Matteo tertohok dengan kalimat yang Zea lontarkan kepadanya. "Sa- saya..." Dia tergagap. Bingung harus menjawab apa.
"Pokoknya aku nggak mau tau. Dalam satu bulan ini, semua uang perusahaan yang kamu pinjam harus segera kamu kembalikan!"Demi apapun, Matteo nyaris lupa caranya bernafas ketika Zea mengultimatum dirinya dengan kalimat tersebut. Satu bulan? Mana bisa ia membayar semua hutangnya dalam waktu sesingkat itu? Sedangkan rentenir yang tadi menelfonnya saja sudah berisik dan memintanya untuk bayar hutang."Itu nggak mungkin, Bu," lirih Matteo pada akhirnya. "Saya nggak mungkin bisa melunasi hutang-hutang itu dengan cepat.""Ya itu kan urusan kamu." Zea membalas dengan acuh. "Pokoknya aku ingin uang itu segera kamu kembali kan, nggak peduli gimana caranya. Titik!"Karyawan berusia 25 tahun itu melirik Zea dengan sudut matanya. Sungguh dia merasa benci pada dirinya sendiri. Benci karena ia tidak bisa berbuat banyak untuk melawan sang Bos. Benci karena sebagai orang miskin ia terus-menerus diremehkan sepertinya sekarang."Udah sana balik kerja! Jangan lupa Satu bulan lagi hutang-hutang kamu harus lunas. Kalau enggak..." Zea memicingkan matanya. Seringai jahatnya tampak terpatri di bibir ranum miliknya. "Kalau enggak, kamu bakal aku laporin ke penjara dengan tuduhan korupsi."Matteo kehabisan kata-kata. Dia pikir kehadiran Zea tadi bisa membuatnya terbantu agar mendapatkan pinjaman baru, tapi sialnya sang bos hanya membuat beban pikirannya bertambah saja."Udah buruan pergi! Betah banget kamu di ruangan ini?!" usir Zea tak sabaran."Saya permisi Bu," pamit Matteo pada akhirnya. Walaupun hatinya begitu dongkol karena sikap Zea yang arogan dan sangat menyebalkan.*Nisha berjalan mondar-mandir di depan ruang kerja milik Zea. Wajahnya terlihat cemas sekaligus penasaran. Yah, memangnya siapa yang tidak kepo dengan apa yang sedang dibicarakan sahabat baiknya itu dengan si karyawan. Dan Nisha, adalah salah satu orang yang rasa ingin taunya cukup besar untuk mencari informasi yang sedang terjadi."Mereka ngomongin apa ya? Apa si Zea mau mecat karyawan itu?""Tapi ya nggak salah juga sih kalau dipecat, soalnya itu karyawan udah bikin masalah di perusahaan.""Eh— tapi kan kasian juga kalau dipecat. Soalnya banyak gosip yang beredar kalau ibu karyawan itu sedang sakit keras kan?"Nisha menatap pintu masuk di depannya. Rasanya ia ingin sekali langsung masuk ke dalam dan ikut dalam obrolan mereka. Tapi karena dia tau bagaimana emosiannya Zea, jadi dia menahan diri untuk tidak bebertindak gegabah."Apa aku nguping aja ya?" tanya Nisha pada dirinya sendiri. Ia berjalan ke arah pintu dan mulai menempelkan telinganya di sana. Tapi baru beberapa detik hal itu terjadi, pintu mendadak dibuka dari dalam dan disusul keluarnya Matteo di saat bersamaan.Baik Matteo ataupun Nisha sama-sama terkejut saat momen itu terjadi. Tapi Matteo tak terlalu ambil pusing dan memilih langsung pergindarinsana sesuai titah Zea. Sedangkan Nisha, dia langsung masuk ke dalam setelah menutup pintu ruangan CEO cantik tersebut."Apa yang kamu obrolin ama karyawan itu?" Tanpa tedeng aling-aling, Nisha langsung mencecar Zea dengan pertanyaan tersebut. "Berapa hutangnya di perusahaan? Terus, kamu kasih hukuman apa ke dia?"Zea yang diberondong dengan macam-macam pertanyaan oleh Nisha langsung berucap, "Apa sih? Orang aku nggak ngapa-ngapain.""Bohong!" tepis Nisha cepat. "Nggak mungkin orang kayak kamu ngelepasin dia gitu aja. Pasti kamu ngelakuin sesuatu ke dia kan?""Aku beneran nggak ngapa-ngapain. Aku cuma tanya kenapa dia hutang di kantor, terus berapa jumlahnya. Gitu doang kok," jawab Zea yang tidak sepenuhnya berbohong."Cuma gitu aja?" tanya Nisha sangsi."Iya kok. Sekaligus bilang ke dia kalau harus ngelunasin semua hutang-hutang itu dalam waktu sebulan," lanjut Zea dengan wajah tak berdosa."Apa? Sebulan?" Zea syok berat. "Hutang puluhan juga harus dia lunasi dalam sebulan?"Zea mengorek kupingnya. Suara keras Nisha barusan membuat telinganya sakit saja. "Biasa aja kali Sha!""Gimana aku nggak kaget coba? Tadinya aku pikir kamu bakal kasih keringanan ke dia, tapi ini apa? Kamu malah bikin beban pikiran dia bertambah.""Ya biarin aja. Salah sendiri pake hutang sebanyK itu. Mana pake alasan ibunya sakitlah, Ayahnya kabur dan ninggalin banyak hutanglah. Kan itu alasan klasik Sha. Aku yakin kalau orang sepertinya bakal gunain uang itu buat pacaran.""Ckckckck, Zea Anssya Widyaningrum... Nggak punya hati kamu ya?" Nisha memegangi dadanya sambil geleng-geleng kepala. "Itu karyawan kamu lho?""Ya emang. Tapi apa dedikasi dia buat perusahaan? Toh dia cuma karyawan biasa, nggak ngaruh banyak di perusahaan ini," Zea membalas dengan angkuh."Tapi kan kasian Zee, mana orangnya ganteng gitu. Di mana hati nurani kamu?" balas Nisha hiperbola."Ish, lebay banget sih?" Zea melempar spidol ke arah Nisha. Yang untungnya langsung di tepis oleh teman baiknya itu. "Terus kalau dia ganteng, aku harus iba gitu ya? Enggak! Aku bukan cewek-cewek murahan yang gampang goyah karena wajah.""Ya minimal kasih tenggat waktu lebih lama gitu.""Terserah aku dong, kan di sini aku yang jadi Bosnya. Kalau kamu nggak Terima karena aku menghukumnya seperti tadi, ya sana! Bikin perusahaan sendiri terus rekrut dia jadi pegawai kamu!" balas Zea penuh sikap arogansi.Nisha mengatupkan bibirnya. Kehabisan kata-kata jika sudah berdebat dengan Nona Muda Zea."Enggak gitu Zea, harusnya sebelum nge-ulti kaya barusan, kan kamu bisa cari tau apakah ucapan dia bener apa cuma bohongan. Kan kasian kalau misalkan apa yang dia ucapkan itu sungguhan?""Kenapa sih belain dia terus? Kamu naksir ama dia?""Ya kenapa kalau naksir? Orang dia tampan kok.""Wah-wah, nggak nyangka kamu cepet banget move on dari mantan suami.""Hey... Beda konteks ya ini."Zea memutar kedua bola matanya. "Terserah."Nisha sungguh harus ekstra sabar menghadapi Bosnya yang super arogan. Di mata Nisha, Zea adalah seorang Alpha women yang segala yang dia lakukan harus sesuai dengan apa yang dia perintahkan."Omong-omong, gimana reaksi dia tadi pas kamu kasih tenggat waktu sebulan?" tanya Nisha lagi. Ia pandangi sosok Zea yang sibuk mengetikkan sesuatu di laptopnya."Dia sih cuma diem, tapi aku sadar kok kalau sorot mata dia pas ngeliat ke arahku kayak kesal gitu.""Wajar sih kalau dia kesal.""Biarin aja. Biar dia punya tanggung jawab.""Tapi kasian tau dia. Wajahnya pas ke luar dari ruangan ini kayak sedih gitu, Zee. Nggak tega aku liatnya."Zea menyeringai sinis. Ia pandangi Nisha yang sejak tadi terus-menerus membela Matteo. "Kalau kamu kasian, kenapa nggak kamu aja yang bantu ngelunasin hutangnya?"Nisha melotot kaget. "Enak aja. Aku punya anak yang harus dikasih nafkah.""Ya sama dong. Aku uang itu untuk membayar gaji karyawan di sini termasuk kamu. Jadi nggak salah dong kalau aku minta dia ngelunasin hutangnya?"Perempuan berambut pendek itu menggeleng. "Enggak, kamu bener kok. Kamu nggak pernah salah," ucap Nisha pasrah."Ah, sama satu lagi!" Zea menjentikkan jarinya saat ia teringat satu percakapan penting di antara ia dan Matteo beberapa saat lalu."Apa?""Aku sempat bilang ke dia, kalau..""Semua bakalan baik-baik aja.""Semuanya pasti akan berjalan lancar."Zea berusaha untuk terus berpikir positif. Meskipun di luar sana keadaan sedang tidak kondusif, tapi ia yakin Matteo dan sang Ayah bisa menghentikan pernikahan ini."Bapak ini gimana? Kita ini udah mau tunangan lho? Masa batal gitu aja? Apa kata orang-orang Pak?""Saya lebih baik menanggung malu, Pak. Daripada harus melihat anak kesayangan saya menderita nantinya.""Ini nggak adil, Pak! Kalian harus ganti rugi?!""Ck!" Zea menggigit bibirnya. Belum apa-apa saja calon besannya sudah minta ganti rugi hanya karena masalah seperti ini. Bagaimana jika mereka benar-benar menikah nantinya? Apa Zea tidak harus menanggung banyak beban jika tinggal bersama keluarga arogan dan perhitungan seperti mereka?"Ya Tuhan, semoga aja masalah ini bisa selesai dengan lancar. Semoga nggak terjadi hal-hal yang enggak kami inginkan." Zea merapatkan kedua tangannya dan berdoa.Ia mondar mandir dengan gelisah di dalam kamarnya selama beberap
"Udah berapa lama kalian pacaran?"Kini Matteo dan Zea sudah duduk berdampingan dengan Ibu dan Pak Rendra yang berada di hadapan mereka. Kedua orang itu seperti sedang disidang saja."Hampir setahun, Tante," jawab Matteo dengan nada tegas."Setahun?!" Bu Rendra tersentak kaget. "Terus kenapa kalian selama ini nggak pernah bilang?""Waktu itu kami masih sama-sama ragu, Tante. Apalagi saya— saya khawatir karena sedang dalam hubungan jarak jauh.""Tapi Zea kan bisa jujur kalau kalian emang pacaran! Jadi kami nggak repot harus cari jodoh sampai begini?" pungkas Pak Rendra. Dia terlihat kesal karena ulah Zea dan Matteo yang tidak mau jujur mengenai hubungan mereka."I- itu Pa... Kita..."Zea belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika Matteo lebih dahulu menyelama, "Sebenarnya kita memang sempat putus beberapa bulan terakhir Om. Lebih tepatnya break sebentar."Zea menatap ke arah Matteo dengan ekpresi heran. Tapi dia memilih untuk diam dan membiarkan pria di sebelahnya ini untuk melanjutk
"Aku takut banget Sha. Aku nggak bisa bayangin harus nikah sama cowok kayak Robby."Nisha yang mendengar ucapan Zea langsung mendekati gadis itu dan memeluknya. Ia hanya bisa melakukan itu guna memberikan sahabatnya kekuatan. "Kamu jangan khawatir, Zee. Tuhan pasti bakal jagain kamu.""Aku pengen nyerah aja, rasanya. Aku nggak paham lagi kenapa Papa dan Mama nggak pernah mau dengerin aku." Manik Zea mulai buram karena air mata. Ia begitu khawatir dengan perjalanan hidupnya setelah resmi bertunangan dan menikah dengan Robby."Boleh nggak sih aku berharap sama Tuhan, di hari H ada kebakaran, gempa atau apapun yang bisa bikin pertunangan kami batal?"Nisha mendelik. "Hush! Jangan bicara gitu Zee.""Aku udah putus ada banget.""Daripada gitu, kenapa nggak berdoa minta di datangkan seorang cowok yang jadi pahlawan penyelamat aja? Yang bisa bantuin kamu bebas dari Robby si playboy itu?"Zea menutup wajahnya dengan lengan kanannya yang bebas dari infus. "Kalau itu, terlalu mustahil menurutku
"Aku kasian deh ama Zea."Suara Nisha barusan membuat lamunan Matteo jadi buyar. Ia tatap perempuan di sebelahnya dengan alis berkerut karena bingung."Kenapa gitu Bu?""Ya bayangin aja, Matt. Dia dipaksa nikah sama laki-laki kasar dan playboy seperti Robby," jawab Nisha yang duduk di sebelah Matteo. "Padahal Zea puluhan kali minta ke mamanya buat batalin pertunangan mereka, tapi orang tuanya masih aja maksa.""Memamgnya, orang tua Bu Zea nggak tau kelakuan calon mantu mereka?" tanya Matteo penasaran."Mereka nggak tau. Nggak mau percaya juga karena si Robby ini anaknteman mereka. Jadi ya, dibandingkan percaya sama Zea, mereka lebih percaya ke si Robby itu." Nisha memperhatikan temannya yang masih tidur itu dengan wajah sendu. Dia tidak menyangka di balik kesuksesan Zea, ternyata ada satu masalah besar yang tengah mengintainya."Sumpah, Aku beneran nggak tega kalau sampai Zea nikah sama Robby. Dia— nggak seharusnya menderita karena pernikahan itu."Matteo tidak mengatakan apapun dan h
Beberapa minggu berlalu sejak hari terakhir Matteo bertemu dengan bosnya Zea. Setelah pembicaraan penting itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Keduanya sama-sama saling menghindar dan tak bertegur sapa. Mereka bersikap seolah tidak saling kenal satu sama lain. Dan sekarang, Matteo sedang berkumpul dengan teman-temannya di kantin, mereka menikmati hidangan makan siang yang tersedia sambil mengobrol mengenai banyak hal. Tapi entah dimulai dari mana, salah satu teman Matteo tiba-tiba membahas masalah Zea."Tau nggak guys. Aku mendengar kabar kalau bu CEO mau lamaran."Matteo yang sedang menikmati makan siangnya dengan tenang langsung mempertajam pendengarannya, dia mendadak penasaran dengan pembahasan teman-temannya."Oh iya? Kata siapa?""Aku dapat info dari sumber terpercaya.""Wah, bagus dong kalau Bu Zea udah nemuin jodohnya.""Ya bagus sih, tapi masalahnya, jodohnya itu orangnya lebih tua 10 tahun dari Bu Zea lho."Matteo mendelik kaget. Tapi ia berusaha menutupi rasa keterkejutan
"Matteo! Kamun dipanggil sama Bu CEO tuh! Dia meminta kamu untuk segera datang ke ruangannya."Matteo baru saja bersiap turun ke bawah saat untuk makan siang, seorang HRD datang menghampirinya, dan mengatakan hal tersebut. Matteo menjilat bibir bawahnya. Dia sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan oleh wanita itu, saat memanggilnya. Tapi sejujurnya, dia belum punya jawaban yang tepat untuk menanggapi tawaran Zea."Hei! Kenapa masih di situ? Buruan sana ke ruangan Bu Zea! Kamu tahu sendiri kan gimana sikap Bu Zea sama orang yang lelet kayak kamu gini?" tukas HRD itu lagi. Memperingati Matteo agar segera pergi ke tempat yang diminta.Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan Zea, Matteo tidak bisa menenangkan degup jantungnya. Dia bahkan terus memikirkan jawaban apa yang harus dia sampaikan pada Zea nanti."Aku bingung banget. Berhari-hari memantapkan hati buat pilih keputusan yang tepat, tapi rasanya susah sekali." Matteo menggumam dal