Share

Terbukanya Hati Mila

"Bunda ... " Mila melangkah malas-malasan ke bundanya yang sedang masak di dapur. Ia lapar dan butuh asupan seperti manusia normal pada umumnya.

Fila sengaja masak lauk seadanya karena tahu Mila tidak akan hidup jika tidak makan. Maksudnya dia akan lemas sepanjang hari, bukan mati. "Dihabisin makanannya." Dia hanya masak dua ekor ikan mujair.

Ketika Fila menghidangkan lauk, Mila keberatan. "Bunda ... kok aku makanannya disamain sama kucing sih? Ini mah kucing tetangga juga mau jadi anak Bunda," rengek Mila. Ia sering lihat Stephen memberi makan kucing peliharaannya pakai nasi dan ikan saja. Persis seperti menunya sekarang.

Fila duduk di kursi sebelah anaknya. Mila lucu sekali jika merengek seperti itu. "Ehh, bersyukur. Masih banyak di luar sana orang belum bisa makan ikan."

"Iya tapi semua kucing makan ikan, Bunda."

"Mau makan gak? Kalau gak mau, Bunda yang makan semua." Fila menarik piringnya.

"Jangan gitu lah, Bun." Mila nyengir lalu mengambil satu ekor ikan karena nasinya sudah disiapkan.

Menemani Mila makan, Fila sadar bahwa anaknya masih terlalu kekanakan untuk menikah. Segala pengajuan untuk membatalkan perjodohan juga sudah dilontarkan olehnya. Tetapi ini bukan permintaannya, melainkan permintaan almarhum suaminya, Raffa.

"Mila. Bunda minta maaf ya." Itulah kalimat yang ingin disampaikan Fila sejak melihat respons Mila kemarin.

Sedang menikmati gurihnya daging ikan mujair, Mila kaget mendengar Fila minta maaf padanya. "Bunda gak salah apa-apa." Ini semua salah Diaz, iya pria itu. Dia sendiri yang cari pasangan dan kebetulan sekali antara orang tua mereka pernah punya perjanjian. Kalau saja ikan yang ada di depannya adalah Diaz, akan ia makan sampai kepala dan durinya sampai bersih.

Fila tahu anaknya menyembunyikan perasaan yang sulit diartikan. Semua mengendap dalam hatinya. "Bunda mau kamu bahagia."

Semua orang tua ingin anaknya bahagia. Bagi Mila, tidak harus dengan menjodohkan di usia yang seharusnya digunakan untuk bermain dan senang-senang. "Bunda kenapa jadi mellow sih?" Dengan sangat berat hati, Mila tersenyum agar bundanya tidak murung lagi. Untuk saat ini ia akan tahan semuanya.

Fila tersenyum seperti apa yang Mila inginkan. "Bunda tau ini agak memaksa. Tapi Bunda cuma percaya sama Diaz."

Kalau begitu Mila akan menikah dengan Diaz dengan tujuan lain. Yaitu mencari tahu sisi buruknya untuk dijadikan senjata. Fila mempercayai Diaz, maka Mila akan membuatnya tidak percaya dia lagi.

Setelah makan mereka berpisah. Fila menyiram tanaman sedangkan Mila ke kamar untuk mengetik. Nasibnya hari ini sungguh bagus. Diaz tidak jadi datang karena ada rapat sepanjang hari.

"Biar meleduk otak lo, terus gila deh." Mila membayangkan kalau ucapannya terjadi langsung detik ini. Entah Diaz atau ia yang gila karena perjodohan ini.

Alur hidup Mila tidak indah, namun tidak buruk juga seperti ceritanya. Diaz tidak dingin, pelit, atau mes*m. Dia baik, cukup mengerti, dan ramah. Tapi sayangnya bukan tipe Mila.

Sudah bertahun-tahun sepuluh jarinya tidak putus walaupun sering mengetik dengan tempo cepat. Menurutnya, tidak ada pekerjaan yang lebih enak daripada mengarang cerita fiksi.

"Stephen?" Mila mendapat notifikasi pesan dari ruang chat w******p Stephen. Matanya memandang lurus ke luar jendela dimana Stephen melambai-lambaikan tangan dari kamarnya.

Rumah mereka berhadapan, hanya terpisah jalan. Kamar Mila juga menghadap langsung ke kamar Stephen. Apapun yang Stephen lakukan, Mila tahu. Ia pintar menjaga rahasia asal Stephen membantunya jika dibutuhkan.

"Muka lo biasa aja," ujar Mila membaca pesan dari tetangga depan. "Kurang ajar!" Mila menggeser jendela lalu menunjukkan jari tengahnya.

Stephen tertawa di seberang sana. Dia membalas dengan membelakangi Mila dan menepuk-nepuk bok*ngnya.

Kalau atap rumahnya ada jalan, ia pasti sudah menghampiri Stephen. "Ngomong apaan lo?" Mila lihat Stephen menunjuk telapak tangannya. Ia tertawa karena Stephen lucu sekali pakai bahasa isyarat. "Oh, liat pesan. Bentar!" Mila duduk di kursinya lagi dan membaca pesan Stephen.

"Gue kemarin mau datengin lo, tapi lo ketemu cowok. Jadi gue gak ke sana HAHAHA."

Mila membalas, "Kalo lo dateng juga telat!" Ia melihat jendela tapi Stephen sudah tidak ada. "Wih! Dia teleportasi ke mana tuh?" Ia fokus merevisi naskah.

"Assalamu'alaikum, Bunda yang cantik jelita rupawan mapan gak ada bandingnya." Stephen biasa datang menyapa Fila dengan kalimat pujian.

Mila bisa dengar suara anak kecil yang sudah dewasa dari kamar. "Ternyata dia ke sini," gumamnya.

Fila masih menyiram tanaman, lalu anak tetangganya datang bawa rantang. "Wa'alaikumsalam. Ehh, Stephen, udah lama gak mampir. Bawa apa kamu?" 

"Makanan. Aku masuk ya, Bun? Udah bilang Mila kok mau ke sini," ujar Stephen memberi senyum semangat di pagi hari.

Fila mempersilahkan Stephen. "Masuk, tapi ke ruang tamu. Jangan ke kamar."

Stephen tertawa malu. Siapa juga yang mau masuk kamar Mila kalau dari kamarnya saja kelihatan bagaimana keadaan di dalam sana. Kamar Mila lebih mirip rental komputer atau ruang karaoke. "Makasih, Bunda." Dia menggerakkan kaki masuk menuju ruang tamu.

Mila mematikan komputernya lalu turun menemui Stephen. Ia lihat rantang empat susun di meja, jelas matanya langsung muncul lampu hijau.

Stephen terkejut lihat Mila berlari hendak menyambar rantang yang dibawanya. Dia langsung tahan rantangnya sementara sebagai syarat give and take. "Ehh, berhenti! Duduk!"

Mila menekuk wajahnya lalu duduk dahulu demi dapat makanan dalam rantang. "Ada apa kesini jauh-jauh?" guraunya.

Stephen menjawab, "Jaraknya cuma 20 jengkal kaki."

"Bunda pagi ini cuma masak dua ikan, Phen. Gue masih laper. Itu rantang isinya lauk, kan?" Mila mengusap perutnya.

Stephen meringis melihat betapa mengenaskan nasib Mila. "Gue ngasih ini gak gratis."

"Berasa makan di warteg tapi VIP," gumam Mila.

"Bukan bayar pake duit. Tapi, lo harus cerita gue sebenernya ada apa kemarin," ujar Stephen. Dia menjunjung tinggi untuk balas budi kalau punya utang budi.

"Penasaran banget kayaknya." Mila beranjak ambil nasi dan jus mangga di dapur. Saat kembali ke ruang tamu, empat susun rantang sudah ditata Stephen. "Wah!" Ada tumis kangkung, gorengan tahu, sayur sop, dan semur daging. "Makasih, Stephen. Sayang banyak-banyak!"

"Ya ... sama-sama." 

Mila lupa belum ambil gelas untuk Stephen. "Bentar, gelasnya lupa." Ia ke dapur lagi.

Stephen menerima gelas dan menuang jus mangga dari botol kaca. "Buruan makan."

Mila makan dua kali di pagi hari. Tidak masalah jika kalorinya bertambah, yang penting ia kenyang.

Stephen melipat kakinya lalu bersedekap dada. "Cowok yang gue liat kemarin, siapa?" tanyanya dibuat serius.

"Lo bukan pacar gue tapi kepo banget," jawab Mila.

"Jawab aja."

Mila menatap Stephen, sangat serius. "Ya udah anggap aja lo gak liat cowok kemarin."

Stephen melihat Fila yang masuk dan tersenyum padanya. "Gue tanya Bunda aja ya, biar valid." Cukup lama Mila tidak jawab karena mengunyah makanan. Dia menyeruput jus mangganya.

"Calon suami gue," cetus Mila.

Stephen terbatuk-batuk hingga memukuli dadanya karena sangat terkejut. "Calon suami?" beonya.

Mila mengangguk santai walaupun reaksi sahabatnya begitu. "Iya, tapi dijodohin."

"Kok bisa?" bisik Stephen takut terdengar Fila walaupun dia tidak ada di dekat mereka.

"Susah buat jelasin," alibi Mila untuk menghindar.

"Cerita lo 280 episode aja punya sinopsis. Jangan coba-coba nyembunyiin sesuatu, gue gak rela dilangkahi lo."

Pria ini benar-benar menyebalkan. Kalau bukan karena wajah tampan, berbakat menulis, dan status tetangga, Mila ingin mengusir Stephen sekarang juga. Ini pembahasan menarik bagi pria yang hobi memakai outfit serba hitam macam Stephen, tapi sensitif bagi Mila yang mengalaminya.

"Intinya begini, Mas Stephen. Dengar baik-baik karena gue gak akan ulangi dua kali. Sebelum meninggal, Bokap gue mau ngejodohin sama anak sahabatnya. Nah pas Bokap gue meninggal, kebetulan anak sahabatnya lagi cari istri dan Ibunya ingat pesan Bokap gue. Menurut lo, ini salah anak sahabat Bokap gue, kan? Kalo dia gak lagi cari istri, mereka pasti udah lupa sama omongan Bokap gue."

Stephen menghentikan Mila agar tidak lanjut bicara. "Gue ngerti."

Mila antusias mendengar Stephen paham. "Salah dia, kan?"

"Bukan."

Jawaban yang sangat mengecewakan Mila. "Kenapa bukan?"

"Itu namanya takdir. Masa lo sering nulis genre perjodohan gak terima sama diri sendiri," ujar Stephen.

Dahi Mila berkerut. "Takdir?" 

"Lo mau nolak?"

"Iya lah."

"Tolak sesuka hati lo. Toh nanti bakal terjadi, gak perlu menghindar karena sifatnya sementara. Ini semua karena takdir kalian," kekeh Stephen. Mila tidak terima saat awal diberitahu akan dijodohkan, tapi mau bagaimana dia menghindar, calon suaminya akan tetap datang.

Stephen tidak salah, tapi mungkin saja perjodohan akan batal jika ia berontak.

"Lo udah terlalu lama butuh bimbingan, Mila. Lo gak bisa ngandelin Bunda terus. Tau sendiri Bunda cuma berharap sama lo sekarang," ujar Stephen seperti membaca pikiran Mila.

Mila melihat Fila keluar dari toilet dengan tangan yang masih basah, sepertinya habis cuci tangan. Fila hanya tersenyum singkat padanya. Ucapan Stephen ada benarnya. Bunda sekarang hanya bisa berharap padanya karena Ayah sudah tiada.

"Tapi kalo lo mau tolak, coba aja. Gue yakin lo gak bertahan lama karena Bunda bakal sedih kalo lo gak bisa turutin permintaan Om Raffa."

Mila hanya melihat kondisi dari sudut pandangnya, tidak yang lain. Itu sebabnya ia kekeh tidak terima karena merasa tidak diperlakukan adil. Namun setelah melihat Bunda, ia rasa dia lebih kecewa kalau pernikahan ini tidak terjadi. "Bunda gak mau gue nikah dulu, tapi ini permintaan Ayah."

Stephen rasa hati dan pikiran Mila sudah terbuka dilihat dari tatapannya yang sendu.

"Gue tambah laper," ujar Mila lalu menambah lauk lagi. Banyak berpikir membuat tenaganya terkuras.

"Habisin," ujar Stephen tersenyum hangat.

Setelah makan, Mila membawa rantang Stephen ke dapur untuk dicuci, lalu kembali lagi. "Lo baju rapi gini mau ke Rumah gue doang?"

Stephen berdiri. "Gue ada acara sama temen di luar."

"Oh, iya udah sana."

"Semangat, Mila."

"Hem."

Sepanjang malam Mila menghabiskan waktu di kamar menonton drama korea yang bukannya menghibur, malah membuat kepalanya pusing dengan segala plot twist menjelang akhir episode.

Besok mereka datang, setidaknya ia sudah punya jawaban.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status