Share

Alur Kita Berbeda

Penulis: KIKHAN
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-29 19:35:03

Mila hanya tidur 3 jam karena menonton drama dari pukul 8 malam sampai 4 subuh, lalu lanjut lagi sampai jam 10 setelah salat. Nasihat Stephen benar-benar masuk ke otak setelah lewat jalur telinga. Tetapi tenang saja wahai teman-teman, ia masih bisa istirahat setelah sarapan. Atau mungkin tidak karena akan kedatangan tamu.

Mereka pasti datang untuk memastikan jawaban. Mila ingin sekali menolak, tapi takut dianggap durhaka. Kalau menerima pun jadi tekanan diri sendiri. Usaha untuk kabur pula sudah malas ia pikirkan. Biarlah mereka menikah, saat sudah bosan karena tidak saling cinta, pasti mereka mudah bercerai.

Walaupun Stephen berpengalaman menulis segala genre, Mila heran mengapa dia belum punya kekasih. Cara pria itu bicara sudah seperti psikolog yang sedang memberi solusi pasien kena mental.

Ia berkaca lalu membuka matanya walau mengantuk. "Bangun, Mila ... Udah pagi, harus hadapin mereka!" Ia tidak semangat bahkan setelah tidur selama 5 menit. "Apa gue harus nyanyi dulu?" tanyanya pada diri sendiri.

Mila membuka youtube lalu mengaktifkan mik dan 2 speaker, bersiap karaoke sambil menunggu Meida dan Diaz datang.

"Nah ini lagunya pas." Menurut Mila, judul lagu "Pernikahan Dini" sangat tepat untuknya. Walaupun menurut orang-orang di umurnya sudah pantas menikah, apalagi Diaz yang mirip om-om tongkrongan depan pos kamling. Ia tetap menganggap ini pernikahan dini.

Musik intro sudah disetel dengan suara keras. Mila memegang mikrofon dan bernyanyi sesuka hatinya.

"Dalam setiap percintaan

Tak selalu manis terasa

Dalam kisah ini paparkan apa

Yang banyak terjadi

Dini belia usiamu

Terpaut cinta belum saatnya

Setiap hela nafas yang berdesah

Hanyalah cintaaaaaa~"

"Pernikahan dini

Bukan cintanya yang terlarang

Hanya waktu saja belum tepat

Merasakan semuaaaaaa~~"

Fila geleng-geleng kepala mendengar konser dari kamar anaknya. "Mila ... Mereka udah datang!" teriak Fila dari pintu kamar Mila yang berisik suara musik. 

"Oke, Bun!"

Mila mematikan musik, setelah itu menuju kamar mandi karena belum mandi sejak pagi.

Menurut Mila, Diaz itu sangat rajin. Masih jam 10 pagi lewat 20 menit saja sudah datang untuk menagih jawaban. Harusnya setelah kemarin mengubah pikiran orang, dia tahu dong jawabannya. Setelah mandi dan pakai baju santai, ia turun ke ruang tamu.

"Pagi, Tante." Mila menyapa mereka cukup ketus. "Om," lanjutnya pelan.

Diaz mengerjap. Bahkan dirinya masih dipanggil "om" oleh Mila.

Mila duduk di sebelah Fila yang langsung membuka topik. "Mereka kesini untuk memastikan jawaban kamu. Gimana?"

"Oke, Mila terima." Ia terpaksa mengatakan itu sambil menatap sinis Diaz yang terkejut mendengar jawabannya. Apa dia pikir Mila akan menolak setelah pria itu membawa kalimat "durhaka pada orang tua" yang merujuk padanya? Dan Stephen yang sudah capai-capai menyusun kalimat mutiara kemarin?

"Tapi aku harus tetap jadi penulis novel," imbuhnya memberi syarat. Jujur ia tidak bisa apa-apa mengurus rumah selain menyapu dan mengepel. Keahlian Mila yang paling utama yaitu menghalu bersama tokoh-tokoh pria tampan di novelnya, tidur paling lama, dan makan paling cepat.

Meida mengucap syukur. "Tante bersyukur sekali kamu menerima perjodohan kami, Mila."

"Iya." Malas sekali harus merespons mereka.

Fila berkata, "Dipercepat aja, Mei."

Mila melotot sebentar tapi langsung biasa saja. "Terserah kalian. Mila ikut." Ia tersenyum picik begitu ditatap Diaz. "Lo liat aja nanti gimana ngenesnya pernikahan kita," batinnya tersenyum puas.

Diaz mengalihkan tatapan ke Meida. "Kalau bisa pekan ini. Lebih cepat lebih baik."

Meida dan Fila sama-sama bahagia mendengar anaknya sangat antusias mempercepat pernikahan.

"Ya sudah, nanti kita yang atur. Kalian siap-siap fitting baju ya," ucap Meida begitu terharu dan tidak sabar.

Tidak tahu saja apa yang terjadi dengan calon pengantin di depannya.

"Nantangin gue ternyata," batin Mila terkekeh pelan.

Diaz juga membatin. "Saya akan ikuti permainan kamu, Mila."

Fila dan Meida berbincang lebih lanjut mengenalkan karakter anak satu sama lain. Mila izin masuk kamar untuk mengetik episode, sedangkan Diaz berada di depan pintu kamarnya entah jadi pengusir ruh jahat atau apa.

"Saya kaget tiba-tiba kamu setuju. Padahal dua hari yang lalu minta dibatalin," ujar Diaz sembari bersandar miring di pintu dan bersedekap tangan.

"Ikutin aja permintaan mereka, toh gue yang ngatur alurnya." Ia fokus menulis episode novelnya sampai tidak sempat melirik Diaz.

"Kamu salah."

Mila berdecak dan berhenti mengetik.

"Bukan kamu, tapi saya."

"Gue gak pernah bikin novel cowok, jadi gak tau sudut pandang cowok kayak apa," tandasnya lalu mengetik lagi.

"Kamu nerima perjodohan ini karena terpaksa. Tapi gak akan seterusnya begitu. Akan ada waktunya kamu justru mempertahankan pernikahan."

Mila tertawa kencang dan mungkin Fila dengan Meida dengar suaranya. "Ikut halu, Om?" ejeknya.

"Kamu selalu buat novel pakai sudut pandang perempuan, kan? Itu alurnya."

Wajah Mila pias. Benar, kebanyakan novelnya tidak ada yang bercerai walaupun di awal dijodohkan selain tokoh pria dibuat tewas. Mereka hidup bersama saling mencintai dan mempertahankan pernikahan. Hanya saja, pelakor dan hilangnya dukungan orang tua menjadi penghambat hidup para tokohnya.

"Saya salah?" Diaz tersenyum.

"Kita bukan ada di novel yang alurnya bebas dibuat penulis. Di kehidupan nyata, kita buat sendiri alur yang kita mau." Mila menjawabnya agak ragu sebab Diaz mematikan kalimatnya.

"Tuhan yang mengatur alur hidup kita," pungkasnya.

Detak jantung Mila sekarang tidak normal. Ia takut termakan ucapan sendiri. Stephen juga berkata ini takdir mereka. Bagaimana kalau nanti tidak jadi cerai? 

"Gue bakal bahagia sama orang yang gue cinta. Dan itu bukan lo," tuturnya.

"Kalimat itu akan terus saya ingat. Nanti begitu kamu mencintai saya tapi saya mencintai wanita lain, kamu akan jatuh sedalam-dalamnya."

Mila ingin sekali merobek mulut pria itu. "Pegang aja," ucapnya tak main-main. "Pegang sampai omongan gue terbukti. Lo yang bakal jatuh, Diaz." Masa bodo memanggilnya nama langsung. Ia kembali mengetik dengan hembusan napas lelah meladeni sikap pria itu.

Diaz pergi setelah menampilkan senyumnya. Dia bukannya kalah, tapi mengalah. Mila selalu bisa menampik ucapannya. Kosa kata dan argumen gadis itu benar-benar baik, pantas jadi seorang penulis.

Mila berhenti mengetik dan mengepalkan kedua tangannya yang gugup karena ucapan Diaz memengaruhi pikirannya. "Gue bakal buktiin biar lo sengsara."

"Diaz udah ngobrol sama Mila?" tanya Fila begitu melihat calon menantunya turun.

"Kalian ngobrol apa? Mila kok sampai ketawa gitu?" tanya Meida.

Mila yang kebetulan keluar dari kamar langsung menatap sinis mereka. Dia juga harus mengulur waktu untuk mempersulit Diaz.

"Kita ngobrol biasa, gak ada yang spesial." Diaz masih berdiri, menjawab dengan senyum paksaan.

"Oh iya ... karena Mila masih punya pacar, itu tanggung jawab Diaz buat ngomong ke dia tentang perjodohan ini," serunya dari ruang makan untuk mengambil jus mangga.

Diaz melihat Mila tersenyum puas padanya. "Sabar," batinnya.

"Harusnya kamu dong, Mil." Fila geleng-geleng kepala.

"Kalo Mila yang ngomong nanti dia gak mau putus. Yang ada aku diajak kawin lari."

Fila melotot. "Gak boleh kawin lari!"

"Maka dari itu, alangkah baiknya Diaz yang ngomong."

"Kamu bisa kan?" Meida memegang pundak anaknya.

"Hari ini bawa saya ke orangnya," jawab Diaz. Dia tidak ada cara lain.

"Lo tau lagi gue mainin," batin Mila.

"Fitting bajunya besok aja, hari ini saya mau ke PACARnya Mila." Sengaja ia tekan kata "pacar" sambil menebar senyum paksaan.

"Oke." Mila mengacungkan jempol dari balik tembok.

"Kalian kompak ya," puji Fila.

"Semoga kalian terus begini," tutur Meida.

"Naj*s," gerutu Mila. Dia menunjukkan senyum ke mereka,

"Tunggu, mau siap-siap."

Diaz menepuk pahanya sendiri lalu beranjak, "Diaz tunggu di luar." Boleh tidak bicara kasar di sini? Diaz dipermainkan seorang perempuan yang 5 tahun dibawah umurnya.

Mila senyum-senyum di depan kaca. "Gue gak sabar liat reaksi om tua itu." Ia tertawa jahat sampai menggelegar, untung pintu kamarnya tertutup dan kedap suara.

Diaz sudah ada di dalam mobil. Dia tengah merancang kalimat agar pacar Mila melepaskan Mila yang hendak menikah.

"Jalan." Mila ternyata sudah masuk dan duduk di sebelah Diaz.

"Udah pamitan belum?"

"Udah lah."

Diaz pun melajukan mobil dan memberikan ponselnya. "Cantumin alamat rumahnya," pinta Diaz.

"Lo gak takut?" tanya Mila sembari mengetikkan alamat rumah Revan. 

"Buat apa."

"Dia jago beladiri."

"Saya bisa bunuh orang."

Mila ingin mundur tapi punggungnya menubruk pintu mobil.

"Saya ... akan ikuti permainan kamu."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikah karena Wasiat   TAMAT

    Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~

  • Terpaksa Menikah karena Wasiat   Adil

    "Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m

  • Terpaksa Menikah karena Wasiat   Pengacara Monica

    Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer

  • Terpaksa Menikah karena Wasiat   Harus Ikhlas

    "Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa

  • Terpaksa Menikah karena Wasiat   Pemakaman Monica dan Eric

    Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa

  • Terpaksa Menikah karena Wasiat   Sulit Diterima

    Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status