Bara mengatupkan rahangnya sambil menatap kosong keluar jendela apartemennya. Benaknya mengingat kejadian dua hari yang lalu. Sebelumnya semua berjalan begitu damai dan tenang. Pekerjaan stabil, kehidupan percintaan yang lancar. Ia merasa tak ada masalah apapun sampai muncul berita itu di televisi dan media sosial.
“BREAKING NEWS! Pewaris Maheswara Group Terciduk Tinggal Serumah dengan Kekasih Bule-nya!”
Ia ingat di ruang tengah keluarga Maheswara yang luas dan mencekam, ia duduk di sofa dengan wajah tegang. Alisnya mengernyit, rahangnya mengeras. Kedua jemarinya bertautan menandakan dibalik sikap dinginnya dia sekarang sedang gelisah.
Di sofa sebelahnya, sang ayah Dharma maheswara menatap layar televisi lebar yang terpasang di dinding rumah. Sorot matanya tajam dan menghunus. Walaupun ia tak berkata apa-apa namun satu ruangan itu ikut merasakan kemarahan dari aura emosinya yang terpancar jelas.
Keduanya menonton berita yang sedang viral di televisi baru-baru ini. Bara menjadi sorotan publik, bukan karena prestasinya dalam bisnis namun karena skandalnya karena fotonya bersama sang kekasih, Rebbecca tersebar di sosial media. Dalam berita itu terpampang jelas. Bara yang pagi-pagi keluar ke balkon apartemen, hanya mengenakan kaus putih dan celana tidur. Rebbecca dengan rambut pirangnya yang acak-acakan dan pakaian tidurnya yang seksi, tertawa lepas di samping Bara sambil mengangkat gelas kopi. Tak ada yang eksplisit, tapi cukup untuk membuat publik berspekulasi bahwa mereka tinggal bersama.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya pak Dharma dengan suara berat. Ia mematikan televisi agar bisa berbincang dengan lebih serius dengan anak keduanya tersebut.
“Becca tinggal di apartemenku, so what? Aku bukan anak SMA lagi Ayah.”
“So what!?” ulang pak Dharma dengan nada tinggi. Ia menatap Bara dengan amarah yang sulit ia kendalikan lagi, ““Kau bukan orang biasa! Kau pewaris Maheswara Group! Satu langkah salah darimu bisa menghancurkan reputasi perusahaan dan keluarga!”
“Tapi aku bukan boneka kalian. Aku punya kehidupan pribadi!” bantah Bara berusaha membela diri.
“Dan kehidupan pribadi itu akhirnya kini menjadi santapan publik.” Tiba-tiba sang Nenek masuk. Ibu dari pak Dharma yang berarti nenek Bara, baru datang dan langsung memotong pembicaraan. Dia memang sengaja datang dari rumahnya yang megah dan nyaman untuk mempertanyakan tentang kebenaran skandal tersebut kepada cucunya sendiri.
“Kamu tak bisa seenaknya seperti itu, Bara. Kamu bukan anak kecil lagi, jadi kamu harus bisa menjaga nama baik keluarga kita,” lanjut sang nenek lagi. Bara mendesah karena sekarang dia diserang dari dua arah.
Bahkan klien dari Tokyo sudah membatalkan pertemuan karena mereka menganggapmu tidak stabil!” tambah pak Dharma, masih dengan nada tinggi yang sama.
Bara menyandarkan punggungnya di sofa lalu mengusap wajahnya yang penat. Sejak tadi pagi, ia sendiri sudah menerima lima panggilan dari PR perusahaan, dua dari legal team, dan puluhan pesan dari teman-teman serta kolega. Semua menanyakan satu hal, “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”
Dan itu pertanyaan yang bahkan belum ia tahu jawabannya.
“Nenek mau kamu menikah,” ujar nenek Bara tiba-tiba sehingga membuat Bara dan ayahnya terkejut. Pernyataan lembut namun tegas itu terdengar seperti perintah yang langsung menghantam Bara bahkan lebih keras dari bentakan sang ayah.
Pak Dharma terdiam memikirkan kata-kata sang ibu, sementara Bara langsung mendengus tak percaya, “Ini gila.”
“Menikah adalah satu-satunya cara untuk menutup skandal ini,” tegas nenek Bara. “Publik butuh distraksi. Investor butuh bukti bahwa kau bisa bertanggung jawab.”
Kali ini pak Dharma manggut-manggut setuju, “Benar. Jika kamu bisa membuktikan bahwa kamu sudah menikah dan legal, maka berita ini akan terkubur bahkan mungkin ditarik dari sosial media.”
Bara menggeleng pelan, “Aku takkan menikah demi citra perusahaan. Aku mencintai Rebbecca!” teriak Bara menolak perintah tersebut.
“Kalau begitu nikahi dia! Lalu perbaiki nama perusahaan dan keluarga. Maka dengan begitu takkan ada yang dirugikan lagi.” Suara pak Dharma tajam, tapi langsung menusuk ke hati Bara.
Suasana pun menjadi hening seketika.
Dddrrtt. Suara ponsel berdering membuyarkan Bara dari lamunan panjangnya.
“Hallo...” Bara menjawab dengan suara berat.
“Jangan ke kantor dulu. Keadaan masih tegang dan tidak memungkinkan,” kata Tama diujung sana.
Bara menghela nafas. Tak mengira semua akan terlalu rumit seperti ini.
“Apa rencanamu hari ini?” tanya Tama lagi.
“Tak ada.”
“Kalau begitu coba pertimbangkan tawaranku kemarin.”
Bara kembali menghela nafas, “Aku ingin menenangkan diri dulu,” ujarnya kemudian.
“Jangan hanya menenangkan diri. Jangan lupa mencari solusi juga.”
Tut! Bara langsung menutup teleponnya tanpa menunggu Tama selesai bicara. Ia mengacak rambutnya yang sudah acak-acakan dan kembali menatap keluar jendela. Seandainya saja kekasihnya, Rebbecca, mau diajak menikah, semua takkan menjadi serumit ini. Mereka akan menikah secepatnya, dan hidup bahagia. Tapi... Kenyataannya Becca menolak dengan alasan yang tidak masuk akal di logika Bara.
Masih teringat jelas di kepalanya, apa yang terjadi malam itu. Malam yang menjadi malam terakhir untuk hubungan mereka berdua. Setelah pertemuannya dengan sang ayah dan nenek, ia memang langsung kembali ke apartemennya. Menikmati malam bersama Becca seperti biasa dengan harapan bisa mendapatkan jalan keluar untuk masalah mereka. Apartemen itu terasa sangat sunyi dan damai. Hanya terdengar suara detak jarum jam dan kendaraan di kejauhan. Suasana yang sangat disenangi oleh Bara, karena disini dia bisa merasakan kedamaian hidup. Hanya ada dirinya dan Rebbecca.
Mereka sedang tiduran di ranjang sambil berpelukan, berbicara tentang hari itu yang cukup berat bagi Bara.
“Aku tak percaya mereka menyuruhmu menikah,” ujar Becca di dada Bara, terkekeh kecil. “Seperti drama Korea saja.”
“Ini gak lucu Bec, ini gila.”
“Lalu, apa tindakanmu selanjutnya?” tanya Becca sambil memainkan bulu dada Bara dengan jemarinya yang lentik.
“Aku ingin tahu satu hal,” Bara menatapnya, serius. “Kalau aku memintamu menikah denganku, kau mau?”
Rebbecca terdiam, lalu tertawa keras, seperti menertawakan hal paling bodoh di dunia.
“Kenapa tertawa?” tanya Bara bingung sambil beranjak duduk.
“Menikah? Oh, tidak sayang. Aku tidak mau menikah,” kata Becca di tengah gelak tawanya.
“Apa?” Dengan wajah tak percaya Bara menatap kekasihnya itu. Dia tak menyangka reaksi Becca akan seperti itu. Bukankah setiap wanita akan bahagia terharu jika diajak menikah, terutama oleh pewaris milyuner sepertinya?
Melihat wajah Bara yang shock, Becca mencium pria itu sekilas.
“Aku mencintaimu Honey. Tapi menikah? Oh tidak. Bukankah kita sudah membicarakan ini sebelumnya? Aku tidak mau terikat dalam pernikahan atau hubungan apapun diatas kertas. Itu penjara.”
Bara berdiri pelan dengan perasaan yang mulai terkoyak, “Jadi hanya ini batas cintamu padaku?” tanyanya bingung.
Dengan santai Becca duduk di sandaran ranjang dan bersendekap, “Kita pernah membicarakannya Honey. Kamu setuju saat itu. Kita takkan menikah.”
“Tapi saat itu situasinya berbeda!” teriak Bara, “Sekarang aku harus menikah. Dan wanita yang kucintai hanya kau!”
Becca memutar matanya dengan malas. Sebagai anak broken home sejak kecil, dia memang trauma dengan pernikahan karena hancurnya hubungan kedua orang tuanya. Karena itu dia sudah memutuskan untuk tak menikah. Apalagi, mengingat keluarga Bara juga selalu menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. Dia pernah bertemu ayah dan nenek Bara, keduanya bersikap dingin kepadanya. Jelas Becca merasa dirinya ditolak masuk ke keluarga konglomerat itu.
“Ayolah, apa gak ada jalan lain?” ujar Becca malas. Dia memang paling anti membahas pernikahan karena semua itu membuatnya muak. Dia bisa membayangkan bagaimana ketatnya aturan di keluarga Maheswara. Jelas tidak cocok dengan dirinya yang suka kebebasan.
Bara diam, hanya menatap Becca dengan pandangan putus asa. Melihat wajah Bara yang seakan tak memiliki pilihan lain lagi membuat Becca merasa sangat kesal. Dia tak mau menikah, apalagi dalam keadaan terpaksa seperti ini.
Ia pun berdiri dan bertanya pelan, “Jadi begini akhirnya?”
“Aku harus menikah dalam tiga hari ini. Itu perintah,” kata Bara menegaskan.
“Dan kamu tak berani melawannya? Dasar lemah!” umpat Becca marah. Dia melepas baju tidurnya dan memakai kaos serta celana panjang. Tak lupa semua pakaiannya ia kemasi ke dalam koper. Dia bukan bermaksud berpisah dengan cara seperti ini, tapi ini hanya gertakan agar Bara takut kehilangan dirinya. Becca yakin Bara akan menahannya pergi dan lebih memilih dirinya daripada keluarganya.
Tapi hingga semua pakaiannya sudah masuk ke dalam koper, Bara tetap diam tak bergeming. Tak ada permohonan agar dia tetap tinggal. Tak ada ucapan cinta. Bara diam dan hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku akan selalu mencintaimu Honey. Tapi aku takkan mengikatku dengan pernikahan, apalagi pernikahan terpaksa seperti ini,” kata Becca ringan.
Ia mendekati Bara dan menempelkan bibirnya ke bibir pria tersebut. Tapi saat menyadari Bara tak membalasnya, ia pun segera menjauhkan diri.
“Selamat tinggal.”
Becca berjalan keluar dengan langkah berat dan menyeret kopernya. Meninggalkan Bara berdiri sendirian. Dunia yang ia bangun pun mulai runtuh perlahan.
Hingga sekarang.
***
Mobil Lamorghini hitam itu meluncur perlahan di jalanan mewah di salah satu sudut kota Jakarta. Rania duduk diam di kursi penumpang, menatap keluar jendela sambil menahan napas. Ini gila. Ini semua terlalu cepat. Batinnya.Baru dua hari sejak mereka bertemu, dan sekarang Bara membawanya ke rumah keluarganya. Bara Maheswara! Salah satu orang terkaya di negara ini, bahkan keluarganya termasuk salah satu yang terkaya di Asia. Lucunya, dia baru mengetahuinya kemarin. Bodoh, bagaimana dia bisa tak mengenali pria tersebut? Dia memang merasa wajahnya tak begitu asing, tapi siapa yang sangka bukan? Siapa yang mengira mereka akan bertemu dengan cara seperti ini."Tenang aja," suara Bara memecah keheningan. "Mereka nggak sekejam yang kamu bayangkan."“Hah!?” Rania melongo, tapi sedetik kemudian dia mengerti apa yang dibicarakan Bara. Bara tentu menyangka Rania sedang gelisah karena hendak bertemu dengan keluarga Maheswara. Dan itu memang benar. Rania gelisah dan tak percaya, bahwa setelah ini h
Pagi itu, Rania bangun dengan tekad baru. Ia memantapkan hati untuk mengajar seperti biasa. Dunia mungkin tengah runtuh di sekelilingnya, tapi di hadapan anak-anak, ia harus tetap tersenyum. Itu adalah satu-satunya hal yang masih bisa ia kendalikan dalam hidup yang kini seperti perahu bocor di tengah badai.Setelah membuat sarapan sederhana untuk Reyhan, sepotong roti dan segelas susu, Rania merapikan pakaian kerjanya. Kemeja biru pudar dan rok hitam satu-satunya yang masih layak pakai."Reyhan, jangan lupa kunci pintu kalau kamu berangkat sekolah, ya," katanya sambil tersenyum ke arah adiknya yang sedang makan. Reyhan mengangguk patuh. Wajah remaja itu masih penuh kecemasan, membuat hati Rania terasa teriris.Ia menarik napas dalam-dalam, menyiapkan dirinya untuk satu hari panjang lagi. Tapi saat ia membuka pintu depan, niatnya langsung runtuh seketika.Dua pria berdiri di ambang rumah. Bukan pria biasa. Tubuh mereka besar, wajah keras seperti batu, dan mata penuh niat jahat. Keduany
Bara mengatupkan rahangnya sambil menatap kosong keluar jendela apartemennya. Benaknya mengingat kejadian dua hari yang lalu. Sebelumnya semua berjalan begitu damai dan tenang. Pekerjaan stabil, kehidupan percintaan yang lancar. Ia merasa tak ada masalah apapun sampai muncul berita itu di televisi dan media sosial.“BREAKING NEWS! Pewaris Maheswara Group Terciduk Tinggal Serumah dengan Kekasih Bule-nya!”Ia ingat di ruang tengah keluarga Maheswara yang luas dan mencekam, ia duduk di sofa dengan wajah tegang. Alisnya mengernyit, rahangnya mengeras. Kedua jemarinya bertautan menandakan dibalik sikap dinginnya dia sekarang sedang gelisah.Di sofa sebelahnya, sang ayah Dharma maheswara menatap layar televisi lebar yang terpasang di dinding rumah. Sorot matanya tajam dan menghunus. Walaupun ia tak berkata apa-apa namun satu ruangan itu ikut merasakan kemarahan dari aura emosinya yang terpancar jelas.Keduanya menonton berita yang sedang viral di televisi baru-baru ini. Bara menjadi sorotan
Aroma antiseptik menusuk hidung Rania dan membuatnya tersadar. Rania perlahan membuka mata dan yang pertama dilihatnya adalah langit-langit rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seluruh tubuhnya terasa sangat sakit setiap kali ia bergerak.Ada alat infus di tangan kirinya. Ada perban membalut keningnya. Dan ada sosok seseorang duduk di kursi di sebelah ranjang!Pria itu. Rania melihatnya samar-samar. Wajah tajam, rahang tegas, pakaian rapi, kontras sekali dengan dirinya yang terbaring lemah dengan pakaian rumah sakit."Kami minta maaf," suara pria itu serak, nyaris seperti bisikan. "Kami tidak sengaja."Rania menatapnya tanpa berkata apa-apa. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Kecelakaan. Ya, dia baru saja mengalami kecelakaan!Pria itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, tampak frustrasi,"Namaku Tama," katanya,"Temanku, Bara, tak sengaja menabrakmu, tapi kami akan bertanggung jawab."Rania berkedip pelan. Bertanggung jawab? Oh. Ini pasti soal biaya
Langit sore menggelayut manja. Rania melangkah kecil di jalan setapak menuju rumahnya dengan hati gembira. Seharian ini dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Mengajar anak-anak TK, menyanyikan lagu “pelangi-pelangi”, dan mengikat rambut salah satu siswinya yang cengeng. Dan yang paling menyenangkan, ia juga mendapatkan honor seadanya dari sang kepala sekolah untuk bulan ini. Dalam benaknya ia sudah membayangkan akan membeli satu ekor ayam goreng untuk dimakan bersama ayah dan adiknya nanti malam.Sebagai seorang guru TK, Rania memang membantu ayahnya mencari nafkah untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang buruh bangunan, tentu akan merasa bebannya sedikit teringankan berkat adanya gaji dari Rania. Mereka memang tinggal bertiga. Rania, sang ayah, dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA, Reyhan. Mereka hidup serba sederhana dan bercukupan. Tapi semua terasa bahagia bagi mereka.Namun, hari itu ada yang berbeda. Saat Rania membuka pintu rumahnya ada