LOGIN"Ayo, kita ke rumah Danu,"
Latisha yang baru saja hendak membuka pintu rumah, langsung tertegun. Ia menatap sang mama yang sudah berdandan rapi dengan ekspresi bingung. "Hah? Ngapain, Ma?" tanyanya heran. "Ya membicarakan kelanjutan pernikahan kamu sama Danu, dong. Mama nggak mau menanggung risiko kalau pernikahan ini sampai batal," ujar Hana tegas. Mata Latisha membulat, napasnya tercekat. "Ma..." "Mama yakin, Danu nggak sepenuhnya bersalah. Dia mungkin khilaf. Jadi Mama memutuskan, pernikahan kalian tetap jalan." Latisha menghela napas panjang. Hatinya menolak keras, tapi bagaimana ia harus menjelaskan semuanya ke Mamanya? Ia sudah cukup disakiti, cukup dipermainkan. Ia tak mau jatuh di lubang yang sama dua kali. "Ma... tolong, kali ini dengerin Icha, ya? Cuma kali ini aja," pintanya, memohon. "Ngertiin apanya lagi, Ca? Mama nggak sanggup menanggung malu. Undangan udah disebar, gedung udah di bayar lunas, tetangga udah ngomongin. Masa Mama harus bilang, pernikahan anak Mama batal seminggu sebelum hari H?" suara Hana terdengar putus asa, hampir frustrasi. Latisha menatap mamanya tak percaya. "Jadi... Mama lebih mementingkan gengsi Mama, daripada perasaan Icha, anak Mama sendiri?" "Mama nggak mau tahu!" sahut Hana cepat. Latisha menggertakkan giginya. Emosi dan sakit hati bersatu, mendesak keluar lewat kata-kata yang bahkan belum ia pikirkan matang. "Icha akan tetap menikah. Tapi bukan dengan Danu!" Hana terdiam. Tatapannya langsung menyorot tajam. "Maksud kamu apa?" Latisha bungkam sejenak, mencoba menyusun jawaban di kepalanya. Tapi ia tahu, tak ada lagi waktu untuk ragu. "Apa kamu... juga selingkuh dari Danu selama ini?" tanya Hana curiga. Latisha menggeleng cepat. "Icha nggak serendah itu, Ma. Tapi... ada laki-laki yang mau bantu Icha. Dia... dia nggak memaksa. Tapi justru di saat Icha hancur, dia datang. Dan... tanpa sadar, kami saling menyukai." Hana menatap putrinya dengan pandangan baru. Terkejut, bingung, tapi mulai mengendurkan nada bicaranya. "Siapa dia?" tanyanya akhirnya. "Icha akan bawa dia besok ketemu Mama," jawab Latisha pelan. Hana tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya berbalik masuk ke dalam rumah, meninggalkan Latisha berdiri sendiri di depan pintu. Latisha menarik napas panjang, seperti baru saja lolos dari pusaran badai. Tapi ia tahu, badai yang lebih besar menanti besok. Menikah dengan Danu si tukang selingkuh jelas bukan pilihan. Tapi menikah dengan Sagara—bosnya sendiri? Bukankah itu juga gila? Entahlah... Latisha benar-benar bingung. Setelah pintu rumah tertutup, Latisha masih berdiri di teras. Angin sore menyapu wajahnya pelan, tapi tidak cukup kuat untuk menenangkan kekacauan dalam pikirannya. Perasaannya campur aduk. Ia seharusnya merasa lega karena Mama akhirnya berhenti memaksanya menikah dengan Danu. Tapi kenyataannya, hatinya masih bergemuruh. Kata-kata “Icha akan tetap menikah minggu depan, tapi bukan dengan Mas Danu” terus terngiang di kepala, seperti janji yang ia ucapkan terlalu cepat. Kenapa tadi mulutnya bisa bicara secepat itu? Latisha menghela napas panjang. Matanya terasa panas, tenggorokannya tercekat. Ia tidak menangis, tapi tubuhnya seperti gemetar halus, menahan sesuatu yang ingin pecah. "Kenapa semuanya jadi serumit ini..." gumamnya lirih. Danu yang ia pikir akan jadi pasangannya, malah mengkhianati. Mama yang selama ini ia kira akan jadi pelindung, justru menjadi tekanan terbesar. Dan Sagara—lelaki yang bahkan tak pernah ia bayangkan jadi bagian dari hidupnya—tiba-tiba datang membawa ‘solusi’ yang entah menyelamatkan atau justru menenggelamkannya lebih dalam. Latisha bersandar di dinding teras, memejamkan mata. Apa benar Sagara tulus menolongnya? Atau pria itu hanya butuh seseorang untuk ia manfaatkan saja? ____ Keesokan harinya Latisha berdiri di depan gedung kantor, menatap cemas layar ponselnya. Jemarinya dingin meski matahari pagi cukup terik. Beberapa kali ia mengetik pesan untuk Sagara, lalu menghapusnya lagi. "Pak, saya ingin bicara sebentar." Tidak, terlalu formal. "Pak, bisa ketemu? Soal kemarin..." Ah, terlalu to the point. Akhirnya, dengan napas tertahan, ia menulis: To : Pak Bos |Pak Sagara, bisa bertemu sebentar sebelum jam kerja? Dikirim. Detik demi detik berlalu seperti siksaan. Hingga notifikasi itu muncul: From : Pak Bos |Ke ruangan saya sekarang. Jantung Latisha langsung berdegup kencang. Dengan langkah yang nyaris tak terasa menapak, Latisha masuk ke kantor dengan dada berdebar, hendak menuju ruangan Sagara. “Eh! Lo mau ke mana? Laporan belum lo serahin,” suara Nadya memanggil, menghentikan langkah Latisha . Latisha menoleh sekilas, wajahnya menunjukkan gelisah yang tak bisa ditutupi. “Gue harus ketemu Pak Saga dulu,” ucapnya tergesa-gesa. “Urgent.” “Mau ngapain?” Nadya menatap curiga, melihat gelagat sahabatnya yang tak biasa. “Ada keperluan mendadak,” jawab Latisha singkat, lalu kembali melangkah cepat tanpa menunggu reaksi lebih jauh. Setibanya di depan pintu ruangan Sagara, Latisha berhenti. Ia menarik napas panjang, menahannya sebentar, lalu menghembuskannya perlahan seolah ingin mengusir semua rasa gugup yang bergelayut di dadanya. Tok tok tok. “Masuk,” suara berat dan tenang itu menyambutnya dari dalam. Latisha membuka pintu dan masuk dengan langkah pelan. Di dalam, Sagara sudah duduk di balik mejanya, seperti biasa—tenang, berwibawa, dan sulit ditebak. Sejujurnya, Latisha ragu. Apa ia benar-benar sudah siap menghadapi semua ini? Mereka bahkan tidak sedekat itu. Tapi keadaan memaksanya mengambil keputusan besar dalam waktu yang sangat sempit. Namun, satu hal yang meyakinkannya—jika harus membawa lelaki manapun ke hadapan mamanya, maka Sagara adalah pilihan yang paling masuk akal. Penuh wibawa, mapan, dan... tampan. Itu akan cukup untuk meredam kekecewaan Mamanya. “Ada apa?” tanya Sagara tatapannya tetap tenang namun tajam. Seketika nyali Latisha sedikit ciut. Apa pria ini sudah lupa dengan ucapannya kemarin? Dengan napas pelan, Latisha melangkah dan duduk di kursi di hadapan Sagara. Ia menatap meja sejenak sebelum akhirnya bicara. “Apa tawaran Bapak kemarin... masih berlaku?” tanyanya ragu. Sagara menatap Latisha penuh. “Kamu berubah pikiran?” Latisha mengangguk pelan. “Dalam waktu semalam?” Nada Sagara terdengar seperti sedang menilai. Latisha menggigit bibir bawahnya. “Saya nggak punya pilihan lain,” jawabnya akhirnya, jujur. Sagara mengangguk tenang. “Baik. Malam ini saya akan menemui orang tua kamu," Latisha mengangkat wajah, agak terkejut dengan respons yang begitu cepat. “Bapak yakin?” “Bukankah waktu kamu tidak banyak?" Diam sejenak, benar ia tidak memiliki banyak waktu lagi. Latisha menggenggam tangan di pangkuannya, lalu memberanikan diri bertanya, “Saya boleh tanya sesuatu?” “Hm,” Sagara mengangguk singkat. Latisha menatapnya hati-hati. “Kenapa Bapak mau menikah dengan saya? Maksud saya... saya ini bukan siapa-siapa. Bukan juga orang yang dekat atau punya hubungan personal sama Bapak sebelumnya. Kenapa... saya?” Sagara menatap Latisha dalam diam selama beberapa detik. Lalu ia bersandar di kursinya, menghela nafas kembali menatap Latisha . Ia menatap Latisha dalam-dalam. “Karena saya percaya sama kamu,"Sagara baru saja kembali dari dapur dengan segelas air di tangan ketika suara lembut namun tegas itu menghentikan langkahnya. Malam sudah larut, rumah hampir sepenuhnya sunyi, namun satu panggilan itu menghentikan langkahnya.“Sagara.”Ia menoleh.“Ya, Ma?” tanyanya pelan, menatap Hana yang berjalan ke arahnya.“Latisha sudah tidur?” tanya Hana pelan.Sagara mengangguk. “Sudah.”“Mama boleh bicara sebentar?”“Tentu, Ma.”Hana mengambil gelas, mengisinya dengan air putih, lalu berjalan ke meja makan. Ia memberi isyarat halus.“Duduk, Sagara.”Sagara menurut. Ini pertama kalinya mereka duduk berhadapan tanpa Latisha atau siapa pun di sekitar. Ada perasaan asing yang Sagara rasakan, karena bisa di bilang menantu dan mertua itu sangat jarang bicara bahkan bertegur sapa.Hana menatap menantunya penuh, “Kamu pasti sudah mendengar tentang Mama dan Latisha, kan?”“Sedikit,” jawab Sagara jujur.Hana menghembuskan napas panjang. “Apa kamu tidak keberatan dengan semua itu? Dan sekarang kamu tah
Pagi ini seharusnya menjadi pagi yang paling membahagiakan bagi Latisha. Pagi yang ringan setelah semua beban yang ia lepaskan lewat deeptalk bersama Sagara semalam. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia merasa bisa bernapas tanpa beban.Namun semua itu runtuh begitu ia melangkah masuk ke kantor.Bisik-bisik. Tatapan iba. Desas-desus yang semakin jelas. Dan kini, Latisha terduduk di ruangannya sendiri, tubuhnya gemetar hebat, sementara Nadya sibuk menenangkannya."Gue percaya sama lo, Ca. Sumpah, gue percaya sama lo." sudah puluhan kali Nadya mengucapkan kalimat itu, tapi air mata Latisha justru mengalir semakin deras. Tangannya kini gemetar seolah kehilangan tenaga.Bagaimana tidak?Berita tentang ibunya yang kembali disebut sebagai wanita ketiga dalam kehidupan Atmaja Wiryadinata, pengusaha sukses yang merupakan ayah kandungnya, tersebar luas di berbagai media. Rahasia dan luka lama yang selama ini ia kubur dalam-dalam, kini dikoyak paksa di hadapan publik.“Mbak… aku antar
Sagara menatap Latisha dalam-dalam, memastikan bahwa ia tidak salah melangkah. Tatapannya lembut, tapi penuh kehati-hatian. “Saya tahu, hal ini nggak mudah buat kamu,” ucapnya pelan. “Tapi… kamu nggak masalah kalau kita bahas malam ini?”Latisha menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Nggak apa-apa, Mas.”Mungkin, pikirnya, memang sudah waktunya. Sudah saatnya ia berhenti menyimpan semua ini sendiri.Sagara mengangguk pelan. “Kalau gitu, saya mulai, ya.”Ia menatap Latisha dengan nada yang hati-hati. “Hubungan kamu sama Papa… sekarang udah baik-baik aja?”Pertanyaan itu membuat Latisha terdiam. Ia mencoba mengingat kembali, saat di mana ia mulai belajar menerima kembali kehadiran sang ayah.Bagaimana lelaki itu datang tanpa paksaan, tanpa tuntutan. Hanya berusaha hadir, perlahan. Bagaimana di saat ibunya berada di titik terendah, ayahnya diam-diam membantu membiayai semuanya: sekolah, rumah, kebutuhan hidup. Semua tanpa meminta balasan, bahkan tanpa memberitahu.Tapi d
“Ada masalah?” tanya Sagara tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi cukup untuk membuat Latisha yang sejak tadi melamun mengangkat kepala. Tatapannya bingung, sedikit kaget.“Enggak kok,” jawabnya cepat sambil tersenyum tipis. “Emangnya kenapa, Mas? Ada yang aneh dari aku?”Sagara tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap istrinya lekat, dalam diam yang terasa panjang. Sejak Latisha pulang sore tadi, ada sesuatu yang berbeda. Senyumnya sama, tapi matanya… tidak seterang biasanya.Beberapa hari terakhir, Sagara sudah mulai terbiasa dengan versi Latisha yang lebih terbuka, lebih hangat. Tapi malam ini, entah kenapa, aura itu terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat di balik tawa kecilnya.“Latisha,” ucap Sagara akhirnya, pelan tapi tegas. “Ada yang mau saya bicarakan.”Latisha menatapnya, mencoba tersenyum walau jelas senyum itu terasa dipaksakan. “Tentang apa, Mas?”Sagara menarik napas panjang. “Beberapa minggu belakangan ini, saya sudah berusaha buat nunjukin sesua
Suara itu datang begitu tiba-tiba, membuat langkah Latisha terhenti.“Icha, apa kabar?”Ia menoleh, dan tubuhnya refleks menegang. Di hadapannya berdiri seseorang yang sudah lama ingin ia hapus dari ingatannya. Danu Adyaksa, mantan calon suaminya.Wajah itu masih sama, dengan tatapan teduh yang dulu pernah ia percayai, namun kini hanya meninggalkan getir di dadanya.Latisha mencoba tersenyum tipis, sopan, tapi hambar. “Baik,” jawabnya singkat lalu berusaha melangkah pergi.Namun tangan Danu lebih cepat menahan lengannya.“Jangan sentuh aku!” seru Latisha spontan. Suaranya meninggi tanpa sengaja, cukup untuk membuat beberapa orang di sekitar menoleh penasaran.Sore itu, Latisha sebenarnya hanya mampir sebentar ke pusat perbelanjaan dekat rumahnya untuk membeli beberapa bahan pokok. Ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan masa lalunya di antara deretan rak dan lampu neon yang menyilaukan.“Aku nggak bermaksud apa-apa, Ca,” ucap Danu lirih, menurunkan suaranya agar tak kembali menjad
Hubungannya dengan Sagara memang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun, ada sesuatu dalam diri Latisha yang masih belum sepenuhnya tenang. Rasa takut itu masih ada, halus, tapi mengekang. Entah kenapa, ia tak pernah benar-benar bisa menghapusnya. Dalam hidupnya, ia jarang mendapatkan hal yang benar-benar ia inginkan. Setiap kali mulai merasa nyaman, seseorang selalu pergi, meninggalkannya begitu saja, seolah dirinya tidak pernah cukup. “Ngalamunin apa?” suara Sagara memecah lamunannya. Pria itu baru saja masuk ke kamar, menutup pintu sambil melepas jam tangan di pergelangan. Tatapannya langsung jatuh pada Latisha yang bersandar di headboard ranjang, iPad di tangan, namun matanya kosong menatap entah ke mana. Latisha sedikit tersentak, lalu tersenyum menutupi gugupnya. “Enggak, cuma mikir dikit aja,” ujarnya pelan. Sagara tidak langsung menanggapi. Ia hanya memperhatikan istrinya beberapa detik, membaca ekspresi yang sudah sangat dikenalnya. Bukan sekali dua kali ia menem







