Bara mengangkat kepala, dan seketika senyumnya memudar. Di ambang pintu kubikelnya, berdiri Becca dengan gaun merah menyala yang mencolok dan senyum penuh goda. Aura parfumnya yang kuat langsung memenuhi area kerja Bara, mengundang beberapa pasang mata rekan kerja melirik penasaran. Terutama Tama."Baby," sapa Becca, melangkah mendekat dengan langkah anggun. "Sibuk sekali, ya?"Bara menghela napas, berusaha menjaga ketenangannya. Ia tahu betul maksud kedatangan Becca. Sejak pertemuan terakhir mereka, Bara memang sudah membatasi interaksi, hanya sesekali membalas pesan. Ia sudah bertekad untuk tidak lagi membiarkan Becca menjadi duri dalam hubungannya dengan Rania."Ada perlu apa, Becca?" tanya Bara datar, tanpa senyum.Becca terkekeh pelan, mendekatkan tubuhnya ke meja Bara. "Pulang kantor nanti, makan malam denganku, yuk? Ada tempat baru yang lucu, pasti kamu suka." Jemarinya dengan santai menyentuh tumpukan dokumen di meja Bara, seolah ingin menarik perhatiannya.Bara menarik tanga
Keesokan hari semua berangsur membaik, bahkan bisa dibilang, semakin hangat. Bara memenuhi janjinya. Ia memang masih Bara yang kadang ceplas-ceplos dan penuh keyakinan diri, namun kini ada lapisan baru dalam dirinya: sebuah kesabaran yang lebih besar dan kemauan untuk mendengarkan. Ego yang tadinya setinggi gunung es kini mencair, menyisakan kerentanan yang justru membuat Rania merasa lebih dekat dengannya.Pagi itu, Bara sudah siap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Ia tak lagi sarapan dengan dingin dan pergi begitu saja. Ia menikmati sarapan itu dengan santai sambil sesekali bercanda. Dan saat mereka hendak berangkat bersama, Bara menyandarkan tubuhnya di sisi pintu, dan memamerkan senyum tipis yang sejak kemarin selalu berhasil membuat jantung Rania berdebar. Ketika Rania muncul, langkahnya terasa lebih ringan. Sebuah gaun selutut berwarna mint membalut tubuhnya, dipadukan dengan sepatu flat yang nyaman. Rambutnya diikat rapi, namun beberapa helainya lepas membingkai waj
Siang itu, Bara akhirnya keluar dengan senyum tersungging di bibirnya. Sebuah perasaan ringan dan menyenangkan menyelimuti dirinya, seolah setiap hembusan napasnya dipenuhi melodi riang. Ia memakai kaos lengan panjang hitam dan celana kain berwarna krem, yang membuat aura maskulinnya semakin keluar.Dia mencium aroma rempah sejak berada dalam kamarnya tadi. Membayangkan Rania sedang memasak dengan wajah ceria dan senyum semanis madu..Pikiran itu saja sudah cukup membuat harinya terasa begitu berwarna.Namun saat ia melewati ruang tengah yang juga digunakan untuk ruang tamu, ia baru ingat pada bunga yang kemarin ia kirim. Karangan bunga sebagai ucapan permintaan maaf. Tapi anehnya, ia tak melihat bunga itu dimanapun.Meja tamu kosong melompong, hanya ada tumpukan kertas dan gelas kosong. Bara mengerutkan kening. Ke mana bunga itu? Bahkan di dapur pun ia tak melihatnya sama sekali.Ia masuk ke dapur, dimana Rania sibuk menggoreng sesuatu. Pandangan Bara menjelajahi seluruh isi ruangan,
Beberapa jam kemudian Rania kembali terbangun, kali ini dia tertidur dalam pelukan Bara. Bukan karena efek aneh yang ia rasakan semalam, melainkan dengan kesadaran penuh.Rania diam sejenak dalam posisinya. Ia berbaring miring dengan tangan merangkul perut Baraz sementara pria itu memegang tangan Rania dengan erat, seakan takut Rania akan pergi darinya.Wajah Rania memerah karena malu jika ingat apa yang baru saja terjadi antara mereka. Namun, ia tiba-tiba teringat sesuatu.Bukankah mereka harus pergi bekerja? Pekiknya dalam hati.Rania membelalak dan buru-buru bangkit, tapi Bara menahan tangannya walaupun matanya masih tetap terpejam."Sudah siang! Kita terlambat bekerja!" seru Rania panik."Ini hari Minggu," gumam Bara santai.Rania membeku. Merasa malu karena dia sampai lupa hari apakah sekarang.Sambil menghela nafas Rania kembali menyandarkan kepalanya di bantal. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan rasa penasaran, karena ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar
"Sentuh aku, Mas..." pinta Rania.Bara tertegun, namun kemudian menggeleng cepat."Tidak Rania, kamu sedang mabuk," tolaknya sambil melepas tangan Rania yang sedang merangkul lehernya. Rania cemberut karena penolakan itu. Dan saat Bara bangkit berdiri dan pergi keluar, Rania malah mengikutinya.Bara melepas dasi dan jasnya, lalu melemparnya ke atas sofa yang ada di kamar. Dia merasa kesal karena Rania mabuk bersama pria lain. Bagaimana jika tadi dia datang terlambat, bisa-bisa terjadi sesuatu yang buruk pada Rania. Dia yakin, Rania bukan gadis yang sengaja makan malam bersama pria di hotel dan mabuk agar bisa tidur bersamanya. Apalagi mengingat jika Rania masih... Suci...Dengan kesal Bara mengusap wajahnya. Dia kembali merasa bersalah jika ingat malam itu. Tapi dia juga sudah meminta maaf, bahkan mengirim karangan bunga. Harusnya Rania sudah memaafkannya, bukan malah pergi bersama pria lain."Mas..." Tiba-tiba suara Rania terdengar di belakangnya dan membuat Bara sontak menoleh. Ia
"Rania mabuk!?" seru Bara kaget, "Sebutkan dimana tempatnya. Aku kesana sekarang!"Bara segera memutus sambungan telepon itu setelah Tama memberitahunya dimana tepatnya ia berada sekarang. Bara baru selesai lembur di kantor ketika tadi Tama meneleponnya. Jadi, tanpa berpikir panjang ia langsung mematikan laptopnya dan segera pergi dari sana.Sepanjang perjalanan Bara menyetir dengan gelisah. Ia melonggarkan dasinya agar bisa sedikit bernafas, karena membayangkan Rania sedang mabuk bersama pria lain di hotel, sangat membuatnya sesak.Apa yang sedang dipikirkan wanita itu? Batinnya kesal. Padahal Bara sudah mengirimkan bunga untuk meminta maaf, tapi mengapa dia malah pergi dengan pria lain? Apa Rania belum melihat bunganya?Beberapa waktu kemudian, Bara akhirnya sampai di hotel yang disebutkan oleh Tama. Ia menghentikan mobilnya di depan hotel dengan sembarangan, lalu segera turun dan berlari masuk. Satpam sempat memanggilnya untuk menegur, tapi ketika tahu bahwa dia adalah Bara Maheswa