Share

Terjebak Hutang

"Jalan satu-satunya untuk dapat uang, hanya dengan pinjam ke kantor. Tapi..." Matteo mengerutkan keningnya. Wajahnya tampak semakin lesu saja. "Tapi hutangku di sini udah banyak. Emangnya kantor mau ACC apa?"

Ia tampak ragu ketika memikirkan ide tersebut. Namun tidak ada cara lain lagi untuknya, bisa keluar dari masalah ini. Jadi dengan tekat yang kuat serta keberanian yang coba dikumpulkan banyak-banyak, ia pun memutuskan untuk ke ruang HRD guna mengajukan pinjaman.

Namun sayangnya, realita tak seindah dengan apa yang ia harapkan. Sebab faktanya, bukan pinjaman yang ia dapat, melainkan amukan dari HRD tempatnya bekerja.

"Kamu ini gimana sih Teo? Hutang yang kemarin saja belum kamu lunasi, sekarang udah mau pinjam lagi?"

"Maaf banget Bu, tapi saya beneran butuh uangnya," lirih Matteo dengan kepala tertunduk dalam. Sebenarnya dia sangat malu saat mengajukan pinjaman sampai memohon seperti ini.

"Iya saya tau Matteo, tapi kalau kamu ngajuin pinjaman lagi, bisa-bisa kamu nggak nerima gaji karena habis untuk bayar potongan?" Wanita bertubuh sedikit berisi tersebut, hanya bisa menghela nafas panjang saat menghadapi Matteo.

Kali ini Matteo terdiam. Dia terlihat bingung harus menjawab apa.

"Udah! Mending kamu balik kerja sana! Saya nggak ada waktu buat ngurusin kamu!" perintah sang HRD dengan ketusnya.

"Tapi Bu, saya mohon banget tolong bantuin saya. kali ini aja Bu! Saya janji setelah ini saya nggak akan pinjam uang lagi." Matteo menangkupkan kedua tangannya. Memasang ekspresi mengiba supaya sang HRD mau membantunya.

"Udah cukup ya Teo! Aku ini bukan ibu kamu yang bisa kamu mintai uang sesuka hati kayak gitu! Lagi pula ini perusahaan nenek moyang kamu apa, pinjam uang seenaknya! Kalau ada apa-apa, nggak cuma kamu aja yang kena, tapi saya juga!" amuk wanita itu. Alisnya sudah menukik tinggi saking kesalnya.

"Tolong saya Bu... Saya nggak tau lagi harus pinjam uang ke mana..."

Namun bukannya merasa kasihan, HRD tersebut justru membentak Matteo dengan suara yang cukup keras, hingga terdengar sampai ke area luar. Beberapa orang yang kebetulan lewat pun langsung menengok ke ruangan itu karena penasaran. Termasuk Zea dan Nisha yang kebetulan lewat untuk makan siang.

"Ada apa sih? Kok berisik banget?" tanya Zea pada teman baiknya itu. Perempuan 25 tahun itu sedikit menyipitkan matanya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana.

"Enggak tau nih, Zee. Dan nggak penting juga kan buat kita?" sahut Nisha dengan acuh tak acuh. "Itu urusan pegawai biasa, nggak ada urusannya sama kita."

Zea yang mendengar jawaban Nisha, reflek mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang kurang dia suka dari ucapan teman baiknya ini. "Nggak bisa gitu dong Sha! Ini kan perusahaan milikku, jadi semua yang bekerja di sini adalah tanggung jawabku."

"Terus kamu mau ngapain?" tanya Nisha dengan agak depresi.

Bukannya menjawab, Zea justru menghampiri kedua orang itu dan mencari tau apa yang terjadi.

"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut di kantor?"

Suara tegas Zea membuat Matteo dan sang HRD terdiam seketika. Mereka mendadak segan sampai langsung menundukkan kepala ketika Zea muncul di hadapan keduanya.

"Kenapa diam? Jawab saya, ada apa ribut-ribut di jam istirahat kayak gini?"

"Maaf Bu. Ini gara-gara Matteo," ungkap sang HRD sambil menunjuk ke arah pria di sebelahnya.

"Emang apa yang dia lakuin?" tanya Zea lagi.

"Dia mau pinjam uang kantor lagi Bu, padahal hutangnya di sini sudah banyak. Bahkan sisa gajinya aja cukup beberapa ratus ribu aja."

Jawaban sang HRD seketika membuat Zea langsung menoleh ke arah si pemuda. Dia perhatikan sosok Mateo lebih dari ujung kaki hingga ujung rambut. Pemuda itu cukup rapi dari segi penampilan, ia juga terlihat sederhana. Dan wajahnya juga cukup tampan untuk ukuran karyawan biasa.

"Emang buat apa uangnya?"

Pertanyaan Zea itu membuat Matteo yang sejak tadi menunduk, akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. "I-itu..." Matteo tergagap, dia merasa malu untuk menceritakan yang sebenarnya.

Zea menghela nafas saat dirasa, Matteo tak kunjung memberikan jawaban. "Ikut aku!" titahnya mutlak.

Tidak hanya Matteo yang terkejut karena perintah Zea barusan. Tapi Nisha yang juga ada bersama mereka pun tidak menduga jika teman baiknya akan berucap demikian.

"Zee? Kamu mau ngapain? Bukannya kita mau makan siang? Kenapa kamu malah ngurusin karyawan itu sih?" cecar Nisha sambil mengikuti Zea yang berjalan di depannya.

"Ssst! Kita tunda dulu makan siangnya. Soalnya ada yang harus aku lakukan sama pemuda itu," jawab Zea dengan wajah datarnya.

"Apa?"

"Ra-ha-si-a."

Nisha seketika mengerucutkan bibirnya ketika mendengar jawaban Zea. Perempuan itu makin lesu saat CEO cantik itu menyuruhnya untuk menunggu di lobby.

*

Matteo tidak tahu kenapa bosnya ini meminta ia untuk bicara berdua. Tapi feelingnya terus berkata jika Zea akan memecatnya. Itu sudah resiko menurut Matteo, apalagi ia punya hutang banyak di perusahaan yang mungkin akan membuat rugi kantor tempatnya bekerja ini.

"Sekarang kita udah berdua kan. Jadi cepet kasih tau alasan kamu terus menerus pinjam uang perusahaan?"

Pemuda tampan itu menatap Zea yang duduk dengan gaya angkuh di atas sofa yang tersedia di dalam ruangan tersebut.

"Sa- saya... terpaksa pinjam uang perusahaan untuk bayar hutang, Bu," jawab Matteo pada akhirnya.

"Kamu berhutang untuk bayar hutang?" tanya Zea tak percaya. "Kamu ini bodoh atau gila?"

"Saya terpaksa, Bu."

"Konyol," cibir Zea. "Itu bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru menambah daftar masalah, ngerti nggak?" tukas perempuan 25 tahun itu dengan dingin.

"Cuma itu yang bisa saya lakukan Bu. Ibu saya sakit dan butuh biaya pengobatan yang banyak, sementara Ayah saya pergi dengan meninggalkan hutang yang cukup banyak. Jadi mau tak mau, jalan inilah yang terpaksa saya lakukan."

Sejujurnya Matteo sangat malu harus mengumbar aib keluarganya yang mungkin tidak terlalu penting bagi orang lain. Tapi jika dia tak mengatakan yang sebenarnya, dia takut Bosnya ini menganggapnya sebagai pemuda yang gemar berhutang demi gaya hidup atau berfoya-foya.

Zea lagi-lagi hanya bisa menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Raut wajahnya menunjukkan jika dia cukup jengah. "Bisa cari alasan lain nggak? Klasik banget hidup kamu?"

"Ibu pikir saya bohong?"

"Hm. Aku emang mikir gitu."

Matteo menyipitkan kelopak matanya. Terlihat sakit hati saat Zea menuduhnya berbohong. "Tapi faktanya memang begitu, Bu," lirih Matteo.

"Emang berapa uang perusahaan yang kamu pinjam?"

Matteo tampak mengingat-ingat sebelum berucap, "Sekitar 25 juta," jawabnya kemudian.

"Apa?!" Zea terbelalak kaget. "25 juta kamu bilang?"

Matteo kembali menundu kepalanya, tapi kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Aura kemarahan Zea berhasil membuat nyalinya menciut saat itu juga.

"Kamu udah punya hutang sebanyak itu tapi masih nekat pinjam lagi? Di mana akal sehat kamu, hah?!" maki Zea penuh emosi.

"Maafkan saya Bu. Tapi saya pasti akan melunasi itu semua kok. Toh, setiap bulan uang gaji saya juga sudah dipotong untuk membayar hutang-hutang itu."

"Apa jaminannya? Kamu bisa aja kan kabur karena nggak bisa bayar?"

"Mana mungkin saya ngelakuin hal itu. Saya kan kerja di sini, tempat ini satu-satunya harapan saya buat cari nafkah."

"Benar. Sekali, dua kali pasti pembayaran bakal lancar. Tapi selanjutnya gimana? Bagaimana kalau tiba-tiba kamu sakit terus nggak bisa kerja. Atau kamu mengalami kecelakaan dan terpaksa harus resign dari sini?" cecar Zea dengan tatapan tajam.

Matteo tertohok dengan kalimat yang Zea lontarkan kepadanya. "Sa- saya..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status