Share

Marah Bilang, Bos!

"What? Elu jatuh cinta sama pembokat gue?" tanya Bastian 

"Iya, emang kenapa? Dia cuma pembokat elu, kan? Bukan pacar atau bini elu?" Romi menatap Bastian heran.

"Elu gak bakal ngomong gitu kalau tahu dia sudah punya anak."

"Ha? Dia sudah nikah, bro? Sudah punya suami?" tanya Romi, ada gurat kecewa di matanya.

"Dia sudah punya anak, tapi belum pernah nikah dan gak punya suami. Elu bayangin gimana parahnya perempuan itu, emangnya Ibu lu bakal ngijinin? Gue tahu gimana kolotnya ibu elu itu," kata Bastian

Suasana hati Romi  yang sempat kecewa, kembali berbunga-bunga. Dia tidak mengindahkan perkataan Bastian.

"Ahayyy, yang penting dia masih singel, Bro. Gue bisa bedain mana berlian mana batu sungai. Kalau dia bisa jadi milikku, aku gak bakal kekurangan. Memasak dan membuat acara kekgini aja dia bisa, mana masakannya enak lagi, pasti dia bisa mengurus rumah tangga dengan baik, kalau soal dia punya anak, itu berarti bonus ... ha ... ha ...." Romi tertawa gembira.

Kata-kata Romi benar-benar mempengaruhi Bastian, tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. Dia tidak menyadari apa yang dirasakannya, tetapi dia benar-benar tidak suka dengan ucapan Romi. Melihat wajah Romi yang berbinar-binar seperti itu rasanya dia ingin sekali menghajar lelaki di hadapannya itu. Entahlah, mendadak dia jadi benci banget sama Romi.

"Pak Bos, ini sudah jam satu. Saya ijin sebentar mau jemput Alif. Mana katanya pegawaimu yang mau jemput?" tanya Rahma menyadarkan Bastian.

'Ah, iya ... kenapa aku lupa menyuruh seseorang menjemput anak pembatu ini,' batin Bastian.

"Aku saja yang jemput anak kamu, di mana sekolahnya?" tanya Romi, dia langsung gerak cepat mengambil kesempatan.

"Benarkah? Terima kasih, ya? Dia sekolah di Manhaj SDIT Annur," kata Rahma dengan wajah berbinar.

"Ya sudah, aku tahu tempatnya," kata Romi berlalu pergi, tak lupa mengerlingkan mata ke arah Rahma. 

Romi benar-benar senang, dia melangkah ke mobilnya sambil bersiul riang, ini adalah kesempatan agar dia bisa PDKT dengan anak Rahma, kalau anaknya merestui, kan jalannya jadi lebih mudah. Berbeda  sekali dengan yang dirasakan Bastian, lelaki itu mendengus sebal dan tersenyum sinis melihat Rahma.

'Ngapain lagi nih orang? Tiap hari mukanya kok sangar gitu,' batin Rahma sambil berlalu dari hadapan Bosnya.

Melihat sikap Rahma yang cuek seperti itu, justru Bastian bertambah dongkol.

"Mbak ... mbak! Minta tisue, mbak," panggil salah satu pegawai wanita.

Mereka duduk melingkar sesama pegawai wanita. Dandanan mereka yang modis seperti artis dan foto model membuat Rahma salut, berapa lamalah mereka ini dandan seperti itu.

"Sebentar ya, Bu." Rahma segera beringsut menuju dapur mencari stok tissue yang kemarin dibelinya.

"Siapa perempuan itu?" tanya Nina, staf bagian perencanaan kepada Lusy si wanita yang meminta tissue itu.

"Itu Babunya Bos." Silvia yang menjawab.

"Pembantunya? Aku pikir tadi istrinya," kata Reni si pegawai baru.

"Aih, Reni ... gue maklumi karena elu masih baru jadi gak tahu kalau Bos kita itu seorang duda," kata Lusy.

"Pembantu kok cantik banget gitu ya? Mana pintar lagi kelihatannya," kata Nina

"Cantik apaan? Kampungan gitu dibilang cantik," kata Silvia ketus kepada teman-temannya. 

Rahma yang sudah berada di dekat mereka untuk mengantar tissue mendengar percakapan mereka, tapi ya dia cuek aja, tidak peduli.

"Ini tisuenya, Bu," kata Rahma menyerahkan tissue kepada Lusy.

"Makasih ya, Mbak. Oiya Mbak, mbak ya, yang masak makanan ini?" tanya Lusy

"Aih, ya mana mungkinlah. Pak Bastian itu seleranya tinggi, untuk menjamu kliennya pasti pesan di resto," potong Silvia sebelum Rahma menjawab.

Rahma hanya merespon dengan senyum.

"Babu kampungan kayak gini, mana mungkin bisa masak makanan seperti ini," lanjut Silvia.

Mendengar perkataan Silvia, Rahma gedeg juga.

'Kenapalah perempuan satu ini dari tadi mau cari gara-gara terus sama aku?' Batinnya.

"Ya sudah, silahkan dilanjutkan Ibu, saya mau kebelakang dulu," kata Rahma

Dia malas menanggapi celotehan yang menurutnya tidak jelas juntrungannya itu.

Rahma berlalu dari hadapan mereka, diikuti senyum sinis Silvia.

'Pembantu kampungan gitu mau jadi nyonya Bastian? Hadapi dulu Silvia Hadisurya, batin Silvia sambil mencebik.

"Bundaaa!!" teriak Alif berlari menyongsong Rahma, di belakangnya Romi tersenyum sumringah. 

Bastian tengah memberi kata sambutan kepada para tamu, tanpa sengaja matanya melihat ke arah mereka bertiga, spontan konsentrasinya jadi pecah.

'Apa-apaan itu? Sudah kayak keluarga bahagia saja,' pikir lelaki itu

Akhirnya Bastian tidak terlalu panjang memberi kata sambutan, sekarang gantian salah satu kliennya, seorang bapak berbadan gemuk dan kepala botak yang memberi sambutan. Sebentar-sebentar Bastian melihat ke arah Rahma yang tengah mengambilkan nasi dan lauk  untuk Alif dan Romi. Sekarang Bastian duduk dengan gelisah, seperti menduduki bara api saja.

"Setelah proyek pembangunan Mall ini selesai, saya memutuskan pembangunan kampus STIE, dipercayakan lagi pada CV. Anugerah Pratama," kata Bapak gemuk salah seorang taipan di kota ini. 

Perkataan Bapak itu disambut tepuk tangan meriah para hadirin. Hanya Bastian yang tidak bahagia mendengar kabar tersebut, bukan lantaran kalah tender, mereka justru memberikan proyek ini tanpa tender.

'Ah, kenapa aku ini? Bawaan bad mood terus,' batinnya.

Lagi-lagi diliriknya Romi yang sekarang tengah tertawa bersama Rahma dan Alif.

"Rahma, anakmu ini pintar sekali, loh. Sekarang hapalannya sudah sampai juz 28," kata Romi sambil mengelus kepala Alif.

"Benar, sayang?" Rahma terlihat sangat bahagia.

"Iya, Bun. Target Alif dua bulan lagi sudah hapal tiga Juz," kata Alif sambil memakan nasinya.

"Subhanallah ...." Rahma senang sekali melihat putranya tersebut.

"Kata Om Romi, kalau Alif sudah hapal lima juz, mau diajak ke Dufan," kata Alif polos.

"Ha? Pak Romi, itu tidak perlu. Ke Dufan itukan jauh dan mahal," kata Rahma tidak enak hati.

"Ah, Rahma, jangan panggil Pak, dong. Panggil Abang atau Mas saja," kata Romi

"menyenangkan anak penghapal Alquran itukan berpahala juga,," lanjutnya.

"Tapi, Pak ...." 

"Eits, Bang ... jangan panggil Pak. Aku belum punya anak. " Romi memotong pembicaraan Rahma sambil menggoda.

"I ... iya, Bang ... Romi" kata Rahma sambil meringis canggung, tapi ditanggapi Romi dengan tertawa lebar.

"Bunda, Alif gak bisa nginap malam ini," kata Alif lagi

"Loh, kenapa sayang? Alif gak kangen sama Bunda?"

"Alif kan masih baru di asrama, jadi wajib ikut Mabit nanti malam. Alif hanya dibolehkan ijin sampai jam tiga sore,"ujar Alif .

"Kok gitu? Pembina asrama kok gak bilang?" tanya Rahma

"Kata Ustad sudah di SMS Bunda."

Rahma segera memeriksa ponselnya.

"Oiya ... yah, Alif gak bisa tidur di rumah dong?"

Rahma terlihat sedih, tetapi Alif mencoba menghiburnya sehingga dia bisa tertawa dengan lepasnya.

****

Jam dua siang acara sudah selesai, para tamu sudah pergi meninggalkan rumah Bastian. Tinggal Bastian, Romi dan dua staf lainnya sedang rapat pribadi di kamar tamu. Rahma selesai melakukan salat zuhur bersama putranya di ruang tengah. 

Rahma melihat sekeliling, tugasnya tinggal bersih-bersih. Dari arah halaman depan masih terdengar beberapa karyawan yang hendak pulang.

"Yakin kau, Sil? Belum mau pulang?" tanya Lucy berteriak.

"Aku mau bantu-bantu beres-beres dulu, kasihan Pak Bastian," seru Silvia.

"Ya, sudah. Kami pergi dulu, ya ...," ujar teman-temannya sambil melambaikan tangan.

Silvia bergegas masuk ke rumah Bastian, dilihatnya Rahma tengah mengangkat piring-piring kotor dibantu Alif.

"Mbak, ini piring kotornya banyak sekali. Ayo, ditaruh di tempat cuci piring!" perintah Silvia sudah seperti nyonya di rumah ini.

Rahma menatapnya tidak suka, tidak dihiraukan perkataan Silvia. 

"Ini lagi, sudah mengangkat piring-piring itu, disapu ya, tempat ini, sudah itu di pel. Baru cuci piring-piring itu!" perintah Silvia sambil berkacak pinggang.

'What? Apa-apaan sih, perempuan ini? Sok ngatur-ngatur lagi,' batin Rahma menatap Silvia tajam.

"Kenapa malah bengong? Ayo kerjakan!" Silvia kembali memerintah.

"Hei, Mbak!. Kenapa mbak gak pulang saja sama seperti yang lain? Keberadaaan mbak di sini malah membuat mata saya sepet, tahu?" dengus Rahma sambil melempar gelas mineral yang sudah kosong.

"Hei!! Berani kamu melawan? Kamu tahu siapa saya? Saya ini calon nyonya di rumah ini. Saya calon istri bos kamu, tahu nggak?" Silvia berang.

'Wah, perempuan gak ada akhlak ini pacar Bos? Bener-bener serasi mereka, sama-sama judes, sombong, nyebelin.' batin Rahma.

"Baru calon, sudah belagu. Mbak bilang sama teman-teman Mbak, mau ikut bantu beres-beres, kan? Itu bantu cuci piring," kata Rahma cuek bebek.

"Apa?"  Silvia memekik, bersamaan itu Bastian keluar dari ruangan.

"Ada apa, ini?" tanya Bastian menatap mereka berdua

"Ini, Pak Bos,  Mbak ini mau membantu nyuci piring, saya tidak memperbolehkan tapi dia maksa, saya gak enak sama Bapak, itukan kerjaan saya," kata Rahma garcep.

Rasain lu ... ha ... ha ..., Rahma tertawa di dalam hati

"Apa?" seru Silvia spontan

"Ya, bagus itu ... lagipula kamukan sudah bekerja dari kemarin, pasti capek. Makasih, ya Sil ...," kata Bastian sambil berlalu ke kamarnya.

"Ayo, Mbak Silvia ... itu nyuci piringnya di dapur," kata Rahma tangannya mempersilahkan.

Silvia mendengus kesal berlalu menuju dapur.

"Siaaal!"

Wanita modis itu mengumpat sambil membanting piring keramik, untung piringnya tidak pecah, hanya menimbulkan suara gaduh. 

"Hati-hati, Mbak. Piringnya jangan sampai pecah, itu piring mahal. Kalau pecah, ganti loh," kata Rahma melihat ke dapur setelah mendengar suara gaduh itu.

"Hiii!" pekik Silvia geram, Rahma hanya tersenyum penuh kemenangan.

****

Waktu sudah menunjukkan jam tiga sore, waktunya Alif pulang ke Asrama. Rahmah sibuk mencari aplikasi ojol di hpnya, karena dia tidak membawa motor. Pintu kamar tamu dibuka, sepertinya mereka sudah selesai rapat.

"Alif, Om Romi antar ya? Sekalian Rahma juga," kata Romi bersiap-siap mengajak mereka.

"Pak Bas, antar saya pulang. Saya gak bawa mobil,"kata Silvia manja.

"Ais, saya capek mau istirahat. Pulang saja bareng Dodit," kata Bastian.

"Dodit, antar Silvia sampai rumahnya," lanjutnya

"Baik, Pak. Tapi, saya bawa motor," kata Dodit

"Ah, nggak mau, nanti kepanasan," tolak Silvia.

"Kalau gitu naik taksi online saja," kata Bastian cuek berlalu ke arah dapur.

"Kalau gitu saya pamit ya, Pak Bos," seru Rahma sambil menuntun Alif.

"Eh, mau kemana kamu? Itu bersihkan dulu tempat tidur saya, dari kemarin tidak kamu bersihkan," ujar Bastian sewot.

"Ya sudah, Bunda. Alif pergi sendiri saja," kata Alif sambil mencium tangan bundanya. 

"Ya, hati-hati ya, Sayang ...," kata Rahma sedih melepaskan putranya.

"Nanti saya jemput lagi ke sini," kata Romi sambil mengerling nakal ke arah Rahma.

Bastian yang sedang minum air mineral tersedak melihat adegan itu.

'Enak saja mau gantarin pembokat gue,' batinnya.

Silvia dengan terpaksa akhirnya membonceng motor Dodit, sedangkan Rahma mengantar Alif sampai teras. 

****

Akhirnya tinggal mereka berdua di rumah. Rahma segera membenahi kamar bosnya, mengganti sprei dengan yang baru dibelinya kemarin.

"Kemana, Bos?" tanya Rahma ketika Bastian mengambil handuk di lemari.

"Mau mandi," jawab lelaki itu singkat.

"Sayakan lagi bersihin kamar, gak bisa apa mandinya sesudah saya selesai?" tanya Rahma geram.

Terbayang di pikirannya jika lelaki itu keluar dari kamar mandi cuma pakai handuk, hiii....

"Saya selesai mandi, ya kamu harus sudah selesai beresin kamar," kata lelaki itu ngeloyor masuk kamar mandi yang ada di kamar itu.

"Bos ... bisa gak sih? Mandinya di kamar mandi lain?" Rahma berteriak tetapi lelaki itu tidak menghiraukan ucapannya.

Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi begitu jelas. Rahma segera membersihkan kamar dengan cepat-cepat. Kasur nomor satu yang besar itu sangat susah jika dipasang jika terburu-buru, hasilnya juga tidak rapi.

Akhirnya beberapa kali Rahma harus memasang ulang, hingga akhirnya dia bisa memasang dengan sempurna. Rahma bergegas keluar kamar, tapi na'ash Bastian sudah keburu selesai mandi. Langkahnya yang terburu-buru justru menabrak lelaki itu. Wajah Rahma tidak sengaja jatuh ke dada bidang lelaki itu yang bertelanjang dada. Bastian Reflek menangkap lengan Rahma takut wanita itu terjatuh. 

Posisi mereka yang demikian rapat membuat Rahma terkejut luar biasa, aroma wangi sampoo dan sabun mandi menguar dari tubuh Bastian menimbulkan sensasi yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Beberapa detik keduanya terpaku pada posisi yang sama, mata mereka bertemu, degup jantung Bastian berpacu sangat cepat. Hingga akhirnya Rahma tersadar, dan melepaskan diri dari dekapan lelaki itu.

"Emm, maaf ... maaf Pak Bos ... maaf tidak sengaja," katanya sambil berlari keluar kamar, dihembuskannya napasnya kuat-kuat sambil memegang dada.

Bastian hanya terpaku, tanpa sadar dirabanya dadanya sebelah kiri, degupnya begitu cepat. Diaturnya napasnya pelan-pelan sambil sesekali menarik napas panjang. Akhirnya dia bisa menguasai diri, berjalan pelan kearah lemari dan mengganti baju.

****

Bastian memakai kaos oblong dan celana navy dengan cepat, dicarinya Rahma yang tengah memasukkan sisa-sisa lauk ke dalam kulkas.

'Masih banyak makanan sisa, coba tadi di bawa Alif?,' pikir Rahma

"Ayo, saya antar pulang," kata Bastian tiba-tiba.

"Nggak usah, Bos. Aku bisa pulang sendiri," tolak Rahma

"Kamu kenapa sih? Diantar Romi mau, diantar sama aku menolak?" kata Bastian dengan nada marah.

Rahma terperangah mendengar Bosnya berkata demikian. 

"Tapi ...."

"Sudah, ayo cepat," ajak Bastian, dia tidak mau keburu Romi datang.

"Ya, sudah. Bos, sisa makanan ini saya kasih ke asrama tahfiz Alif, boleh?" tanya Rahma

"Ya, sudah. Ayo bawa," ujar Bastian membantu membawa kotak makanan ke mobil.

****

Mereka di sambut baik oleh Pengurus asrama, Alif yang melihat bundanya datang dengan bosnya mengantar makanan, senang bukan main, dipeluknya Rahma dengan bahagia. 

Sepanjang jalan menuju rumah Rahma, Bastian tersenyum simpul. Dia membayangkan Romi yang menjemput Rahma tetapi wanita itu sudah pulang.

'Ah, kenapa aku sekarang kok malah seolah-olah bersaing dengan Romi? Ada apa sih dengan diriku?' batin lelaki itu

"Di mana rumahmu?" tanya Bastian memecah kebisuan diantara mereka.

Sebenarnya Bastian sudah tahu alamat rumah Rahma, pernah membaca di KTP wanita itu.

"Di daerah Gotong Royong," jawab Rahma. 

"Kamu tu, besok gak usah deket-deket sama Romi," kata Bastian.

"Kenapa? Bang Romi baik, kok?" tanya Rahma.

'Wah, sudah manggil Abang pulak dia,' batin Bastian.

"Yah, Romi memang baik dan tulus orangnya, tetapi kamu gak cocok sama dia. Kamu tu harus sadar, kamu wanita yang punya anak tanpa menikah," kata Bastian.

Mendengar perkataan Bastian membuat darah Rahma mendidih, sebenarnya dia sudah biasa dihina seperti itu, tetapi kenapa jika kata-kata itu keluar dari mulut lelaki itu kok ya, sakit banget rasanya.

"Cukup, Pak. Saya turun di sini saja!" Rahma berteriak, membuat Bastian terkejut seketika menginjak rem. Untung jalanannya sepi. 

"Loh, kenapa?" tanya Bastian tidak menyadari perbuatannya.

"Perempuan seperti saya tidak pantas duduk di samping laki-laki terhormat seperti Bapak," kata Rahma kesal, dia segera keluar dari mobil dan membanting pintu.

"Loh, apa-apaan ini? Rahma ... Rahma!"

Panggilan bosnya tidak dihiraukan, dia pergi setengah berlari menyetop angkot yang lewat.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
cemburu ya bos
goodnovel comment avatar
Dian Ummu Khalisha Akasyah
sebagai masukan mbak kalau pujian atau rasa syukur bukan subhannallah tapi maasyaa Allah, seperti maasyaa Allah sholehnya anak bunda maasyaa Allah ternyata hapalannya sudah banyak, kalau subhanallah itu ungkapan sedih...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status