“Yon... Yona, tunggu!” suara Mirza menggema di lorong sekolah.
Yona menghentikan langkahnya dengan geram. Ia berbalik cepat, sorot matanya tajam menusuk. “Apa lagi sih, Za? Gara-gara bicara sama kamu kemarin, aku dikejar-kejar sama si ulat bulu itu!” Nada suaranya dingin, penuh kekesalan. Ia sama sekali tak tertarik berurusan dengan dua manusia yang, menurutnya, tak tahu malu itu. “Aku sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi sama dia,” ujar Mirza mencoba menjelaskan. Yona tertawa sinis. “Tidak punya hubungan? Apa kamu pikir aku bakal percaya setelah melihat kalian keluar dari hotel semalam? Jijik, Mirza.” “Cepet, aku sudah dijemput,” tukasnya, berusaha pergi. “Beneran kamu tidak tahu Bulan ke mana?” Yona menghela napas panjang. Matanya melotot penuh kekesalan. Lelaki ini benar-benar bebal. “Aku bukan kamu yang suka berkata bohong. Denger baik-baik, kamu yang meninggalkan Bulan. Kamu lebih memilih si ulat itu daripada sahabat aku yang selama ini selalu ada buat kamu. Dan kalaupun aku tahu Bulan di mana, aku tidak akan pernah memberitahumu. Jangan pernah deketin dia lagi. Jangan sampai selingkuhan kamu itu menyakiti sahabat aku lagi. Paham?!” Yona melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun. Bahkan kalau Mirza memohon di kakinya pun, ia tak peduli. Luka yang pernah ditorehkan lelaki itu pada sahabatnya tak akan mudah dilupakan. “Arrgh! Kamu kemana sih, Bulan...” gumam Mirza frustrasi, meninju udara. Ia berjalan lunglai ke parkiran, hatinya dipenuhi penyesalan. Dalam pikirannya terbayang wajah Bulan—senyumnya yang manis, sikap penurutnya, cerianya, dan betapa ia dulu begitu menjaga dirinya. Begitulah manusia. Saat dimiliki, tak pernah dihargai. Saat kehilangan, barulah menyadari betapa berharganya yang telah pergi. * * * Sementara itu, gadis yang dicari-cari tengah berada di belahan dunia lain. Setelah menempuh penerbangan delapan belas jam, jet pribadi keluarga Zelandra akhirnya mendarat di Bandara Internasional Zurich. Dari sana, mereka langsung menuju hotel mewah di pusat kota. Bulan sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian santai. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang empuk, tubuhnya terasa remuk redam. “Haaa... pinggang-ku mau lepas. Andai bisa minta pintu kemana saja sama si Om, badan aku tidak akan rontok seperti ini kalau diajak jalan-jalan. Kayak rambut aja, rontok,” gumamnya sambil tertawa kecil. “Dia ke mana sih? Baru tiba, langsung kerja? Apakah dia tidak merasa lelah? Ya sudahlah, Terserah dia saja. Sepertinya tidur adalah pilihan terbaik.” Di kamar lain, Air tengah menerima laporan dari Jeff, tangan kanannya yang sudah lebih dulu tiba di Zurich untuk memantau situasi. “Jangan lengah. Terus awasi mereka,” perintah Air dengan dingin, matanya tajam menatap dokumen di tangannya. “Baik, Tuan.” Namun Jeff tampak ragu. Ia melirik Kafi sejenak sebelum bicara lagi. “Ada satu hal lagi, Tuan. Besok, dalam pertemuan dengan Mr. Joseph, Nona Tiara akan turut hadir.” Mata Air menyipit. Wajahnya berubah drastis—Tatapan mata tajamnya terasa menusuk udara, membuat mereka yang berada di ruangan tersebut merasakan seolah-olah membeku. Aura yang dikeluarkan pewaris Zelandra itu terasa begitu kuat, memancarkan kemurkaan dalam hatinya karena berita yang baru disampaikan Jeff. “Siapkan jamuan istimewa untuk besok malam,” ucapnya pelan, tapi penuh ancaman. Senyuman licik muncul di wajah Air. Kafi dan Jeff saling pandang, nyaris gemetar. Mereka tahu, sesuatu tengah disusun. Dan jika Tuan Muda mereka sudah bertindak seperti itu, maka akan ada pertunjukan yang tak mudah dilupakan. “Sepertinya permainan baru akan dimulai,” gumam Kafi lirih. Jeff mengangguk, “Sudah lama aku tidak melihat sisi ini darinya.” * * * “Kenapa Tuan Air membawa serta Nona Muda dalam pertemuan ini?” bisik Jeff pada Kafi. Timbul rasa penasaran yang menyeruak dalam benak Jeff, begitu pula dengan Kafi. Keduanya mengikuti langkah pasangan suami istri yang berjalan di depan mereka, mata mereka tajam bak elang, mengawasi sekitar. “Mana aku tahu. Kau seperti tak kenal Tuan-mu saja. Dia, kan, penuh kejutan.” Mereka saling bertatapan. Jeff mengangguk pelan, sepakat dengan Kafi. Memang benar, meskipun sudah lama bekerja bersama Air, kejutan dari suami Bulan itu seakan tak pernah ada habisnya. Lift bergerak naik membawa keempatnya menuju lantai tempat pertemuan diadakan. Air, dengan santai namun posesif, melingkarkan lengannya di pinggang Bulan. Ia seolah tak peduli pada dua asistennya yang ikut berada di sana. Bulan sendiri merasa risih, tapi entah mengapa, dia terus mengikuti dan menuruti lelaki egois itu. “Lakukan yang terbaik,” bisik Air. Bulan menghela napas panjang. Sejujurnya, ia lebih memilih rebahan di kamar. Ia tidak tertarik—apalagi paham—mengenai urusan bisnis. Bahkan ke kantor Papi-nya sendiri saja ia jarang, apalagi harus duduk satu ruangan dengan orang-orang serius berseragam jas yang membahas hal-hal berat yang tak ia pahami. Kalau saja semalam Air tidak menghubungi Mommy Malika, dia sudah pasti tak akan sudi ikut. Tapi kalimat sang mertua terus terngiang, “Nak, sebagai istri kamu wajib mendampingi suamimu. Akan banyak sekali dari mereka yang berniat tidak baik pada suamimu demi proyek besar ini.” Dengan terpaksa, Bulan mengangguk. Di sisi lain, ia juga penasaran ingin melihat sendiri, seperti apa dunia bisnis yang katanya penuh penjilat dan manipulasi itu. Tapi sepertinya mereka terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin pria seperti Air bisa celaka? Lihat saja, sepanjang lorong menuju ruang pertemuan dipenuhi orang-orang berbaju hitam yang membungkuk setiap kali mereka melintas. Yang paling menyebalkan, hari ini ia harus memakai dress dan sepatu hak tinggi. Padahal biasanya ia nyaman dengan celana jeans, kaos, dan sneakers. Hari ini, tampil feminin itu melelahkan. Kakinya serasa mau lepas. ‘Apa semua istri orang kaya harus tampil cantik dan anggun? Harusnya jadi diri sendiri itu jauh lebih baik. Mau kabur saja susah!’ Pintu kaca dibuka oleh pengawal, dan mereka disambut para pengusaha yang sudah berkumpul. Semua berdiri menyambut sang penerus Zelandra. Melihat Air datang bersama seorang gadis muda, pertanyaan langsung bermunculan. Siapa gadis cantik yang berhasil berdiri di sisi pria dingin tersebut? Cara Air merangkul pinggangnya, jelas bahwa gadis itu istimewa. Beberapa di antara mereka bahkan tampak kecewa. Harapan menjodohkan putri mereka dengan pria karismatik itu seketika pupus. Air menuntun Bulan ke meja yang berada di sudut ruangan, tempat yang nyaman dan strategis. Di atas meja sudah tersedia minuman dan camilan khusus untuk istri kecilnya. “Ingat, jangan buat Mommy kecewa,” bisik Air di telinganya. Posisinya setengah membungkuk, membelakangi meja panjang tempat para pebisnis berdiri. Sekilas, orang akan mengira Air sedang mencium istrinya, karena posisi mereka sangat intim. Padahal, Air sedang mengancam Bulan. “Iya, cerewet! Bisanya mengancam,” balasnya ketus, bibir mengerucut kesal. Air menatapnya tajam. Kalau saja mereka tidak berada di tempat umum, pasti bibir ranum berlapis lip gloss itu sudah dilahapnya. Namun Bulan juga tak mau kalah. Ia balas menatap dengan sorot tajam. Air meniup wajahnya pelan, membuat poni Bulan bergoyang ringan. Fyuuuh. ‘Dia habis minum parfum apa? Wangi banget tuh mulut... duh, pengen dikecup. Iiiih... otakku makin konslet deket-deket om-om tua ini,’ rutuknya dalam hati, kesal pada dirinya sendiri. Air menegakkan tubuh sambil merapikan jas, tapi pandangannya masih terpaku pada Bulan—hangat, nyaris lembut. “Aku ke sana dulu, sayang,” ucapnya seraya mengelus pipi Bulan. ‘Sayang?’ Bulan nyaris tertawa. Telinganya masih berfungsi kan? Apa dia salah makan? Tuan Muda datar, arogan, yang hobinya mengancam itu—panggil dia sayang? Di balik keramaian ruang pertemuan, dua pasang mata saling mengawasi dari sudut berbeda. “Siapa perempuan itu, sampai Air memperlakukannya seperti Ratu?”“Ingat, jangan jauh-jauh dari pengawasan Zack,” ucap Air tegas sebelum istrinya turun dari mobil.Bulan memutar bola mata malas. Entah sudah berapa kali suaminya itu mengingatkan; telinganya sampai panas. Pria itu benar-benar tidak percaya padanya. Padahal, dia nanti hanya pergi ke rumah sakit bersama teman-teman sekolah. Tetapi sikap Air seakan-akan dia akan ikut pelatihan militer.“Iya, Hubby,” balas Bulan singkat. “Sudah bisa aku turun? Sebentar lagi bel bunyi.”“Hem.”Begitu pintu mobil ditutup, Bulan menarik napas panjang. Rasanya seperti baru bebas dari tahanan—bisa menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.“Haah… menyebalkan sekali! Untung suami, kalau bukan sudah aku lelang di pasar loak... Eh, tidak akan laku juga, soalnya terlalu bossy,” gerutunya pelan sambil melangkah menuju gerbang sekolah.“Ke markas,” titah Air datar, setelah memastikan siput nakalnya masuk ke area sekolah.“Baik, Tuan,” jawab Jeff, lalu melajukan mobil menuju tempat yang dituju.***Setengah jam kemu
“Hubby, boleh aku tanya sesuatu?” Bulan bertanya hati-hati sekali. “Mau tanya apa, sweetie?”‘Yesss, hatinya sedang baik.’“Janji ya jangan marah?” Bulan mengacungkan kelingkingnya di depan wajah tampan suaminya. Ekspresi mukanya dibuat memelas sekali. Alis Air tertarik, seringai kecil muncul di bibirnya. “Hem,”“Iss, janji dulu Hubby. Seperti ini,” Bulan menautkan kelingking mereka dengan tak sabaran. “Nah, sudah janji. Hubby tidak boleh marah,”Bulan menarik napas panjang, jujur saja dia sangat gugup. Suaminya susah ditebak, sewaktu-waktu bisa berubah menjadi harimau ganas dan memangsanya. “Bukan Hubby kan yang membuat Mirza masuk rumah sakit?”“Hu-Hubby dengar dulu, aku belum selesai. Nanti aja marahnya, ya. Kita bicara dulu.” Sela Bulan cepat saat mata tajam suaminya menghunusnya tajam. “Aku hanya bertanya, bukan karena aku masih punya rasa atau peduli. Hanya ingin tau saja, just it.” ucap Bulan pelan. “Hem,” Bulan mencebik, bibirnya mengerucut. Suaminya kembali mode es–di
Suara pintu kamar mandi yang dibuka, berhasil mengalihkan fokus Air dari layar iPad. Dia yang sedang duduk bersandar pada headboard tempat tidur, kini menatap sosok kecil yang baru saja keluar dari sana. Bulan baru selesai menyikat gigi, membersihkan diri, dan berganti pakaian tidur. Dia enggan jadi bahan ledekan suaminya lagi—dikatain bau daging. ‘Masa, cantik-cantik bau daging.’ Kalimat singkat itu, tapi sangat menjengkelkan di rungu Bulan. Dalam diam, Air memperhatikan istri kecilnya yang sedang sibuk di depan cermin. Rutinitas wajib setiap malam yang dilakukan gadis itu sebelum tidur. Dari cermin, Bulan bisa melihat suaminya yang menatapnya tanpa ekspresi. Tatapan yang bikin risih seolah dia punya utang miliaran. “Hubby, bisa tidak melihat itu seperti orang normal. Jangan seperti penagih utang. Aku tau, aku ini emang cantik dan manis. Gula sama madu saja minder lihat aku,” ujarnya narsis sambil melangkah ke ranjang. Air menaikkan sebelah alis. Salah satu sudut bibirnya teran
Sentuhan lembut yang diberikan Air di pipi Bulan, membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya. Kelopak mata dihiasi lentiknya bulu panjang itu bergerak-gerak dan perlahan terbuka. Disambut senyum tipis sang pria yang menatapnya lembut dan penuh cinta.“Maaf, saya harus bangunkan kamu. Sebentar lagi malam,” ucap Air masih mengelus pipi kenyal Bulan.Bulan tersenyum dengan mata terbuka sayu, dia memegang tangan yang mengusap pipinya. Dengan gerakan pelan Bulan merubah posisi tidurnya jadi menyamping dan kini tangan lebar itu dijadikan alas bantalnya.“Maaf, tidurnya sampai lupa waktu.” Sesal Bulan, melupakan suaminya yang hari ini pulang lebih awal dari biasanya.“Kamu memang harus banyak istirahat, sayang.” Sahut Air lembut, Bulan sudah terbiasa dengan panggilan sayang dari pria dewasa itu. Jika di awal dia suka mencak-mencak dan mengamuk, sekarang panggilan itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman.Gadis itu tersentak, teringat akan sang Ayah. “Papi dimana? Ya ampun, aku sampai melupak
“Anak haram?” Keduanya sontak menoleh ke arah pintu. Di ambangnya, Shallo berdiri terpaku, wajahnya menunjukkan kebingungan mendalam. Dia baru saja pulang dari rumah sakit setelah menjenguk Mirza—dan kini, kata-kata sang Ayah menghantamnya seperti badai. “A-apa maksud Papa? Siapa anak haram? Apa Papa punya anak lagi dari perempuan lain?” tanyanya tajam, menatap pria yang selama ini ia panggil Papa dengan sorot curiga. “Jangan pernah lagi panggil saya Papa,” suara Bagas dingin, penuh penolakan. “Karena saya bukan Papamu.” Sudah cukup aku membiarkan mereka bersikap semaunya. Terlalu besar harga yang harus dia bayar atas diamnya selama ini. Perusahaan miliknya di ambang kehancuran. “Maaass... dia anakmu!” jerit Rini panik. Dia berdiri, melangkah mendekati Shallo yang kini mematung. “Papamu sedang emosi, sayang. Masuklah ke kamar.” bujuknya lembut. Wanita itu tidak ingin Shallo mendengar lagi kata-kata yang lebih menyakitkan dari suaminya. Namun langkah Shallo terhenti saat su
“Di mana istri dan mertua saya?”tanya Air sambil melangkah masuk ke dalam rumah.“Ada di halaman belakang, Tuan,” jawab seorang pelayan wanita yang mengikuti di belakangnya.“Apa mereka sudah makan?”“Sudah, Tuan.”Air mengangkat tangan, memberikan isyarat halus agar pelayan itu mundur. Sang pelayan pun mengangguk hormat lalu kembali menjalankan tugasnya.Langkah Air berlanjut ke arah halaman belakang. Dari balik pintu kaca yang menghubungkan ruang tengah dengan taman, ia bisa melihat istrinya tengah berbaring, kepalanya beralaskan paha sang Papi mertua. “Ekhem…” Suara deheman itu membuat keduanya menoleh. Tuan Lukman lantas menepuk lembut pipi putrinya.“Bangun, Nak. Sambut suamimu pulang,” ucapnya lembut.Bulan menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dengan enggan. “Iya, Pi.”Ia berdiri menyambut suaminya, mencium hangat tangan pria itu. Air membalas dengan mengelus lembut kepala istrinya.“Masih sakit kepalanya, hm?”tanyanya dengan nada rendah. Bulan mengerutkan keningny