Share

3. Skandal Sang Pewaris

Author: Sandra Dhee
last update Last Updated: 2025-04-28 09:12:31

Bara mengatupkan rahangnya sambil menatap kosong keluar jendela apartemennya. Benaknya mengingat kejadian dua hari yang lalu. Sebelumnya semua berjalan begitu damai dan tenang. Pekerjaan stabil, kehidupan percintaan yang lancar. Ia merasa tak ada masalah apapun sampai muncul berita itu di televisi dan media sosial.

“BREAKING NEWS! Pewaris Maheswara Group Terciduk Tinggal Serumah dengan Kekasih Bule-nya!”

Ia ingat di ruang tengah keluarga Maheswara yang luas dan mencekam, ia duduk di sofa dengan wajah tegang. Alisnya mengernyit, rahangnya mengeras. Kedua jemarinya bertautan menandakan dibalik sikap dinginnya dia sekarang sedang gelisah.

Di sofa sebelahnya, sang ayah Dharma maheswara menatap layar televisi lebar yang terpasang di dinding rumah. Sorot matanya tajam dan menghunus. Walaupun ia tak berkata apa-apa namun satu ruangan itu ikut merasakan kemarahan dari aura emosinya yang terpancar jelas.

Keduanya menonton berita yang sedang viral di televisi baru-baru ini. Bara menjadi sorotan publik, bukan karena prestasinya dalam bisnis namun karena skandalnya karena fotonya bersama sang kekasih, Rebbecca tersebar di sosial media. Dalam berita itu terpampang jelas. Bara yang pagi-pagi keluar ke balkon apartemen, hanya mengenakan kaus putih dan celana tidur. Rebbecca dengan rambut pirangnya yang acak-acakan dan pakaian tidurnya yang seksi, tertawa lepas di samping Bara  sambil mengangkat gelas kopi. Tak ada yang eksplisit, tapi cukup untuk membuat publik berspekulasi bahwa mereka tinggal bersama.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya pak Dharma dengan suara berat. Ia mematikan televisi agar bisa berbincang dengan lebih serius dengan anak keduanya tersebut.

“Becca tinggal di apartemenku, so what? Aku bukan anak SMA lagi Ayah.”

“So what!?” ulang pak Dharma dengan nada tinggi. Ia menatap Bara dengan amarah yang sulit ia kendalikan lagi, ““Kau bukan orang biasa! Kau pewaris Maheswara Group! Satu langkah salah darimu bisa menghancurkan reputasi perusahaan dan keluarga!”

“Tapi aku bukan boneka kalian. Aku punya kehidupan pribadi!” bantah Bara berusaha membela diri.

“Dan kehidupan pribadi itu akhirnya kini menjadi santapan publik.” Tiba-tiba sang Nenek masuk. Ibu dari pak Dharma yang berarti nenek Bara, baru datang dan langsung memotong pembicaraan. Dia memang sengaja datang dari rumahnya yang megah dan nyaman untuk mempertanyakan tentang kebenaran skandal tersebut kepada cucunya sendiri.

“Kamu tak bisa seenaknya seperti itu, Bara. Kamu bukan anak kecil lagi, jadi kamu harus bisa menjaga nama baik keluarga kita,” lanjut sang nenek lagi. Bara mendesah karena sekarang dia diserang dari dua arah.

Bahkan klien dari Tokyo sudah membatalkan pertemuan karena mereka menganggapmu tidak stabil!” tambah pak Dharma, masih dengan nada tinggi yang sama.

Bara menyandarkan punggungnya di sofa lalu mengusap wajahnya yang penat. Sejak tadi pagi, ia sendiri sudah menerima lima panggilan dari PR perusahaan, dua dari legal team, dan puluhan pesan dari teman-teman serta kolega. Semua menanyakan satu hal, “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Dan itu pertanyaan yang bahkan belum ia tahu jawabannya.

“Nenek mau kamu menikah,” ujar nenek Bara tiba-tiba sehingga membuat Bara dan ayahnya terkejut. Pernyataan lembut namun tegas itu terdengar seperti perintah yang langsung menghantam Bara bahkan lebih keras dari bentakan sang ayah.

Pak Dharma terdiam memikirkan kata-kata sang ibu, sementara Bara langsung mendengus tak percaya, “Ini gila.”

“Menikah adalah satu-satunya cara untuk menutup skandal ini,” tegas nenek Bara. “Publik butuh distraksi. Investor butuh bukti bahwa kau bisa bertanggung jawab.”

Kali ini pak Dharma manggut-manggut setuju, “Benar. Jika kamu bisa membuktikan bahwa kamu sudah menikah dan legal, maka berita ini akan terkubur bahkan mungkin ditarik dari sosial media.”

Bara menggeleng pelan, “Aku takkan menikah demi citra perusahaan. Aku mencintai Rebbecca!” teriak Bara menolak perintah tersebut.

“Kalau begitu nikahi dia! Lalu perbaiki nama perusahaan dan keluarga. Maka dengan begitu takkan ada yang dirugikan lagi.” Suara pak Dharma tajam, tapi langsung menusuk ke hati Bara.

Suasana pun menjadi hening seketika.

Dddrrtt. Suara ponsel berdering membuyarkan Bara dari lamunan panjangnya.

“Hallo...” Bara menjawab dengan suara berat.

“Jangan ke kantor dulu. Keadaan masih tegang dan tidak memungkinkan,” kata Tama diujung sana.

Bara menghela nafas. Tak mengira semua akan terlalu rumit seperti ini.

“Apa rencanamu hari ini?” tanya Tama lagi.

“Tak ada.”

“Kalau begitu coba pertimbangkan tawaranku kemarin.”

Bara kembali menghela nafas, “Aku ingin menenangkan diri dulu,” ujarnya kemudian.

“Jangan hanya menenangkan diri. Jangan lupa mencari solusi juga.”

Tut! Bara langsung menutup teleponnya tanpa menunggu Tama selesai bicara. Ia mengacak rambutnya yang sudah acak-acakan dan kembali menatap keluar jendela. Seandainya saja kekasihnya, Rebbecca, mau diajak menikah, semua takkan menjadi serumit ini. Mereka akan menikah secepatnya, dan hidup bahagia. Tapi... Kenyataannya Becca menolak dengan alasan yang tidak masuk akal di logika Bara.

Masih teringat jelas di kepalanya, apa yang terjadi malam itu. Malam yang menjadi malam terakhir untuk hubungan mereka berdua. Setelah pertemuannya dengan sang ayah dan nenek, ia memang langsung kembali ke apartemennya. Menikmati malam bersama Becca seperti biasa dengan harapan bisa mendapatkan jalan keluar untuk masalah mereka. Apartemen itu terasa sangat sunyi dan damai. Hanya terdengar suara detak jarum jam dan kendaraan di kejauhan. Suasana yang sangat disenangi oleh Bara, karena disini dia bisa merasakan kedamaian hidup. Hanya ada dirinya dan Rebbecca.

Mereka sedang tiduran di ranjang sambil berpelukan, berbicara tentang hari itu yang cukup berat bagi Bara.

“Aku tak percaya mereka menyuruhmu menikah,” ujar Becca di dada Bara, terkekeh kecil. “Seperti drama Korea saja.”

“Ini gak lucu Bec, ini gila.”

“Lalu, apa tindakanmu selanjutnya?” tanya Becca sambil memainkan bulu dada Bara dengan jemarinya yang lentik.

“Aku ingin tahu satu hal,” Bara menatapnya, serius. “Kalau aku memintamu menikah denganku, kau mau?”

Rebbecca terdiam, lalu tertawa keras, seperti menertawakan hal paling bodoh di dunia.

“Kenapa tertawa?” tanya Bara bingung sambil beranjak duduk.

“Menikah? Oh, tidak sayang. Aku tidak mau menikah,” kata Becca di tengah gelak tawanya.

“Apa?” Dengan wajah tak percaya Bara menatap kekasihnya itu. Dia tak menyangka reaksi Becca akan seperti itu. Bukankah setiap wanita akan bahagia terharu jika diajak menikah, terutama oleh pewaris milyuner sepertinya?

Melihat wajah Bara yang shock, Becca mencium pria itu sekilas.

“Aku mencintaimu Honey. Tapi menikah? Oh tidak. Bukankah kita sudah membicarakan ini sebelumnya? Aku tidak mau terikat dalam pernikahan atau hubungan apapun diatas kertas. Itu penjara.”

Bara berdiri pelan dengan perasaan yang mulai terkoyak, “Jadi hanya ini batas cintamu padaku?” tanyanya bingung.

Dengan santai Becca duduk di sandaran ranjang dan bersendekap, “Kita pernah membicarakannya Honey. Kamu setuju saat itu. Kita takkan menikah.”

“Tapi saat itu situasinya berbeda!” teriak Bara, “Sekarang aku harus menikah. Dan wanita yang kucintai hanya kau!”

Becca memutar matanya dengan malas. Sebagai anak broken home sejak kecil, dia memang trauma dengan pernikahan karena hancurnya hubungan kedua orang tuanya. Karena itu dia sudah memutuskan untuk tak menikah. Apalagi, mengingat keluarga Bara juga selalu menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. Dia pernah bertemu ayah dan nenek Bara, keduanya bersikap dingin kepadanya. Jelas Becca merasa dirinya ditolak masuk ke keluarga konglomerat itu.

“Ayolah, apa gak ada jalan lain?” ujar Becca malas. Dia memang paling anti membahas pernikahan karena semua itu membuatnya muak. Dia bisa membayangkan bagaimana ketatnya aturan di keluarga Maheswara. Jelas tidak cocok dengan dirinya yang suka kebebasan.

Bara diam, hanya menatap Becca dengan pandangan putus asa. Melihat wajah Bara yang seakan tak memiliki pilihan lain lagi membuat Becca merasa sangat kesal. Dia tak mau menikah, apalagi dalam keadaan terpaksa seperti ini.

Ia pun berdiri dan bertanya pelan, “Jadi begini akhirnya?”

“Aku harus menikah dalam tiga hari ini. Itu perintah,” kata Bara menegaskan.

“Dan kamu tak berani melawannya? Dasar lemah!” umpat Becca marah. Dia melepas baju tidurnya dan memakai kaos serta celana panjang. Tak lupa semua pakaiannya ia kemasi ke dalam koper. Dia bukan bermaksud berpisah dengan cara seperti ini, tapi ini hanya gertakan agar Bara takut kehilangan dirinya. Becca yakin Bara akan menahannya pergi dan lebih memilih dirinya daripada keluarganya.

Tapi hingga semua pakaiannya sudah masuk ke dalam koper, Bara tetap diam tak bergeming. Tak ada permohonan agar dia tetap tinggal. Tak ada ucapan cinta. Bara diam dan hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku akan selalu mencintaimu Honey. Tapi aku takkan mengikatku dengan pernikahan, apalagi pernikahan terpaksa seperti ini,” kata Becca ringan.

Ia mendekati Bara dan menempelkan bibirnya ke bibir pria tersebut. Tapi saat menyadari Bara tak membalasnya, ia pun segera menjauhkan diri.

“Selamat tinggal.”

Becca berjalan keluar dengan langkah berat dan menyeret kopernya. Meninggalkan Bara berdiri sendirian. Dunia yang ia bangun pun mulai runtuh perlahan.

Hingga sekarang.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   53. Di Balik Sorotan Kamera

    Pagi itu, mentari tampak cerah, seolah turut menyambut langkah baru yang sedang ditempuh Rania dan Bara. Semalam mereka tidur dengan hati hangat, dan kini bangun dengan semangat yang sama. Kebahagiaan kecil yang mulai tumbuh di antara mereka.Rania mengenakan blouse putih bersih dengan celana jeans panjang dan jaket denim yang membuatnya tampak kasual tapi anggun. Rambutnya dikuncir rendah, dan ia tak memakai banyak riasan hari itu. Ia baru saja selesai berdandan dan hendak keluar kamar ketika Bara masuk sambil membawa dua cangkir kopi dan senyuman.“Kita harus ke imigrasi dulu untuk urus paspor kamu,” ucapnya sambil menyerahkan secangkir kopi hangat.Rania menyambutnya dengan senyum. “Kamu yakin mau menemaniku? Aku bisa melakukannya sendiri.”Bara duduk di sampingnya, satu tangan meraih tangannya. “Kita mau pergi bersama. Jadi semuanya juga harus dilakukan bersama.”Kata-katanya sederhana, tapi cara Bara mengatakannya dengan tenang dan penuh perhatian, membuat dada Rania hangat. Lela

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   52. Mata-mata yang Tak Terlihat

    Hari itu, Rania segera mengurus izin cutinya di sekolah seperti permintaan Bara. Ia langsung menghadap ke ruangan kepala sekolah untuk menyerahkan surat izin yang sudah ia siapkan sejak pagi, beberapa menit saat bu Dyas, sang kepala sekolah, baru tiba. Rasanya Rania sudah tak sabar menantikan momen liburan bersama Bara. Setelah sekian lama berada dalam pusaran konflik, keduanya akhirnya menemukan waktu untuk bernapas sejenak, dan menikmati hubungan mereka sebagai suami istri yang sebenarnya."Cuti?" ulang Bu Dyas sedikit terkejut, karena Rania memang guru yang jarang sekali mengambil cuti kecuali saat ada keperluan penting. Seperti saat dulu ayahnya meninggal dan saat Rania menikah.Rania mengangguk tegas. Matanya menyiratkan kebahagiaan, dan senyum ceria tak pernah sirna dari wajahnya."Bulan madu? Bukannya kalian sudah cukup lama menikah?" tanya Bu Dyas lagi."Memang Bu, tapi suami saya baru sekarang ada sedikit jadwal kosong. Kemarin-kemarin kami tidak sempat cuti karena pekerjaann

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   51. Ide Bulan Madu

    Pembicaraan Rania dan Bara berlanjut di dalam kamar. Mereka terus saling menceritakan kisah masing-masing karena banyak yang memang belum diceritakan.Dari obrolan itu, Rania akhirnya mengetahui sisi lain Bara yang belum pernah ia lihat. Bara yang lembut dan merasa takut kehilangan. Sementara Bara juga tahu sisi Rania yang kuat dan mandiri, yang cukup berbeda dari pribadi lemah yang selama ini ia lihat."Aku tak bisa membayangkan setiap malam kamu menangis sendirian di kamarmu, memikirkan tagihan-tagihan itu sendirian," kata Bara sambil memainkan ujung rambut Rania dengan jarinya.Rania terkekeh, "Jangan dibayangkan. Aku melakukannya setiap hari. Dan puncaknya, adalah saat aku dengan bodohnya berjalan ke tengah jalan saat mobilmu lewat."Bara tersenyum mengingat kejadian itu, saat pertama kali mereka bertemu, "Aku juga sedang melamun saat itu. Aku tak melihat ada lampu merah."Rania dan Bara saling menatap. Kejadian yang waktu itu terlihat menyebalkan bagi mereka, sekarang justru tamp

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   50. Masa Lalu dan Ancaman

    Lampu-lampu kota mulai meredup satu per satu dari balik jendela apartemen, meninggalkan suasana malam yang hangat dan tenang. Rania duduk bersandar di dada Bara di atas sofa ruang tengah. Sebuah film lama diputar di televisi, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar menontonnya. Tawa pelan dan obrolan santai lebih mendominasi malam itu.Bara membelai rambut Rania lembut, sementara jari-jari Rania menggenggam tangan Bara dengan erat. Senyum tersungging di wajah Rania, tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Tentang Reza. Tentang Becca. Tentang peringatan yang membuat pikirannya tak tenang seharian ini.Namun malam ini, ia memutuskan untuk tidak merusaknya dengan keraguan. Untuk pertama kalinya, Bara tampak benar-benar bersikap seperti seorang suami. Hangat, perhatian, dan bahkan... terlihat begitu terbuka."Mas," gumam Rania pelan, "boleh aku cerita sesuatu?"Bara meliriknya, menundukkan wajah agar lebih dekat. "Apa saja, Sayang."Rania tersipu malu

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   49. Permintaan Maaf

    Hari mulai siang, sekolah tempat Rania mengajar pun semakin ramai dipadati oleh para orang tua yang hendak menjemput anaknya. Reza sedang memejamkan mata, berusaha mendinginkan kepalanya ketika suara bising motor dan mobil itu bersliweran di depan mobilnya. Rasanya kepalanya hampir pecah, karena terus memikirkan kesalahan yang sudah ia lakukan pada Rania. Dia sadar dia takkan bisa terus menerus hidup seperti ini. Dia takkan bisa tenang sebelum ia meminta maaf. Walaupun mungkin Rania takkan mau memaafkannya.Ketika sekolah mulai sepi, Reza akhirnya memberanikan diri untuk turun. Ia melangkah dengan penuh tekad, mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Rania. Reaksi Rania mungkin buruk, tapi ia sudah siap dengan segala resikonya. Lebih baik Rania mencaci maki dia daripada dia terus terbebani dengan kesalahannya sendiri.Namun, ketakutannya langsung sirna ketika melihat Rania keluar dari sekolah itu. Reza menghentikan langkah, dan membeku tanpa bisa mengatakan sepatah katapun. S

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   48. Batas yang Tegas

    Bara mengangkat kepala, dan seketika senyumnya memudar. Di ambang pintu kubikelnya, berdiri Becca dengan gaun merah menyala yang mencolok dan senyum penuh goda. Aura parfumnya yang kuat langsung memenuhi area kerja Bara, mengundang beberapa pasang mata rekan kerja melirik penasaran. Terutama Tama."Baby," sapa Becca, melangkah mendekat dengan langkah anggun. "Sibuk sekali, ya?"Bara menghela napas, berusaha menjaga ketenangannya. Ia tahu betul maksud kedatangan Becca. Sejak pertemuan terakhir mereka, Bara memang sudah membatasi interaksi, hanya sesekali membalas pesan. Ia sudah bertekad untuk tidak lagi membiarkan Becca menjadi duri dalam hubungannya dengan Rania."Ada perlu apa, Becca?" tanya Bara datar, tanpa senyum.Becca terkekeh pelan, mendekatkan tubuhnya ke meja Bara. "Pulang kantor nanti, makan malam denganku, yuk? Ada tempat baru yang lucu, pasti kamu suka." Jemarinya dengan santai menyentuh tumpukan dokumen di meja Bara, seolah ingin menarik perhatiannya.Bara menarik tanga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status