KENZO
“Partyyyy!!! Yeay!!!” Aku pantas merayakannya. Proyek empat milyar pengadaan bantuan mesin tempel bagi nelayan memang bukanlah apa-apa di mata kerajaan bisnis keluargaku. Bahkan kurasa mungkin sebagian anggota keluarga besarku diam-diam menertawakan aku karena menerima proyek ‘receh’ dari pemerintah setempat. Namun bagiku yang baru berusia dua puluh tahun dan akan lulus dua tahun lagi, ini adalah pencapaian besar. Sejak mendirikan perusahaan—dengan bantuan orang tuaku, tentu saja—enam bulan silam, aku lebih banyak berkutat dengan proyek pengadaan bernilai kecil, paling tinggi seratusan juta nilainya. Jadi, tentu saja aku merasa senang dan bangga atas pencapaianku. Baru pertama kali ikut lelang, langsung menang dan mendapatkan proyek milyaran. Masih muda, pula. Siang ini pembayaran dari pemerintah sudah masuk ke rekening perusahaanku. Aku sangat puas karena kerja keras yang dimulai dari mengikuti lelang pengadaan dan menyediakan barang, hingga menyerahkan barang ke pemerintah untuk disalurkan dan menyelesaikan administrasi pencairan yang memakan waktu hingga tiga bulan, terbayar sudah. Aku bahkan tak percaya, aku ternyata mampu melakukan ini semua! Sekarang, saatnya berpesta. Aku dan tiga orang stafku mengunjungi sebuah night club dan bermaksud merayakan keberhasilan kami hingga pagi menjellang. Pencapaian besar layak mendapatkan penghargaan tinggi pula, bukan? Kami berpesta dengan liar dengan ditemani wanita-wanita seksi yang hanya ingin ditraktir. Sebab, kami tidak tertarik dengan para hostess yang sudah kami hafal wajah dan penampilannya. Kami ingin wanita yang berbeda, agar pikiran dan tubuh kami kembali segar usai berjibaku selama berbulan-bulan untuk mengadakan proyek sebesar ini. Aku sendiri tentu saja mendapatkan wanita yang paling cantik dan menarik, sesuai dengan statusku sebagai orang yang membayar kemeriahan pesta di ruang privat malam ini. Nama wanita itu tidak aku ingat. Mungkin Marcy, Daisy, atau Sherry? Ah, masa bodoh. Yang penting ia bisa membuatku senang. Tengah malam, satu per satu anak buahku meninggalkan club. Satu orang membawa pulang teman kencannya, dengan dalih mengantarnya pulang. Heh, aku tahu dia mungkin membawa gadis itu ke hotel. Benar-benar buaya. Dua orang lagi berpisah dengan gadis pesta mereka masing-masing. Kupikir mereka terlalu mabuk untuk meneruskan pesta di tempat lain, jadi aku percaya bahwa mereka pasti benar-benar pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah aku berdua dengan Marcy, Daisy atau Sherry. Tapi rupanya gadis itu tertular para stafku yang sudah meninggalkan club lebih dahulu. “Kenzo,” kata gadis berambut hitam, panjang dan berkilau itu, “kita pindah, yuk? Aku bosan di sini.” Boleh juga. Dia ingat namaku tapi aku tidak mau membuang waktu untuk mengingat secuil pun tentang dirinya. Tapi aku setuju dengannya. Tempat ini jadi membosankan setelah para anak buahku pergi. Maka, aku pun mengajaknya pergi. Mungkin mengajaknya ke hotel dengan mengendarai mobil sport McL*r*n 540* milikku boleh juga…. *** HUSNA Aku membuka mata. Sudah pukul 02.00. Saatnya mengerjakan pesanan yang aku terima agar dapat diantarkan pagi-pagi sekali sebelum berangkat kerja. Maka, dengan hati-hati aku beringsut turun dari tempat tidur agar tidak membangunkan adikku, Asma. Gadis empat belas tahun itu menggeliat saat aku sudah menjejakkan kaki di lantai. Kupikir ia akan terbangun. Namun ternyata ia tetap nyenyak. Aku tersenyum melihat gaya tidurnya yang ‘ajaib’. Lengan kiri terentang sementara lengan kanan ditekuk dengan telapak tangan diletakkan di dada. Posisi kedua kakinya juga sama. Asma jadi terlihat seperti pendekar yang sedang melancarkan serangan udara ke musuhnya. Setelah puas memandangi adikku yang lucu, aku lalu melangkah pelan meninggalkan kamar kami yang sempit. Pagi ini aku tidak boleh berleha-leha. Ada cuan tambahan yang menanti. Aku mulai membuat brownies sebanyak dua loyang yang rencananya akan Tiga puluh menit kemudian, aku sudah memasukkan adonan ke dalam oven. Aku lalu melaksanakan salat tahajud. Pukul 03.30, aku sudah mendinginkan brownies dua loyang yang aku buat dan menyiapkan berbagai bahan untuk digunakan sebagai hiasannya. Kedua brownies itu sengaja aku letakkan di depan sebuah kipas angin agar lebih cepat dingin. Azan subuh masih lama berkumandang. Kupikir aku juga bisa tidur sebentar sebelum mulai menghias brownies. Maka, setelah memasang alarm di ponselku, aku merebahkan diri di lantai dan mulai menutup mata. Berharap istirahat sejenak bisa memulihkan tenagaku. Tapi, sepertinya aku tidak bisa tidur nyenyak. Sebab, bunyi di luar kos-kosan membuatku terkejut bukan main. CKIIIT!!! BRAAKKK!!! Aku membuka mata dengan jantung yang berdebar kencang. Sejenak bingung, suara keras apa yang kudengar barusan. Apakah ada kecelakaan? Kalau iya, ini pasti bukan kecelakaan motor. Pasti melibatkan kendaraan yang lebih besar. Mobil. Masih mengenakan mukena, aku berlari keluar untuk melihat keadaan. Sepertinya aku yang pertama kali keluar karena penghuni kos-kosan lain belum ada yang membuka pintu. Aku berlari menuju ke jalan besar. Pemandangan yang kulihat membuatku memekik tertahan sambil menutup mulutku dengan tangan. “Subhanallah!”KENZOAku memeriksa akun-akunku di berbagai sosial media. Lalu tersenyum saat mengetahui bahwa Cindy, gadis yang tengah bersamaku saat aku menabrak mobil yang ditumpangi oleh Papi, kini telah bekerja di sebuah perusahaan atas rekomendasi Papi.Aku tidak mengucapkan selamat atau kata-kata lainnya karena khawatir Cindy masih belum bisa menerimaku. Akan tetapi, diam-diam aku berdoa yang terbaik untuknya.Kemudian, aku menggeser layar ponselku dan melihat foto Putri tengah bersama makan malam bersama Bang Rano. Sekarang aku tahu, kenapa Bang Rano minta izin pada Papi untuk tidak hadir dalam acara ini, walaupun diundang oleh kedua orang tuaku.Namun, biarlah. Baik Bang Rano mau pun Putri tentunya menghindari situasi yang canggung jika mereka tetap hadir malam ini. Padahal, saat melihat foto mereka, aku tidak merasakan apa-apa. Benar-benar tidak merasakan cemburu, bahagia mau pun kesal. Datar saja.Daripada berlama-lama melihat foto Putri, aku berganti sosial media. Pandanganku langsung ter
HUSNASambil tersenyum kikuk, aku menyerahkan uang kembalian pada seorang anak perempuan yang membeli browniesku.“Kak, uangnya kelebihan, nih. Harusnya dua puluh ribu saja,” tegur gadis kecil itu, jujur.Aku tersentak, menyadari kesalahanku. Sambil mengucapkan maaf dan terima kasih, aku menerima kembali kelebihan uang sejumlah dua puluh ribu rupiah. Sebagai ucapan terima kasih, aku memberikan teh kemasan satu botol padanya.Setelah gadis kecil tersebut meninggalkan tokoku, aku mengintip jam di ponselku. Sudah lebih dari lima belas menit Kenzo dan Himawari berbicara di ruang tengah rumah kontrakanku. Mudah-mudahan mereka sudah bisa menyelesaikan masalah di antara mereka. Masalah yang juga telah menyeretku hingga harus berpura-pura pingsan segala.Sebenarnya, aku masih merasa malu pada Kenzo karena sudah kasar padanya. Padahal, dia hanya ingin menolongku yang tiba-tiba terkapar di lantai tokoku. Meskipun perbuatan konyolku itu timbul karena ulah Himawari juga, tak ayal aku merasa bersa
KENZOAku semakin malu saja pada Husna. Aku tahu, aku yang pertama kali melakukan kesalahan dengan membentak Hima. Kalau Hima tidak langsung mau memaafkan aku, itu antara aku dan dia saja. Tapi tidak ada hubungannya dengan Husna.Aku terheran-heran. Kenapa saat sedang marah padaku, Hima justru kabur ke tempat Husna? Mereka belum lama saling mengenal, tapi Hima sudah berani mengganggunya saat sedang merajuk begini.Belum lama saling mengenal. Kalimat ini akhirnya membuat aku bisa menerka alasan di balik kaburnya Hima ke toko Husna.Hima tidak punya teman di kota ini. Teman-teman yang ia kenal semasa kecil, semuanya telah berada di seberang lautan. Sama seperti Hima yang sebenarnya juga menetap di luar negeri.Di kota ini, hanya aku dan keluargaku yang Hima kenal dengan baik. Takdir membuat ia akhirnya mengenal Husna dengan perantara adik-adik mereka dan brownies buatan Husna. Jadi
KENZOAku merasa malu. Sangat malu pada Husna karena tingkah laku Hima yang telah merepotkannya.Maka, aku segera bertolak ke toko sekaligus rumah Husna untuk menemui Hima. Sekaligus meminta maaf pada Husna yang sudah direpotkan oleh sepupu jauhku itu.Saat aku hendak memasuki mobil, aku melihat Vita tengah berada di antara dua orang gadis lain yang tampaknya adalah sesama mahasiswi. Mereka tengah menghibur Vita yang tampak sedang menangis.Aku tertegun sebelum menyalakan mobil. Merasa bersalah telah mengatakan bahwa kami hanya teman. Setelah apa yang telah aku lakukan untuknya, membantunya agar tetap dapat kuliah, memberinya harapan, lantas mengatakan bahwa bahwa kami tidak ada hubungan apa-apa.Padahal, aku sendiri yang ‘memilih’ Vita sebagai calon pertama untuk menggantikan Husna. Sekarang, aku mengelak saat Vita menyatakan perasaannya yang jujur saja, membuatku terkejut.Pengecut. Kurang ajar. Entah kata-kata kasar apa lagi yang dapat disematkan padaku.Apa aku menemui Vita dulu y
HUSNA“Teman … dia curhat sudah diputusin pacarnya,” jawabku sekenanya. Kemudian buru-buru memutuskan panggilan secara sepihak, sebelum Novi membicarakan hal yang memusingkan aku lagi. Maaf, Novi.Aku pikir, untuk apa pula menjelaskan pada Himawari dengan detil tentang Novi. Himawari mungkin tidak mengingat Novi sama sekali. Kalaupun ia ingat tentang sepupuku itu, aku yakin, dia tidak akan tertarik.Himawari mengangguk-ngangguk. Untuk mengalihkan pembicaraan, aku segera mengajaknya masuk ke dalam.“Tadi ke sini dengan siapa?” tanyaku sambil menghidangkan minuman dingin.“Diantar supir. Tapi sudah kusuruh pulang,” jawab Himawari cuek.“Loh, nanti pulangnya bagaimana?” tanyaku tanpa menyembunyikan rasa heranku.“Aku panggil lagi supirnya ke sini.”Astaga
KENZOPada akhirnya, secara diam-diam, aku memang menitikkan air mata. Bukan hanya karena tergugah oleh rentetan kata-kata Putri padaku, melainkan juga perbuatan gadis yang baru saja menolakku itu.Aku tidak memperhatikan lagi apa yang Putri katakan padaku karena mendadak tubuhku limbung. Kepalaku terasa ringan hingga pandanganku seperti berputar-putar.Astaga! Seperti inikah rasanya ditolak? Atau, aku yang terlalu berlebihan menanggapinya? Seorang ‘playboy’ yang biasa menjadi rebutan kaum hawa, kini harus terpuruk karena bukan menjadi pilihan seorang gadis berkelas seperti Putri. Hah.Aku yakin, aku tidak terkena vertigo. Tekanan darahku pun mungkin tetap normal. Aku hanya … terhenyak melihat apa yang terjadi setelah Putri mengatakan rangkaian kalimatnya yang membuatku seperti ditampar berulang-ulang dengan sangat keras. Putri mengucapkan terima kasih untuk hadiah cokelat