Share

Dipaksa Menikah

"Orang tuaku, Sha. Mereka maksa aku nikah," ucap Zea memulai ceritanya. Dalam waktu singkat, perempuan yang tak terbiasa mengumbar masalahnya ini memulai ceritanya soal kejadian pagi tadi pada sang sahabat.

"Jadi, orang tua kamu ngasih waktu sebulan buat kamu nyari pasangan?" Nisha Angelina Putri kembali mengulang cerita Zea saat keduanya bertemu di kantor pagi ini.

Nisha yang tadinya ingin membahas mengenai kegiatan Zea selama satu hari ini, justru diberondong dengan curhatan sang Boss besar.

"Gila bukan? Mereka pikir mencari jodoh itu gampang apa? Bahkan membujuk vendor agar mau kerja sama denganku saja jauh lebih mudah dari itu." Zea mendudukkan pantatnya ke atas kursi kebesarannya. Ia duduk dengan raut dongkol karena masih teringat akan kalimat yang terlontar dari bibir kedua orang tuanya.

"Tapi menurutku saran mereka itu baik lho, Zee. Memangnya kamu nggak berminat apa untuk punya keluarga kecil yang bahagia? Nggak capek apa, harus ngantor setiap hari, ketemu klien, meeting?" Nisha yang duduk berseberangan dengan Zea akhirnya buka suara.

"Itu duniaku Sha. Impianku sejak dulu ya jadi CEO." Zea membalas dengan mantap. Melepaskan impian yang susah payah dia raih bukan hal gampang baginya.

"Tapi kamu kan tetap bisa jadi wanita karir setelah menikah nanti," Nisha tak mau kalah. Ia sudah seperti orang tua Zea yang mendesaknya untuk menikah.

"Awalnya mungkin bisa jalan sebagai istri dan wanita karir. Tapi aku yakin, lambat laun suamiku bisa saja memprotes pekerjaan yang aku lakukan, lalu menuntutku untuk memiliki anak, dan akhirnya aku harus melepaskan karir ini." Zea menatap tajam ke arah sahabat baiknya. "Jadi sebelum itu terjadi, bukannya aku lebih baik menghindari hal-hal tersebut."

Zea sepertinya sudah khatam dengan kisah para istri di luaran sana. Yang kehidupan pernikahannya selalu saja dihantui dengan segala macam problema.

Nisha menghela nafas panjang. Susah memang berbicara dengan alpha woman seperti Zea. Pasti ada saja jawaban untuk menyanggah saran darinya.

"Pernikahan nggak seburuk itu kok," ucap Nisha lagi.

"Apa aku harus percaya sama orang yang bahkan belum lama ini bercerai, huh?"

Nisha mengatupkan bibirnya. Tertohok oleh kalimat yang baru saja Zea lontarkan. "Kan nggak semua pernikahan bisa berakhir sepertiku Zee. Mungkin nanti kamu akan jauh lebih beruntung."

Zea membuka laptopnya sambil menggeleng. Sama sekali tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Nisha. "Ini bukan dunia coba-coba Sha, jadi aku nggak mau salah langkah."

Nisha menghela nafas panjang. Susah berdebat dengan perempuan keraskepala seperti Zea. "Lalu gimana sama orang tua kamu Zea? Gimana kalau mereka kekeuh untuk menjodohkan kamu dengan pria yang nggak kamu kenal?"

Bagaimana jika ia gagal mendapatkan pasangan lalu orang tuanya turun tangan untuk menjodohkannya?

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Nisha sempat membuat Zea terdiam selama beberapa saat. Tentu saja dia belum memikirkan jawaban yang tepat untuk itu. Akan tetapi—

"Nggaklah. Papa sama Mama nggak mungkin tega jodohin anaknya sama orang yang dikenal. Mustahil kalau menurutku," tepis CEO cantik itu. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Walaupun hatinya sedikit merasa was-was karena ucapan Nisha barusan.

"Hm. Kamu terlalu percaya diri tau nggak," cibir Nisha sambil memanyunkan bibirnya.

"Ssst! Diem deh! Mending kita fokus kerja lagi aja!" omel Zea tak terima. "Mending kamu siapin bahan meeting buat siang nanti deh!"

Nisha memutar kedua bola matanya. Dia sudah hafal dengan perilaku Zea yang selalu mengalihkan pembicaraan jika sudah terpojok seperti sekarang.

"Oke, terserah kamu aja."

Zea hanya melirik Nisha yang keluar dari ruangannya melalui sudut matanya. Dia cukup lega ketika teman baiknya ini, pergi dari ruangannya. Paling tidak, Nisha akan berhenti mencecarnya dengan pertanyaan yang makin membuatnya sakit kepala.

Bohong kalau Zea tidak khawatir. Bagaimana pun juga dia tidak punya satu orang pun teman pria yang bisa diajak menikah. Ah, jangankan menikah menjadi pacar saja, mungkin mereka akan berpikir dua kali. Karena seringngnya, para pria akan insecure jika sudah melihat kesuksesannya.

***

Jika Zea dipusingkan dengan pertanyaan mengenai kapan dia akan menikah, atau peryataan lain seputar pasangan dan perjodohan, berbeda dengan Matteo Shaka Damitri. Karyawan berusia 30 tahun itu, justru harus menghadapi masalah yang lebih pelik lagi. Yakni menjadi salah satu target deptcollertor karena hutang keluarganya yang cukup besar.

Contohnya saja sekarang ini. Di saat yang lain menikmati jam istirahat kantor dengan makan siang di kantin, ia malah harus meminta maaf puluhan kali pada penagih hutang yang sedang menelponnya.

["Kapan kamu bayar semua hutang ibu kamu? Aku udah kasih kamu tenggat 1 minggu lho!"]

Matteo memijat pelipisnya, dia sendiri bingung harus memberikan alasan seperti apa lagi saat ditanya hal yang sama berulang kali.

"Maaf Pak, saya beneran belum ada uang," jawab Teo dengan nada sendunya.

["Brengsek!"]

Makian keras dari rentenir yang menelponnya, membuat Matteo reflek menjauhkan ponselnya dari daun telinga.

["Dari kemarin, begitu terus saja jawaban kamu! Jangan- Kamu memang tidak ada niat untuk membayar hutang itu kan?"]

"Demi Tuhan Pak, saya pasti akan melunasi semuanya. Tapi tolong beri saya tenggat waktu!" pinta pemuda itu dengan sangat memelas.

["Kamu mau waktu berapa lama lagi, hah? Ini sudah lewat 2 bulan dari waktu perjanjian. Tapi sepeserpun kamu tidak ada niatan untuk mengembalikannya. Harus berapa lama lagi aku bersabar?!"]

Matteo menjilat bibirnya yang terasa kering. Jantungnya terus saja berdegup kencang setiap menerima amukan dari rentenir tersebut. Karena sejujurnya, dia memang tidak memiliki uang sama sekali. Gaji yang dia terima setiap bulan hanya cukup untuk biaya makan dan pengobatan ibunya yang sedang sakit.

"Maafkan saya Pak. Saya..."

["CUKUP YA! Aku tidak mau dengar apapun lagi! Dalam waktu satu minggu, hutang-hutang itu harus segera kamu lunasi beserta bunganya!"]

Matteo menelan ludah ketika mendengar kalimat tersebut.

["Kalau tidak, siap-siap saja kamu angkat kaki dari rumah yang kamu tempati sekarang!"]

Jantung Matteo seakan berhenti berdetak ketika mendengar ancaman tersebut. "Ja-jangan Pak! Itu rumah satu-satunya milik saya. Kalau rumah itu diambil—"

["AKU TIDAK PEDULI!"]

Lagi-lagi, Teo hanya bisa memejamkan matanya saat sang rentenir menghardiknya dengan sangat keras. Ia seolah tak diberi kesempatan untuk mengatakan sesuatu.

["Ingat ya! Waktu kamu cuma satu minggu!"]

Matteo baru saja membuka mulutnya, namun rentenir itu sudah terlebih dahulu menutup sepihak telfon mereka.

"Haaa..." Helaan nafas panjang keluar dari bibir lelaki berkemeja warna biru tersebut. Rasanya dia begitu penat dengan masalah hidup yang menimpanya. Puluhan kali dia harus menghadapi situasi seperti ini, dan itu terjadi karena sang ayah yang kabur dengan meninggalkan hutang puluhan juta. Hutang yang harus menjadi tanggung jawabnya karena ia masih anggota keluarga.

"Satu minggu? Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?" Kepalanya benar-benar pening. Hidupnya sudah susah, tapi malah semakin penat karena ulah ayahnya. Belum lagi ia harus mengumpulkan biaya untuk check up rutin karena ibunya yang sakit keras. Sungguh, lengkap sudah penderitaan Matteo.

Pemuda itu berjalan lemas menuju ruangannya. Sementara pikirannya sendiri sudah berkelana ke sana kemari. Ia harus mencari cara agar hutang keluarganya segera lunas.

"Jalan satu-satunya untuk dapat uang, hanya dengan pinjam ke kantor. Tapi..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status