Share

BAB 3

Author: Rose
last update Last Updated: 2025-04-15 11:08:52

"Ayo, kita ke rumah Danu,"

Latisha yang baru saja hendak membuka pintu rumah, langsung tertegun. Ia menatap sang mama yang sudah berdandan rapi dengan ekspresi bingung.

"Hah? Ngapain, Ma?" tanyanya heran.

"Ya membicarakan kelanjutan pernikahan kamu sama Danu, dong. Mama nggak mau menanggung risiko kalau pernikahan ini sampai batal," ujar Hana tegas.

Mata Latisha membulat, napasnya tercekat. "Ma..."

"Mama yakin, Danu nggak sepenuhnya bersalah. Dia mungkin khilaf. Jadi Mama memutuskan, pernikahan kalian tetap jalan."

Latisha menghela napas panjang. Hatinya menolak keras, tapi bagaimana ia harus menjelaskan semuanya ke Mamanya? Ia sudah cukup disakiti, cukup dipermainkan. Ia tak mau jatuh di lubang yang sama dua kali.

"Ma... tolong, kali ini dengerin Icha, ya? Cuma kali ini aja," pintanya, memohon.

"Ngertiin apanya lagi, Ca? Mama nggak sanggup menanggung malu. Undangan udah disebar, gedung udah di bayar lunas, tetangga udah ngomongin. Masa Mama harus bilang, pernikahan anak Mama batal seminggu sebelum hari H?" suara Hana terdengar putus asa, hampir frustrasi.

Latisha menatap mamanya tak percaya. "Jadi... Mama lebih mementingkan gengsi Mama, daripada perasaan Icha, anak Mama sendiri?"

"Mama nggak mau tahu!" sahut Hana cepat.

Latisha menggertakkan giginya. Emosi dan sakit hati bersatu, mendesak keluar lewat kata-kata yang bahkan belum ia pikirkan matang.

"Icha akan tetap menikah. Tapi bukan dengan Danu!"

Hana terdiam. Tatapannya langsung menyorot tajam. "Maksud kamu apa?"

Latisha bungkam sejenak, mencoba menyusun jawaban di kepalanya. Tapi ia tahu, tak ada lagi waktu untuk ragu.

"Apa kamu... juga selingkuh dari Danu selama ini?" tanya Hana curiga.

Latisha menggeleng cepat. "Icha nggak serendah itu, Ma. Tapi... ada laki-laki yang mau bantu Icha. Dia... dia nggak memaksa. Tapi justru di saat Icha hancur, dia datang. Dan... tanpa sadar, kami saling menyukai."

Hana menatap putrinya dengan pandangan baru. Terkejut, bingung, tapi mulai mengendurkan nada bicaranya.

"Siapa dia?" tanyanya akhirnya.

"Icha akan bawa dia besok ketemu Mama," jawab Latisha pelan.

Hana tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya berbalik masuk ke dalam rumah, meninggalkan Latisha berdiri sendiri di depan pintu.

Latisha menarik napas panjang, seperti baru saja lolos dari pusaran badai. Tapi ia tahu, badai yang lebih besar menanti besok.

Menikah dengan Danu si tukang selingkuh jelas bukan pilihan. Tapi menikah dengan Sagara—bosnya sendiri? Bukankah itu juga gila?

Entahlah... Latisha benar-benar bingung.

Setelah pintu rumah tertutup, Latisha masih berdiri di teras. Angin sore menyapu wajahnya pelan, tapi tidak cukup kuat untuk menenangkan kekacauan dalam pikirannya.

Perasaannya campur aduk.

Ia seharusnya merasa lega karena Mama akhirnya berhenti memaksanya menikah dengan Danu. Tapi kenyataannya, hatinya masih bergemuruh. Kata-kata “Icha akan tetap menikah minggu depan, tapi bukan dengan Mas Danu” terus terngiang di kepala, seperti janji yang ia ucapkan terlalu cepat.

Kenapa tadi mulutnya bisa bicara secepat itu?

Latisha menghela napas panjang.

Matanya terasa panas, tenggorokannya tercekat. Ia tidak menangis, tapi tubuhnya seperti gemetar halus, menahan sesuatu yang ingin pecah.

"Kenapa semuanya jadi serumit ini..." gumamnya lirih.

Danu yang ia pikir akan jadi pasangannya, malah mengkhianati.

Mama yang selama ini ia kira akan jadi pelindung, justru menjadi tekanan terbesar.

Dan Sagara—lelaki yang bahkan tak pernah ia bayangkan jadi bagian dari hidupnya—tiba-tiba datang membawa ‘solusi’ yang entah menyelamatkan atau justru menenggelamkannya lebih dalam.

Latisha bersandar di dinding teras, memejamkan mata.

Apa benar Sagara tulus menolongnya? Atau pria itu hanya butuh seseorang untuk ia manfaatkan saja?

____

Keesokan harinya

Latisha berdiri di depan gedung kantor, menatap cemas layar ponselnya. Jemarinya dingin meski matahari pagi cukup terik. Beberapa kali ia mengetik pesan untuk Sagara, lalu menghapusnya lagi.

"Pak, saya ingin bicara sebentar."

Tidak, terlalu formal.

"Pak, bisa ketemu? Soal kemarin..."

Ah, terlalu to the point.

Akhirnya, dengan napas tertahan, ia menulis:

To : Pak Bos

|Pak Sagara, bisa bertemu sebentar sebelum jam kerja?

Dikirim.

Detik demi detik berlalu seperti siksaan. Hingga notifikasi itu muncul:

From : Pak Bos

|Ke ruangan saya sekarang.

Jantung Latisha langsung berdegup kencang.

Dengan langkah yang nyaris tak terasa menapak, Latisha masuk ke kantor dengan dada berdebar, hendak menuju ruangan Sagara.

“Eh! Lo mau ke mana? Laporan belum lo serahin,” suara Nadya memanggil, menghentikan langkah Latisha .

Latisha menoleh sekilas, wajahnya menunjukkan gelisah yang tak bisa ditutupi. “Gue harus ketemu Pak Saga dulu,” ucapnya tergesa-gesa. “Urgent.”

“Mau ngapain?” Nadya menatap curiga, melihat gelagat sahabatnya yang tak biasa.

“Ada keperluan mendadak,” jawab Latisha singkat, lalu kembali melangkah cepat tanpa menunggu reaksi lebih jauh.

Setibanya di depan pintu ruangan Sagara, Latisha berhenti. Ia menarik napas panjang, menahannya sebentar, lalu menghembuskannya perlahan seolah ingin mengusir semua rasa gugup yang bergelayut di dadanya.

Tok tok tok.

“Masuk,” suara berat dan tenang itu menyambutnya dari dalam.

Latisha membuka pintu dan masuk dengan langkah pelan. Di dalam, Sagara sudah duduk di balik mejanya, seperti biasa—tenang, berwibawa, dan sulit ditebak.

Sejujurnya, Latisha ragu. Apa ia benar-benar sudah siap menghadapi semua ini? Mereka bahkan tidak sedekat itu. Tapi keadaan memaksanya mengambil keputusan besar dalam waktu yang sangat sempit.

Namun, satu hal yang meyakinkannya—jika harus membawa lelaki manapun ke hadapan mamanya, maka Sagara adalah pilihan yang paling masuk akal. Penuh wibawa, mapan, dan... tampan. Itu akan cukup untuk meredam kekecewaan Mamanya.

“Ada apa?” tanya Sagara tatapannya tetap tenang namun tajam.

Seketika nyali Latisha sedikit ciut. Apa pria ini sudah lupa dengan ucapannya kemarin?

Dengan napas pelan, Latisha melangkah dan duduk di kursi di hadapan Sagara. Ia menatap meja sejenak sebelum akhirnya bicara.

“Apa tawaran Bapak kemarin... masih berlaku?” tanyanya ragu.

Sagara menatap Latisha penuh. “Kamu berubah pikiran?”

Latisha mengangguk pelan.

“Dalam waktu semalam?” Nada Sagara terdengar seperti sedang menilai.

Latisha menggigit bibir bawahnya. “Saya nggak punya pilihan lain,” jawabnya akhirnya, jujur.

Sagara mengangguk tenang. “Baik. Malam ini saya akan menemui orang tua kamu,"

Latisha mengangkat wajah, agak terkejut dengan respons yang begitu cepat. “Bapak yakin?”

“Bukankah waktu kamu tidak banyak?"

Diam sejenak, benar ia tidak memiliki banyak waktu lagi.

Latisha menggenggam tangan di pangkuannya, lalu memberanikan diri bertanya, “Saya boleh tanya sesuatu?”

“Hm,” Sagara mengangguk singkat.

Latisha menatapnya hati-hati. “Kenapa Bapak mau menikah dengan saya? Maksud saya... saya ini bukan siapa-siapa. Bukan juga orang yang dekat atau punya hubungan personal sama Bapak sebelumnya. Kenapa... saya?”

Sagara menatap Latisha dalam diam selama beberapa detik. Lalu ia bersandar di kursinya, menghela nafas kembali menatap Latisha .

Ia menatap Latisha dalam-dalam.

“Karena saya percaya sama kamu,"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 31

    "Setelah menikah, kamu jadi lupa sama mama, ya?" tuduh Hana dengan wajah kesal, nadanya tajam, seolah Latisha adalah anak durhaka yang meninggalkan ibunya begitu saja.Siang itu, Latisha mampir ke toko kue mamanya. Sudah hampir sebulan ia tak sempat berkunjung, tenggelam dalam kesibukan kantor dan segala kerumitan hidup barunya."Bukan gitu, Ma. Icha lagi banyak kerjaan akhir-akhir ini," Latisha membela diri, berusaha terdengar lembut meski tubuhnya lelah. Tangannya sibuk menata kue di etalase, mencoba mengalihkan ketegangan."Suami kamu kan bos. Kenapa kamu masih kerja? Harusnya kamu santai, tinggal di rumah. Biarin aja suami kamu yang urus semua."Latisha menghela napas panjang, sudah hafal dengan pola pikir mamanya. Ini bukan kali pertama mereka memperdebatkan hal yang sama.Hana melipat tangan di dada, tatapannya menyelidik. "Kalau kamu dulu nurut sama mama, hidup kamu nggak akan sesulit ini, Icha. Kamu udah bisa hidup enak sama calon suami yang mama pilihkan. Kamu tuh kebangetan.

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 30

    Latisha membuka pintu apartemennya dengan sisa tenaga. Bahunya terasa pegal, langkahnya berat, dan pikirannya penuh. Hari ini benar-benar menguras energi—pekerjaan menumpuk, tenggat mepet, dan Nadya yang sejak siang tak berhenti menggodanya soal Sagara.Ia menjatuhkan tas sembarangan ke sofa lalu merebahkan diri, menatap langit-langit apartemen sambil menghela napas panjang."Aduh… capek banget. Tapi kalau nggak kerja, nggak bisa jajan," gumamnya sambil memijat pelipis sendiri.Matanya setengah terpejam, mulutnya menggerutu pelan. "Kenapa harus berubah sih… Kalau gue lupa batasan, gimana coba? Ujung-ujungnya gue juga yang sakit. Udah gitu, Nadya juga nyebelin banget hari ini."Latisha menutup wajahnya dengan bantal, mencoba mengusir semua pikiran yang berlarian di kepalanya. Ia ingin tidur, atau setidaknya istirahat barang sebentar.Baru beberapa detik matanya terpejam, tiba-tiba terdengar bunyi pintu yang terbuka dari arah depan.Deg.Latisha sontak bangkit, jantungnya berdetak cepat

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 29

    Di tengah riuh suasana kantor, pagi itu rapat dadakan digelar. Telepon berbunyi di setiap sudut ruangan, mesin fotokopi tak berhenti bekerja, dan langkah-langkah tergesa terdengar bersahutan. Semua orang tampak sibuk, berlarian menyelesaikan tugas masing-masing. Deadline mepet, dan seperti biasa, tekanan di kantor semakin menggila setiap akhir bulan.Latisha memeluk tumpukan dokumen di dadanya sambil berjalan cepat ke ruang meeting. Nadya menyusul di belakangnya dengan wajah cemas."Ca, lo yakin semua data udah kelar? Gue masih belum dapet laporan bagian finance," ujar Nadya sambil terengah-engah.“Udah gue kejar semalem. Cuma bagian summary-nya belum gue cek ulang. Gue butuh lo bantu review pas di dalam,” jawab Latisha sambil terus berjalan cepat.Begitu mereka sampai, pintu ruang rapat sudah hampir tertutup. Sagara sudah duduk di ujung meja, wajahnya seperti biasa—datar, nyaris tanpa emosi.Latisha menarik napas dalam-dalam sebelum masuk, mencoba menenangkan diri.“Maaf, Pak, sediki

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 28

    "Mau berangkat bareng?" tanya Sagara, suaranya datar tapi cukup jelas terdengar di antara suara angin pagi yang masih malas berhembus.Latisha menoleh sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan."Nggak usah, Pak. Saya bisa berangkat sendiri."Padahal dalam hati, ia ingin. Tapi... perasaan itu selalu ia tahan. Ada batas tak kasat mata yang terus ia jaga. Entah karena canggung, entah karena takut terlalu berharap.Sagara melirik jam tangan di pergelangan kirinya. "Yakin?"Latisha spontan menunduk melihat jam tangannya juga. Sudah hampir pukul tujuh. Kalau harus pesan kendaraan umum sekarang, bisa-bisa dia datang terlambat. Sagara masih diam, tapi langkahnya belum bergerak. Menunggu. Tenang tapi terasa menekan."Dia nggak mau maksa dulu gitu, ya..." gerutu Latisha dalam hati, menggigit bibir bawahnya kesal sendiri."Saya berangkat dulu."Nada suara Sagara tetap datar, sopan, tapi terasa berjarak. Ucapannya seperti sebuah pagar yang tak bisa Latisha lewati.Latisha mendesah pelan.Seb

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 27

    “Latisha.”Refleks, tubuhnya menegang. Ia menoleh cepat, nyaris terlonjak kaget. Panik melintas sekejap di wajahnya.“Sial! Gue ketahuan?” batinnya mendesah, canggung.Sagara memutar tubuh perlahan, bersandar pada kursinya. Tatapannya mengarah padanya—tenang, tapi sulit ditebak. “Belum tidur?”Latisha cepat-cepat menyusun ekspresi santai. “Eh… belum. Tadi cuma mau ambil air,” katanya sambil tersenyum canggung.Sagara mengangguk tipis. “Kamu bisa tidur duluan. Saya masih ada yang harus diselesaikan.”Namun langkah Latisha tak kunjung bergerak. Pandangannya terarah pada jam dinding, lalu kembali pada Sagara yang terlihat lelah tapi tetap memaksa duduk tegak.“Tapi ini udah tengah malam, Pak. Waktunya istirahat…” ucapnya pelan. Meski lirih, suaranya cukup jelas untuk didengar.Sagara menatapnya sesaat. Ada jeda. Seolah sedang mempertimbangkan—apakah itu bentuk perhatian atau sekadar basa-basi.“Sebentar lagi,” jawabnya akhirnya, singkat.Latisha diam sejenak, lalu memberanikan diri melan

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 26

    Ruang meeting siang ini dipenuhi suara presentasi dan gemerisik kertas. Namun di antara semua kesibukan itu, ada dua orang yang terlihat sangat berjarak.Mereka duduk bersebelahan, seperti biasa. Tapi kali ini, tak ada saling lempar pandang. Tak ada interaksi kecil yang mencairkan suasana. Hanya sunyi.Sagara membuka laptopnya, mengetik cepat tanpa sedikit pun menoleh ke arah Latisha.Latisha duduk tegak, mencatat dengan rapi, tapi jari-jarinya sesekali berhenti. Bukan karena tak paham, tapi karena pikirannya terpecah-ke arah pria di sampingnya, yang terasa begitu dekat namun nyatanya jauh."Lembar data tambahan sudah saya kirim ke email, Pak," katanya lirih, nyaris formal.Sagara hanya mengangguk, matanya tetap tertuju ke layar. "Oke. Terima kasih."Tak ada nada hangat di suaranya. Hanya suara atasan yang bicara pada rekan kerja. Dan Latisha mencatat itu baik-baik, meski tak menunjukkan apa pun di wajahnya.Nadya, yang duduk di ujung meja, melirik mereka bergantian-mengamati bahasa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status