Share

Siapa Ayahnya Alif?

Bastian segera menghampiri meja makan.

'Masak apa sih perempuan itu? Aromanya cukup menggoda,'batinnya.

Segera ia buka tutup saji, oh ... rupanya sop iga sapi yang masih mengepul, ada bawang goreng dan sambalnya juga. Segera ia menyendok nasi dan menuangkan kuah sop dan dagingnya ke dalam piring, tidak lupa di taburi bawang goreng yang renyah. Dia tidak berani menaruh sambal, takut pencernaannya tidak kuat. 

Hmmm, rupanya masakan wanita itu enak juga walau tanpa MSG. Bastian tersenyum geli ketika Rahma ditawari menjadi pembantunya, wanita itu spontan menolaknya walau akhirnya menerima dengan banyak syarat. 

"Tulis diperjanjian, saya bekerja sepulang ngajar ya, saya tidak mau mengganggu pekerjaan utama saya. Sudah itu, jika saya bekerja tidak becus sampai mendapatkan 100 kali komplen, saya harus dipecat tanpa dituntut uang lagi. Deal?" Wanita itu mengulurkan tangan tanda persetujuan.

Tanpa pikir panjang Bastian menerima syarat itu, yang membuatnya kesulitan sekarang. Bayangkan baru tiga hari wanita itu bekerja, dia mungkin sudah sepuluh kali komplen, berarti wanita itu bakal tidak sampai dua tahun bekerja dengannya, boro-boro dua tahun, satu bulan saja pasti sudah kelar.

Suara motor Rahma memasuki halaman rumah, bertepatan Bastian menghabiskan makanan di piringnya. 

"Alif, tunggu Bunda di sini ya? Nih ... sambil nunggu, baca buku komik Detektif Conan yang Bunda beli kemaren.” Rahma  mengambil buku komik di dalam jok motor.

"Baik Bunda, wah ... buku baru ya?"

Mata anak lelaki itu berbinar, dia langsung duduk di kursi yang berada di teras rumah membaca buku. Sekarang Rahma lega, anaknya bisa ditinggal beres-beres rumah majikannya.

"Assalamualaikum,” seru Rahma

Tidak ada jawaban dari dalam rumah, tapi Rahma tidak peduli, dia langsung ngeloyor masuk rumah, lanjut ke halaman belakang mengangkat jemuran dan menyetrikanya di sebelah ruang makan. Dia melihat Bosnya sedang memainkan handphone, piring bekas makan masih ada di hadapannya.

"Pak Bos!" panggil Rahma memecahkan keheningan.

"Hmmm.” Bastian hanya menjawab dengan deheman.

"Mulai besok, baju kotor biar saya cuci di rumah saya, ya? Sayakan punya banyak waktu di malam hari, masak juga saya masakin di rumah, jadi ke sini tinggal bersih-bersih rumah sama ngepel," kata Rahma

Tangan wanita itu dengan terampil  menggosok baju kemeja Bastian.

"Kalau untuk makan malam kamu masaknya malam sebelumnya apa ya nggak basi?" tanya lelaki itu cuek.

Mata lelaki itu masih menatap layar ponselnya, berselancar di sosial media berlogo biru.

"Ya, minimal saya racikin bumbu dan bahan-bahannya di rumah, di sini tinggal eksekusi."

"Ya, terserah kamu. Waktu malam itu di pakai istirahat biar gak kecapek’an, kalau kamu sakit, siapa yang memasak makanan saya?" 

'Hais, bahasanya manis banget kayak perhatian banget, yeah ... ujung-ujungnya cuma nguatirin diri sendiri,'batin Rahma.

 Mulut wanita itu tersenyum sinis. Yang diajak ngomong malah cuek saja dari tadi sibuk memainkan HP.

"Bos gak usah kuatir, saya sudah biasa banting tulang, sebagai singel parent sudah biasa berjibaku dengan pekerjaan berat," jawab Rahma

Tangannya masih sibuk menggosok baju terakhir lelaki itu.

"Memangnya suamimu mana?" tanya lelaki itu.

Matanya menatap Rahma dengan seksama, akhirnya dia bisa mengalihkan pandangannya dari benda pipih itu.

"Saya tidak punya suami," jawab Rahma tanpa ekspresi, datar.

"Bercerai atau meninggal?" tanyanya lagi

"Saya belum menikah."

Tangan Rahma masih sibuk melipat baju lelaki itu.

"Terus, Ayahnya Alif siapa?" tanya lelaki itu lagi

"Tidak tahu."

Yah ... dia memang tidak tahu siapa ayah anak itu. Bastian menatapnya dengan pandangan yang aneh, Rahma sudah sering melihat tatapan mata seperti itu jika menyangkut tentang ayah putranya. Yah, memang dia tidak tahu kok, ya bilang gitu saja daripada asal nuduh orang lain sebagai bapaknya.

Ternyata memang benar, pandangan Bastian mengarah ke negatif masa lalu Rahma.

'Wah, nampaknya sok alim nih cewek tahunya masa mudanya pergaulan bebas, sampai gak tahu siapa bapak anaknya?. Yah ... berapa pria kira-kira yang sudah menggaulinya?'batin pria itu.

Netra lelaki itu terus  menatap dari ujung kaki sampai kepala Rahma. Wanita itu menarik napas panjang-panjang. Dia risih mendapat tatapan bosnya yang seperti melecehkannya.

"Apa kau sudah taubat?" tanya pria itu

"Setiap saat saya selalu bertaubat, Pak Bos," jawab Rahma

Matanya terus menatap ke pakaian yang harus dirapikannya, dia tidak mau menatap pria itu, Rahma tidak ingin melihat tatapan merendahkan di mata lelaki itu.

"Baguslah ... jangan sampai kau menggodaku. Masa lalumu yang buruk jangan kau ulangi lagi."

Setelah berkata seperti itu, Bastian melangkahkan kakinya ke kamar, dia tahu wanita itu merasa tidak nyaman jika hal pribadinya dikorek seperti itu, lelaki itu sengaja menghindari rasa penasaran tentang wanita yang kini menjadi ARTnya.

Rahma menepis rasa yang selalu hadir, tatkala mereka menanyakan Ayahnya Alif. Walau sering dipandang rendah oleh semua orang. Mau bagaimana lagi, diapun tidak berani mengakui jika Alif bukan putra kandungnya, dia belum siap kehilangan putranya. Pasti perlakuan Alif akan berbeda jika mengetahui semuanya, apalagi jika dia tahu ibu kandungnya tidak menginginkannya, dan ayahnya tidak tahu siapa, hanya Ibu kandungnya  yang mengetahui siapa Ayah anak itu.

Setelah menggosok baju, Rahma segera membersihkan seluruh rumah dan mengepelnya. Semua ruangan sudah dirapikannya tinggal kamar Bosnya. Segera dia mengetuk kamar lelaki itu pelan-pelan.

"Bos ... Pak Bos ...," panggil Rahma 

Karena tidak ada jawaban, Rahma mengetuk lebih keras, bahkan menggedornya.

"Bos ... Bangun Bos!”

Bastian yang tengah bersantai benar-benar terganggu, diapun segera membuka pintu dengan wajah tak suka, pembokat satu ini  bener-bener ya, gak ada sopan-sopannya.

"Ada apa, sih?" tanyanya sewot.

"Minggir dulu, Bos. Aku mau bersihin kamar," kata Rahma.

Wanita itu mendorong tubuh Bastian, nyelonong masuk kamar dan membongkar sprei di atas ranjang.

"Dasar, nganggu orang aja sih?" Bastian ngedumel.

Dia pergi keruang tamu melanjutkan memainkan handphonenya.

Rahma membereskan dan merapikan kamar Bastian yang sudah seperti kapal pecah. Spreinya sudah bau, terpaksa dia ganti dengan yang baru. Dia membongkar-bongkar isi lemari mencari sprei ganti ternyata tidak ada. Yah sudah, pakai saja yang lama dulu.

"Bos, spreinya sudah bau itu, gak ada gantinya apa?" tanya Rahma

Wanita itu menghampiri Bastian setelah selesai merapikan kamar sambil memasukkan baju-baju kotor ke kantong plastik.

"Gak ada, akukan baru dua minggu di sini, belum sempat beli. Kamu belikan ya? Mana nomor rekeningmu? Biar kutransfer uangnya,” kata Bastian.

"Ya, buku tabungan saya di rumah. Saya mana apal no rekening saya," kata Rahma.

 Dia sudah selesai bekerja. siap-siap mau pulang.

"Kirim lewat SMS ya, sekalian saya kirim uang belanja besok. Buat makanan yang enak," kata Bastian.

"Yang enak itu apa? Tinggal bilang mau dimasakin apa?"

"Masakin sayur saja," jawab Bastian

"Oke, aku pulang ya? Assalamualaikum."

Rahma bersiap pulang, dia raih tas kerjanya di atas nakas

"Hei ... itu bawa sayur sop yang kamu masak, untuk anak kamu. Aku juga sudah kenyang gak bakalan kumakan lagi," kata Bastian sebelum Rahma pergi

"Boleh? Wah ... makasih banyak. Bisa irit nih kalau kayak gini terus. He ... he ... he ...," kata Rahma girang banget.

Rahma dengan riang memasukkan makanan ke dalam rantang seperti tidak pernah melihat makanan seperti itu, Bastian menatapnya heran.

 “Dasar aneh, kayak gak pernah makan seperti itu, padahal itukan makanan buatannya sendiri,” batin Bastian.

****

Rahma menatap layar HP nya tak percaya,  di SMS Banking ada uang masuk tiga juta rupiah. Setara gajinya sebagai guru CPNS. 

(Ni uang untuk beli sprei dan uang belanja satu minggu) tertera pesan dari Bosnya, Bastian.

(Uang belanja seminggu emangnya yang mau dimasak apaan?) Jawabnya.

(Terserah kaulah)

“Terserah? Okelah kalau jawabannya gitu. Kumasakin masakan kampung saja nanti,” gumam wanita itu

(Bener ini tiga juta seminggu? Tiga juta bisa untuk sebulan loh?)

Rahma kembali bertanya untuk meyakinkan diri, kalau salah dia sendirikan yang akan rugi.

(Kan bukan untuk makan doang, Curut. Itu uang belilah sprei yang bagus 2 buah. Beli sabun cuci, pewangi dan perlengkapan bersih-bersih rumah. Sudah ya, aku mau kerja jangan diganggu, gitu aja mesti diajarin!)

“What? Mentang-mentang bos kasar banget ngomongnya! Pakek ngatain aku curut lagi. Bener-bener ya, minta dikasih pelajaran itu lelaki sial.” Rahma benar-benar kesal dengan jawaban SMS Bastian.

Kalau dia tidak ingat diperjanjian kerja jika bosnya sampai celaka dia harus mengganti uang servis mobilnya sepuluh kali lipat, dia pasti sudah ngerjain bosnya itu lewat makanan.

Sudah jam satu siang sebentar lagi bel sekolah tanda pulang berbunyi. Perasaan lega setelah seharian dia berceramah panjang lebar menasehati sepuluh muridnya yang bolos sekolah. Kalau ingat perjuangannya menyandang guru Bimbingan Konseling, Rahma benar-benar bersyukur bisa melalui semua ini.

Setelah berhenti kuliah dan fokus mengurus Alif yang masih bayi dan mencari nafkah sebagai penjual mie ayam keliling pakai gerobak, Rahma sebenarnya sudah tidak terpikir untuk kuliah lagi. Biaya kebutuhan Alif yang masih bayi cukup menguras seluruh penghasilannya hanya menyisakan untuk makan sehari sekali. Kadang dia hanya memakan sisa dagangannya. Alif termasuk kuat minum susu, sehari bisa menghabiskan satu kotak seratus gràm susu formula bubuk. Belum beli diapers, baju, selimut, bubur bayi.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
jakakakamambajsjsjss
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Mom L_Dza
awal baca udah bagus... ternyata Rahma masih gadis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status