Share

3. Diary Rahasia

"Lapor, Dok. Ada pasien post SC dengan riwayat pre-eklampsia yang membutuhkan penanganan segera."

Kuhentikan kegiatan menulis status pasien yang sedari tadi tengah kutekuni.

"Siapkan tindakan operasi. Lima menit lagi, saya kesana," ucapku sambil menutup dan merapikan segala berkas. 

"Oya, Aini sedang tidak sehat. Hari ini dia tidak bisa masuk. Tolong sampaikan ke ruangan."

Bidan di hadapanku mengangguk, namun tak lekas pergi, justru kembali melempar suara. 

"Ehm ... Ehm ... Sebulan ditinggal, saat kembali malah kelelahan ya, Dok?"

Mataku seketika menyorot tajam ke arah Bidan yang terkenal suka berguyon itu. 

"Permisi, Dok." Entah kenapa, melihatku menatapnya tegas, dia segera pamitan meninggalkan ruangan. 

Aku kembali merebahkan punggung pada sandaran kursi. Lalu menggerakkan kursi putar itu ke samping kiri. Tak jauh di depan, pada dinding yang bercat putih gading, sebuah cermin besar terpasang di atas wastafel.

Aku bangkit dan melirik wajah dari kejauhan. 

"Apa maksud perkataan Kak Yu, apa dia berpikir Aini ...?" Kuhentak kakiku mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.

Kuussap wajah dengan kedua tangan. Dalam angan, sesuatu kembali bertanya. 'Kapan terakhir kali tanganku dikecup oleh seorang wanita, sepertinya sudah sangat lama. Ya, saat Hanna di dorong ke ruang operasi. Saat itu, dia mengecup tanganku sambil meminta maaf. 

Melihatnya kesakitan, jiwaku antara ingin menangis dan tersenyum. Tersenyum karena sesaat lagi, sosok yang sangat kami rindukan akan hadir di dunia. Namun ingin menangis, karena khawatir akan keselamatan Hanna nanti di atas meja operasi. Terlebih, dengan diagnosa yang di derita, persalinan SC atas indikasi placenta previa.

Hampir sembilan bulan aku tak mendekatinya, karena plasenta yang menutupi hampir seluruh jalan lahir. Tapi demi Hanna dan janin yang sudah lima tahun kami nanti, aku sanggup menahan diri.

Setelah kepergian Hanna, nyatanya aku memang memiliki tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologis. Tapi, tempat itu seolah tak ada. Aku tak menemukan keinginan untuk menyentuhnya. 

Hufht!

Jemari tangan kini menekan kedua bola mata. Jika mengingat semua itu, terlebih detik-detik kepergian Hanna, jantungnya selalu berdegup kencang. 

Aku meneguk air di atas meja. Tiba-tiba, saat-saat itu kembali terlintas.

"Uterusnya tak berkontraksi, Dok."

"Tambahkan oksitosin. Drip dua ampul. Suntikan metergin. Siapkan transfusi darah!"

Tanganku tak henti bekerja, terus mencari cara agar rahim Hanna mau berkontraksi, sehingga darah yang mengucur deras bak keran itu bisa segera berhenti. 

"Jangan menyerah, Dek. Fikri menunggu ASI dari Mamanya . Sekarang Adek harus berjuang, ya."

Kusemangati dia kala itu, yang tampak lemah dan tak mampu lagi membuka mata.

"Buka mata Adek ...."

Dadaku begitu sesak, bayangan di ruang operasi kembali serasa ada di depan mata. Perawat yang lalu lalang, selang infus berisi darah, monitor denyut jantung yang terus melemah. 

"Jangan tidur, Dek. Buka mata Adek. Buka, Dek ... Buka mata Dek ...!"

Deg!

Deg!

Deg!

Degup jantungku begitu kencang. Kutarik napas dalam, sambil mencoba mengatur pola pikir. Tak terasa air mataku berderai membasahi pipi. 

"Kenapa secepat ini kamu pergi, Dek ...."

***

Setelah tenang, kugerakkan kaki kembali, ingin segera sampai di ruang operasi, dimana kedatanganku sudah dinanti sedari tadi. Tapi, entah mengapa, sesuatu yang kini berada di bawah lengan, menuntunku untuk kembali duduk sejenak.

Rasa penasaran menuntunku untuk membuka lembaran pertama dari diary Aini, aku mulai membacanya.

--------

Aceh Besar, 05 Mei 1990

_Aku mengenalnya seperti angin, ia hadir tak pernah kuminta. Datang memberi kesejukan sekalipun saat tubuh sedang terbakar amarah. Mengkinkah ini yang disebut para pujangga sebagai kata cinta?_

Diary pertamaku bersamanya. Akan kutuliskan seperti sebuah cerita. Ya,  cerita kami. Ah,  semoga berakhir dipelaminan. 

-----

Deg!  

Sesuatu menghentak jantungku dengan kiat. Kuabaikan, tanganku kembali fokus untuk membuka halaman kedua. Kata demi kata tertuang indah dalam lembaran itu. 

'Tulisannya bagus," batinku memuji tanpa sadar. Tiga tahun menikah, aku bahkan tak tahu bagaimana tulisan Aini. Kata demi kata,  aku kembali meneruskan membaca goresan itu. 

------

"Seorang santriwati menginjak tanah haram!" teriakan salah satu santri putra membelah pagi di asrama Pondok Pesantren Nurul Hidayah. Jibran yang baru saja selesai berseragam, melongok keluar kamar. 

"Siapa?" tanyanya lantang. 

"Sepertinya santri kelas 10!" jawab Fatah dengan terengah-engah. 

"Ana kesana sekarang!"

"Ana ikut, Bran!"

Keduanya mempercepat langkah menuju ponpes putra. Sampai di halaman, netra Jibran langsung tertuju pada ruangan Ustadz dan Ustadzah yang sudah dipenuhi beberapa santri putra. 

"Ada apa ini?"

Suara Jibran membuat santriwati juga beberapa santri-santri yang berkerumun itu menoleh. Semua terdiam. Jibran tak berani melangkah, bukankah larangan keras seorang santriwati berada di tanah haram. Jika kedapatan, sanksi keras akan dikeluarkan dari pondok. 

"Ana akan sampaikan berita ini pada Kiai."

"Jangan!"

Santriwati itu akhirnya bersuara. 

"Tolong, jangan sampaikan hal ini pada beliau. Ana kemari hanya untuk mengambilkan obat asma Ustadz Jamil di dalam laci kerja beliau."

Jibran mengernyitkan dahi. 

"Obat asma? Apa yang terjadi dengan Ustadz Jamil?"

"Beliau saat ini ada di ruangan Ustadz di ponpes santriwati. Beliau mendadak sesak napas, dan saat itu, kebetulan Ana yang melihat beliau. Beliau meminta Ana untuk mengambilkan obat di dalam laci kerjanya."

"Tapi anti tahu 'kan, sanksinya jika kedapatan menginjak tanah haram?" Jibran selaku ketua OSIM kembali melempar pertanyaan. 

"Lalu Ana harus membiarkan Ustadz Jamil meninggal karena nggak bisa bernapas?"

Semua terdiam. 

Jibran memberanikan diri memasuki ruangan pengajaran, lalu mendekati meja kerja Ustadz Jamil. Pemuda itu cekatan membuka laci meja. Ia ingin membuktikan kebenaran perkataan gadis di hadapannya. 

Ketika laci terbuka, benar, ada obat semprotan serupa obat asma di laci itu.

"Ana percaya. Berikan obat ini pada Ustadz Jamil. Kasihan beliau."

Jibran menyerahkan obat di tangannya ke arah santriwati itu.

"Terima kasih anta sudah percaya pada Ana," ucap santriwati itu sambil melirik name tag yang tertempel di dada atas pemuda di hadapannya. 

'Ayatullah Jibran Siddiq.'

"Astaghfirullah, sedang apa kalian berdua-duaan di ruangan ini!"

Jibran dan gadis itu terhenyak. Suara itu, suara pemilik Ponpes. Keduanya menoleh ke pintu masuk. 

"Kiai Rahman?"

-------

"Dok, persiapan operasinya sudah beres. Dokter ditunggu di ruangan."

Salah satu bidan kembali datang mengingatkanku jadwal operasi. Seketika aku terhenyak, karena membaca surat Aini, aku jadi terlupa ada pasien yang sedang menunggu.

"Baik, saya kesana."

Kututup diary biru Aini dengan rasa penasaran yang tinggi. Siapa santriwati yang kedapatan berduaan dengan Jibran, apakah Aini? 

'Aku akan membacanya kembali Setelah operasi selesai.'

***

Aku dan beberapa perawat bedah lelaki masih duduk di ruang dokter di samping kamar operasi. Pembedahan pada pasien pre-eklampsia cukup melelahkan. Duduk istirahat sambil menikmati kopi, adalah cara untuk menyegarkan seluruh otot. Bukankah setelah ini masih ada pasien lain yang sudah menanti? 

"Ini jadwal operasi lainnya hari ini ya, Dok."

Seorang perawat menyerahkan status beberapa pasien yang harus kutangani lagi. 

"Saya visit ruangan dulu, ya," jawabku singkat sambil meraih pemberian dari perawat itu. 

"Siap, Dok."

Kenyataan, sebagai dokter, aku memang tidak pernah berhenti dari melayani pasien. Bagaimanapun lelahnya,  bahkan Sekalipun baru saja menginjakkan kaki di rumah, setelah bepergian cukup lama. Tak pernah sedikitpun jiwa ini merasa terbebani, kecuali jika suatu waktu, Aini mendapat giliran menyambut bayi di ruang operasi. Nah, saat itulah, jika bisa, aku ingin berhenti menjadi dokter. 

Saat melihat Aini di ruang operasi, yang selalu terbayangkan di benakku adalah sosok Hanna. Jika bisa berkata jujur, aku lelah. Lelah memendam rasa bersalah ini seorang diri. 

Aku selalu meminta, agar waktu bisa kembali. Aku ingin melarang Hanna hamil. Ah, sebuah keinginan yang salah, masih berharap bisa melawan takdir. Seakan aku ingin menolak hakikat takdir Allah, bahwa Jodoh, rejeki, maut itu sudah tertulis di Lauhul Mahfudh.

***

Tepat pukul lima sore, aku keluar dari ruang operasi. Ini menjadi jadwal operasi terakhir untuk hari ini. Saat berjalan di koridor, aku berpas-pasan dengan dokter Muntahar, Direktur utama rumah sakit. 

"Assalamualaikum, Dok."

"Waalaikum salam."

"Bagaimana perjalanan kemarin, Dok?"

"Alhamdulillah, sukses."

"Bagaimana dengan perkembangan surat kerja sama untuk pengadaan alat-alat medis terbaru dengan rumah sakit Medical Tokyo, Dok? apa sudah selesai?"

"Sudah, Dok. Saya berencana membuat presentasinya akhir pekan ini. Bagaimana menurut dokter?" Kucoba mengajukan sebuah pertanyaan. 

"Silahkan saja Dokter atur. Koordinasikan dengan pihak yang lain, agar pelaksanaan presentasinya bisa berjalan lancar."

"Siap, Dok."

"Oya, Dokter Sattar, mungkin sesaat lagi, dokter tidak akan selelah ini. Akan ada seorang dokter OBGIN yang dikirim ke rumah sakit ini. Beliau lulusan terbaik Universitas Indonesia. Mungkin beliau akan menjadi dokter termuda di rumah sakit ini. Namanya, Ayatullah ...."

Kring ... Kring... 

"Sebentar Dok, saya angkat telponnya dulu," pamit Dokter Muntahar sambil berjalan sedikit menjauh. 

Tubuhku sejenak mematung sambil kembali mengeja nama yang disebutkan dokter Muntahar.

'Ayatullah, seperti pernah mendengar nama itu.'

Jiwaku langsung telempar pada diary Aini. 'Ayatullah Jibran Siddiq.'

"Benarkah sambungannya itu ...?"

"Maaf Dok, saya harus keluar sebentar. Ada panggilan darurat yang harus saya penuhi."

Dokter Muntahar kembali berpamitan sambil membalikkan langkahnya. 

"Tunggu, Dok. Nama lengkap dokter itu siapa?"

Dokter Muntahar menghentikan langkahnya.

"Ayatullah Jibran Siddiq. Besok kita menerima kedatangan beliau. Tolong hadir ya, Dok, di aula. Seperti biasa," jawabnya sambil berlalu pergi. 

Aku cukup terhenyak mendengar nama yang disebutkan rekanku itu. Sejenak kaki ini kembali mematung dengan perasaan yang tak terbaca. Tak percaya sekaligus tak menyangka. 

"Jika benar dokter itu adalah lelaki yang dimaksud dalam buku diary Aini, mengkinkah ini petanda bahwa aku harus melepaskannya?" lirihku pelan. 

Netraku diajak memandang jauh, nanar, entah kemana. Pikiran kini justru seperti tali putri malu yang merambat-rambat. Kuhela napas panjang.

"Haruskah aku membiarkannya pergi?"

***

Jangan lupa, Utamakan membaca Al-Quran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status