Share

Teringat Masa Lalu

Rahma masuk rumah dengan kesal. Segera dia baringkan tubuhnýa di kasur, dari kemaren bekerja tidak kenal istirahat membuat tubuhnya kelelahan. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Dengan langkah gontai, dia melangkah ke kamar mandi mengguyur tubuhnya dengan air, perasaannya menjadi fresh dan ringan. 

Setelah mandi dia salat Asyar, sepanjang salat ponselnya berdering terus membuatnya tidak berkonsentrasi. Dilihatnya notifikasi di ponselnya semua panggilan dan pesan dari bosnya. 

"Aish, malas banget baca pesannya," kata Rahma sambil mematikan daya ponselnya.

Dia segera tertidur, matanya begitu berat, tubuhnya begitu lelah.

***

Bastian kesal luar biasa, berulang kali ditelpon perempuan itu tidak juga mau menjawabnya, SMS nya juga tidak dibaca. 

"Ngapalah dia ini? Apa yang membuatnya marah? Apa coba salahku? Yang kukatakan bener, kan? Kalau dia itu punya anak di luar nikah?" gumam Bastian sambil berpikir kira-kira di mana letak kesalahannya.

Sebuah nada panggilan dari ponselnya mengejutkannya, nah ... kan? Akhirnya nelpon juga ...

"Halo? Kamu kenapa tadi kok lari?" tanya Bastian spontan.

"Siapa yang lari, Bro?" jawab suara di seberang.

Loh, kok suara laki-laki? Dilihatnya kembali layar ponselnya, walah ... si Romi ternyata.

"Ah, kupikir kau orang lain," kata Bastian.

"Siapa? Rahma ya? Kau apain anak itu?" tanya suara di seberang sana.

"Nggak kuapa-apain, kok," jawab Bastian.

"Halah! Tadi aku jemput dia di rumahmu kok gak ada orang. Kalian kemana? Kau antarin dia ya?" tanya Romi bertubi-tubi.

'Wahcenayan juga nih bocah,' batin Bastian 

"Aku gak ngantarin dia, entah kenapa dia tiba-tiba pergi gitu aja dari rumah gak ngomong-ngomong lagi," kata Bastian

"Pasti kau bilang sesuatu yang buat dia marah, kan? Kau kan kalau ngomong suka gak pikir-pikir dulu."

"Ah, aku cuma bilang sama dia, kau itu sebagai perempuan sadar diri, kau ini perempuan yang punya anak di tanpa pernikahan. Benerkan yang aku bilang? Wong kenyataannya memang begitu," kata Bastian membela diri.

"Wah, benar-benar elu ya, Bas! Coba elu tu kalau ngomong dijaga. Elu gak tahu persis masa lalu dia kan? Aku aja yang baru tadi ketemu bisa nilai, gak mungkinlah wanita model dia punya masa lalu sebagai cewek gampangan. Coba berpikir kemungkinan yang lain, siapa tahu Alif itu anak korban perkosaan, kau tahu kan, perkosaan itu bisa membuat trauma yang begitu dalam? Kalau memang iya, coba kau pikir betapa hebatnya dia merawat anak hasil perkosaan dengan penuh kasih sayang, biasanya orang itu lihat anaknya saja sudah timbul dendam kesumat."

Kata -kata Romi yang begitu panjang membuat Bastian tercenung, mungkinkah?

"Hei, Bro ... Bro!. Kau masih di situ, Bro?" tanya suara di seberang sana.

"Ya, sudah ya? Aku mau istirahat." kata Bastian sambil memutus panggilan telponnya.

Segera dia telpon kembali nomor Rahma, masih juga belum aktif.

'Ah ... kalau memang yang dibilang Romi benar, aku memang keterlaluan. Siapa coba yang mau jadi korban perkosaan,' batin Bastian. 

****

Rahma terbangun ketika azan magrib berkumandang, segera dia tunaikan salat magrib. Dia beringsut ke dapur setelah salat. Perutnya tiba-tiba lapar, di rumah tidak ada nasi dan lauk, segera dimasaknya mie instan yang dibelinya dari swalayan kemarin untuk stok. 

Sambil makan mie instan, Rahma kembali berpikir, sepertinya reaksinya terhadap perkataan bosnya itu berlebihan. Mengingat kontrak kerjanya masih lama dengan lelaki itu, dia seharusnya tahan-tahan terhadap omongan lelaki itu. Toh sebenarnya dia sudah terbiasa dihina selama ini. Setelah Alif masuk asrama, penghasilannya sebagai guru CPNS dirasa masih pas-pasan, karena gajinya masih delapan puluh persen. Mungkin kalau sudah PNS, dia bisa bernapas lega. 

Entah kenapa mendadak kemarahan atas ucapan pria arogan itu lenyap dalam hatinya.

"Aish, kenapa aku tidak bisa membenci lelaki itu. Yah, sebenarnya bukan salah dia sepenuhnya sih berkata seperti itu, itu salahku juga yang tidak bisa jujur mengenai putraku. Yah ... sudah resiko dia ngomong begitu, seharusnya aku terima saja," kata Rahma merenungi apa yang baru saja terjadi.

Ah, kalau mengingat masa lalu, Rahma tak kuasa menahan tangis, Alif memang tidak dilahirkan dari rahimnya, namun dengan adanya anak itu dia merasa memiliki keluarga, memiliki orang yang dia cintai, Alif alasannya hidup dan menghidupi kini.

Entah sampai kapan Rahma akan merahasiakan semua ini dari putranya itu, jika dia bukanlah wanita yang melahirkannya. 

Ah, kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu, namun seperti baru terjadi kemarin. Persahabatan yang dijalinnya dari rumah yang sama akan berakhir seperti ini. Waktu itu Rahma baru berusia tujuh tahun ketika sepasang suami istri yang mengaku paman dan bibinya membawanya ke panti asuhan, kesedihan yang begitu dalam dalam diri bocah itu karena kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan masih menyisakan trauma yang mendalam, karena dia juga turut serta menyaksikan semua itu, namun takdir berkata lain hanya dia yang selamat. Jika boleh memilih takdir, Rahma ingin mati bersama kedua orang tuanya.

Di panti asuhan Rahma merasa asing, dia masih belum mengerti kenapa dia harus dibawa ke sini, padahal rumah kedua orang tuanya cukup besar dan indah, lebih besar dari Panti Asuhan ini. Keterasingannya mulai terkikis ketika dia bertemu dengan Santi, gadis cilik yang ceria dan cantik seusia dengannya. Santi sudah berada di panti ini sejak usia bayi, ditinggalkan oleh orang tuanya di teras panti. Persahabatan melebihi saudara yang mengikat keduanya terjalin sampai mereka remaja, mereka sekolah di tempat yang sama, di mana ada Santi di situ ada Rahma.

Waktu SMA Santi menjadi primadona, dia cantik, supel dan gaul. Sejak SMA itu, perilaku Santi mulai berubah. Dia menyuruh Rahma berbohong bahwa dia bukan penghuni panti, dia anak orang kaya. Sepulang sekolah Rahma dan Santi bekerja di salah satu rumah di dekat panti sebagai ART, Santi selalu mengaku-ngaku pada teman-temannya di sekolah bahwa dia anak majikannya, semua orang percaya karena Santi yang cantik dan supel, dia juga berani memimjam barang-barang branded kepunyaan Bu Hana majikan mereka, Bu Hana yang baik hati selalu meminjamkannya tanpa banyak bertanya asalkan dikembalikan lagi. 

Panti asuhan memiliki peraturan jika anak asuhan mereka sudah tamat SMA, mereka harus hidup mandiri di luar Panti, karena keterbatasan tempat dan dana, karena penghuni Panti semakin hari semakin bertambah. Rahma dan Santipun ngekost sekamar berdua agar hemat pengeluaran. Rahma masih menjadi pembantu di rumah Bu Hana, karena dia belum mendapat pekerjaan yang lain. Mereka berdua memiliki cita-cita untuk kuliah, namun tabungan mereka jika digabung hanya bisa untuk mendaftar satu orang. Karena sifat keras Santi, Rahma mengalah merelakan tabungannya dipakai kuliah oleh Santi, sementara Santi mencoba peruntungannya di dunia modelling untuk kerja paruh waktunya. Sebenarnya penghasilan Santi lumayan, namun sudah satu tahun berjalan, Santi belum juga mengembalikan uang Rahma, dia lebih mementingkan memenuhi gaya hidup dan penampilannya.

"Sebagai model, penampilan itu modal utama. Kalau aku gak cantik dan menarik, mana ada yang mau memakai aku. Aku pasti ngembalikan uang yang tidak seberapa itu," kata Santi ketus, ketika Rahma menanyakan uangnya. 

Bukan apa-apa, Rahma merasa tabungan selama satu tahun ini jika di gabung dengan uang yang dipinjam Santi cukup untuk mendaftar kuliah, akhirnya Rahmah hanya mengubur mimpinya kuliah di tahun itu. Jika mengingat itu hati Rahmah sesak, pengorbanannya atas nama persahabatan ternyata tidak dibalas sama oleh Santi, dia seperti bertepuk sebelah tangan. Ah, seandainya dulu ada program Bidikmisi seperti saat ini, mungkin Rahma sudah kuliah tanpa pusing memikirkan biaya, secara dia siswa berprestasi, selalu juara umum di SMA dulu. 

Belum lagi sedihnya Rahma tidak bisa kuliah, dia terpaksa keluar dari pekerjaannya menjadi pembantu Bu Hana, lantaran suami Bu Hana meninggal karena sakit jantung koroner. Bu Hana terpaksa menjual semua aset dan pindah ke kampung halamannya di Manado. Berbekal uang pesangon yang tidak seberapa, akhirnya Rahma berjualan Mie ayam memakai gerobak, dia menyewa rumah petak sendiri dan meninggalkan Santi di kos-kosan sendiri. Selama enam bulan jualan, Rahma sudah cukup uang untuk mendaftar ke perguruan tinggi negeri. Dia dinyatakan lulus UMPTN. Di sinilah dia bertemu seniornya, Fauzan. Sebagai ketua BEM, Fauzan benar-benar seorang yang menarik dilihat dari manapun. Fauzan sendiri kagum terhadap Rahma, seorang mahasiswi yang mandiri, menghidupi dirinya dan kuliahnya walau hanya berjualan mie ayam di sore hari. Tidak seperti dirinya, yang hanya mengandalkan orang tua, yah ...walau memang orang tuanya kaya raya.

Namun, petaka itu datang lagi. Santi ternyata diusir dari kost karena tiga bulan tidak bayar uang kost. Yah kemana dia pergi kalau bukan ke tempat Rahma. Namun, baru empat bulan Santi di rumah Rahmah dia mengaku hamil. Rahma yang geram, meminta Santi memberitahu siapa ayahnya, namun gadis itu hanya bungkam. Santi tidak menginginkan bayi itu, berapa kali dia mencoba menggugurkannya, namun sudah terlambat, bayi itu sudah mengakar dengan kuat di perut Santi. Gadis itu hanya murung saja, dia tidak pernah keluar rumah. Rahmahlah yang mencukupi kebutuhannya, hingga sampai anak itu lahir belum genap tiga hari, Santi meninggalkan bayinya yang masih merah. Rahmah mencari Santi kemana-mana, ternyata Santi sudah dikeluarkan dari kampus saat pindah ke rumahnya dulu, karena tidak pernah membayar SPP kuliah. Ah, akhirnya demi bayi yang masih merah itu, Rahmah terpaksa berhenti kuliah, sebenarnya sayang, kuliahnya sudah masuk semester tiga. Namun, dia tidak mempunyai pilihan.

Rahma menghela napas dalam-dalam demi mengingat itu semua, perasaan nyeri selalu menyayat hatinya jika teringat masa lalu. Segera dia mengambil wudhu ketika azan isya berkumandang, dia ingin segera memeluk guling di peraduan. Setelah salat segera dibaringkan tubuhnya, penatnya sudah berkurang. Ingin dia segera tertidur, dipejamkannya matanya, ya ampun ... kok gak bisa tidur-tidur sih? Rahma berkali-kali ganti posisi, miring kanan, miring kiri, telentang.

"Aduh ... kok gelisah gini sih tidurku?" gumamnya.

Dipeluk bantal gulingnya lebih erat, aroma rose pewangi pakaian menguar dari sarung bantal yang kemarin dia cuci. Wangi rose ini mengingatkan dia pada aroma sabun mandi yang lelaki itu pakai tadi siang, terbayang di pelupuk matanya hangat dada lelaki itu yang menyentuh kulit wajahnya. Tatapan mata lelaki itu tak bisa dia lupakan, sorot matanya sangat aneh, mampu menggetarkan sukmanya. Tak terasa Rahma tersenyum sendiri.

'Ya ampun ... ada apa denganku? Ah, kebanyakan ngehalu kayaknya ini,' batinnya.

****

 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Rahma semoga pengorbananmu gak sia2 ya
goodnovel comment avatar
YAnti Zb
ceritanya sangat menarik.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status