Share

05. Hari Perjodohan

"Aku sempat bilang ke dia, kalau bakal laporin ke polisi."

Nisha langsung melotot kaget sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Kamu udah gila ya? Gimana pun juga, utang piutang kan bisa dipidana."

"Aku tau, tapi itu penting supaya si Matteo itu punya rasa takut," balas Zea santai.

"Ckckck. Dasar nggak punya hati," cibir Nisha. Ia cuma bisa geleng-geleng kepala menghadapi kelakuan temannya.

Sudah keras kepala, kadang arogan pula. Salah satu sikap yang sering ditunjukkan Zea kepada orang-orang sekitarnya.

***

Kesibukan yang dilakukan Zea, membuat waktu bergulir begitu cepat. Dari pagi hingga petang, kegiatan CEO cantik itu sudah sangat padat. Meeting dengan klien, rapat bulanan, survey lokasi. Dan masih banyak hal yang dilakukan oleh Zea. Sebenarnya dia bisa menyuruh pegawainya yang lain untuk menghandel pekerjaannya. Tapi perempuan itu tidak akan puas, bila tidak turun langsung ke lapangan.

Contohnya saja hari ini. Gadis berusia 25 tahun itu tiba di rumahnya sekitar pukul 10 malam. Pikirnya, ia bisa langsung istirahat karena Papa dan Mamanya mungkin juga sudah terlelap. Tapi sayangnya, malam ini sedikit berbeda. Sang Papa ternyata masih bangun dan menunggunya untuk pulang.

"Udah pulang kamu?"

Zea yang tadinya berjalan mengendap ke lantai dua, begitu terkejut saat melihat sang Papa masih duduk anteng di sofa.

"Papa?! Papa belum tidur?" tanya Zea sambil balik badan. Ia mencoba untuk tersenyum happy meskipun dalam hati ia merasa tak nyaman karena sorot mata dingin Papanya.

"Kamu ini. Makin hari makin malam saja kalau pulang. Kenapa nggak sekalian aja, kamu bawa baju-baju kamu dan menetap di sana?" tukas sang Papa sinis.

Zea menghela nafas panjang sebelum berucap, "Mau bagaimana lagi Pa. Akhir-akhir perusahaan lagi sibuk-sibuknya buat persiapan cabang baru."

"Tapi kamu kan punya karyawan Zea. Kalau kamu terus yang turun tangan, apa gunanya kamu gaji mereka?"

Perempuan berblouse warna ungu itu mendengkus. "Papa kan tau kalau aku nggak akan puas jika tidak turun tangan secara langsung."

"Banyak alasan kamu Zee!" tukas Papanya lagi.

Zea memutar kedua bola matanya. Inilah hal yang paling dia benci jika pulang ke rumah, dan bertemu kedua orang tuanya. Ada saja hal-hal yang membuat ia dan orang tuanya beradu argumen. Dan jujur ia muak karena hal ini.

"Aku mau istirahat Pa. Zea capek banget soalnya." Demi mengakhiri perdebatan di antara mereka berdua, akhirnya Zea pun berucap demikian.

Namun belum sempat kakinya meniti tangga, sang Papa lebih dahulu berkata, "Akhir pekan nanti Papa pengen kamu kosongin jadwal."

Zea mengurungkan niatnya dan berbalik menatap Papanya. "Buat apa Pa?"

"Papa mau ngenalin kamu sama seseorang."

Jantung Zea seakan berhenti berdetak saat itu juga. Dia pikir Papanya sudah lupa mengenai perjodohan, tapi faktanya justru berbeda.

"Kok gitu sih Pa?" cicit Zea tak terima. "Kan dari kemarin-kemarin Zea udah bilang kalau nggak mau dijodohin?"

"Ya mau bagaimana lagi. Tenggat waktu kamu buat cari pasangan kurang seminggu lagi, dan kayaknya kamu juga nggak ada niatan buat ngenalin siapapun ke Mama ataupun Papa. Jadi apa salahnya kalau kita punya inisiatif seperti itu?"

Zea memejamkan matanya sejenak. Rasanya ia pusing sampai kepalanya mau pecah. Inilah yang membuatnya malas jika ada di rumah, pertanyaan-pertanyaan macam itu membuatnya muak saja.

"Papa... tolong kasih aku waktu lagi!"

"Daripada Papa yang terus-terusan sabar. Gimana kalau kamu sempetin waktu buat hari sabtu besok."

"Pa..." rengek Zea lagi. Salah satu sisi yang tidak pernah gadis itu tunjukkan pada siapapun. "Please... Jangan kayak gini! Aku nggak mau dijodohin Pa."

"Cukup Zea! Papa nggak mau dengar apapun!"

Zea tak bisa membantah lagi saat papanya memilih pergi dan menyudahi percakapan di antara mereka. Meninggalkan sang anak yang terduduk lemas di ujung tangga sambil memijat pelipisnya.

"Sialan!" umpatnya dalam hati. Kenapa orang tuanya tidak bisa mengerti kondisinya.

*

Alasan kenapa Zea memiliki sifat keras kepala, itu karena turunan dari Papanya. Contohnya saja hari ini. Meskipun Zea berulang kali memohon pada pria paruh baya itu untuk membatalkan acara pertemuan mereka dengan keluarga dari pihak pria, namun keinginannya tersebut sama sekali tak digubris oleh sang Papa.

Jadi, mau tak mau CEO cantik itu harus mengosongkan jadwalnya sabtu ini demi acara yang sangat tak penting tersebut.

"Pakai gaun ini, Zee! Mungkin gaun ini lebih cocok untuk kamu."

Zea menoleh ke arah sang Mama. Ini sudah gaun keempat yang dia coba, tapi mamanya— terus menerus memintanya untuk mencoba gaun yang lain karena merasa kurang pantas di pakai olehnya.

"Aku capek Ma, gonta-ganti gaun terus," keluh Zea dengan lesu. "Lagian ini kan cuma pertemuan biasa, kenapa nggak pakai baju casual aja coba?"

"No! No! No!" Sang Mama menggelengkan kepalanya, kurang setuju dengan pendapat anak tunggalnya tersebut. "Kamu harus keliatan cantik di depan calon mertua Zea. Makanya Mama sengaja beliin beberapa gaun ini supaya bisa kamu pakai."

Zea memutar kedua bola matanya. Rasanya ia bisa botak dengan cepat jika kedua orang tuanya tetap kekeh dengan pendirian mereka. "Mama... Kenapa sih harus kayak gini segala? Kenapa kalian nggak mau dengerin aku?"

"Papa dan Mama udah terlalu sering dengar alasan kamu Zea. Makanya, kali ini kami mau kamu nurut!" ucap sang Mama sambil memadupadankan warna tas dan gaun yang nanti akan Zea pakai. "Kamu kan tau, patuh sama orang tua pahalanya cukup besar."

"Mama... Aku nggak mau kenalan sama siapa pun. Aku juga nggak mau nikah buru-buru. Please Ma... Tolong jangan kayak gini!" Zea yang masih mengenakan celana pendek dan tank top itu semakin merajuk.

Perempuan itu tahu hanya mamanya yang bisa dia bujuk untuk menghentikan perjodohan ini. Jadi mau tidak mau, ia langsung bersimpuh di kaki sang mama, tak berharap wanita itu menjadi iba padanya.

"Mama, tolong bujuk Papa ya! Tolong minta ke Papa supaya acara ini batal!"

"Zea... Mau sampai kapan kamu nunda-nunda pernikahan kamu? Kamu nggak capek apa jadi bahan cibiran orang?"

"Tapi aku masih mau ngejar karir aku, Ma. Aku masih mau hidup bebas tanpa pasangan. Aku nggak mau terikat hubungan sama orang lain, Ma." Zea memeluk kaki Mamanya sambil menangis. Hal yang paling jarang dilakukan oleh Zea.

"Kamu nggak kasihan ama Mama?" Ia menatap sang putri yang sibuk bersimpuh di kakinya. Dia bingung harus mengambil sikap seperti apa kali ini.

"Emangnya ada orang tua yang rela ngorbanin anaknya demi kebahagiaan mereka sendiri?"

Deg!

Jantung wanita 50 tahunan itu seketika nyeri. Bukan karena kalimat yang Zea lontarkan, tapi...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status