Share

2. Tawaran yang Aneh

Author: Sandra Dhee
last update Last Updated: 2025-04-28 09:12:23

Aroma antiseptik menusuk hidung Rania dan membuatnya tersadar. Rania perlahan membuka mata dan yang pertama dilihatnya adalah langit-langit rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seluruh tubuhnya terasa sangat sakit setiap kali ia bergerak.

Ada alat infus di tangan kirinya. Ada perban membalut keningnya. Dan  ada sosok seseorang duduk di kursi di sebelah ranjang!

Pria itu. Rania melihatnya samar-samar. Wajah tajam, rahang tegas, pakaian rapi, kontras sekali dengan dirinya yang terbaring lemah dengan pakaian rumah sakit.

"Kami minta maaf," suara pria itu serak, nyaris seperti bisikan. "Kami tidak sengaja."

Rania menatapnya tanpa berkata apa-apa. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Kecelakaan. Ya, dia baru saja mengalami kecelakaan!

Pria itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, tampak frustrasi,"Namaku Tama," katanya,"Temanku, Bara, tak sengaja menabrakmu, tapi kami akan bertanggung jawab."

Rania berkedip pelan. Bertanggung jawab? Oh. Ini pasti soal biaya rumah sakit. Batinnya mengerti.

Tiba-tiba seorang pria masuk dan berdiri tepat di samping pria bernama Tama. Rania menebak pasti pria ini yang bernama Bara. Pria ini sama tampannya dengan pria bernama Tama itu, bahkan lebih tampan. Seakan lebih berwibawa dan memiliki kharisma. Namun anehnya wajah pria ini seakan tak asing. Walaupun Rania yakin mereka belum pernah bertemu dan mengenal sebelumnya, tapi ia merasa wajah pria itu familiar di ingatannya.

“Dia sudah sadar? Bagaimana keadaannya?” tanya Bara kepada Tama.

“Sepertinya dia masih shock,” kata Tama berbisik namun cukup keras untuk di dengar Rania.

“Sepertinya begitu, karena dia terlihat linglung.”

“Maaf, linglung apa maksudnya?” protes Rania tak terima. Kedua pria itu terkejut. “Enak saja kalian bilang aku linglung setelah menabrakku!”

“Maafkan aku, aku tak bermaksud...” Belum selesai Tama meminta maaf, Rania sudah kembali memotong dengan bentakan.

"Kamu sendiri kenapa bisa nabrak aku?! Itu kan lampu merah, bodoh!"

Bara tampak kaget  melihat reaksi Raina, tapi dia berusaha menahan emosinya, “Aku tahu. Aku salah. Aku nggak lihat kamu menyeberang. Aku sibuk..." Ia terhenti, menggertakkan rahangnya. "Pokoknya, aku minta maaf. Aku akan tanggung jawab."

"Tanggung jawab?!" Rania tertawa getir. Suaranya parau, sinis. "Apa? Kasih aku uang lalu pergi? Atau sekadar kirim bunga ke makamku kalau aku mati!?"

Bara mengepalkan tangannya di samping badan, tapi Tama memeganginya agar ia bisa menahan diri. "Aku sudah bilang, kami akan urus semua biaya pengobatanmu," kata Tama melerai.

Rania mendengus pelan, air matanya mendesak keluar. "Kamu pikir semua ini soal uang? Kamu pikir hidupku bakal baik-baik saja cuma karena kamu bayar rumah sakit?" Kali ini suaranya pecah, emosinya meledak, tapi ia tidak peduli. Sebenarnya ini bukanlah keinginan Rania. Menangis di hadapan orang asing tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Tapi ia sudah tak bisa menahannya lagi. Semua rasa sesak, lelah, marah, dan ketakutan yang selama ini ia tahan, meledak begitu saja.

"Kalau rumahku disita, kamu mau gantiin? Kalau adikku terlantar, kamu mau urus dia? Bagaimana kalau aku dipecat!?" suaranya bergetar. "Aku ini... aku ini udah di ujung tanduk! Semua akan habis tak tersisa!"

Kedua pria itu saling pandang, terpaku dengan wajah bingung. Ada kesedihan dalam suara gadis itu yang tak bisa mereka abaikan. Mereka sadar jika gadis yang mereka tabrak ini sedang dalam keadaan tertekan.

"Rumah disita?" tanya Tama perlahan.

Rania menghapus air matanya dengan kasar. "Ayahku meninggal sebulan lalu. Dia ninggalin hutang banyak. Kalau aku nggak bisa bayar, rumah satu-satunya yang aku punya bakal disita. Aku... aku nggak tahu harus gimana lagi."

Suasana ruangan menjadi sunyi. Bara menarik nafas panjang, tak mengira akan tersaji drama kesedihan di depannya. Sementara Tama malah terdiam sambil menimbang sesuatu yang teramat gila.

“Kalau begitu kalian menikah saja!” cetus Tama.

“Apa!?” Rania dan Bara membelalak bersamaan.

Tama sontak mengangkat tangan, cepat-cepat menambahkan, "Bukan sungguhan. Maksudku pernikahan kontrak. Hanya untuk formalitas. Kami bisa bantu kamu secara hukum. Rumahmu aman. Kami akan melunasi semua hutangmu."

Rania menatap Tama seolah ia gila. "Kamu ini sinting?! Aku bahkan nggak kenal kalian!"

"Aku juga nggak kenal kamu!" Bara membalas cepat. Rania menoleh ke arahnya dengan mata menyipit. “Kamu kira aku akan percaya drama tak jelas ini? Dasar tukang tipu,” lanjut Bara kemudian.

“Apa kamu bilang!?”

“Tunggu, tunggu!” Lagi-lagi Tama melerai sebelum terjadi baku hantam di hadapannya. Ia berdiri dan mendorong Bara menjauh seraya berbisik di telinga Bara, “Ini takkan merugikanmu. Hanya pernikahan di atas kertas saja. Lihatlah dia. Dia cukup cantik untuk jadi istri seorang Bara Maheswara bukan?”

Bara terdiam sambil menatap Rania yang cemberut di atas ranjang. Tidak. Dia tak mungkin menikahi gadis aneh yang tak ia kenal. Bagaimana jika cerita tentang hutangnya itu bohong? Bagaimana jika gadis ini hanya tukang peras berparas cantik yang memang modusnya berjalan di tengah jalan agar ditabrak milyuner yang sedang lewat?

“Dengar ya Om!” teriak Rania memanggil, meski kepalanya berdenyut karena teriakannya sendiri. "Tidak. Nggak mungkin. Aku nggak mau jual diriku!"

"Aku juga nggak mau menikah," Bara mendesis. "Percaya deh, menikah sama orang asing bukan hal yang ada di daftar hidupku."

Mereka saling menatap tajam. Dua orang asing yang dunia paksa bertemu dalam satu badai masalah. Beberapa detik yang lalu, mereka adalah korban dan pelaku kecelakaan. Tapi sekarang, mereka jadi dua manusia putus asa yang berdebat soal pernikahan pura-pura.

Rania akhirnya memalingkan wajah, menatap jendela rumah sakit yang basah oleh rintik hujan.

"Aku lebih baik mati kelaparan daripada nikah karena hutang," bisiknya getir.

Bara mendengus pelan. "Dan aku lebih baik dicoret dari pewaris daripada nikah buat nutup skandal."

Rania meliriknya, bingung. "Skandal? Skandal apa?"

Bara mengatupkan rahangnya, tidak menjawab. Tampaknya gadis ini bukan hanya aneh, tapi juga kuper. Masa dia tak melihat berita yang sedang viral sekarang? Padahal wajah Bara lumayan sering riwa-riwi di sosial media maupun layar kaca. Tapi, sepertinya ini sesuatu yang menguntungkannya karena berarti gadis ini tidak mengenalnya sebagai seorang milyarder.

***

Karena keadaannya sudah baik-baik saja, Rania pun langsung diperbolehkan pulang hari itu juga. Hari sudah sore ketika Tama dan Bara mengantar Rania pulang. Sebenarnya gadis itu menolak mentah-mentah, bahkan sempat berpikiran negatif ia mungkin akan diculik dan sebagainya. Tapi Bara dengan tegasnya membentak dan memaksanya ikut.

“Memangnya apa untungnya menculikmu? Kamu sendiri bilang kamu gak punya apa-apa kan?”

Akhirnya Rania pun menyerah, membiarkan dua pria parlente itu mengantarnya.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumahnya, Rania lebih banyak diam. Hanya sesekali ia bicara, itu juga karena menjawab pertanyaan Tama tentang arah rumahnya. Selebihnya, ia lebih suka melamun menatap keluar jendela. Melihat kendaraan yang lalu lalang sambil berpikir, dunia bergerak begitu cepat di sekelilingnya sementara dia masih tetap seperti ini saja. Hutangnya tak kunjung lunas, bahkan sudah hampir jatuh tempo. Mengapa hidup orang lain tampak lebih menyenangkan darinya? Bisa punya mobil Lamborghini mewah, sementara dia masih naik bus kemana-mana.

“Ini kartu namaku. Hubungi aku kalau ada apa-apa,” kata Tama ketika Rania turun. Tama mengantar Rania hingga pintu rumahnya sementara Bara tetap berada di dalam mobil. Rania mendengus melihat pria arogan itu. Sangat tidak sopan sekali, batinnya.

“Terima kasih, Pak Tama,” ucap Rania ragu.

“Tama saja. Jangan terlalu formal. Aku hari ini hanya salah kostum,” ralat Tama sambil menunjukkan penampilannya yang sangat rapi dengan jas mahal. Rania tersenyum. Senyum pertama yang terlontar hari ini.

“Oh iya satu lagi.” Tama menambahkan, “Jangan lupa pertimbangkan tawaranku tadi.”

“Hah!?” Rania membuka mulutnya hendak protes, tapi Tama langsung memotongnya.

“Pertimbangkan saja. Kamu boleh mengajukan syarat apapun. Hanya menikah kontrak di atas kertas, jadi takkan ada yang dirugikan.”

Rania tertegun. Syarat apapun? Benarkah?

Namun sebelum Rania melontarkan pertanyaan, Tama sudah berbalik pergi menuju mobil. Rania pun mengurungkan niatnya untuk bertanya. Dia tak mau tampak berharap dan bahagia dengan tawaran itu.

Enak saja. Aku gak semurah itu ya? Dengusnya sebelum masuk ke dalam rumah.

“Kamu gila ya!?” maki Bara ketika Tama masuk ke dalam mobil. Sejak dari Rumah Sakit memang Tama lah yang menyetir, karena Tama tak mau Bara memakan korban untuk yang kedua kalinya.

“Apa salahku?” Tama mengangkat tangannya dengan bingung.

“Menikah? Sungguh ide brillian,” sindir Bara kesal. Tama terkekeh.

“Aku cerdas kan?”

“Gila! Mana mungkin aku menikah dengan gadis yang baru kutemui. Aku bahkan tak tahu siapa namanya dan apa pekerjaannya. Jangan-jangan dia memang penipu seperti yang kupikirkan,” omel Bara tak percaya.

“Penipu apa? Menurutku dia jujur kok. Dari sorot matanya dia tampak benar-benar tertekan dan terhimpit masalah.”

“Itulah kelemahanmu. Kamu mudah percaya dengan sorot mata gadis cantik.”

Tama menjentikkan jarinya dengan senang seakan menang lotre, “Tuh kan? Aku benar. Dia memang cantik!”

Bara diam, sadar jika dia masuk ke jebakan asistennya itu. Dia pun tak meneruskan perdebatannya dan memilih melempar pandangan keluar jendela kaca mobil. Semua ini gara-gara ultimatum ngawur dari sang ayah. Kalau saja tidak ada perintah untuk menikah, mungkin ia masih hidup dengan tenang dan damai bersama Rebbecca seperti sebelumnya.

“Ngomong-ngomong, kamu memangnya tak mau menikah?” tanya Tama sambil fokus menyetir mobil menuju apartemen Bara.

“Hmmm...” Bara hanya menggumam. Sebagai seorang pria yang sudah memasuki usia 35 tahun, dia memang pernah memiliki keinginan untuk menikah. Ia ingin memiliki keluarga kecil yang bahagia, dan memiliki dua orang anak. Ia sudah beberapa kali mengutarakan keinginannya itu pada sang kekasih, Rebbecca. Tapi Becca selalu menolak dengan alasan yang sama. Sejak itulah Bara membuang jauh-jauh keinginannya tersebut. Ia pikir, bisa hidup bersama Becca sudah cukup untuk sekarang.

“Aku saja pengen menikah,” kata Tama kemudian.

“Kalau begitu kamu saja yang menikahi gadis tadi,” sahut Bara. Tama terkekeh.

“Kalau dia mau sih gak apa-apa,” balas Tama ringan sehingga membuat Bara melirik ke arah sahabatnya itu dengan wajah tekejut, “Tapi sayangnya bukan aku yang terkena skandal,” lanjut Tama kemudian.

Bara membuang muka mendengarnya.

“Bukan aku juga yang akan dicoret dari struktur pewaris keluarga Maheswara,” tambah Tama lagi memancing emosi Bara.

“Teruskan saja gak apa-apa, sedetik lagi aku akan membuat kepalamu menyatu dengan setir itu,” ancam Bara tanpa ekspresi. Tama tertawa terbahak-bahak, merasa menang karena godaannya sukses.

“Aku serius Bara. Gadis itu cukup cantik dan menarik. Sepertinya dia juga gadis baik-baik. Mengapa kamu tak mencoba mempertimbangkan tawaranku. Ajak dia ke hadapan keluargamu, siapa tahu dia diterima dengan baik,” kata Tama panjang lebar. Bara hanya diam mendengarkan.

“Dan yang terpenting, hanya dia satu-satunya gadis yang punya alasan tepat untuk menikah kontrak denganmu. Dalam tiga hari ini.”

Bara semakin termenung, mulai mempertimbangkan.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   5. Pernikahan Kontrak

    Mobil Lamorghini hitam itu meluncur perlahan di jalanan mewah di salah satu sudut kota Jakarta. Rania duduk diam di kursi penumpang, menatap keluar jendela sambil menahan napas. Ini gila. Ini semua terlalu cepat. Batinnya.Baru dua hari sejak mereka bertemu, dan sekarang Bara membawanya ke rumah keluarganya. Bara Maheswara! Salah satu orang terkaya di negara ini, bahkan keluarganya termasuk salah satu yang terkaya di Asia. Lucunya, dia baru mengetahuinya kemarin. Bodoh, bagaimana dia bisa tak mengenali pria tersebut? Dia memang merasa wajahnya tak begitu asing, tapi siapa yang sangka bukan? Siapa yang mengira mereka akan bertemu dengan cara seperti ini."Tenang aja," suara Bara memecah keheningan. "Mereka nggak sekejam yang kamu bayangkan."“Hah!?” Rania melongo, tapi sedetik kemudian dia mengerti apa yang dibicarakan Bara. Bara tentu menyangka Rania sedang gelisah karena hendak bertemu dengan keluarga Maheswara. Dan itu memang benar. Rania gelisah dan tak percaya, bahwa setelah ini h

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   4. Perjanjian

    Pagi itu, Rania bangun dengan tekad baru. Ia memantapkan hati untuk mengajar seperti biasa. Dunia mungkin tengah runtuh di sekelilingnya, tapi di hadapan anak-anak, ia harus tetap tersenyum. Itu adalah satu-satunya hal yang masih bisa ia kendalikan dalam hidup yang kini seperti perahu bocor di tengah badai.Setelah membuat sarapan sederhana untuk Reyhan, sepotong roti dan segelas susu, Rania merapikan pakaian kerjanya. Kemeja biru pudar dan rok hitam satu-satunya yang masih layak pakai."Reyhan, jangan lupa kunci pintu kalau kamu berangkat sekolah, ya," katanya sambil tersenyum ke arah adiknya yang sedang makan. Reyhan mengangguk patuh. Wajah remaja itu masih penuh kecemasan, membuat hati Rania terasa teriris.Ia menarik napas dalam-dalam, menyiapkan dirinya untuk satu hari panjang lagi. Tapi saat ia membuka pintu depan, niatnya langsung runtuh seketika.Dua pria berdiri di ambang rumah. Bukan pria biasa. Tubuh mereka besar, wajah keras seperti batu, dan mata penuh niat jahat. Keduany

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   3. Skandal Sang Pewaris

    Bara mengatupkan rahangnya sambil menatap kosong keluar jendela apartemennya. Benaknya mengingat kejadian dua hari yang lalu. Sebelumnya semua berjalan begitu damai dan tenang. Pekerjaan stabil, kehidupan percintaan yang lancar. Ia merasa tak ada masalah apapun sampai muncul berita itu di televisi dan media sosial.“BREAKING NEWS! Pewaris Maheswara Group Terciduk Tinggal Serumah dengan Kekasih Bule-nya!”Ia ingat di ruang tengah keluarga Maheswara yang luas dan mencekam, ia duduk di sofa dengan wajah tegang. Alisnya mengernyit, rahangnya mengeras. Kedua jemarinya bertautan menandakan dibalik sikap dinginnya dia sekarang sedang gelisah.Di sofa sebelahnya, sang ayah Dharma maheswara menatap layar televisi lebar yang terpasang di dinding rumah. Sorot matanya tajam dan menghunus. Walaupun ia tak berkata apa-apa namun satu ruangan itu ikut merasakan kemarahan dari aura emosinya yang terpancar jelas.Keduanya menonton berita yang sedang viral di televisi baru-baru ini. Bara menjadi sorotan

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   2. Tawaran yang Aneh

    Aroma antiseptik menusuk hidung Rania dan membuatnya tersadar. Rania perlahan membuka mata dan yang pertama dilihatnya adalah langit-langit rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seluruh tubuhnya terasa sangat sakit setiap kali ia bergerak.Ada alat infus di tangan kirinya. Ada perban membalut keningnya. Dan ada sosok seseorang duduk di kursi di sebelah ranjang!Pria itu. Rania melihatnya samar-samar. Wajah tajam, rahang tegas, pakaian rapi, kontras sekali dengan dirinya yang terbaring lemah dengan pakaian rumah sakit."Kami minta maaf," suara pria itu serak, nyaris seperti bisikan. "Kami tidak sengaja."Rania menatapnya tanpa berkata apa-apa. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Kecelakaan. Ya, dia baru saja mengalami kecelakaan!Pria itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, tampak frustrasi,"Namaku Tama," katanya,"Temanku, Bara, tak sengaja menabrakmu, tapi kami akan bertanggung jawab."Rania berkedip pelan. Bertanggung jawab? Oh. Ini pasti soal biaya

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   1. Dunia Runtuh

    Langit sore menggelayut manja. Rania melangkah kecil di jalan setapak menuju rumahnya dengan hati gembira. Seharian ini dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Mengajar anak-anak TK, menyanyikan lagu “pelangi-pelangi”, dan mengikat rambut salah satu siswinya yang cengeng. Dan yang paling menyenangkan, ia juga mendapatkan honor seadanya dari sang kepala sekolah untuk bulan ini. Dalam benaknya ia sudah membayangkan akan membeli satu ekor ayam goreng untuk dimakan bersama ayah dan adiknya nanti malam.Sebagai seorang guru TK, Rania memang membantu ayahnya mencari nafkah untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang buruh bangunan, tentu akan merasa bebannya sedikit teringankan berkat adanya gaji dari Rania. Mereka memang tinggal bertiga. Rania, sang ayah, dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA, Reyhan. Mereka hidup serba sederhana dan bercukupan. Tapi semua terasa bahagia bagi mereka.Namun, hari itu ada yang berbeda. Saat Rania membuka pintu rumahnya ada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status