Di dalam lift, Cellina terlihat panik, raut wajahnya pun tegang, juga ketakutan. Saat melihat Langit yang hampir saja mendekatinya tadi, ia sempat merasa syok dan takut, jika saja sampai lelaki itu bisa menangkapnya. Untungnya ia masih bisa menutup pintu lift itu cepat. Pikirannya kini mulai kalut, merasa kebingungan, apa yang harus ia lakukan sekarang? Namun, hatinya kekeh, tetap akan menjalankan rencananya. "Liat saja, Langit. Aku akan menyingkirkan semua orang yang menjadi penghalang kita. Termasuk juga ya, si gadis kampungan ini. Hahaha ...." Dengan seringai jahat, Cellina menatap sinis ke arah wanita yang masih tampak tak sadarkan diri duduk di kursi roda. "Kalau Cahaya sudah tidak ada. Pastinya kan tidak ada lagi yang akan menghalangiku untuk bisa bersamamu lagi, Langit." Hati wanita itu telah kalap, tertutup oleh ego dan ambisi. Hingga menghalalkan segala cara, agar bisa mewujudkan semua keinginannya. Pintu lift terbuka. Cellina segera mendorong kursi roda itu menuju k
Di rumah sakit. Dari balik tembok, seorang suster tampak sedang mengamati keadaan di sekitar kamar Cahaya. Setelah merasa cukup aman, perlahan wanita berpakaian serba putih, lengkap dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya itu mulai berjalan ingin memasuki kamar. Kleek! Begitu membuka pintu, ia melihat ada dua orang paruh baya yang sedang menemani Cahaya. Reflek ketiganya menoleh ke arahnya. Suster wanita yang ternyata adalah Cellina, langsung menyapa mereka. "Selamat malam, Pak, Bu dan Nona Cahaya. Saatnya untuk melakukan pemeriksaan." "Oh ya ya, silahkan, Sus." Bu Irma yang semula sedang terduduk di kursi samping ranjang, segera bangkit dan mempersilahkan sang suster untuk memeriksa Cahaya. "Em, maaf, Pak, Bu. Bisakah Bapak dan Ibu keluar sebentar! Ada hal yang sangat pribadi yang perlu saya periksa sekarang!" "Oh, baik-baik, Sus. Kami akan keluar sekarang." Pak Hadi yang tidak merasa curiga, dengan patuh, langsung menurut apa kata wanita itu. "Ayo, Bu. Sebaikn
"Maaf, Nona, Anda saya tangkap!" ucap salah satu orang lelaki yang berseragam polisi, langsung menahan tangan Cellina. Tentu saja Cellina terlihat sangat syok dan panik, saat ia menyadari telah ada beberapa polisi yang akan menangkap dirinya. "Tidak tidak, apa-apaan ini? Tolong lepaskan saya, Pak. Saya tidak bersalah!" Cellina berusaha untuk meronta. "Dan, atas apa Anda menangkap saya, huh?" bentaknya mulai geram. "Sebaiknya sekarang Anda ikut kami ke kantor polisi. Dan, Anda bisa melakukan pembelaan di sana nanti." "Tidak, aku tidak mau!" Cellina menggelengkan kepala ketakutan. "Tolong, jelaskan apa salahku, Langit!" Ia melotot tajam ke arah Langit. Sungguh dirinya dibuat kebingungan, tidak mengerti, kenapa Langit sampai bisa melaporkannya ke polisi? "Nanti, kau juga akan tahu, kalau sudah berada di kantor polisi," jawab Langit dingin, penuh teka teki. Otomatis membuat Cellina kian emosi saja padanya. "Tidak, aku tidak akan mau dibawa ke kantor polisi, sebelum tahu apa ke
Di sebuah kamar, yang biasa digunakan sebagai ruang kerja oleh Aditya. Terlihat Aditya duduk di depan monitor. Tangannya sibuk memegang mouse, dan ia mulai memeriksa rekaman CCTV di apartemen. Sementara dua orang lainnya, berdiri tepat di belakang. Tanpa berkedip, dua netral milik ketiga pria itu, tampak begitu serius menatap ke arah layar datar sebuah laptop yang terletak di atas meja. Dengan sangat jeli juga teliti, mereka sedang mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Cahaya, hingga membuatnya sampai mengalami keguguran. Dalam hati mereka curiga, kalau Cellina ada kaitannya dengan itu semua. Di dalam layar laptop, kini tengah menayangkan rekaman kejadian awal mula Cellina yang datang di apartemen. Hingga kemudian semua orang langsung tercengang, saat melihat Cellina yang memasukan suatu serbuk atau pun obat di minuman Cahaya. Seketika itu, dengan rahang mengeras, Langit langsung mengepalkan tangan penuh emosi. Darahnya seolah mendidih saat melihat perbuatan jahat apa
"Tidak, Cahaya! Aku tidak ingin pisah denganmu!" Seraya menggelengkan kepala, kedua manik kecoklatan milik lelaki itu, mulai berkaca-kaca. Sungguh ia tak menduga, juga tak percaya kalau Cahaya akan mengatakan itu padanya. "Tunggu-tunggu! Dari mana kamu tahu kalau sebenarnya Cellina sekarang sedang mengandung anaknya Langit, Aditya?" tanya Bu Sintya. "Ini, Tante. Coba Tante baca isi dalam amplop ini apa?" Lelaki berkemeja krem itu menyerahkan amplop putih yang ia ambil dari saku celananya. Semuanya kembali merasa keheranan, juga cukup penasaran melihat amplop itu. Lalu, dengan wajah tegang, Bu Sintya yang ditemani oleh putrinya segera membacanya. Seketika itu juga, reflek keduanya langsung membekap mulut, merasa sangat syok melihatnya. "Huh, ja-jadi Cellina benar-benar hamil?" ucap Bu Sintya tergagap. "Mana, sini Papah pingin lihat." Pak Bagus merebut kertas isi dari amplop tadi. Seketika ia pun sama terkejutnya dengan Bu Sintya. "Apa-apaan ini, Langit? Jadi benar Cellina
"Dasar kurang ajar! Buat apa kamu datang ke sini, huh?" Dengan wajah penuh emosi, Pak Hadi menatap nanar lelaki itu. Sembari menahan sakit di sebelah pipi, Langit hanya diam menundukan kepala, tak berani balas menatapnya. "Maafkan aku, Pakde. Sungguh aku menyesal karena telah menuduh Cahaya yang macam-macam." ucapnya pelan. "Halah telat! Kamu sudah terlalu banyak menyakiti Cahaya. Maka dari itu, sebaiknya kalian pisah saja sekarang juga!" "Bapak! Sudah cukup, Pae. Jangan marah-marah terus! Semuanya kan bisa dibicarakan dengan baik-baik." Bu Irma berusaha untuk meredamkan emosi suaminya. "Ya, benar, Pak Hadi. Sebaiknya Anda jangan gegabah mengambil keputusan. Saya rasa semuanya ini hanya sekedar salah paham." Pak Bagus beserta keluarga yang baru saja datang, ingin menengahi perdebatan. Ketiganya begitu panik juga khawatir dan ingin tahu bagaimana keadaan Cahaya sekarang. Namun, tanpa terduga tiba-tiba saja Pak Hadi malah langsung mengamuk. Otomatis membuat semuanya jadi sangat