Mila hanya tidur 3 jam karena menonton drama dari pukul 8 malam sampai 4 subuh, lalu lanjut lagi sampai jam 10 setelah salat. Nasihat Stephen benar-benar masuk ke otak setelah lewat jalur telinga. Tetapi tenang saja wahai teman-teman, ia masih bisa istirahat setelah sarapan. Atau mungkin tidak karena akan kedatangan tamu.
Mereka pasti datang untuk memastikan jawaban. Mila ingin sekali menolak, tapi takut dianggap durhaka. Kalau menerima pun jadi tekanan diri sendiri. Usaha untuk kabur pula sudah malas ia pikirkan. Biarlah mereka menikah, saat sudah bosan karena tidak saling cinta, pasti mereka mudah bercerai.
Walaupun Stephen berpengalaman menulis segala genre, Mila heran mengapa dia belum punya kekasih. Cara pria itu bicara sudah seperti psikolog yang sedang memberi solusi pasien kena mental.
Ia berkaca lalu membuka matanya walau mengantuk. "Bangun, Mila ... Udah pagi, harus hadapin mereka!" Ia tidak semangat bahkan setelah tidur selama 5 menit. "Apa gue harus nyanyi dulu?" tanyanya pada diri sendiri.
Mila membuka youtube lalu mengaktifkan mik dan 2 speaker, bersiap karaoke sambil menunggu Meida dan Diaz datang.
"Nah ini lagunya pas." Menurut Mila, judul lagu "Pernikahan Dini" sangat tepat untuknya. Walaupun menurut orang-orang di umurnya sudah pantas menikah, apalagi Diaz yang mirip om-om tongkrongan depan pos kamling. Ia tetap menganggap ini pernikahan dini.
Musik intro sudah disetel dengan suara keras. Mila memegang mikrofon dan bernyanyi sesuka hatinya.
"Dalam setiap percintaan
Tak selalu manis terasaDalam kisah ini paparkan apaYang banyak terjadiDini belia usiamuTerpaut cinta belum saatnyaSetiap hela nafas yang berdesahHanyalah cintaaaaaa~""Pernikahan dini
Bukan cintanya yang terlarangHanya waktu saja belum tepatMerasakan semuaaaaaa~~"Fila geleng-geleng kepala mendengar konser dari kamar anaknya. "Mila ... Mereka udah datang!" teriak Fila dari pintu kamar Mila yang berisik suara musik.
"Oke, Bun!"
Mila mematikan musik, setelah itu menuju kamar mandi karena belum mandi sejak pagi.
Menurut Mila, Diaz itu sangat rajin. Masih jam 10 pagi lewat 20 menit saja sudah datang untuk menagih jawaban. Harusnya setelah kemarin mengubah pikiran orang, dia tahu dong jawabannya. Setelah mandi dan pakai baju santai, ia turun ke ruang tamu.
"Pagi, Tante." Mila menyapa mereka cukup ketus. "Om," lanjutnya pelan.
Diaz mengerjap. Bahkan dirinya masih dipanggil "om" oleh Mila.
Mila duduk di sebelah Fila yang langsung membuka topik. "Mereka kesini untuk memastikan jawaban kamu. Gimana?"
"Oke, Mila terima." Ia terpaksa mengatakan itu sambil menatap sinis Diaz yang terkejut mendengar jawabannya. Apa dia pikir Mila akan menolak setelah pria itu membawa kalimat "durhaka pada orang tua" yang merujuk padanya? Dan Stephen yang sudah capai-capai menyusun kalimat mutiara kemarin?
"Tapi aku harus tetap jadi penulis novel," imbuhnya memberi syarat. Jujur ia tidak bisa apa-apa mengurus rumah selain menyapu dan mengepel. Keahlian Mila yang paling utama yaitu menghalu bersama tokoh-tokoh pria tampan di novelnya, tidur paling lama, dan makan paling cepat.
Meida mengucap syukur. "Tante bersyukur sekali kamu menerima perjodohan kami, Mila."
"Iya." Malas sekali harus merespons mereka.
Fila berkata, "Dipercepat aja, Mei."
Mila melotot sebentar tapi langsung biasa saja. "Terserah kalian. Mila ikut." Ia tersenyum picik begitu ditatap Diaz. "Lo liat aja nanti gimana ngenesnya pernikahan kita," batinnya tersenyum puas.
Diaz mengalihkan tatapan ke Meida. "Kalau bisa pekan ini. Lebih cepat lebih baik."
Meida dan Fila sama-sama bahagia mendengar anaknya sangat antusias mempercepat pernikahan.
"Ya sudah, nanti kita yang atur. Kalian siap-siap fitting baju ya," ucap Meida begitu terharu dan tidak sabar.
Tidak tahu saja apa yang terjadi dengan calon pengantin di depannya.
"Nantangin gue ternyata," batin Mila terkekeh pelan.
Diaz juga membatin. "Saya akan ikuti permainan kamu, Mila."
Fila dan Meida berbincang lebih lanjut mengenalkan karakter anak satu sama lain. Mila izin masuk kamar untuk mengetik episode, sedangkan Diaz berada di depan pintu kamarnya entah jadi pengusir ruh jahat atau apa.
"Saya kaget tiba-tiba kamu setuju. Padahal dua hari yang lalu minta dibatalin," ujar Diaz sembari bersandar miring di pintu dan bersedekap tangan.
"Ikutin aja permintaan mereka, toh gue yang ngatur alurnya." Ia fokus menulis episode novelnya sampai tidak sempat melirik Diaz.
"Kamu salah."
Mila berdecak dan berhenti mengetik.
"Bukan kamu, tapi saya."
"Gue gak pernah bikin novel cowok, jadi gak tau sudut pandang cowok kayak apa," tandasnya lalu mengetik lagi.
"Kamu nerima perjodohan ini karena terpaksa. Tapi gak akan seterusnya begitu. Akan ada waktunya kamu justru mempertahankan pernikahan."
Mila tertawa kencang dan mungkin Fila dengan Meida dengar suaranya. "Ikut halu, Om?" ejeknya.
"Kamu selalu buat novel pakai sudut pandang perempuan, kan? Itu alurnya."
Wajah Mila pias. Benar, kebanyakan novelnya tidak ada yang bercerai walaupun di awal dijodohkan selain tokoh pria dibuat tewas. Mereka hidup bersama saling mencintai dan mempertahankan pernikahan. Hanya saja, pelakor dan hilangnya dukungan orang tua menjadi penghambat hidup para tokohnya.
"Saya salah?" Diaz tersenyum.
"Kita bukan ada di novel yang alurnya bebas dibuat penulis. Di kehidupan nyata, kita buat sendiri alur yang kita mau." Mila menjawabnya agak ragu sebab Diaz mematikan kalimatnya.
"Tuhan yang mengatur alur hidup kita," pungkasnya.
Detak jantung Mila sekarang tidak normal. Ia takut termakan ucapan sendiri. Stephen juga berkata ini takdir mereka. Bagaimana kalau nanti tidak jadi cerai?
"Gue bakal bahagia sama orang yang gue cinta. Dan itu bukan lo," tuturnya.
"Kalimat itu akan terus saya ingat. Nanti begitu kamu mencintai saya tapi saya mencintai wanita lain, kamu akan jatuh sedalam-dalamnya."
Mila ingin sekali merobek mulut pria itu. "Pegang aja," ucapnya tak main-main. "Pegang sampai omongan gue terbukti. Lo yang bakal jatuh, Diaz." Masa bodo memanggilnya nama langsung. Ia kembali mengetik dengan hembusan napas lelah meladeni sikap pria itu.
Diaz pergi setelah menampilkan senyumnya. Dia bukannya kalah, tapi mengalah. Mila selalu bisa menampik ucapannya. Kosa kata dan argumen gadis itu benar-benar baik, pantas jadi seorang penulis.
Mila berhenti mengetik dan mengepalkan kedua tangannya yang gugup karena ucapan Diaz memengaruhi pikirannya. "Gue bakal buktiin biar lo sengsara."
"Diaz udah ngobrol sama Mila?" tanya Fila begitu melihat calon menantunya turun.
"Kalian ngobrol apa? Mila kok sampai ketawa gitu?" tanya Meida.
Mila yang kebetulan keluar dari kamar langsung menatap sinis mereka. Dia juga harus mengulur waktu untuk mempersulit Diaz.
"Kita ngobrol biasa, gak ada yang spesial." Diaz masih berdiri, menjawab dengan senyum paksaan.
"Oh iya ... karena Mila masih punya pacar, itu tanggung jawab Diaz buat ngomong ke dia tentang perjodohan ini," serunya dari ruang makan untuk mengambil jus mangga.
Diaz melihat Mila tersenyum puas padanya. "Sabar," batinnya.
"Harusnya kamu dong, Mil." Fila geleng-geleng kepala.
"Kalo Mila yang ngomong nanti dia gak mau putus. Yang ada aku diajak kawin lari."
Fila melotot. "Gak boleh kawin lari!"
"Maka dari itu, alangkah baiknya Diaz yang ngomong."
"Kamu bisa kan?" Meida memegang pundak anaknya.
"Hari ini bawa saya ke orangnya," jawab Diaz. Dia tidak ada cara lain.
"Lo tau lagi gue mainin," batin Mila.
"Fitting bajunya besok aja, hari ini saya mau ke PACARnya Mila." Sengaja ia tekan kata "pacar" sambil menebar senyum paksaan.
"Oke." Mila mengacungkan jempol dari balik tembok.
"Kalian kompak ya," puji Fila.
"Semoga kalian terus begini," tutur Meida.
"Naj*s," gerutu Mila. Dia menunjukkan senyum ke mereka,
"Tunggu, mau siap-siap."
Diaz menepuk pahanya sendiri lalu beranjak, "Diaz tunggu di luar." Boleh tidak bicara kasar di sini? Diaz dipermainkan seorang perempuan yang 5 tahun dibawah umurnya.
Mila senyum-senyum di depan kaca. "Gue gak sabar liat reaksi om tua itu." Ia tertawa jahat sampai menggelegar, untung pintu kamarnya tertutup dan kedap suara.
Diaz sudah ada di dalam mobil. Dia tengah merancang kalimat agar pacar Mila melepaskan Mila yang hendak menikah.
"Jalan." Mila ternyata sudah masuk dan duduk di sebelah Diaz.
"Udah pamitan belum?"
"Udah lah."
Diaz pun melajukan mobil dan memberikan ponselnya. "Cantumin alamat rumahnya," pinta Diaz.
"Lo gak takut?" tanya Mila sembari mengetikkan alamat rumah Revan.
"Buat apa."
"Dia jago beladiri."
"Saya bisa bunuh orang."
Mila ingin mundur tapi punggungnya menubruk pintu mobil.
"Saya ... akan ikuti permainan kamu."
Diaz tahu Mila sedang usil menyuruh bicara pada kekasihnya. Mereka sudah ada di depan Rumah, tepatnya depan pintu. Mila mengetuk pintu rumah Revan. "Revan ... " Dia berteriak, sengaja.Diaz menoleh cepat, matanya memicing. Namun karena dilihat Mila juga, dia mencoba acuh."Kenapa lo? Gak suka?" tandasnya.Sebelum Diaz jawab, rupanya pintu terbuka memunculkan sosok pria dengan rambut cokelat klimis belah kanan sedang suntuk kurang tidur karena kantung matanya menghitam."Revan, kamu kenapa matanya sembab gini?" Mila menangkup wajah Revan.Revan menurunkan tangan Mila perlahan. "Kenapa? Gue lagi pusing, banyak tugas kuliah."Mila menyenggol Diaz. "Ayo ngomong," bisiknya.Revan menatap Diaz. "Lo bawa siapa, Mil?" tanyanya tertuju pada Mila dengan sedikit kekehan di akhir pertanyaannya."Saya Diaz. Saya disuruh Mila buat izin ke kamu.""Izin apaan?" Revan terkekeh lalu memijit pelipisnya yang pening."Menikah dengan M
Fokus. Fokus. Fokus.Mila meregangkan jari-jari tangan, tak lupa ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan. Di atas laptop sudah ada note untuk menulis episode selanjutnya dalam novel "Menikah untuk Takhta". Ia mengetik alur yang ada di otaknya selama 3 jam penuh.Saat menulis, masalahnya hilang. Kalau sudah selesai, masalah kembali datang.Mila merebahkan tubuhnya menunggu jemputan. "Biarin aja lah. Selama gue diperlakukan kayak Princess, dianter jemput, dibukain pintu mobil, jalan duluan di depan, makan diambilin. It's okay," ucapnya untuk menyemangati diri sendiri. "Gue pasti bisa jalanin ini semua sesuai apa yang gue mau." Bukan Mila namanya kalau melakukan sesuatu apa yang tidak dia inginkan.Baginya, seorang Diaz yang sibuknya melebihi Presiden yang bolak-balik mengurus negara akan mudah dimanfaatkan. Kalau bisa, Mila akan hidup tenang setelah menikah.Stephen yang IQ-nya di bawah Mila pun setuju kalau dia men
Sedang melihar-lihat dekorasi aula untuk resepsi pernikahan, mata Mila mulai pegal. Ia tak tahu harus apa lagi disini, maka dari itu ia memutuskan pulang. Lagipula ini urusan Diaz untuk menyelesaikan dan memastikan tidak ada kekurangan."Gue pulang dulu," pamitnya langsung di hadapan Diaz yang sedang melihat ke langit-langit."Kok cepet banget?" tanyanya entah bodoh atau apa."Mata gue bisa rusak liat beginian. Gue juga banyak urusan, nulis episode novel misalnya." Ia memberi contoh kesibukannya jika di rumah."Ya udah, silahkan kalo mau pulang."Mila tidak menjawab. Ia langsung undur diri dari hadapan Diaz untuk keluar gedung."Mila! Sebentar!"Mila membalikkan badan padahal belum mencapai pintu. "Kenapa lagi sih?" Entah kemasukan hantu atau otaknya terbalik, Diaz memberikan setangkai bunga mawar untuknya. "Ngambil dimana lo?" tanyanya menerima bunga itu."Mampir sebentar ke Toko Bunga," jawab Diaz tersenyum hangat.
Hari pernikahan Mila dan Diaz diselenggarakan secara mewah. Para tamu undangan berasal dari pegawai berseragam formal, di tengah aula terdapat pancuran air tinggi yang diberi lampu biru dan putih. Mereka tampak bahagia datang memberi selamat kepada pengantin yang duduk bersanding di pelaminan. Meida dan Lisana pun turut menyambut tamu dan berbincang dengan mereka.Selama itu juga, mulut Mila kaku karena terpaksa senyum. Stephen menyaraninya agar terlihat bahagia daripada ketahuan dalam waktu kurang dari 3 jam setelah akad. Kalau bukan perjodohan konyol ini, Mila ogah berdiri di pelaminan apalagi di sebelahnya ada manusia paling ribet sedunia. Melihat Diaz tersenyum di depan tamu hampir membuat perutnya mual. Tapi biarkan saja, itu baik untuk reputasi pernikahannya.“Ini sampe jam 9 doang, kan?” tanya Mila sambil melirik jam dinding besar di dekat pintu utama aula yang menunjukkan pukul 8 malam. Gaun yang dipilih Fila memang bagus, tapi sayangnya ia tidak te
Diaz tidak bisa tidur, sungguh. Mila tidur dengan nyaman di atas kasur empuk sedangkan dia tidur di sofa yang panjangnya kurang dari panjang tubuhnya. Gadis itu sudah terlelap lebih dari setengah jam yang lalu. Diaz menatap langit-langit kamarnya yang bertabur bintang karena lampu hias.“Gapapa, ini sementara karena Mila belum nyaman satu kamar.” Sudah 30 kali kalimat itu ia ucapkan dalam hati untuk mengurangi rasa tidak nyaman tidur di sofa.Alasan Mila tidak mau satu ranjang dengan Diaz tidak lain adalah sadar diri, ia kalau tidur seperti jarum jam berputar alias tidak bisa diam. Selain Mila takut Diaz berbuat hal khilaf, ia juga tidak ingin aibnya terbongkar sekarang.Diaz menerima alasan Mila yang katanya tidak ingin dia kena tendang dan pukul selama gadis itu tidur, tapi bukankah kasurnya sangat luas bahkan bisa muat 3 orang? Apa ini sengaja?Mila mengulet saat mendengar azan subuh. Tangannya mencari-cari keberadaan guling walaupun matany
Mila tidak ingin disebut penguntit karena mengikuti Diaz dari belakang. Langkah panjang pria itu sulit diimbangi oleh kaki mungilnya."Tungguin gue," ucap Mila menarik jas Diaz dari belakang agar dia berhenti.Diaz berhenti lalu melihat ke samping. Ternyata istrinya tertinggal.Mila mengerjap lihat gaya rambut Diaz sangat rapih dan licin. "Tega lo jalan cepet banget."Diaz tersenyum lalu menggandeng tangan Mila agar langkah mereka seimbang. Mila melihat tangannya tapi diam saja karena mereka bukan di tempat yang tepat untuk debat.Kantor yang dipimpin Diaz besar juga. Aktivitas tiap ruangan bisa terlihat karena hanya kaca saja. "Woah ... Keren.""Saya?" tanya Diaz sambil berhenti."Kantornya," jelas Mila. Ia tidak tahu kapan pria ini mulai percaya diri. "Kenapa kita naik tangga?" tanyanya begitu menaiki tangga ikut Diaz.Diaz jawab, "Kamu harus olahraga.""Gue juga gak bisa naik lift.""Kenapa?"Mila
"Mila ... Itu HP kamu bunyi terus. Angkat coba," ujar Diaz yang kebisingan. Pagi-pagi begini istrinya sudah seperti artis yang dapat job. Mila sebenarnya dengar, tapi malas mengangkat panggilan. Rasa kantuknya mengalahkan dering ponsel. "Mila... " Diaz memanggil lagi namun sedikit mengeraskan suara. Jam 6 pagi harusnya dia sudah bangun dan sarapan, tapi habis salat malah tidur lagi. Tangan Mila meraba-raba nakas yang ada tepat di sebelah ranjang untuk mengambil ponsel. "Itu buka dulu penutup matanya," tegur Diaz. Mila berdecak dan mengangkat panggilan entah dari siapa. "Halo?" [Mila. Bunda mau ke sana jam 7 nanti. Udah lama Bunda gak liat kamu] Mila melepas penutup matanya dan dilempar begitu saja. "Aduh!" Mila meminta maaf karena penutup matanya mengenai wajah Diaz yang pas sekali sedang balik badan. "Bunda mau ke sini? Jam 7?" Sekarang ia bahkan belum apa-apa. Mendengar kabar setengah baik dan setengah
"Hari ini Diaz betul-betul libur, kan?" tanya Fila. "Ini yang masak siapa? Kamu, Mei?" Dia bertanya karena Mila tidak mungkin memasak masakan enak apalagi sangat rapi hidangannya.Meida menggelengkan kepala. "Bukan aku.""Terus siapa?"Mila menyuapi makanan ke mulutnya. Ia menutupi sisi wajah dengan tangan kiri. Apa yang terpikir oleh Fila tidak salah. Bukan Mila yang memasak dan tidak mungkin hanya karena sudah menikah ia menjadi rajin."Diaz, Bun.""Apa?!" batin Mila. Matanya melotot pada Diaz yang sekarang tebar senyum pada Fila dan Meida.Diaz melihat keterkejutan Mila, namun hanya tersenyum sampai matanya menyipit. Dia menarik pipi kanan Mila dengan gemas. "Mila ini ... Mau dimasakin katanya, Bun. Diaz gak bisa nolak," katanya.Pria itu benar-benar tahu cara menarik perhatian mereka. Untuk menyambung sandiwara ini Mila ikut tersenyum bangga untuk masakan Diaz. "Oh iya, Bun. Diaz pernah cerita bisa masak, tapi aku gak percay