Setelah mengantar Alif ke sekolah, Rahma buru-buru pergi ke rumah bosnya itu untuk mengantar sarapan dan bekal makan siang. Sebentar-sebentar dilihatnya jam tangannya, sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dia harus buru-buru karena hari ini jadwal piket di sekolahnya, dia harus segera ke sekolah menyambut murid-muridnya di pintu gerbang, minggu kemarin dia sudah telat sampai sekolah, cukup kemarin saja dia ditegur kepala sekolah, hari ini dia tidak sanggup jika ditegur lagi.
Sampai rumah bosnya, Rahma segera memeriksa tasnya untuk mengambil kunci rumah lelaki itu, tapi sudah lama mencari kok gak ada ya? "Ya, ampun! Pantesan gak ada, kuncinya kan ditaruh tas satunya!" dengus Rahma kesal. Saking buru-buru berangkat, Rahma salah mengambil tas. Hufhhh ... Rahma menghembuskan napas kuat-kuat, dia mencoba tenang menghadapi situasi ini. Hari ini dia memang selalu gagal fokus karena mengejar waktu, padahal dia bangun sudah jam 3 pagi untuk mempersiapkan bekal dan sarapan bosnya itu.Tok ... tok ... tok ...."Assalamualaikum, Bos! Bos ... Pak Bos!"Rahma mencoba mengetuk rumah Bosnya, dia tahu bahwa bosnya jam segini masih tidur, setiap dia mengantarkan bekal cukup menaruh di meja makan tanpa bertemu lelaki itu. "Ah, pasti masih tidur Pak Bos ini. Ya sudah, kutaruh di sini saja."Rahmapun segera menaruh makanan itu di meja teras dan segera mengirim pesan bahwa bekalnya sudah ditaruh di atas meja teras.
****Sehabis mandi dan berpakaian rapi, Bastian segera menuju meja makan untuk sarapan. Hari ini rencananya seharian dia ada meeting dengan pemilik Mall, dan ada dua orang klien baru yang ingin melihat hasil rancangan bangunan perumahan sederhana untuk menengah kebawah. Segera dia menuju meja makan untuk sarapan, tapi di meja makan tidak ada apa-apa."Inikan sudah jam delapan, kenapa perempuan itu belum mengirim makanan? Bener-bener ya, gak becus banget kerjanya!" dengusnya kesal.Segera dikeluarkan ponselnya dan menelpon Rahma. "Ya, ampun. Kenapa sih gak diangkat-angkat?" Bastian mencoba sekali lagi menelpon."Halo, Assalamualaikum?" suara perempuan itu di seberang sana."Hei, mana sarapan dan bekal makan siangku?" kata Bastian to the point."Cek aja SMS, Bos. Aku lagi sibuk.”Tuut ... tuut ...."Ya, ampun!. Gila ya? Telponku ditutup gitu aja, benar-benar perempuan lancang gak ada sopan-sopannya. Apa kata dia tadi? Cek SMS?"Segera Bastian memeriksa pesan masuk di ponselnya.(Assalamualaikum, Pak Bos. Maaf bekal saya tinggal di teras, saya lupa bawa kunci rumah.Ttd. Pembantumu)Bergegas Bastian mengambil bekalnya di teras. Di atas wadah itu sudah ditulis mana yang untuk sarapan, mana yang untuk makan siang.Segera dibukanya yang untuk sarapan. Hmm... nasi goreng. Untung wadahnya terbuat dari termos sehingga masih hangat, jika nasi goreng ini sudah dingin Bastian pasti tidak sudi memakannya.“Hmmm, ternyata enak juga,” batin BastianDengan lahap dia menikmati nasi goreng itu. Sudah bekerja selama tiga minggu baru kali ini Rahma menbuatkan nasi goreng untuknya. Sepertinya dia tidak rugi mempekerjakan Rahma menjadi pembantu rumah tangga, kebutuhan perutnya sudah terjamin sekarang.
****"Bas, makan siang, yuk?" ajak RomiRomi adalah patner kerja Bastin, mereka sudah akrab semenjak SMA, sama-sama mengambil arsitektur ketika kuliah, Bastian akui Romi selalu memiliki ide yang brilian sehingga klien banyak yang suka idenya.
Walau Bastian pemilik usaha kontruksi ini, tapi berkat Romilah mereka kebanjiran order, selain temannya, Romi juga tangan kanannya."Aku makan siang di sini saja, aku bawa bekal," kata Bastian.Dia masih berkutat dengan berkas ditangannya.
"Sekarang kau tidak pernah makan siang di luar, Bro. Rajin amat bawa bekal tiap hari,” kata Romi."Kaukan tahu, aku gak bisa makan sembarangan. Ini pembokat gue yang masakin." Bastian menunjuk bekalnya."Permisi, Pak Bastian!"Sebuah suara menghentikan pembicaraan mereka.
"Oh, Silvia ... masuk Sil, sini masuk," kata RomiIntonasi suara Romi yang ramah banget membuat Bastian tersenyum mengejeknya.
"Dasar jomblo, lihat cewek langsung tebar pesona," bisik Bastian"Namanya juga usaha, Men!" Romi cekikikan menanggapi ucapan Bastian.Silvia, seorang gadis cantik yang selalu berdandan modis, dengan rambut ditata ikal sedada, memakai blus dan rok sepan selutut itu bekerja di bagian keuangan. Sudah lama Silvia menaruh hati pada bosnya itu setelah dia mengetahui status Bastian adalah duda. "Pak ... ini saya bawakan bekal makan siang," kata SilviaWanita itu menyodorkan rantang kepada Bastian yang disambut Romi dengan suka cita.
"Gak usah repot-repot, saya bawa bekal sendiri," kata Bastian"Nggak repot kok, Pak. Mulai besok Bapak tidak perlu repot-repot bawa bekal, saya akan membawakan untuk Bapak."Silvia tersenyum manis, memperlihatkan sebaris giginya yang dirawat dengan baik.
"Tidak perlu. Ambil saja bekalmu lagi, saya tidak akan memakannya!" jawab Bastian ketusPerkataan Bastian mengagetkan gadis itu, dia tidak menyangka bosnya bersikap demikian terhadapnya.
Wajah Silvia berubah menjadi pias, kata-kata Bastian meninggalkan luka, dia benar-benar malu ditolak terang-terangan seperti itu. Dia akan bertekad menundukkan bosnya itu, Silvia gadis yang cantik, kaum lelaki di kantor ini semua terpesona dengan kemolekannya.“Mustahil aku tidak bisa menundukkanmu, Bos,” batinnya.
"Kalau Bastian tidak mau, biar sini aku yang makan, nanti dia kusuruh nyicipin, ya?" Romi mengerlingkan mata ke arah Silvia. Gadis itu tampak senang, dia berlalu keluar ruangan, untuk makan siang di kantin kantor, teman-teman kerjanya sudah menunggunya di sana. "Aish, gila! Asin banget masakan Silvia. Kelihatan banget itu cewek sudah pengen kawin,” seru RomiDiteguknya air mineral di botol sampai tandas. Bastian hanya tersenyum menanggapi omongan Romi. Segera di buka wadah bekalnya. Aromanya langsung menguar. Sayur sop ayam masih hangat, lagi-lagi wadahnya termos. Ada juga sambal ikan teri dan perkedel kentang.
"Bawa sini nasinya, lauknya ambil sini," kata Bastian. Romi segera mengambil sop ayam dan sambel teri di bekal Bastian."Hmmm, kalau ini pas. Enak rasanya, pantasan kau tidak mau makan di luar. Besok bilang sama pembokatmu, buatin bekal makan siang buatku juga" Permintaan Romi membuat mata Bastian mendelik."Enak aja lu. Dia pembokat gue, hanya boleh buatin bekal buat gue seorang. Kalau elu mau bawa bekal juga, ya cari pembantulah!" dengus Bastian sewot.Yah, diakui Bastian masakan Rahma memang enak, cocok di lidah dan perutnya. Sekarang sudah penghujung bulan, dia perlu memikirkan, mau digaji berapa pembantunya itu.****Sudah sebulan Rahma bekerja di rumah Bastian, dia sudah bisa menyesuaikan diri dengan ritme pekerjaannya. Alhamdulillah Alif pengertian sekali dengan bundanya, melihat bundanya susah membagi waktu, dia meminta tinggal di asrama sekolah tahfiz. "Benar, Nak? Alif tidak keberatan tinggal di asrama tahfiz?" tanya Rahma"Benar, Bun. Sudah lama Alif ingin menghapal Alquran tetapi Alif sering berpikir kalau Bunda akan susah mencari biaya asrama," kata anak itu.Rahma memeluk anaknya dengan sayang, Ah ... Santi, lihat anak yang kau singkirkan dalam hidupmu ini, dia ingin menjadi penghapal Alquran, dia juga anak yang sangat pengertian dan soleh. Mata Rahma berkaca-kaca mendengar permintaan putranya."Soal biaya Bunda pasti carikan, Sayang. Tapi Bunda jadi sedih ni, Alif gak tinggal sama Bunda lagi," Rahma menatap putranya dengan sayang."Kalau Alif tinggal di asrama, Bunda bisa fokus bekerja di sekolah dan tempat Bos Bastian. Kita kan bisa ketemu setiap weekend.” Alif membalas memeluk bundanya.Sore ini Rahma mengerjakan pekerjaan di tempat Bastian lebih cepat selesai. Dia tidak lagi kuatir memikirkan Alif yang belum dijemput dari sekolah. Jam setengah empat pekerjaannya sudah selesai. Makanan sudah terhidang di meja makan, ikan bakar, sayur asam, dan sambal terasi. Rumah sudah dibersihkan dan dirapikan, pakaian bosnya juga sudah rapi tersusun di lemari. Azan Ashar berkumandang, sebelum pulang dia akan salat Ashar dulu biar tenang. Setelah mengambil wudhu, diambil mukenanya yang selalu berada di tas kerja. Rahma salat di kamar tamu dengan khusuk dan santai.Bastian pulang lebih cepat tiga puluh menit dari biasanya. Romi berulangkali mengajaknya untuk bersantai dulu ke kafe atau ke karaoke tapi ia tolak. Dia hanya ingin istirahat, lagipula makanan di kafe belum tentu cocok dengan perutnya. Selama sebulan ini, pencernaannya tidak pernah bermasalah, itu berarti masakan Rahma cocok di perutnya. Bastian masuk rumah seperti biasanya, tidak mengucapkan salam. Dia heran karena motor Rahma tidak terparkir di halaman, berarti perempuan itu tidak di rumahnya.“Hm, apakah dia bolos kerja?” pikir lelaki itu
Setelah masuk rumah, menguar aroma cairan pembersih lantai dari dalam, sepertinya perempuan itu sudah selesai bekerja, pandangan Bastian beredar ke setiap sudut rumah yang telah bersih dan rapi.
“Tumben jam segini sudah beres? Biasanya aku pulang masih berantakan,” gumam Bastian.
Tercium aroma masakan yang menggoda, segera dia membuka tudung saji, sayur asem, dicicip sayur kesukaannya yang masih hangat itu.
“Wah... seperti biasanya, enak,” gumamnya.
Bastian segera menuju kamar tamu, dia biasa menyimpan berkas pekerjaannya di sana.Ceklek.
Dibukanya pintu kamar itu, alangkah terkejutnya dia melihat Rahma sedang salat di sana.
"Oh, ternyata pembantu itu belum pulang?" gumamnya pelan.Dia masih saja memperhatikan Rahma yang tengah berdoa, setelah itu Rahma melepaskan mukena yang menutupi kepalanya, rambut panjang sepinggangnya mengurai indah, disisir rambut indah itu, membuat Bastian tidak lepas pandangannya ke arah wanita itu.“Ah, cantik juga perempuan ini kalau lepas jilbab,” batinnya.
Setelah Rahma siap-siap akan berbalik menuju pintu, Bastian bergegas pergi dari sana, dia gugup tidak tahu harus berbuat apa, seperti maling yang tertangkap basah. Akhirnya dia duduk di kursi meja makan.Setelah keluar kamar, Rahma terkejut melihat bosnya tengah duduk di kursi meja makan.“O, sudah pulang rupanya,” gumamnya.
Rahma melangkah perlahan menuju nakas, di mana tas kerjanya diletakkan.
"Bos, sudah pulang?" tanya RahmaBastian hanya berdehem, tidak menoleh kepadanya."Ya sudah, Pak Bos. Aku pulang dulu, ya?" Rahma meraih tas kerja dan memasukkan mukenanya."Tunggu!"Bastian menghentikan langkah Rahma yang akan meninggalkannya.
"Ha?"Rahma tidak mengerti, kenapa Bosnya memanggilnya.
"Sini!" perintah BastianMata lelaki itu mengarah ke kursi di depannya, Rahma menghampirinya.
"Ada apa, Bos?" "Siapkan makanan saya!” perintah Bastian."Itukan sudah saya siapkan? Piring, sendok, air minum sudah ada di situ tinggal disendok saja nasi sama lauknya,” kata Rahma."Sendokin!"Perkataan Bastian membuat Rahma heran.
“Kok Si Bos kolokan banget sekarang?” batinnya
Walau masih heran, Rahma mengambil nasi dan lauk di piring Bos nya"Segini cukup?" tanyanyaBastian hanya mengangguk.
"Duduklah, ayo kawani aku makan," kata Bastian.Rahma yang masih heran, mengambil posisi duduk menghadap bosnya itu."Ambil piring, sana! Ayo makan bersamaku, jangan cuma bengong begitu," perintah Bastian"Oh?"Rahma segera mengambil piring, diliriknya bosnya itu, ada angin apa? Kok ngajak makan bareng? Bastian tahu, pasti wanita di depannya heran dengan tingkah lakunya.
"Aku bosen makan sendirian," kata Bastian.Dia harus membuat alasan untuk menanggapi keheranan Pembantunya itu.
"Oh ...."Rahma tidak tahu harus bereaksi seperti apa menanggapi ucapan lelaki itu .
"Kamu kok gak bawa motor?" tanya Bastian"Motorku rusak, jadi sekarang di bengkel,” kata RahmaRahma memakan nasinya dengan canggung, dia masih belum percaya bisa makan bersama lelaki jutek itu.
"Jadi gimana kamu menjemput anakmu?" "Dia tidak saya jemput lagi, kemaren sudah masuk asrama," jawab Rahma"Ooo pantesan kamu jadi fokus bekerja, belum jam empat sudah beres semua," kata Bastian "baguslah kalau gitu," lanjutnya.Rahma tersenyum kecut mendengar perkataan bosnya itu, walaupun lelaki itu sudah biasa bicara sekenanya, namun dia kadang masih suka kesal."Kamukan bisa mengunjunginya, daripada kamu pontang panting pekerjaan gak beres-beres, ya lebih baik diasramakan,” kata BastianLelaki itu berusaha memilih kata-kata yang sedikit bijak, dia juga sebenarnya tidak mau menyinggung perasaan Rahma.
"Alif sendiri yang mau masuk asrama biar fokus menghapal Alquran, saya ya gak mau sebenarnya pisah dari anak," kata Rahma"Tuh, kamu harus bersyukur punya anak soleh seperti Alif.” Bastian menunjukkan senyum manis yang seperti ... dibuat-buat.Hufh, Rahma menarik napas berat“Orang ini kenapa ya? Kok kayaknya mau sok ngakrab-ngakrabin gitu?” batinnya
"Cek rekening, saya sudah mentransfer gaji pertamamu" kata Bastian."Loh, saya dibayar ya, Bos? Saya pikir saya kerja cuma kerja rodi untuk membayar hutang-hutang saya," kata RahmaSebuah notifikasi pesan berbunyi di Handphonenya. Segera Rahma membuka isi pesan itu, ada transfer dari rekening Bastian Wibisono ke rekeningnya dua juta rupiah.
"Pak Bos! Ini bener? Gaji saya dua juta sebulan?" tanya Rahma tak percaya."Makanya kamu itu kerjanya yang rajin. Mulai besok tugasmu tambah." Bastian berdiri setelah selesai makan."Tugas apa?" "Menemani aku makan. Sudah itu beresin meja makan "Bastian merasa gengsi untuk mengungkapkan semua itu sebenarnya, sehingga dia langsung ngeloyor ke kamar.
Rahmah segera beringsut membenahi meja makan dan mencuci peralatan makannya. Dia masih belum percaya kalau menjadi pembantu dirumah ini dibayar.Alhamdulillah ... bisa membayar uang Asrama Alif yang tidak sedikit. Walau dia memiliki gaji tetap, tetapi banyak yang harus dibayarnya terutama cicilan rumah yang menguras hampir empat puluh persen gajinya.
Dulu, Rahma sebenarnya sudah menepis keinginannya untuk kuliah, namun ketika Alif berumur tiga tahun, dia bertemu Resti teman SMA-nya. Resti sudah menikah dan tengah mengandung, tetapi dia melanjutkan kuliah di program ekstensi jurusan bimbingan konseling, tidak seperti program reguler yang tiap hari kuliah, program ekstensi mahasiswa hanya kuliah sabtu dan minggu saja, walaupun memang biayanya lebih besar dari reguler. Rahma menjadi semangat lagi dan mencoba mendaftar, akhirnya dia lulus dan memulai hari dengan harapan sebagai mahasiswi sekaligus bisa berjualan mie ayam.
Rahma bersyukur karena Alif sudah bisa ditinggal, kebetulan tetangga kontrakannya Bude Marni dan Pakde Yono semenjak Alif Bayi meminta agar Alif ditinggal bersama mereka, jika Rahma pergi bekerja. Bahkan, mereka pernah meminta untuk mengadopsi Alif karena mereka menikah sudah 10 tahun tetapi belum diberi momongan, namun Rahma sudah terlanjur sayang pada anak itu sehingga tidak bisa melepaskan. Namun, tetangganya itu banyak membantu, untuk keperluan administrasi sekolah Alif, mereka dengan suka rela membuatkan akte kelahiran yang terlulis Bude Marni dan pakde Yono sebagai orang tua Alif. Hingga tiga bulan sebelum Rahma wisuda, Pakde Yono meninggal karena penyakit diabetes yang dideritanya. Bude Marnipun pulang ke kampungnya.
Selepas Wisuda Alhamdulillah ada pembukaan CPNS besar-besaran karena puluhan ribu pegawai negeri yang memasuki usia pensiun. Rahma sengaja ikut tes di luar daerah, bahkan di luar provinsi, untuk memulai hidup baru dan mengubur kenangan pahit di kota itu, sekarang sudah sembilan bulan dia berada di kota ini, merajut masa depan demi membesarkan putra yang dicintainya.
Tidak terasa sudah hari jum'at. Sudah hampir seminggu Alif berada di asrama, besok siang rencana Rahma akan menjemput Alif untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Rahma sudah memiliki rencana istimewa untuk menyambut putranya itu. Sepulang mengajar dia akan belanja untuk membuat masakan kesukaan Alif, ayam geprek dan bakso bakar. Selama sembilan tahun membesarkan anak itu, dia tahu benar perubahan Alif satu persatu. Waktu umur dua tahun, Alif suka sekali memakan gulai ikan patin tanpa cabe, dimakan dengan nasi hangat, dia bisa tambah-tambah makannya. Umur tiga tahun beda lagi kesukaannya, dia suka kue browies keju. Karena hari ini pulang cepat, Rahma akan segera belanja ke pasar untuk membeli bahan ayam geprek buatannya, Alif lebih suka jika dia yang membuatnya daripada membeli jadi, menurut anak itu sambelnya tidak terlalu pedas tetapi gurih dan lezat. Baru memarkirkan motor di pasar, handphone Rahma berbunyi, buru-buru dia mengambil Ponsel di tasnya, rupanya bosnya yang menghubu
"What? Elu jatuh cinta sama pembokat gue?" tanya Bastian "Iya, emang kenapa? Dia cuma pembokat elu, kan? Bukan pacar atau bini elu?" Romi menatap Bastian heran. "Elu gak bakal ngomong gitu kalau tahu dia sudah punya anak." "Ha? Dia sudah nikah, bro? Sudah punya suami?" tanya Romi, ada gurat kecewa di matanya. "Dia sudah punya anak, tapi belum pernah nikah dan gak punya suami. Elu bayangin gimana parahnya perempuan itu, emangnya Ibu lu bakal ngijinin? Gue tahu gimana kolotnya ibu elu itu," kata Bastian Suasana hati Romi yang sempat kecewa, kembali berbunga-bunga. Dia tidak mengindahkan perkataan Bastian. "Ahayyy, yang penting dia masih singel, Bro. Gue bis
Rahma masuk rumah dengan kesal. Segera dia baringkan tubuhnýa di kasur, dari kemaren bekerja tidak kenal istirahat membuat tubuhnya kelelahan. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Dengan langkah gontai, dia melangkah ke kamar mandi mengguyur tubuhnya dengan air, perasaannya menjadi fresh dan ringan.Setelah mandi dia salat Asyar, sepanjang salat ponselnya berdering terus membuatnya tidak berkonsentrasi. Dilihatnya notifikasi di ponselnya semua panggilan dan pesan dari bosnya."Aish, malas banget baca pesannya," kata Rahma sambil mematikan daya ponselnya.Dia segera tertidur, matanya begitu berat, tubuhnya begitu lelah.***Bastian kesal luar biasa, berulang kali ditelpon perempuan itu tidak juga mau menjawabnya, SMS nya juga tidak dibaca."Ngapalah dia ini? Apa yang membuatnya marah? Apa coba salahku? Yang kukatakan bener, kan? Kalau dia itu punya anak di luar nikah?" gumam Bas
Bastian masih terjaga, jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tadi kayaknya dia kecapekan dan ingin segera tidur, nyatanya dia malah gak bisa tidur. Segera dia menuju dapur, dibukanya kulkas. Ah ... kulkasnya penuh minuman dingin. Pasti perempuan itu yang mengisinya. Diraihnya air soda jeruk lime, diteguknya minuman bergas dingin tersebut, rasanya segar melewati tenggorokan. Segera dia berjalan ke meja makan. Di atas meja terdapat beberapa panci yang tertutup tutup kaca sehingga isi di dalamnya terlihat. Bastian meraih panci berisi kue brownies, dia belum mencicipi makanan itu tadi siang. Hmm, yummy juga rasanya, apalagi dipadu dengan minuman soda ini, rasanya mantap banget.Dia benar-benar merasa bersalah dengan perempuan itu sekarang, gara-gara marah yang tidak jelas, dia jadi mengeluarkan kata-kata yang menyakiti perempuan itu.'Ah, ada apa denganku? Kenapa aku tidak suka jika perempuan itu dekat dengan sahabatku sendiri, Romi?' batinnya.
Rahma melajukan motornya tanpa menghiraukan hujan lebat yang mengguyur sekujur tubuhnya. Sampai di rumahnya, dia langsung mandi keramas, berulang kali keningnya disabun bahkan digosok agar bekas kecupan lelaki itu hilang. Karena kehujanan begitu lama membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Setelah mandi dia segera memakai kaos kaki dan sweater hangat berbahan wol, selanjutnya dia hanya meringkuk di bawah selimut untuk menghangatkan tubuh.Masih terbayang adegan di bawah guyuran hujan tadi seperti adegan di film India. Berulang kali dia beristigfar,'Ya Allah ... dosanya diri ini. Bagaimana aku akan menghadapi laki-laki itu, apakah bersikap biasa saja? Atau menghindari bertemu dengannya? Atau ... Ah ya, lebih baik aku menghindarinya. Kalau sore di usahakan selesai kerja sebelum laki-laki itu datang,' batinnya.Sore ini dia memasak untuk Bastian dari rumahnya saja. Dia membuat sop daging sapi di iris tipis-tipis karena persediaan di kulkas tinggal 1 ons, di
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Bastian dengan suara keras, rahangnya bahkan mengeras menahan amarah. "Kok pertanyaanmu begitu, Sayang? Tentu saja Mama kangen sama kamu." Virda, Mama Bastian melepaskan pelukan pada putranya itu. Rambutnya yang disanggul rapi terkena rintikan air hujan. "Kenapa Mama bawa perempuan ini ke sini?" tanya Bastian menunjuk perempuan cantik yang datang bersama Mamanya. "Ya Ampun, Sayang ... bukankah kau rindu padanya selama ini?" ujar Mamanya. Wanita cantik itu hanya terdiam di depan pintu. "Ayo, masuk. Bawa semua koper kita ke kamar tamu," kata Virda menyuruh wanita itu. "Kalian mau menginap di sini? Kenapa tidak di hotel saja?" kembali Bastian protes. "Bastian, kami capek baru datang dari Paris, biarkan kami istirahat dulu," kata Virda memotong ucapan Putranya. "Baiklah, silahkan malam ini kalian tidur di ini. Besok pagi silahkan tinggalkan rumah ini. Jangan tidur di kamar tamu, sudah
Bastian terbangun dari tidurnya, badannya rasanya sakit semua karena dia tidur di sofa. Apartemen Romi yang hanya memiliki satu ranjang tidak bisa menampung mereka berdua. Bastian tidak mau, dulu dia pernah tidur seranjang dengan Romi, tapi tidur anak itu lasak bukan main. Bahkan Bastian pernah juga dicium bertubi-tubi karena dia bermimpi mencium seorang gadis. Romi sudah menawari jika dia saja yang tidur di sofa, tapi Bastian yang merasa menumpang bersikeras jika dia saja yang tidur di sofa.Dilihatnya jam dinding diruangan itu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dia baru ingat kalau jam segitu pasti Rahma sudah pergi mengantar bekal makan siangnya. Ditelponnya Rahma berkali-kali tapi tidak diangkat, akhirnya dia kirim SMS saja.(Aku menginap di rumah Romi. Bekalnya antar ke kantorku saja, jika aku belum sampai titip pada Satpam)Bastian segera mandi super kilat dan memakai bajunya dengan buru-buru. Dia lupa tidak membawa mobil tadi malam.
Bastian terus menelpon Rahma tetapi wanita itu tak juga menjawab panggilannya, SMS yang sudah dia kirim belum ada satupun yang di baca."Rahma ... di mana kamu?"Bastian tidak jadi melajukan mobil Romi menuju kantor, dia putar balik menuju rumahnya, jika SMS nya belum Rahma baca, pasti wanita itu langsung ke rumahnya."Semoga dua iblis betina itu tidak membuat ulah, jika sampai dia menyakiti Rahma, bisa mati mereka berdua," gumam Bastian sambil memukul stir mobil.Sesampainya di rumah, Bastian mendapati kedua wanita itu tengah menyantap bekal makan siangnya di meja makan."Kenapa kalian makan bekal makan siangku? Lancang kalian!" teriaknya.Dilihatnya bekal makan siang itu adalah makanan kesukaannya, ikan nila bakar dan sambal goreng terasi. Dia benar-benar meradang, makanan yang sudah dimasak oleh perempuan yang dikasihinya dimakan begitu saja oleh wanita yang dibencinya sampai mendarah daging."Bastian, bilang sama pemba