekarang lelaki dihadapannya ini rela berlutut hingga wajahnya bisa menatapnya dengan jelas, mata lelaki itu penuh kehangatan seperti Ayah Bastian yang dulu."Alif belum ngantuk, Yah. Ayah Sama Bunda dari mana?""Ayah sama Bunda dari Rumah sakit" jawab Rahma"Ke Rumah sakit? Siapa yang sakit, Bun?""Yang sakit Mamanya Ayah," jawab Bastian."Maksudnya Nenek Bunda Asti? Dia di rumah kok," kata Alif polos"Bukan sayang, Ayah juga sama dengan Alif, punya dua orang Ibu. Yang sakit itu Mama kandung Ayah, seperti Mama Santi, dia ibu kandung Alif, kan?""OOO gitu? Ternyata kita punya nasib yang sama
"Nanti malam kita makan di luar, yuk? Untuk meresmikan hari jadian kita," kata Bastian setelah salat AsharRahma yang tengah membereskan tempat tidur tersenyum ceria."Hari inikan bukan hari jadi kita? Kita menikah baru dua bulan, Mas!""Bukan hari pernikahan kita, tetapi hari jadian kita saat aku Amnesia, kalau kenangan masa lalu bersamamu aku lupa, maka mulai hari ini aku akan membuat kenangan baru, ingatan baru bersamamu," Bastian memeluk Rahma dari belakang.Derrrttt ... Derrrrtttt ...."Mas, itu ponselmu bergetar," seru Rahma menunjuk ponsel Bastian di atas nakas.Bastian segera mengambil ponselnya dan menggeser tanda panggilan di layar."Halo? Iya ... Apa? Oiya ... Iya, saya akan segera ke sana,"Bastian menutup teleponnya dengan menghembuskan napas berat."Ada apa, Mas? Siapa yang nelpon?" tanya Rahma penasaran."Dari rumah sakit, katanya Mama pingsan dan sekarang masuk rumah sakit."
Suasana sore itu membuat mereka tertidur sambil berpelukan. Semua baju basah mereka ditumpuk di kamar mandi. Rahma terjaga dari tidurnya setelah mendengar suara ramai.'Ah, mereka pasti sudah pulang dari belanja,' batinnya.Rahma segera bangkit dari pembaringan dan memakai pakaian lengkap, tak lupa memakai jilbab kaosnya. Diperhatikan dengan seksama suaminya yang tengah terlelap dengan tubuh ditutupi selimut tebal. Rahma harus segera ke kamar lelaki itu untuk membawa baju ganti. Dia segera keluar dari kamar tak lupa mengunci kamarnya dari luar."Alif sudah pulang?" tanya Rahma antusias melihat putranya tengah membawa mobilan remot."Bunda, lihat deh. Om Romi membelikan Alif mobil-mobilan remote," serunya"Iya, bagus ya? Sudah bilang terima kasih belum?""Sudah.""Sekarang Alif mandi, sudah itu salat Ashar. Selanjutnya makan ya?"
"Rahma, kamu kenapa, Sayang?" seru Bunda Asti ketika melihat Rahma muntah-muntah di kamar mandi."Nggak tahu, Bunda. Perutku rasanya mual banget," kata Rahma."Ya, Ampun ... Kamu sudah mulai emesis. Ya sudah kamu istirahat saja, tidak usah ikut belanja. Nanti biar Bik Wati menemanimu.""Iya, Bunda ... Aku gak bisa ikut, takutnya mualku kambuh di sana."Ketika mau berangkat, Alif ternyata bersikeras untuk ikut. Rahma meminta Bik Wati agar ikut belanja bersama mereka, untuk membantu keperluan Alif. Walau Romi dan Fitri bersikeras mereka yang akan menjaga Alif, namun Rahma ingin agar pasangan muda itu lebih bebas menjalin kedekatan diantara mereka.Setelah mereka pergi, Rahma hanya berbaring di ranjang sembari membaca novel.****Setelah jam makan siang tiba, Bastian tidak sabar membuka bekal makan siangnya. Setelah dibuka, aromanya tercium begitu sedap