Aroma antiseptik menusuk hidung Rania dan membuatnya tersadar. Rania perlahan membuka mata dan yang pertama dilihatnya adalah langit-langit rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seluruh tubuhnya terasa sangat sakit setiap kali ia bergerak.
Ada alat infus di tangan kirinya. Ada perban membalut keningnya. Dan ada sosok seseorang duduk di kursi di sebelah ranjang!
Pria itu. Rania melihatnya samar-samar. Wajah tajam, rahang tegas, pakaian rapi, kontras sekali dengan dirinya yang terbaring lemah dengan pakaian rumah sakit.
"Kami minta maaf," suara pria itu serak, nyaris seperti bisikan. "Kami tidak sengaja."
Rania menatapnya tanpa berkata apa-apa. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Kecelakaan. Ya, dia baru saja mengalami kecelakaan!
Pria itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, tampak frustrasi,"Namaku Tama," katanya,"Temanku, Bara, tak sengaja menabrakmu, tapi kami akan bertanggung jawab."
Rania berkedip pelan. Bertanggung jawab? Oh. Ini pasti soal biaya rumah sakit. Batinnya mengerti.
Tiba-tiba seorang pria masuk dan berdiri tepat di samping pria bernama Tama. Rania menebak pasti pria ini yang bernama Bara. Pria ini sama tampannya dengan pria bernama Tama itu, bahkan lebih tampan. Seakan lebih berwibawa dan memiliki kharisma. Namun anehnya wajah pria ini seakan tak asing. Walaupun Rania yakin mereka belum pernah bertemu dan mengenal sebelumnya, tapi ia merasa wajah pria itu familiar di ingatannya.
“Dia sudah sadar? Bagaimana keadaannya?” tanya Bara kepada Tama.
“Sepertinya dia masih shock,” kata Tama berbisik namun cukup keras untuk di dengar Rania.
“Sepertinya begitu, karena dia terlihat linglung.”
“Maaf, linglung apa maksudnya?” protes Rania tak terima. Kedua pria itu terkejut. “Enak saja kalian bilang aku linglung setelah menabrakku!”
“Maafkan aku, aku tak bermaksud...” Belum selesai Tama meminta maaf, Rania sudah kembali memotong dengan bentakan.
"Kamu sendiri kenapa bisa nabrak aku?! Itu kan lampu merah, bodoh!"
Bara tampak kaget melihat reaksi Raina, tapi dia berusaha menahan emosinya, “Aku tahu. Aku salah. Aku nggak lihat kamu menyeberang. Aku sibuk..." Ia terhenti, menggertakkan rahangnya. "Pokoknya, aku minta maaf. Aku akan tanggung jawab."
"Tanggung jawab?!" Rania tertawa getir. Suaranya parau, sinis. "Apa? Kasih aku uang lalu pergi? Atau sekadar kirim bunga ke makamku kalau aku mati!?"
Bara mengepalkan tangannya di samping badan, tapi Tama memeganginya agar ia bisa menahan diri. "Aku sudah bilang, kami akan urus semua biaya pengobatanmu," kata Tama melerai.
Rania mendengus pelan, air matanya mendesak keluar. "Kamu pikir semua ini soal uang? Kamu pikir hidupku bakal baik-baik saja cuma karena kamu bayar rumah sakit?" Kali ini suaranya pecah, emosinya meledak, tapi ia tidak peduli. Sebenarnya ini bukanlah keinginan Rania. Menangis di hadapan orang asing tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Tapi ia sudah tak bisa menahannya lagi. Semua rasa sesak, lelah, marah, dan ketakutan yang selama ini ia tahan, meledak begitu saja.
"Kalau rumahku disita, kamu mau gantiin? Kalau adikku terlantar, kamu mau urus dia? Bagaimana kalau aku dipecat!?" suaranya bergetar. "Aku ini... aku ini udah di ujung tanduk! Semua akan habis tak tersisa!"
Kedua pria itu saling pandang, terpaku dengan wajah bingung. Ada kesedihan dalam suara gadis itu yang tak bisa mereka abaikan. Mereka sadar jika gadis yang mereka tabrak ini sedang dalam keadaan tertekan.
"Rumah disita?" tanya Tama perlahan.
Rania menghapus air matanya dengan kasar. "Ayahku meninggal sebulan lalu. Dia ninggalin hutang banyak. Kalau aku nggak bisa bayar, rumah satu-satunya yang aku punya bakal disita. Aku... aku nggak tahu harus gimana lagi."
Suasana ruangan menjadi sunyi. Bara menarik nafas panjang, tak mengira akan tersaji drama kesedihan di depannya. Sementara Tama malah terdiam sambil menimbang sesuatu yang teramat gila.
“Kalau begitu kalian menikah saja!” cetus Tama.
“Apa!?” Rania dan Bara membelalak bersamaan.
Tama sontak mengangkat tangan, cepat-cepat menambahkan, "Bukan sungguhan. Maksudku pernikahan kontrak. Hanya untuk formalitas. Kami bisa bantu kamu secara hukum. Rumahmu aman. Kami akan melunasi semua hutangmu."
Rania menatap Tama seolah ia gila. "Kamu ini sinting?! Aku bahkan nggak kenal kalian!"
"Aku juga nggak kenal kamu!" Bara membalas cepat. Rania menoleh ke arahnya dengan mata menyipit. “Kamu kira aku akan percaya drama tak jelas ini? Dasar tukang tipu,” lanjut Bara kemudian.
“Apa kamu bilang!?”
“Tunggu, tunggu!” Lagi-lagi Tama melerai sebelum terjadi baku hantam di hadapannya. Ia berdiri dan mendorong Bara menjauh seraya berbisik di telinga Bara, “Ini takkan merugikanmu. Hanya pernikahan di atas kertas saja. Lihatlah dia. Dia cukup cantik untuk jadi istri seorang Bara Maheswara bukan?”
Bara terdiam sambil menatap Rania yang cemberut di atas ranjang. Tidak. Dia tak mungkin menikahi gadis aneh yang tak ia kenal. Bagaimana jika cerita tentang hutangnya itu bohong? Bagaimana jika gadis ini hanya tukang peras berparas cantik yang memang modusnya berjalan di tengah jalan agar ditabrak milyuner yang sedang lewat?
“Dengar ya Om!” teriak Rania memanggil, meski kepalanya berdenyut karena teriakannya sendiri. "Tidak. Nggak mungkin. Aku nggak mau jual diriku!"
"Aku juga nggak mau menikah," Bara mendesis. "Percaya deh, menikah sama orang asing bukan hal yang ada di daftar hidupku."
Mereka saling menatap tajam. Dua orang asing yang dunia paksa bertemu dalam satu badai masalah. Beberapa detik yang lalu, mereka adalah korban dan pelaku kecelakaan. Tapi sekarang, mereka jadi dua manusia putus asa yang berdebat soal pernikahan pura-pura.
Rania akhirnya memalingkan wajah, menatap jendela rumah sakit yang basah oleh rintik hujan.
"Aku lebih baik mati kelaparan daripada nikah karena hutang," bisiknya getir.
Bara mendengus pelan. "Dan aku lebih baik dicoret dari pewaris daripada nikah buat nutup skandal."
Rania meliriknya, bingung. "Skandal? Skandal apa?"
Bara mengatupkan rahangnya, tidak menjawab. Tampaknya gadis ini bukan hanya aneh, tapi juga kuper. Masa dia tak melihat berita yang sedang viral sekarang? Padahal wajah Bara lumayan sering riwa-riwi di sosial media maupun layar kaca. Tapi, sepertinya ini sesuatu yang menguntungkannya karena berarti gadis ini tidak mengenalnya sebagai seorang milyarder.
***
Karena keadaannya sudah baik-baik saja, Rania pun langsung diperbolehkan pulang hari itu juga. Hari sudah sore ketika Tama dan Bara mengantar Rania pulang. Sebenarnya gadis itu menolak mentah-mentah, bahkan sempat berpikiran negatif ia mungkin akan diculik dan sebagainya. Tapi Bara dengan tegasnya membentak dan memaksanya ikut.
“Memangnya apa untungnya menculikmu? Kamu sendiri bilang kamu gak punya apa-apa kan?”
Akhirnya Rania pun menyerah, membiarkan dua pria parlente itu mengantarnya.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumahnya, Rania lebih banyak diam. Hanya sesekali ia bicara, itu juga karena menjawab pertanyaan Tama tentang arah rumahnya. Selebihnya, ia lebih suka melamun menatap keluar jendela. Melihat kendaraan yang lalu lalang sambil berpikir, dunia bergerak begitu cepat di sekelilingnya sementara dia masih tetap seperti ini saja. Hutangnya tak kunjung lunas, bahkan sudah hampir jatuh tempo. Mengapa hidup orang lain tampak lebih menyenangkan darinya? Bisa punya mobil Lamborghini mewah, sementara dia masih naik bus kemana-mana.
“Ini kartu namaku. Hubungi aku kalau ada apa-apa,” kata Tama ketika Rania turun. Tama mengantar Rania hingga pintu rumahnya sementara Bara tetap berada di dalam mobil. Rania mendengus melihat pria arogan itu. Sangat tidak sopan sekali, batinnya.
“Terima kasih, Pak Tama,” ucap Rania ragu.
“Tama saja. Jangan terlalu formal. Aku hari ini hanya salah kostum,” ralat Tama sambil menunjukkan penampilannya yang sangat rapi dengan jas mahal. Rania tersenyum. Senyum pertama yang terlontar hari ini.
“Oh iya satu lagi.” Tama menambahkan, “Jangan lupa pertimbangkan tawaranku tadi.”
“Hah!?” Rania membuka mulutnya hendak protes, tapi Tama langsung memotongnya.
“Pertimbangkan saja. Kamu boleh mengajukan syarat apapun. Hanya menikah kontrak di atas kertas, jadi takkan ada yang dirugikan.”
Rania tertegun. Syarat apapun? Benarkah?
Namun sebelum Rania melontarkan pertanyaan, Tama sudah berbalik pergi menuju mobil. Rania pun mengurungkan niatnya untuk bertanya. Dia tak mau tampak berharap dan bahagia dengan tawaran itu.
Enak saja. Aku gak semurah itu ya? Dengusnya sebelum masuk ke dalam rumah.
“Kamu gila ya!?” maki Bara ketika Tama masuk ke dalam mobil. Sejak dari Rumah Sakit memang Tama lah yang menyetir, karena Tama tak mau Bara memakan korban untuk yang kedua kalinya.
“Apa salahku?” Tama mengangkat tangannya dengan bingung.
“Menikah? Sungguh ide brillian,” sindir Bara kesal. Tama terkekeh.
“Aku cerdas kan?”
“Gila! Mana mungkin aku menikah dengan gadis yang baru kutemui. Aku bahkan tak tahu siapa namanya dan apa pekerjaannya. Jangan-jangan dia memang penipu seperti yang kupikirkan,” omel Bara tak percaya.
“Penipu apa? Menurutku dia jujur kok. Dari sorot matanya dia tampak benar-benar tertekan dan terhimpit masalah.”
“Itulah kelemahanmu. Kamu mudah percaya dengan sorot mata gadis cantik.”
Tama menjentikkan jarinya dengan senang seakan menang lotre, “Tuh kan? Aku benar. Dia memang cantik!”
Bara diam, sadar jika dia masuk ke jebakan asistennya itu. Dia pun tak meneruskan perdebatannya dan memilih melempar pandangan keluar jendela kaca mobil. Semua ini gara-gara ultimatum ngawur dari sang ayah. Kalau saja tidak ada perintah untuk menikah, mungkin ia masih hidup dengan tenang dan damai bersama Rebbecca seperti sebelumnya.
“Ngomong-ngomong, kamu memangnya tak mau menikah?” tanya Tama sambil fokus menyetir mobil menuju apartemen Bara.
“Hmmm...” Bara hanya menggumam. Sebagai seorang pria yang sudah memasuki usia 35 tahun, dia memang pernah memiliki keinginan untuk menikah. Ia ingin memiliki keluarga kecil yang bahagia, dan memiliki dua orang anak. Ia sudah beberapa kali mengutarakan keinginannya itu pada sang kekasih, Rebbecca. Tapi Becca selalu menolak dengan alasan yang sama. Sejak itulah Bara membuang jauh-jauh keinginannya tersebut. Ia pikir, bisa hidup bersama Becca sudah cukup untuk sekarang.
“Aku saja pengen menikah,” kata Tama kemudian.
“Kalau begitu kamu saja yang menikahi gadis tadi,” sahut Bara. Tama terkekeh.
“Kalau dia mau sih gak apa-apa,” balas Tama ringan sehingga membuat Bara melirik ke arah sahabatnya itu dengan wajah tekejut, “Tapi sayangnya bukan aku yang terkena skandal,” lanjut Tama kemudian.
Bara membuang muka mendengarnya.
“Bukan aku juga yang akan dicoret dari struktur pewaris keluarga Maheswara,” tambah Tama lagi memancing emosi Bara.
“Teruskan saja gak apa-apa, sedetik lagi aku akan membuat kepalamu menyatu dengan setir itu,” ancam Bara tanpa ekspresi. Tama tertawa terbahak-bahak, merasa menang karena godaannya sukses.
“Aku serius Bara. Gadis itu cukup cantik dan menarik. Sepertinya dia juga gadis baik-baik. Mengapa kamu tak mencoba mempertimbangkan tawaranku. Ajak dia ke hadapan keluargamu, siapa tahu dia diterima dengan baik,” kata Tama panjang lebar. Bara hanya diam mendengarkan.
“Dan yang terpenting, hanya dia satu-satunya gadis yang punya alasan tepat untuk menikah kontrak denganmu. Dalam tiga hari ini.”
Bara semakin termenung, mulai mempertimbangkan.
***
Lampu-lampu kota mulai meredup satu per satu dari balik jendela apartemen, meninggalkan suasana malam yang hangat dan tenang. Rania duduk bersandar di dada Bara di atas sofa ruang tengah. Sebuah film lama diputar di televisi, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar menontonnya. Tawa pelan dan obrolan santai lebih mendominasi malam itu.Bara membelai rambut Rania lembut, sementara jari-jari Rania menggenggam tangan Bara dengan erat. Senyum tersungging di wajah Rania, tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Tentang Reza. Tentang Becca. Tentang peringatan yang membuat pikirannya tak tenang seharian ini.Namun malam ini, ia memutuskan untuk tidak merusaknya dengan keraguan. Untuk pertama kalinya, Bara tampak benar-benar bersikap seperti seorang suami. Hangat, perhatian, dan bahkan... terlihat begitu terbuka."Mas," gumam Rania pelan, "boleh aku cerita sesuatu?"Bara meliriknya, menundukkan wajah agar lebih dekat. "Apa saja, Sayang."Rania tersipu malu
Hari mulai siang, sekolah tempat Rania mengajar pun semakin ramai dipadati oleh para orang tua yang hendak menjemput anaknya. Reza sedang memejamkan mata, berusaha mendinginkan kepalanya ketika suara bising motor dan mobil itu bersliweran di depan mobilnya. Rasanya kepalanya hampir pecah, karena terus memikirkan kesalahan yang sudah ia lakukan pada Rania. Dia sadar dia takkan bisa terus menerus hidup seperti ini. Dia takkan bisa tenang sebelum ia meminta maaf. Walaupun mungkin Rania takkan mau memaafkannya.Ketika sekolah mulai sepi, Reza akhirnya memberanikan diri untuk turun. Ia melangkah dengan penuh tekad, mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Rania. Reaksi Rania mungkin buruk, tapi ia sudah siap dengan segala resikonya. Lebih baik Rania mencaci maki dia daripada dia terus terbebani dengan kesalahannya sendiri.Namun, ketakutannya langsung sirna ketika melihat Rania keluar dari sekolah itu. Reza menghentikan langkah, dan membeku tanpa bisa mengatakan sepatah katapun. S
Bara mengangkat kepala, dan seketika senyumnya memudar. Di ambang pintu kubikelnya, berdiri Becca dengan gaun merah menyala yang mencolok dan senyum penuh goda. Aura parfumnya yang kuat langsung memenuhi area kerja Bara, mengundang beberapa pasang mata rekan kerja melirik penasaran. Terutama Tama."Baby," sapa Becca, melangkah mendekat dengan langkah anggun. "Sibuk sekali, ya?"Bara menghela napas, berusaha menjaga ketenangannya. Ia tahu betul maksud kedatangan Becca. Sejak pertemuan terakhir mereka, Bara memang sudah membatasi interaksi, hanya sesekali membalas pesan. Ia sudah bertekad untuk tidak lagi membiarkan Becca menjadi duri dalam hubungannya dengan Rania."Ada perlu apa, Becca?" tanya Bara datar, tanpa senyum.Becca terkekeh pelan, mendekatkan tubuhnya ke meja Bara. "Pulang kantor nanti, makan malam denganku, yuk? Ada tempat baru yang lucu, pasti kamu suka." Jemarinya dengan santai menyentuh tumpukan dokumen di meja Bara, seolah ingin menarik perhatiannya.Bara menarik tanga
Keesokan hari semua berangsur membaik, bahkan bisa dibilang, semakin hangat. Bara memenuhi janjinya. Ia memang masih Bara yang kadang ceplas-ceplos dan penuh keyakinan diri, namun kini ada lapisan baru dalam dirinya: sebuah kesabaran yang lebih besar dan kemauan untuk mendengarkan. Ego yang tadinya setinggi gunung es kini mencair, menyisakan kerentanan yang justru membuat Rania merasa lebih dekat dengannya.Pagi itu, Bara sudah siap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Ia tak lagi sarapan dengan dingin dan pergi begitu saja. Ia menikmati sarapan itu dengan santai sambil sesekali bercanda. Dan saat mereka hendak berangkat bersama, Bara menyandarkan tubuhnya di sisi pintu, dan memamerkan senyum tipis yang sejak kemarin selalu berhasil membuat jantung Rania berdebar. Ketika Rania muncul, langkahnya terasa lebih ringan. Sebuah gaun selutut berwarna mint membalut tubuhnya, dipadukan dengan sepatu flat yang nyaman. Rambutnya diikat rapi, namun beberapa helainya lepas membingkai waj
Siang itu, Bara akhirnya keluar dengan senyum tersungging di bibirnya. Sebuah perasaan ringan dan menyenangkan menyelimuti dirinya, seolah setiap hembusan napasnya dipenuhi melodi riang. Ia memakai kaos lengan panjang hitam dan celana kain berwarna krem, yang membuat aura maskulinnya semakin keluar.Dia mencium aroma rempah sejak berada dalam kamarnya tadi. Membayangkan Rania sedang memasak dengan wajah ceria dan senyum semanis madu..Pikiran itu saja sudah cukup membuat harinya terasa begitu berwarna.Namun saat ia melewati ruang tengah yang juga digunakan untuk ruang tamu, ia baru ingat pada bunga yang kemarin ia kirim. Karangan bunga sebagai ucapan permintaan maaf. Tapi anehnya, ia tak melihat bunga itu dimanapun.Meja tamu kosong melompong, hanya ada tumpukan kertas dan gelas kosong. Bara mengerutkan kening. Ke mana bunga itu? Bahkan di dapur pun ia tak melihatnya sama sekali.Ia masuk ke dapur, dimana Rania sibuk menggoreng sesuatu. Pandangan Bara menjelajahi seluruh isi ruangan,
Beberapa jam kemudian Rania kembali terbangun, kali ini dia tertidur dalam pelukan Bara. Bukan karena efek aneh yang ia rasakan semalam, melainkan dengan kesadaran penuh.Rania diam sejenak dalam posisinya. Ia berbaring miring dengan tangan merangkul perut Baraz sementara pria itu memegang tangan Rania dengan erat, seakan takut Rania akan pergi darinya.Wajah Rania memerah karena malu jika ingat apa yang baru saja terjadi antara mereka. Namun, ia tiba-tiba teringat sesuatu.Bukankah mereka harus pergi bekerja? Pekiknya dalam hati.Rania membelalak dan buru-buru bangkit, tapi Bara menahan tangannya walaupun matanya masih tetap terpejam."Sudah siang! Kita terlambat bekerja!" seru Rania panik."Ini hari Minggu," gumam Bara santai.Rania membeku. Merasa malu karena dia sampai lupa hari apakah sekarang.Sambil menghela nafas Rania kembali menyandarkan kepalanya di bantal. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan rasa penasaran, karena ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar