BAB 101 Citra pun membenarkan perkataan Dokter Ardian. Memang Dokter Ardian tidak pernah bersikap kurang ajar padanya. Pernah satu kali saat memaksanya untuk menyusui Nizam, tapi Citra maklum karena waktu itu Nizam menangis sangat kencang sekali. Mungkin Dokter Ardian sangat panik waktu itu, pikirnya. “Kamu tahu, aku baru merasakan menembus perawan yang sebenarnya hari ini. Milikmu. Maaf kalau tadi mungkin mengecewakan atau menyakitkan bagimu, tapi itulah kenyataannya,” tutur Dokter Ardian tiba-tiba Citra pun tidak mengerti, kenapa Dokter Ardian berkata seperti itu. Padahal Dokter Ardian seorang duda, sudah pernah menikah. Seharusnya sudah pernah merasakan itu di malam pertama dengan istri pertamanya. “Kamu pasti bingung dan bertanya-tanya. Aku pun masih bertanya-tanya tentang menembus perawan yang sebenarnya itu seperti apa. Karena waktu aku melakukannya dengan Nadia untuk yang pertama kalinya, aku tidak merasakan dinding penghalang apapun waktu itu. Hanya rasa sempit. Karena Nadi
BAB 103 ‘Kok nggak gerak ya nih orang?’ gumam Citra dalam hati. Ia pun memberanikan diri untuk melihat wajah Dokter Ardian. Tampaklah di sana Dokter Ardian yang sudah memejamkan mata dan tertidur dengan lelap-nya. ‘Udah tidur ternyata. Baru kali ini aku lihat wajah Dokter Ardian dari jarak dekat dan seksama. Ternyata emang ganteng, ya? Dari dulu aku nggak berani memandangnya seperti ini. Nggak nyangka sekarang dia udah jadi suamiku. Bermimpi menikah dengannya pun aku nggak berani, eh sekarang malah tiba-tiba aja dia nikahin aku,’ gumam Citra dalam hati. Tidak lama kemudian Citra pun merasa mengantuk dan ikut tidur di samping Dokter Ardian. *** Ting tong Ting tong Ting tong Berkali-kali bel rumah Dokter Ardian berbunyi. Namun, tidak ada yang membukakan pintu. Hingga akhirnya Dokter Ardian merasa terganggu dan terbangun. “Jam berapa ini? Masih pagi sudah mengganggu orang tidur,” gerutu Dokter Ardian seraya bangkit dan keluar dari kamarnya untuk melihat siapa yang memencet bel rum
BAB 105 Setelah itu ia membuka kunci layar ponsel-nya untuk segera memesan beberapa menu makanan di aplikasi Gejek. Sementara itu Citra mengambil sapu dan pengki di belakang untuk membersihkan pecahan kaca di ruang tamu. Sambil menunggu makanan pesanan datang, Dokter Ardian mengambil tangga di gudang untuk menurunkan foto pernikahannya dengan Nadia. Memang sudah saatnya foto itu pensiun dan berganti foto baru, pernikahannya dengan Citra. Citra membantu Dokter Ardian menurunkan foto itu dengan menunggu di bawah tangga. Namun, karena kurang hati-hati memegang pigura foto yang masih ada pecahan kacanya, jari Citra pun terluka. Ketika Dokter Ardian akan menaruh foto itu di gudang, ia melihat tangan Citra mengeluarkan darah. Memang tidak banyak, tapi kalau tidak dihentikan darah itu akan terus mengalir. “Tangan kamu berdarah, Cit,” ujar Dokter Ardian seraya menarik tangan Citra setelah menaruh pigura foto yang ada tangannya. “Ah, nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit, kok. Aku mandi dulu,
BAB 107 “Ada apa?” tanya Dokter Ardian seraya memilih pakaian di dalam almari. Ia harus segera berangkat ke rumah sakit. “Mm … anu, Mas, makanannya sudah datang. Ayo makan nanti keburu dingin,” balas Citra dengan kikuk. “Aku ada SC sekarang,” balas Dokter Ardian sembari memakai kaos dalam. “Oh,” sahut Citra singkat. “Kok ‘Oh’ doang sih? Bantuin dong, Cit!” ujar Dokter Ardian sambil memakai kemeja. Citra pun masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arah Dokter Ardian. “Dibantuin apa?” tanya Citra. Ia tidak tahu bantuan apa yang diminta suaminya itu. “Kancingkan!” perintah Dokter Ardian seraya menunjuk kancing kemeja-nya. “Oh, oke,” balas Citra lalu mulai mengancingkan kemeja Dokter Ardian. Sementara itu tangan Dokter Ardian mengambil celana dalam kemudian memakainya di depan Citra. Citra pun segera memejamkan matanya saat Dokter Ardian melepas handuk-nya. Dokter Ardian tersenyum samar ketika melihat Citra yang masih malu-malu padanya. “Kenapa memejamkan mata?” tanya Dokter Ardian
BAB 109 Dokter Herlina pun membawa bayi itu ke sebuah meja dengan lampu sangat terang untuk diperiksa dan dibersihkan jalan napasnya. Setelah itu ia menimbang bayi itu untuk mengetahui berat lahir bayi tersebut. Dokter Ardian merasa lega karena ibu dan bayinya selamat. Ia ingin segera menyelesaikan operasi ini supaya bisa segera pulang. Sedari tadi di pikirannya hanya ada Citra yang tengah menunggunya di dalam mobil. Usai melakukan heating, Dokter Ardian melepas semua APD yang menempel pada tubuhnya dibantu seorang perawat. Setelah itu ia mencuci tangannya lalu duduk pada sebuah meja untuk menulis laporan kembali. Sambil menulis, Dokter Ardian tersenyum-senyum sendiri dan sesekali menggelengkan kepalanya. Dokter Herlina memperhatikan itu karena ia berada tidak jauh dari tempat Duduk Dokter Ardian. Dokter Ardian teringat kejadian di dalam mobil tadi. Citra menyuapinya dengan penuh kesabaran dan sangat telaten. Almarhumah Nadia saja belum pernah melakukan hal itu padanya. Karena itu
BAB 111 “Pergi? Ke mana?” tanya Dokter Ardian sembari mengerutkan keningnya. “Saya tidak tahu, Pak. Tadi waktu saya baru sampai di depan gerbang, saya melihat Mbak Citra pergi dengan membawa tas yang dulu pertama kali ia bawa ke sini. Sudah saya panggil, tadinya mau nanya hendak pergi ke mana, tapi Mbak Citra-nya keburu naik taksi dan sudah terlalu jauh. Mungkin tidak dengar,” tutur Bik Yati menjelaskan. “Oh gitu. Ya sudah, Bik. Makasih, ya. Kalau capek istirahat saja. Jangan dipaksakan kerjanya. Kan baru sembuh,” balas Dokter Ardian dengan ramah seperti biasanya. “Iya, Pak,” balas Bik Yati sopan. Setelah itu Dokter Ardian pun segera menaiki anak tangga dengan tidak sabar. Sesampainya di lantai atas, ia masuk ke dalam kamar Citra. Ia berjalan mendekati almari Citra dan membukanya. Ia ingin tahu apakah Citra membawa semua pakaiannya atau tidak. Saat pintu almari terbuka, ia melihat beberapa lipatan pakaian Citra tampak berantakan dan terlihat berkurang jumlahnya. Sepertinya Citra
BAB 113 Usai itu Citra buru-buru keluar dari rumah dan tidak lupa mengunci pintunya kembali. Kemudian ia naik taksi kembali menuju Puskesmas di mana Ibunya dirawat tanpa menoleh ke belakang. Sesampainya di depan Puskesmas Anggrek, Citra pun segera turun setelah membayar argo taksi yang ditumpanginya. Ia sempat terkejut karena argo taksi yang mahal. Ia terbiasa naik angkot yang cukup murah dan terjangkau di kantongnya. Dengan segera Citra mencari di mana Ibunya berada. Mulai dari UGD hingga akhirnya ia bertanya pada bagian informasi. Setelah mendapatkan informasi di mana kamar Ibunya, Citra pun segera masuk untuk melihat keadaan Ibunya. “Ibuk!” panggil Citra dengan menangis. Ia tidak pernah melihat Ibunya tidak sadarkan diri seperti ini. Ia pun memeluk Ibunya yang terbaring di atas tempat tidur. “Udah nggak apa-apa. Cuma luka sedikit. Ibu kamu pingsan karena terkejut,” ujar Tina tiba-tiba di ambang pintu. Sedari tadi ia menjaga Bu Ratna karena tidak ada yang menjaganya. Sebelum Ci
BAB 115 Adzan subuh berkumandang. Alarm pada ponsel Dokter Ardian pun berbunyi. Tidak lama kemudian Dokter Ardian terjaga dan membuka matanya untuk mematikan alarm pada ponsel-nya. Usai itu ia melihat ke samping kanannya. Biasanya Citra berbaring di sampingnya. Namun, kali ini tidak ada. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya dengan malas untuk menunaikan ibadah salat subuh. Pagi hari, Dokter Ardian menuruni anak tangga dengan langkah tidak bersemangat. Di tangan kanannya, ia membawa tas yang biasa ia bawa bekerja. Di tangan kirinya ia membawa tas lain yang berisi pakaian yang akan ia bawa ke rumah Bu Ratna. Kali ini ia akan menikmati sarapan paginya seorang diri. Dulu, sebelum menikah dengan Nadia, ia menikmati sarapan dengan Mama dan Papa-nya. Usai itu muncul Nadia di hidupnya. Hari-harinya pun ditemani Nadia, tapi itu tidak berlangsung lama karena Tuhan mengambilnya saat melahirkan Nizam. Setelah kematian Nadia, Citra-lah yang menemaninya sarapan setiap harinya hingga saat ini Citra