Malamnya, aku berdiri di balkon kamarku. Angin membawa aroma laut yang samar, dan langit penuh bintang menggantung tanpa suara. Tapi pikiranku bising.
Grayson mendekat, memelukku dari belakang, dagunya bersandar di pundakku. "Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk pelan. "Hanya berpikir... betapa berbedanya segalanya sekarang. Dulu aku hanya ingin lari dari semua ini. Tapi kini, aku memilih tinggal. Memilih bertarung."
"Kau telah berubah," katanya lembut.
"Kau juga," bisikku. "Dan perubahan itu... menakutkan. Tapi juga indah."
Kami terdiam dalam pelukan itu. Dunia di luar sana masih penuh ancaman. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, aku merasa pulang.
"Grayson... jika semuanya berakhir, jika kita selamat... apa yang kau lihat dalam masa depan kita?"
Ia menghela napas, lalu membalik tubuhku agar kami saling berhadapan. "Aku melihat... rumah yang tenang. Mungkin di tempat terpencil. Tanpa penjagaan. Tanpa ancaman. Kau berkebun, dan aku
Cahaya lampu redup menyorotiku dari atas, membuat bayangan rantai yang menggantung di tanganku menari di dinding batu. Udara di ruangan itu lembap, berbau karat bercampur darah. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku di sini—jam, atau mungkin hari—karena waktu seakan kehilangan artinya ketika setiap detik adalah siksaan.Verena berdiri di hadapanku, matanya tajam bagai kaca pecah. Ia tak puas meski tubuhku sudah penuh memar. Ia haus sesuatu yang lebih—pengakuan. “Kau bisa menghentikan semua ini,” bisiknya, suaranya licin seperti racun. “Ucapkan saja bahwa kau bagian dari kami. Castel tidak mati. Kau adalah warisan itu.”Aku mendongak, meski wajahku berat karena lebam. “Kau salah. Castel mati di saat ayahku memilih cinta, bukan darah. Dan aku mewarisi keberanian itu, bukan warisanmu.”Tawa tipisnya pecah, melengking, lalu mendadak hilang. Ia menamparku sekali lagi, keras, hingga kursi tempatku diikat bergeser. &
Udara di ruangan itu lembab, bau besi berkarat bercampur dengan sisa darah kering di lantai. Aku duduk di kursi besi, tangan diikat kuat dengan rantai yang membekas di pergelangan. Lampu gantung di atas kepala berayun pelan, cahayanya redup, seakan ikut menyiksaku dengan bayangan panjang yang terus menari di dinding.Hari-hari di sini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Tidak ada waktu, tidak ada matahari. Hanya dinding batu dan langkah penjaga yang datang bergantian, membawa makanan seadanya atau cambuk bila aku mencoba melawan.Verena muncul sore itu, langkahnya bergema di lantai marmer retak. Gaun hitamnya berkilau samar, bibir merahnya melengkung ke dalam senyum puas. Ia menatapku seakan aku hanyalah boneka yang menunggu giliran dipatahkan.“Kau tahu kenapa kau di sini, Eleanor?” tanyanya, suaranya seperti bisikan ular.Aku menegakkan tubuh, meski tubuhku penuh lebam. “Karena kau takut aku akan merusak permainanmu.&rd
Aku akhirnya tiba di titik yang ditentukan. Langkahku berhenti tepat di depan gudang tua yang ditunjuk dalam pesan. Bangunan itu berdiri di pinggir pelabuhan yang setengah mati, hanya diterangi lampu jalan yang berkedip-kedip seperti nyawa yang hampir padam. Bau garam bercampur karat dan oli terbakar menusuk hidung. Sunyi, terlalu sunyi.Aku mulai curiga, ini bukan tempat Eleanor ditahan. Tidak ada suara, tidak ada getaran napas yang bisa kutangkap. Mungkin ini adalah jebakan yang menunggu mangsanya.Kupasang pistol di tangan kanan, pisau lipat di pinggang. Radio kupadamkan. Malam ini aku benar-benar datang sendiri, sebagaimana yang mereka inginkan.Pintu gudang berderit saat kudorong. Suara itu seperti teriakan panjang, menyambutku ke dalam perut kegelapan. Begitu masuk, lampu-lampu neon tua menyala serentak, menyorot ruang kosong selebar lapangan bola.Di tengah ruangan, hanya ada kursi kosong yang diikat rantai—seolah menunggu seseorang duduk di
Aku tidak pernah menyukai keheningan. Bagi orang lain, hening bisa menenangkan, tapi bagiku... itu adalah ruang di mana semua kemungkinan buruk berbisik. Dan malam ini, keheningan menjerit lebih keras dari dentuman peluru.Jejak Eleanor lenyap begitu saja.Mobil yang membawanya keluar dari area bentrokan di Nice sudah hangus, ditemukan di sebuah jalur pegunungan. Tubuh pengemudi gosong tak bisa dikenali, dan aku tahu itu bukan Eleanor. Mereka tidak akan membunuhnya dengan cepat. Tidak ketika dia adalah kunci.“Ada kamera lalu lintas di jalur tol timur,” suara Vincent pecah lewat radio di tanganku. “Kami cek rekaman, mobil kedua keluar jalur dan berganti kendaraan. Platnya palsu. Tidak ada wajah yang terekam jelas. Mereka menutup setiap sudut.”Aku menggenggam radio itu terlalu kencang hingga sendi jariku memutih. Mereka pikir bisa menyembunyikan Eleanor dariku? Mereka lupa—aku sudah kehilangan segalanya sekali. Aku tidak akan m
Aku menekan pedal gas sedalam mungkin. Deru mesin mobil terdengar seperti raungan binatang terluka, seolah ikut merasakan kegelisahanku. Jalanan berliku di pegunungan hanya jadi bayangan kabur di mataku. Hanya ada satu hal yang jelas—Eleanor.Sejak laporan masuk melalui radio, jantungku seperti diperas. Ada kontak senjata di gedung tua itu, Vincent sempat kehilangan sinyal radio dengan salah satu tim, dan Eleanor… Eleanor yang seharusnya aman dalam pengawasan, tidak lagi memberi tanda.Aku mengepalkan setir, kulit tanganku memutih. “Bertahanlah,” bisikku pada udara. “Kali ini aku tidak akan terlambat.”Elio duduk di sampingku, wajahnya menegang. “Kami kehilangan visual terakhirnya dua menit setelah baku tembak. Ada gangguan sinyal.”Kata-katanya menusuk dadaku. Jebakan. Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku tidak membiarkan Eleanor maju terlalu jauh ke dalam arena itu.Aku menghantam setir dengan kepal
Kabut asap semakin menebal, seakan terowongan itu berubah menjadi labirin hantu. Suara peluru bersahutan, memantul di dinding batu, memekakkan telinga. Aku menunduk di balik pintu mobil, tubuhku menempel erat pada dinginnya logam, sementara jari-jariku menggenggam pistol dengan kaku.“Jangan lepaskan pandanganmu, Eleanor!” teriak Vincent dari sisi lain, tubuhnya setengah keluar jendela sambil membalas tembakan.Aku mengangguk meski ia mungkin tak melihatnya. Dadaku naik-turun cepat, napas pendek-pendek. Setiap detik terasa seperti garis tipis antara hidup dan mati.Dari balik kabut, sosok-sosok hitam bermunculan. Langkah mereka cepat, terlatih, formasi mereka bukan milisi biasa. Aku bisa melihat pantulan lampu senjata di antara kepulan asap, lalu—DOR!Salah satu dari mereka terjatuh, darahnya membasahi lantai terowongan. Tapi jumlah mereka lebih banyak. Terlalu banyak.“Aku hitung ada dua belas,” desis