Home / Romansa / Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan / Antara Peran Dan Kenyataan

Share

Antara Peran Dan Kenyataan

last update Last Updated: 2025-04-25 12:10:50

“Yon... Yona, tunggu!” suara Mirza menggema di lorong sekolah.

Yona menghentikan langkahnya dengan geram. Ia berbalik cepat, sorot matanya tajam menusuk.

“Apa lagi sih, Za? Gara-gara bicara sama kamu kemarin, aku dikejar-kejar sama si ulat bulu itu!”

Nada suaranya dingin, penuh kekesalan. Ia sama sekali tak tertarik berurusan dengan dua manusia yang, menurutnya, tak tahu malu itu.

“Aku sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi sama dia,” ujar Mirza mencoba menjelaskan.

Yona tertawa sinis. “Tidak punya hubungan? Apa kamu pikir aku bakal percaya setelah melihat kalian keluar dari hotel semalam? Jijik, Mirza.”

“Cepet, aku sudah dijemput,” tukasnya, berusaha pergi.

“Beneran kamu tidak tahu Bulan ke mana?”

Yona menghela napas panjang. Matanya melotot penuh kekesalan. Lelaki ini benar-benar bebal.

“Aku bukan kamu yang suka berkata bohong. Denger baik-baik, kamu yang meninggalkan Bulan. Kamu lebih memilih si ulat itu daripada sahabat aku yang selama ini selalu ada buat kamu. Dan kalaupun aku tahu Bulan di mana, aku tidak akan pernah memberitahumu. Jangan pernah deketin dia lagi. Jangan sampai selingkuhan kamu itu menyakiti sahabat aku lagi. Paham?!”

Yona melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun. Bahkan kalau Mirza memohon di kakinya pun, ia tak peduli. Luka yang pernah ditorehkan lelaki itu pada sahabatnya tak akan mudah dilupakan.

“Arrgh! Kamu kemana sih, Bulan...” gumam Mirza frustrasi, meninju udara.

Ia berjalan lunglai ke parkiran, hatinya dipenuhi penyesalan. Dalam pikirannya terbayang wajah Bulan—senyumnya yang manis, sikap penurutnya, cerianya, dan betapa ia dulu begitu menjaga dirinya.

Begitulah manusia. Saat dimiliki, tak pernah dihargai. Saat kehilangan, barulah menyadari betapa berharganya yang telah pergi.

*

*

*

Sementara itu, gadis yang dicari-cari tengah berada di belahan dunia lain.

Setelah menempuh penerbangan delapan belas jam, jet pribadi keluarga Zelandra akhirnya mendarat di Bandara Internasional Zurich. Dari sana, mereka langsung menuju hotel mewah di pusat kota.

Bulan sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian santai. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang empuk, tubuhnya terasa remuk redam.

“Haaa... pinggang-ku mau lepas. Andai bisa minta pintu kemana saja sama si Om, badan aku tidak akan rontok seperti ini kalau diajak jalan-jalan. Kayak rambut aja, rontok,” gumamnya sambil tertawa kecil.

“Dia ke mana sih? Baru tiba, langsung kerja? Apakah dia tidak merasa lelah? Ya sudahlah, Terserah dia saja. Sepertinya tidur adalah pilihan terbaik.”

Di kamar lain, Air tengah menerima laporan dari Jeff, tangan kanannya yang sudah lebih dulu tiba di Zurich untuk memantau situasi.

“Jangan lengah. Terus awasi mereka,” perintah Air dengan dingin, matanya tajam menatap dokumen di tangannya.

“Baik, Tuan.”

Namun Jeff tampak ragu. Ia melirik Kafi sejenak sebelum bicara lagi.

“Ada satu hal lagi, Tuan. Besok, dalam pertemuan dengan Mr. Joseph, Nona Tiara akan turut hadir.”

Mata Air menyipit. Wajahnya berubah drastis—Tatapan mata tajamnya terasa menusuk udara, membuat mereka yang berada di ruangan tersebut merasakan seolah-olah membeku. Aura yang dikeluarkan pewaris Zelandra itu terasa begitu kuat, memancarkan kemurkaan dalam hatinya karena berita yang baru disampaikan Jeff.

“Siapkan jamuan istimewa untuk besok malam,” ucapnya pelan, tapi penuh ancaman.

Senyuman licik muncul di wajah Air. Kafi dan Jeff saling pandang, nyaris gemetar. Mereka tahu, sesuatu tengah disusun. Dan jika Tuan Muda mereka sudah bertindak seperti itu, maka akan ada pertunjukan yang tak mudah dilupakan.

“Sepertinya permainan baru akan dimulai,” gumam Kafi lirih.

Jeff mengangguk, “Sudah lama aku tidak melihat sisi ini darinya.”

*

*

*

“Kenapa Tuan Air membawa serta Nona Muda dalam pertemuan ini?” bisik Jeff pada Kafi.

Timbul rasa penasaran yang menyeruak dalam benak Jeff, begitu pula dengan Kafi. Keduanya mengikuti langkah pasangan suami istri yang berjalan di depan mereka, mata mereka tajam bak elang, mengawasi sekitar.

“Mana aku tahu. Kau seperti tak kenal Tuan-mu saja. Dia, kan, penuh kejutan.”

Mereka saling bertatapan.

Jeff mengangguk pelan, sepakat dengan Kafi. Memang benar, meskipun sudah lama bekerja bersama Air, kejutan dari suami Bulan itu seakan tak pernah ada habisnya.

Lift bergerak naik membawa keempatnya menuju lantai tempat pertemuan diadakan. Air, dengan santai namun posesif, melingkarkan lengannya di pinggang Bulan. Ia seolah tak peduli pada dua asistennya yang ikut berada di sana. Bulan sendiri merasa risih, tapi entah mengapa, dia terus mengikuti dan menuruti lelaki egois itu.

“Lakukan yang terbaik,” bisik Air.

Bulan menghela napas panjang. Sejujurnya, ia lebih memilih rebahan di kamar. Ia tidak tertarik—apalagi paham—mengenai urusan bisnis. Bahkan ke kantor Papi-nya sendiri saja ia jarang, apalagi harus duduk satu ruangan dengan orang-orang serius berseragam jas yang membahas hal-hal berat yang tak ia pahami.

Kalau saja semalam Air tidak menghubungi Mommy Malika, dia sudah pasti tak akan sudi ikut. Tapi kalimat sang mertua terus terngiang,

“Nak, sebagai istri kamu wajib mendampingi suamimu. Akan banyak sekali dari mereka yang berniat tidak baik pada suamimu demi proyek besar ini.”

Dengan terpaksa, Bulan mengangguk. Di sisi lain, ia juga penasaran ingin melihat sendiri, seperti apa dunia bisnis yang katanya penuh penjilat dan manipulasi itu.

Tapi sepertinya mereka terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin pria seperti Air bisa celaka? Lihat saja, sepanjang lorong menuju ruang pertemuan dipenuhi orang-orang berbaju hitam yang membungkuk setiap kali mereka melintas.

Yang paling menyebalkan, hari ini ia harus memakai dress dan sepatu hak tinggi. Padahal biasanya ia nyaman dengan celana jeans, kaos, dan sneakers. Hari ini, tampil feminin itu melelahkan. Kakinya serasa mau lepas.

‘Apa semua istri orang kaya harus tampil cantik dan anggun? Harusnya jadi diri sendiri itu jauh lebih baik. Mau kabur saja susah!’

Pintu kaca dibuka oleh pengawal, dan mereka disambut para pengusaha yang sudah berkumpul. Semua berdiri menyambut sang penerus Zelandra.

Melihat Air datang bersama seorang gadis muda, pertanyaan langsung bermunculan. Siapa gadis cantik yang berhasil berdiri di sisi pria dingin tersebut?

Cara Air merangkul pinggangnya, jelas bahwa gadis itu istimewa. Beberapa di antara mereka bahkan tampak kecewa. Harapan menjodohkan putri mereka dengan pria karismatik itu seketika pupus.

Air menuntun Bulan ke meja yang berada di sudut ruangan, tempat yang nyaman dan strategis. Di atas meja sudah tersedia minuman dan camilan khusus untuk istri kecilnya.

“Ingat, jangan buat Mommy kecewa,” bisik Air di telinganya.

Posisinya setengah membungkuk, membelakangi meja panjang tempat para pebisnis berdiri. Sekilas, orang akan mengira Air sedang mencium istrinya, karena posisi mereka sangat intim. Padahal, Air sedang mengancam Bulan.

“Iya, cerewet! Bisanya mengancam,” balasnya ketus, bibir mengerucut kesal.

Air menatapnya tajam. Kalau saja mereka tidak berada di tempat umum, pasti bibir ranum berlapis lip gloss itu sudah dilahapnya.

Namun Bulan juga tak mau kalah. Ia balas menatap dengan sorot tajam.

Air meniup wajahnya pelan, membuat poni Bulan bergoyang ringan.

Fyuuuh.

‘Dia habis minum parfum apa? Wangi banget tuh mulut... duh, pengen dikecup. Iiiih... otakku makin konslet deket-deket om-om tua ini,’ rutuknya dalam hati, kesal pada dirinya sendiri.

Air menegakkan tubuh sambil merapikan jas, tapi pandangannya masih terpaku pada Bulan—hangat, nyaris lembut.

“Aku ke sana dulu, sayang,” ucapnya seraya mengelus pipi Bulan.

‘Sayang?’

Bulan nyaris tertawa. Telinganya masih berfungsi kan? Apa dia salah makan? Tuan Muda datar, arogan, yang hobinya mengancam itu—panggil dia sayang?

Di balik keramaian ruang pertemuan, dua pasang mata saling mengawasi dari sudut berbeda.

“Siapa perempuan itu, sampai Air memperlakukannya seperti Ratu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Berduka

    “Jadi, aku tidak dibuang orang tuaku, Pa?” tanya Yona berlinang air mata. Toni menggeleng, dia dan melati—sang istri memutuskan menceritakan kebenarannya. Yona sudah cukup dewasa untuk memahaminya. Kelak suatu hari nanti ketika gadis itu menikah, ayah kandungnya tetap harus menjadi wali nikah. Yona masih sesegukan dalam pelukan Melati, dia tidak bisa membayangkan bagaimana menderita sang ibu bahkan mengorbankan nyawanya untuk melahirkannya di tengah melawan rasa sakit. Yona menyesal telah berpikir buruk, sekarang dia ingin sekali nyekar ke makam sang ibu. “Di mana makam Ibu, Ma?” Yona mendongak, menghapus air mata yang seolah tak rela berhenti keluar. “Hari minggu kita akan kesana,” ucap Melati lembut. “Apa aku juga akan bertemu ayah, Pa.”Toni dan Melati saling pandang, walaupun berat hati Melati menganggukkan kepalanya. Biar bagaimanapun Yona berhak tau siapa ayah kandungnya. “Papa akan mempertemukan kalian,” ucap Toni.“Tapi aku tetap anak Mama dan Papa, kan?”“Tentu, selaman

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Aku Hanya Ingin Tau

    “Raka,”Gerakan tangannya yang sedang menandatangani berkas terhenti, Air melirik pada sahabat sekaligus asistennya. “Ada apa? Apa apa sesuatu yang penting?” Ia bertanya, lalu kembali melanjutkan pekerjaan. Kafi menarik napas panjang, lalu berkata. “Pihak rumah sakit menelpon, mengabarkan kondisi Tiara kritis. Dan… Tiara ingin bertemu denganmu.” Air menutup berkas yang baru saja selesai diperiksanya, lalu mendorongnya sedikit ke arah Kafi yang duduk di seberang meja.“Kalau kau mau datang, datang saja,” ucap Air datar dan dingin.Baginya semua sudah selesai, hanya masa lalu. Sudah cukup peringatan yang dulu pernah diberikan dan ternyata hanya dianggap angin lalu. “Tapi—” Air mengangkat tangannya, dia tidak ingin mendengar apapun lagi yang berhubungan dengan masa lalu. Kini fokusnya hanya pada istri kecilnya dan calon anak mereka. Air tidak ingin lagi di usik kehidupannya dengan bayang-bayang yang akan menyakiti perasaan istrinya. Air mengambil bingkai foto istri kecilnya, diman

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Terbukti

    Mata Ny. Malika berbinar, rasa bahagia membuncah dalam hatinya. Rasanya tak puas hanya memandang strip kecil di tangannya. Perhatian wanita setengah baya itu, beralih menatap haru pada sang menantu yang bersandar di kepala ranjang. “Sayang, Mommy bahagia sekali. Terima kasih, nak.” Ucapnya tulus dengan mata mengembun. Segera ia mendekap menantu kecilnya, memberi dukungan bahwa remaja itu tak sendiri menjalani masa kehamilannya. Kedua tangannya menangkup wajah Bulan, memberi banyak kecupan sayang. Ditatapnya wajah cantik walau terlihat pucat dan kuyu. Ny. Malika menengok ke arah putranya yang memasang wajah cemberut, kesal karena sang Ibu memeluk bahkan mencium istrinya. Bukannya marah, Ny. Malika justru terkekeh. “Sudah mau jadi Daddy, masih suka merajuk.” Sindir wanita itu.“Dua bulan lagi ujian kelulusannya. Untuk sementara waktu Bulan akan menerima semua pelajaran dirumah. Dia akan datang saat ujian saja. Jangan biarkan istrimu kelelahan, pastikan kandungan dan kondisi istrim

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Positif

    “Zack, langsung pulang saja. Tapi nanti singgah sebentar beli cendol, ya.” pinta Bulan begitu ia masuk ke dalam mobil.“Baik Nona,” sahut sang pengawal. Sedan mewah itu meluncur keluar dari area parkir sekolah, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Ikut berbaur dengan kendaraan lainnya. Bulan menyandarkan punggungnya di kursi, matanya menatap kosong ke luar jendela. Sinar matahari siang yang menyengat membuat peluh kecil mulai membasahi pelipisnya. Padahal pendingin mobil berfungsi dengan baik. Membayangkan berendam air dingin, membuatnya ingin segera tiba di Mansion. Pasti rasanya segar sekali. Sayangnya, perjalanan dari sekolah ke rumah membutuhkan waktu hampir satu jam. Dan di tengah panas yang menyiksa, jalanan pun tak bersahabat. Suara bising kendaraan membuat kepalanya semakin berdenyut. Ia mengerjap pelan, lalu memejamkan mata. Kepalanya miring ke kiri, mencari posisi yang lebih nyaman untuk beristirahat sejenak.Lewat kaca spion depan, Zack melirik ke belakang. Ia ters

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Ciuman Panas

    Di balkon kamar, Air berdiri memandangi gelapnya malam. Angin malam menerpa wajahnya pelan, membawa rasa lega setelah ia mengungkapkan kebenaran tentang dirinya pada sang istri. Meski awalnya Bulan sempat terkejut, pengertian darinya sang istri bisa menerima dan memahami. Seharusnya sejak awal ia jujur. Namun, ketakutan akan kehilangan gadis kecilnya membuatnya memilih bungkam. Air memilih menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Namun, siapa sangka, kebenaran itu justru terbongkar oleh istrinya sendiri.Tak ada yang disesalkan, setidaknya Bulan bisa lebih waspada dan menjaga diri. Karena sewaktu-waktu, musuh bisa saja datang dan menjadikannya target. Lambat laun statusnya sebagai istri dari seorang mafia—pemimpin Dark Costra akan diketahui. Air menahan napas ketika tiba-tiba sepasang tangan melingkar lembut di pinggangnya. Siapa lagi pemilik tangan kecil itu jika bukan sang istri tercinta. Matanya terpejam, menikmati hangatnya pelukan yang begitu membuat mabuk kepayang. “Kenapa bangun,

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Berjanjilah Untuk Tetap Di sini?

    Air kembali ke ruang ganti setelah memastikan istrinya tidur pulas. Ia menatap kotak hitam yang masih tergeletak di lantai. Napasnya terdengar lega saat membuka bagian dalam dari kotak itu. Ia menutup kotak itu, lalu menyimpannya kembali ditempat semula. Air tidak ingin Bulan semakin curiga jika berpindah tempat, istrinya sangat jeli. Meninggalkan kamar, Air pergi ke ruang kerja. Di dalam sana, ia membuka laptop dan menghubungi seseorang lewat sambungan video.“Ada apa?” suara Tuan Aksa muncul, menatap tajam dari balik layar. Namun wajahnya berubah saat melihat raut anaknya yang tampak kacau.“Bulan menemukan senjataku, Dad.” ujarnya lirih, terbayang wajah istrinya yang ketakutan.“Lalu?”Pria itu menghela napas panjang, “Aku takut Bulan meninggalkan aku, Dad. Aku tidak mau kehilangan istriku.” Alis Tuan Aksa terangkat sebelah, pria setengah baya itu tersenyum miring. Di depannya saat ini, bukanlah putranya yang dingin dan Arogan. Tetapi seorang anak yang sedang mengadu dan merenge

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status